• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur terhadap pernikahan sirri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur terhadap pernikahan sirri"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

JAKARTA TIMUR TERHADAP PERNIKAHAN SIRRI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

FARDA CHALIDA

NIM: 1111044100028

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

Farda Chalida. NIM 1111044100028. Persepsi Masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur Terhadap Pernikahan Sirri. Program Studi Ahwal Syakhshiyyah. Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1436 H/ 2015 M.

Tujuan yang hendak dicapai peneliti adalah: untuk mengetahui faktor kebanyakan dari pernikahan sirri tersebut dan seberapa banyaknya masyarakat yang mengetahui pernikahan sirri dan akibat dari pernikahan sirri tersebut.

Dalam penelitian skripsi ini bersifat kuantitatif, metode yang digunakan yaitu metode penelitian lapangan dan kepustakaan didasarkan guna memperoleh data primer yang berasal dari penyebaran kuisioner ke warga masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur dan data sekunder diperoleh dari buku-buku, artikel dan lain-lainnya yang memuat keterangan tentang pembahasan pernikahan sirri.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Pernikahan sirri yang dikenal oleh masyarakat Kelurahan Jatinegara adalah pernikahan yang sah secara agama, sedangkan menurut undang-undang tidak sah, karena tidak dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Faktor yang kebanyakan pernikahan sirri terjadi yaitu faktor poligami liar, karena banyaknya laki-laki yang ingin menikah lagi dengan wanita lain. Agar tidak ketahuan dengan istri pertama, maka terjadilah pernikahan sirri tersebut. Poligami liar juga bisa disebabkan karna istri pertama mandul. Sebagian responden mengetahui pernikahan sirri dan akibatnya, tetapi hanya saja mereka hanya sekedar tahu saja, akan tetapi tidak mengetahui secara dalam. Kata kunci: pernikahan sirri, faktor-faktor, akibat.

(6)

ii











Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis hanturkan

kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas segala limpahan rahmat dan kasih

sayang-Nya, serta yang telah memberikan hidayah dan ‘inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa penulis

hanturkan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW, manusia yang mulia lagi

dimuliakan Rabb-Nya, Rasul yang menjadi suri tauladan bagi seluruh umat, dlam

membuka gerbang jalan ilmu pengetahuan. Begitupun juga semoga seluruh

keluarga, sahabat, serta umat yang mengikuti jejak kebenaran dan kebaikannya

senantiasa tercurahkan keselamatan sampai tiba hari pembalasan kelak.

Dengan sekuat tenaga dan semangat yang tak pernah putus, serta

beribu-ribu do’a, akhirnya penuli dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

“Persepsi Masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur Terhadap

Pernikahan Sirri”. Penulisan skripsi ini guna memenuhi dan melengkapi

persyaratan untuk mencapai gelar sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi

Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagai hamba yang lemah dan penuh salah, penulis menyadari dan

memaklumi, bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian,

skripsi ini merupkan buah atau hasil karya yang maksimal dari penulis, karena

(7)

iii

berbagai pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik secara moril

maupun materiil. Ucapan terima kasih ini penulis mempersembahkan kepada yang

terhormat:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA sebagai dekan fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim. M.Ag. sebagai Ketua Program Studi Hukum

Keluarga dan beserta Arip Purkon, M.A. sebagai Sekretaris Program Studi

Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Jaenal Aripin, M. Ag. yang membimbing penulis, sehingga

penyelesaian skripsi ini berjalan dengan baik.

4. Bapak Maman Rahman Hakim, yang telah membimbing dan membantu

penulis dengan penuh kesabaran, sehingga penulisan skripsi ini selesai

berjalan dengan baik.

5. Seluruh dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan dan seluruh pegawai Perpustakaan di lingkungan Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ibunda Auliana dan ayahanda H. Mukhlis telah memberikan semangat dan

doa-doa yang kalian panjatkan untuk anakmu tercinta, serta adik-adikku yang

(8)

iv informasi.

9. Warga Kelurahan Jatinegara yang telah memberikan waktu dan kesempatan

untuk menjawab semua pertanyaan yang penulis buat.

10.Teman-teman kosan yang telah mensupport penulis dalam menyusun skripsi

ini yaitu Sehong, Putri dan Sedong serta teman-teman seperjuangan dan

teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Niko Leo Patra yang telah meluangkan waktunya untuk membantu dan

memberikan bimbingan skripsi ini, dan selalu mendukung dan menyemangati

yang tak ada henti-hentinya hingga penyusunan tahap awal sampai akhir.

12.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah turut

membantu dalam penyusunan skripsi ini hingga tahap akhir.

Dengan segenap ketulusan dan keikhlasan dari hati yang paling dalam atas

jasa dan bantuan semua pihak, penulis panjatkan doa semoga Allah SWT

memberikan balasan pahala yang berlipat dan menjadikan sebagai amal ibadah

yang tidak akan pernah berhenti mengalir pahalanya hingga akhir hayat.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis

sendiri dan umumnya bagi para pembaca, serta Allah SWT senantiasa selalu

memerikan kemudahan bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 10 Juni 2015

(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN TEORITIK TENTANG NIKAH SIRRI A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya ... 13

B. Pengertian Nikah Sirri ... 24

C. Hubungan Pernikahan Sirri dengan Pencatatan ... 33

BAB III KONDISI OBYEKTIF WILAYAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Kelurahan Jatinegara ... 46

B. Kondisi Masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data dan Pengujian Instrumen Penelitian ... 53

B. Pandangan Keagamaan Terhadap Nikah Sirri ... 55

(10)

vi

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan manusia tidak terlepas adanya interaksi satu dengan lainnya

yang terkumpul dalam suatu hubungan sosial atau masyarakat yang terbentuk

dari kumpulan kelompok-kelompok sosial terkecil, dalam hal ini adalah

keluarga. Keberadan keluarga sebagai inti dari masyarakat terbentuk dan

diawili dengan adanya suatu ritual yang disebut pernikahan atau perkawinan.

Menikah merupakan fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap

manusia dewasa (akil baligh), siap secara lahir dan batin, serta memiliki rasa

tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang yang telah

memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar menginjakkan kakinya

kejenjang pernikahan. Jenjang inilah menandai sebuah fase kehidupan yang

sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang.

Dibandingkan dengan hidup sendirian (membujang atau melajang), kehidupan

berkeluarga memiliki banyak tantangan dan sekaligus mengandung jumlah

harapan positif. Tidak dipungkiri dalam pernikahan terdapat banyak

manfaatnya jika kita dapat mengelolanya dengan baik.1

Pernikahan yang merupakan sunnatullah adalah media pertemuan perempuan dan laki-laki yang dapat memberikan ketenangan jiwa (sakinah)

bagi masing-masing pasangan. Di samping itu, pernikahan juga merupakan

1

(12)

sarana untuk saling bersinergi di antara pasangan sehingga dapat diupayakan

penigkatan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah, jasadiyah dan bersosialisasi

dengan masyarakat secara mawaddah dan rahmah. Sungguh indah mahligai rumah tangga yang dibangun melalui pernikahan yang sah dan mampu

menggapai sakinah mawaddah dan rahmah dalam kehidupan sehari-harinya.

Proses pernikahan manusia akan menghasilkan regenerasi yang

tumbuh dan berkembang, sehingga dlam kehidupan umat manusia dapat

dilestarikan. Sebaliknya tanpa pernikahan regenerasi akan berhenti, sepi dan

tidak berarti.2

Pelaksanaan pernikahan selalu bervariasi bentuknya. Mulai dari

perkawinan lewat Kantor Urusan Agama (KUA), kawin lari, sampai

perkawinan yang popular dikalangan masyarakat yaitu nikah sirri. Perkawinan yang tidak dicatatkan atau dikenal dengan istilah lain seperti „kawin di bawah

tangan’ atau „kawin sirri’, atau „nikah sirri’, adalah perkawinan yang sesuai

dengan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan oleh Kantor Urusan

Agama (KUA). Nikah sirri itu tidak disaksikan orang banyak dan tidak

dicatatkan. Akan tetapi menurut agama sah tapi menurut pemerintah tidak

sah.3

Pernikahan sirri ialah pernikahan biasa dikenal oleh masyarakat yang

disebut nikah dibawah tangan. Pernikahan ini tidak diketahui oleh orang tua,

2

Chaeruddin, Perkawinan, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta, PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, t.t), jilid-1 h. 65

3

(13)

tidak diketahui oleh banyak orang, dan tidak diketahui oleh pemerintah. Sirri

itu rahasia, jadi pernikahan sirri itu adalah pernikahan yang dirahasiakan

(diam-diam), karena takut diketahui oleh banyak orang.

Nikah sirri adalah pernikahan yang sah menurut agama tetapi “cacat”

menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia karena pernikahannya tidak

dicatatkan oleh (pegawai pencatat nikah) PPN secara resmi. Oleh karena itu

pemerintah memberikan solusi bagi umat islam yang telah melakukan

pernikahannya tanpa atau belum dicatatkan secara resmi untuk segera

melegitmasi pernikahannya disebut dengan itsbat nikah.

Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal

2 ayat (1) memberikan penegasan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan

menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Pencatatan

perkawinan tidak menentukan sah tidaknya perkawinan, tetapi hanya

menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benar-benar terjadi. Jadi

semata-mata bersifat administrative. Pencatatan perkawinan menurut Kompilasi

Hukum Islam pasal 5 ayat (1) agar dapat menjamin ketertiban perkawinan

bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat. KHI pasl 6 ayat (1)

menegaskan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di

bawah pengawasan pencatat nikah (PPN). Perkawinan yang dilakukan di luar

pengawasan pengawai pencatat nikah dianggap tidak mempunyai kekuatan

hukum sebagaimana ditegaskan lebih lanjut dalam pasal 6 ayat (2) KHI.

Pencatatan itu adalah wajib secara hukum, karena pencatatan itu sebagai alat

(14)

disebut kawin lari karena tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah

(PPN).

Fenomena nikah sirri bukan saja permasalahan yang baru-baru ini

terjadi di masyarakat, akan tetapi permasalahan yang sudah hangat dan

merebak khususnya di Indonesia. Nikah sirri dipandang sebuah permasalahan

yang melanggar norma hukum.4

Nikah sirri yang penulis bahas disini ialah nikah sirri yang dimaksud

sama dengan nikah di bawah tangan yang terjadi di wilayah Kelurahan

Jatinegara Jakarta Timur. Dalam masalah pernikahan sirri ini bahwa betapa

pentingnya sosialisasi hukum islam ke dalam masyarakat yang bukan saja

berbentuk rumusan hukum normatifnya, tetapi juga terutama tentang aspek

tujuan hukum yang dalam kajian hukum islam dikenal dengan maqasid asy-syari‟ah. Secara teoritis, hukum islam dirumuskan oleh perumusan Allah.

Secara umum tidak lain bertujuan untuk meraih kemaslahatan dan

menghindari kemudhoratan.5

Pernikahan seperti ini seringkali menimbulkan madharrat terhadap istri dan/anak yang dilahirkan terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah,

hak waris dan lain sebagainya. Di dalam ketentuan umum pernikahan sirri itu

4

http://tariganfebram.blogspot.com/2013/04/pernikahan-sirri-ditinjau-dari.html diakses pada pukul 20.22 tanggal 29 Maret 2015

5

(15)

hukumnya adalah sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi

haram jika terdapat madharratnya.6

Perintah pencatatan perkawinan tidak ada dalam nash yang menyebutkan secara langsung. Pelaksanaan pencatatan itu didasarkan ijtihad

para ulama dan diadopsi oleh negara dalam menyusun peraturan

perundang-undangan tentang perkawinan ini. Pencatatan perkawinan ini didasarkan

kepada “mashlahah murshalah”, karena nash tidak melarang dan tidak menganjurkannya. Pencatatan perkawinan itu sangat penting untuk

dilaksanakan oleh pasangan mempelai, sebab buku nikah yang mereka peroleh

itu merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu baik menurut

agama maupun oleh negara. Dengan surat/ buku nikah itu, mereka dapat

membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut

dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris. Bagaimana juga pencatatan

perkawinan itu sangat besar mashlahah-nya bagi umat manusia, lebih-lebih dalam era globalisasi seperti sekarang ini.

Oleh karena masih ada oknum yang tidak mencatat perkawinannya

karena mungkin perkawinan yang dilakukan itu bermasalah, misalnya melaksanakan nikah mut’ah, nikah sirri atau mengadakan poligami liar dan

sebagainya, maka diharapkan dalam rangka penyusunan Hukum Perkawinan

Islam masalah pencatatan perkawinan supaya dimasukkan dalam skala

prioritas dengan menerapkan sanksi yang lebih berat bagi mereka yang

melanggarnya. Hal ini sangat penting untuk dilaksanakan sebab sudah cukup

6Ma’ruf Amin,

(16)

banyak masalah hukum perkawinan yang timbul dari perkawinan yang tidak

dicatat ini. Sebagaimana hal poligami, kawin liar (yang tidak dicatat) akan

membawa penderitaan kepada pihak istri dan anak-anaknya apabila sipelaku

telah meninggal dunia.

Karenanya, wajarlah jika perkawinan dipastikan mempunyai niat yang

buruk. Perkawinan yang disembunyikan tentu saja bertentangan dengan kehendak syara’ di mana Nabi Muhammad sendiri menganjurkan untuk

mengumumkan perkawinan.

Dari ketentuan ini maka nikah sirri adalah sah dalam agama islam

sesuai dengan rukun dan syaratnya pernikahan, akan tetapi dalam negara tidak

diakui, karena tidak tercatat dalam buku pendaftaran nikah yang berada di

Kantor Urusan Agama (KUA).

Bertitik tolak uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih

lanjut mengenai permasalahan yang menjadi latar belakang di atas dan

menyusunnya dalam skripsi ini yang berjudul: “PERSEPSI MASYARAKAT KELURAHAN JATINEGARA JAKARTA TIMUR

TERHADAP PERNIKAHAN SIRRI”.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar luar lingkup tidak terlalu luas, maka penulis membatasi

penelitian hanya sekitar persepsi masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta

(17)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

bahwa pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

a. Bagaimana pandangan masyarakat kelurahan Jatinegara Jakarta Timur

terhadap nikah sirri?

b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pernikahan sirri?

c. Apa akibat hukum yang timbul dari nikah sirri di wilayah Kelurahan

Jatinegara Jakarta Timur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini

yaitu:

a. Untuk menjelaskan pandangan masyarakat terhadap nikah sirri.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya nikah sirri.

c. Untuk mengetahui akibat hukum yang terjadi di wilayah kelurahan

Jatinegara Jakarta Timur.

2. Manfaat Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

pengembangan ilmu hukum khususnya dari hukum islam dan hukum

perkawinan di Indonesia, yang secara dinamis terus mengkaji

pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan,

(18)

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pengkajian juga untuk

penyempurnaan Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

dan masukan bagi pengambil kebijakan dalam pelaksanaan

Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta masukan

kepada pemerintah yang saat ini sedang mengajukan rancangan

undang-undang hukum perkawinan sebagai penyempurna

Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Selain itu hasil penelitian

ini dapat dipergunakan sebagai bahan acuan masyarakat dalam

melakukan perkawinan.

D. Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum

menentukan judul skripsi, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Syarif Hidayatullah dengan juduk skripsi “ Hukum Pengulangan Nikah

Sirri, Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Kasus

Masyarakat Kedoya Kebun Jeruk Jakarta Barat). Konsentrasi

Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

Tahun 2006. skripsi ini menjelaskan pengulangan Nikah Sirri yang oleh

masyarakat Kedoya menurut Hukum Islam dan Hukum Positif dan

mengulas hukum pengulangan akad yang disebabkan oleh nikah sirri

(19)

penulis membahas pandangan masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta

Timur terhadap pernikahan sirri .

2. A. Syaadzali dengan judul skripsi “ Mahalnya Biaya Pernikahan Sebagai

Faktor Pemicu Nikah Di Bawah Tangan (studi kasus di KUA Kecamatan

Benda Tangerang), konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Jakarta Tahun 2006. Skripsi ini membahas mahalnya biaya

pernikahan sebagai faktor seseorang melakukan nikah di bawah tangan.

Sedangkan dalam skripsi penulis hanya mengulas faktor dan akibat yang

terjadinya pernikahan sirri.

3. Hafizh, dengan judul “Perkawinan Di Bawah Tangan dan Pengaruh

Terhadap Sengketa Pengadilan Agama Jakarta Barat”, konsentrasi

Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Uin Jakarta tahun 2005.

Disini membahas perkawinan dibawah tangan yang berdampak pada

sengketa Pengadilan Agama di antaranya menuntut hak-hak istri dan anak

ketika perceraian terjadi. Perbedaannya adalah penulis membahas

pernikahan sirri dan pendapat masyarakat Kelurahan Jatinegara.

4. Ahmad Zulfahmi yang berjudul “Realita Nikah Sirri (studi empiris

masyarakat di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat), Konsentrasi

Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta tahun 2010.

Skripsi ini membahas realita nikah sirri yang berada di Kelurahan Kebon

Jeruk Jakarta barat dan menggunakan metode kualitatif. Sedangakan

penulis membahas pernikahan sirri di masyarakat Kelurahan Jatinegara

(20)

E. Metode Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk

menyelesaikan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaaan

secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah

pengetahuan manusia.7 Jadi metode penelitian sebagai proses prinsip-prinsip

dan tata cara untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam

melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode

penelitian sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Sebagai suatu karya ilmiah, skripsi ini dilakukan melalui pendekatan

sosiologis, dengan mendeskripsikan masalah-masalah sosial yang terjadi

di lingkungan masyarakat. Penulis mencoba mendeskripsikan

masalah-masalah mengenai pernikahan sirri yang terjadi di lingkungan kelurahan

jatinegara Jakarta timur dan pengumpulan data penelitian melalui

penyebaran kuisioner.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field

research) dan kepustakaan (research) didasarkan guna memperoleh data primer maupun sekunder, yang memiliki korelasi pada pembahasan ini.

3. Data Penelitian

Sumber data diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder.

Data primer berasal dari penyebaran kuisioner ke warga masyarakat

7

(21)

Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur, al-Qur’an dan Hadist. Sedangkan

data sekunder diperoleh dari buku-buku, beberapa majalah, dan data

lainnya yang memuat keterangan tentang pembahasan ini yaitu pernikahan

sirri masyarakat Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur.

Jenis datanya bersifat kuantitatif yang merupakan metode penelitian

yang berukur pada data-data berupa pandangan-pandangan tentang nikah

sirri pada masyarakat kelurahan jatinegara Jakarta timur.

Teknis penelitian yang digunakan pada penelitian ini berpedoman pada

buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang

diterbitkan oleh pusat peningkatan dan jaminan mutu (PPJM) fakultas

syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Press 2012.

4. Teknik Pengumpulan Data

Agar di dalam penelitian ini penulis mendapatkan hasil yang sesuai

dengan variable yang akan di teliti, maka teknik pengumpulan data

menggunakan angket dan studi pustaka untuk memperoleh data-data yang

berkaitan dengan hal-hal pernikahan sirri.

5. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi yang penulis ambil adalah subjek yang berada di wilayah

Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur dengan sasaran laki-laki yang sudah

(22)

b. Sampel

Sampel yang penulis gunakan adalah simple random sampling yang

merupakan teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara acak.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangka outline

dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelasan

berikut:

Bab I Pendahuluan, bab ini merupakan bab pendahuluan yang

berisikan antara lain latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Teori yang akan menyajikan landasan teori mengenai

masalah-masalah yang dibahas meliputi: A. Pengertitia Pernikahan dan dasar

hukumnya B. pengertian Nikah Sirri C. Hubungan perkawinan sirri dan

pencatatan pernikahan.

Bab III Gambaran Umum Tentang Masyarakat Kelurahan Jatinegara

Jakarta Timur menerangkan tentang letak greografis dan kondisi Kelurahan

Jatinegara Jakarta Timur.

Bab IV menerangkan akibat hukum yang menyebabkan pernikahan

sirri, faktor- faktor terjadinya pernikahan sirri, kemudian analisis tentang

pernikahan sirri.

(23)

13

TINJAUAN TEORITIK TENTANG NIKAH SIRRI

A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya

Secara etimologi, nikah mempunyai arti mengumpulkan,

menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama (wath‟i). Dalam memaknai hakekat nikah, ada ulama yang menyatakan bahwa pengertian hakiki dari

nikah adalah bersenggama (wath‟i), sedang pengertian nikah sebagai akad merupakan pengertian yang bersifat majazy.1 Apabila “nikah” diartikan “akad”, maka akibatnya pada hukum nikah ialah wanita yang diwata’ secara

tidak sah (zina) oleh seorang laki-laki boleh dikawini oleh putra laki-laki

tersebut atau sebaliknya. Bahkan laki-laki itu boleh mengawini anak perempuan dari hasil perzinaannya sendiri karena tidak ada hubungan nasab antara dia dengan anak perempuan itu, demikian pendapat mazhab Syafi’i.2

Secara terminologi, nikah didefinisikan sebagai ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

Definisi nikah menurut syara yang dikemukakan oleh Muhammad Asmawi adalah melakukan aqad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana suami istri mengikuti norma,

nilai-nilai sosial dan etika agama. Aqad dalam sebuah pernikahan merupakan

1 Asrorun Ni’am Sholeh,

Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Graha Paramuda, 2008). h. 3

2

(24)

pengucapan ijab dari pihk wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan

qabul dari pihak calon suami.

Islam memandang perkawinan sebagain fase pertama keluarga, karena

keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang dapat memberikan manfaat

bagi kehidupan sesame jenisnya untuk melakukan kebaikan dan melarang

kemunkaran, meninggikan derajat manusia dan mewujudkan fungsi manusia

sebagai khalifah dimuka bumi berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an:













Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada-Nya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar-Ruum: 21). Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan.

1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.

Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian.

Oleh Q.S. An-nisa: 21, dinyatakan “… perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaqan ghalizan”.

Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu

merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:

a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu

(25)

b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah

diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh,

syiqaq dan sebagainya.

2. Segi sosial dari suatu perkawinan.

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum,

ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai

kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang penting.

Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara

perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan

menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan

hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagaimana diingatkan3

oleh firman Allah Surah An-nisa: 1 :















Artinya: “Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptkan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (dirinya); dan dari keduanya Allah memperkembangkannya laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah menjaga selalu menjaga dan mengawasimu. (An-nisa:1)

3

(26)

Pernikahan yaitu salah satu sendi pokok pergaulan masyarakat. Oleh

karena itu, agama memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan

pernikahan bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan

oleh perbuatan terlarang dapat dihindari.

Allah Swt. berfirman:



















Artinya: “Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menagwininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua. Tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah labih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-nisa’:3).

Dan juga firman Allah yang lain:





















Artinya: “Dan nikahilah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahaya kalian yang laki-laki dan juga perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (an-Nuur:32).

Sedangkan dalil dari hadist Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah

sabda beliau:

ج فْ صْ ا ص ْ ضغا آف ْج

ْ ف ء ْ ا ع ط ْسا ش ا شْع

(27)

Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dn memelihara kemaluan.” (Muttafaqun Alaih).

Perkawinan/ pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada

yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan/pernikahan

dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam

bentuk perzinaan. Orang yang berkeinginan untuk melakukan pernikahan,

tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh

Nabi Muhammad saw. untuk berpuasa. Orang berpuasa akan memiliki

kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu

perzinaan.4

Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia

yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang

suci atas nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah

tangga yang sakinah, tenteram, dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang.

Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak

cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam Al-Qur’an dan As

-Sunnah yang bersifat global, tetapi perkawinan berkaitan pula dengan hukum

suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan

hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syarat.5

4

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Palu: Sinar Grafika, 2006) h. 7

5

(28)

Menurut Subekti menyatakan bahwa perkawinan adalah pertalian

yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang

lama. Kitab Undang-Undang hukum perdata sendiri tidak memberikan definisi

secara jelas tentang perkawinan. Hanya dalam pasal 26 kitab undang-undang

hukum perdata disebutkan bahwa Undang-undang memandang soal

perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja. Hal ini berarti bahwa

suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syara-syarat

yang telah ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata dan syarat

peraturan agama dikesampingkan.6

Definisi Perkawinan (pernikahan) juga kita lihat dalam Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya ini

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

yang merumuskan demikian: “ Perkawinan ialah ikatan Lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.7

Dalam kata kawin, terkesan seolah-olah perkawinan hanya melulu

mencerminkan hubungan biologis (seksual), yakni hubungan kelamin yang lazim dikenal dengan sebutan persetubuhan (persenggamaan) antara pria (suami) dengan wanita (istri), seperti layaknya hubungan kelamin yang juga

dilakukan oleh hewan jantan dengan hewan betina. Itulah sebabnya mengapa

6

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1980), Cet-XV, h. 23

7

(29)

banyak orang enggan menikah secara hukum dan lebih suka memilih “kumpul kebo” karena bagi pasangan seperti in, hakikat kawin adalah

persenggamanaan.8

Sedangkan dalam kata nikah, tidak semata-mata tercermin konotasi makna biologis dari pernikahan itu sendiri, tetapi juga sekaligus tersirat

dengan jelas hubungan psikis kejiwaan (kerohanian) dan tingkah laku pasangan suami istri di balik hubungan biologis itu. Dalam kata nikah,

hubungan suami istri bahkan kemudian hubungan orang tua dengan anak, akan mencerminkan hubungan kemanusiaan yang lebih terhormat, sejajar

dengan martabat manusia itu sendiri. Dalam banyak hal memang hubungan suami istri harus berbeda daripada hewan yang juga memiliki nafsu syahwati

(seksual). Bedanya, hewan naluri seks untuk seks; sementara manusia memiliki naluri seks untuk berketurunan dan sekaligus sebagai alah satu

sarana penghambatan diri kepada Allah Swt.9

Hukum nikah bervariasi, tergantung pada keadaaan seseorang

untuk menentukan hukum nikah bagi seseorang haruslah diperhatikan lebih

dahulu dua hal, yaitu “kemampuan”-nya melaksanakan kewajiban (baik

sebagai suami ataupun sebagai istri) dan kesanggupan “memelihara diri”,

yaitu sanggup tidaknya seseorang mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh ke

dalam jurang kejahatan seks.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, para ulama

menyebut beberapa macam hukum nikah, sebagai berikut:

8

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 48

9

(30)

1. Wajib, yaitu bagi seorang laki-laki yang ingin sekali menggauli wanita dan

kurang mampu mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh ke dalam

kejahatan seks daan mampu membiayai nafkah rumah tangga.

Firman Allah:











Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya) sampai Allah memberikan kemapuan kepada mereka dengan karunia-Nya.(An-Nuur:33)

2. Sunat, ialah bagi seseorang laki-laki yang ingin menggauli wanita untuk

memperoleh keturunan dan ingin memelihara diri jangan sampai

melanggar batas agama (meskipun orang itu sanggup memelihara dirinya

daripada berbuat zina) dan ia mampu membiayai rumah tangga. Rasulullah

bersabda: “Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetan dengan

cara yang lurus lagi ramah (kawn) kepada kita”. (Sayyid Sabiq 6:1996:23)

3. Makruh, yaitu bagi seorang laki-laki yang jika ia kawin akan

menimbulkan berbagai kemusyrikan bagi istri dan anaknya, seperti tidak

memperhatikan hak istri dan anaknya dengan sewajarnya karena ia terlalu

mementingkan keperluannya sendiri.

4. Mubah, yaitu apabila seseorang berkeyakinan tidak akan jatuh ke dalam

perzinaan kalau ia tidak kawin, seandainya ia kawin tidak akan

mengabaikan kewajibannya sebagai suami atau istri.

5. Haram, ialah bagi seseorang laki-laki yang tidak mampu membiayai

(31)

dirinya dan keluarganya; atau berat dugaan bahwa ia akan berbuat zalim

terhadap istrinya. Dengan demikian perkawinan itu merupakan jembatan

baginya untuk berbuat zalim. Islam melarang berbuat zalim kepada

siapapun.10firman Allah:







Artinya: “Dan jangan kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah, sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Baqarah:195)

Prinsip perkawinan ada 4:

1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama.

Menurut agama, perkawinan itu adalah sunnah Nabi, berarti pernikahan

adalah suatu pelaksanaan ajaran agama.

2. Kerelaan dan persetujuan.

Sebagai calon pesangan suami istri tidak ada paksaan diantara mereka jika

ingin menikah, sehingga mereka mempertimbangkan apa yang mereka

lakukan.

3. Perkawinan untuk selamanya.

Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat keturunan dan untuk

ketenangan, ketenteraman dn cinta serta kasih saynag. Kesemuanya ini

dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk

selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.

4. Suami sebagai penanggung jawab umum dan rumah tangga.

10

(32)

Firman Allah:













Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagaian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (an-Nisa: 33)

Kedudukan suami lebih tinggi dari istri, bukan karena suami

berkuasa atas istri. Melainkan kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga,

karena suami adalah pemimpin rumah tangga dan sudah sewajarnya pemimpin

mempunyai hak dan kewajiban yang lebih dari warga yang ada dalam rumah

tangga.11

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Al-Qur’an

dan hadist, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam Tahun 1991 mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu

sebagai berikut:

1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang.

3. Asas monogami terbuka

11

(33)

Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang istri saja.

4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berfikir kepada perceraian.

5. Asas persulitan terjadinya perceraian.

6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isti, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu dlam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.

7. Asas pencatatan perkawinan.

Pencatatan perkawinan mempemudah mengetahui manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan.12

Asas-asas perkawinan di atas, akan diungkapkan beberapa garis

hukum yang dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan (selanjutnya disebutnya KHI).

Selain itu, keabsahan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1)

UUP: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat (2) mengungkapkan: “ Tiap

-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.” Dalam garis hukum Kompilasi Hukum Islam diungkapkan bahwa

pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, pencatatan

perkawinan merupakan syarat administrative, sehingga diungkapkan kutipan

keabsahan dan tujuan perkawinan sebagai berikut.

Pasal 2 KHI

12

(34)

Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan atau akad yang sangat

kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3 KHI

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah.

Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menggunakan istilah yang

bersifat umum , maka Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah khusus

yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Misalnya: mitsaqan ghalizdan, ibadah, sakinah, mawaddah dan rahmah.

Pasal 4 KHI

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai

dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Dalam ini Kompilasi Hukum Islam mempertegas dan merinci

mengenai pengaturan Undng-Undang Perkawinan.13

B. Pengertian Nikah Sirri

Nikah sirri berasal dari kata bahasa arab yaitu sirriyyun yang berarti rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri ini

adalah perkawinan yang dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi,

itu dimaksud bahwa perkawinan itu dilakukan semata-mata untuk

13

(35)

menghindari berlakuknya hukum negara yaitu undang-undang nomor 1 tahun

1974 tentang perkawinan.

Perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan ialah perkawinan

yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan

perundang-undangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya

perkawinan di bawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran

terhadap ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Yang jelas ketentuan pasal 2 ayat 2 yang mengharuskan pencatatan

perkawinan terpisah dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang

sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan

kepercayaannya.

Terminologi “kawin sirri” dikenal dikalangan para ulama paling

tidak sejak masa Imam Malik bin Anas, hanya saja kawin sirri yang dikenal

pada masa itu berbeda pengertiannya dengan kawin sirri yang dikenal

sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan perkawinan sirri adalah

perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan yaitu adanya

mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, wali, saksi dan ijab qabul yang

dilakukan oleh mempelai laki-laki dan wali si mempelai perempuan yang

disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja para saksi diminta untuk

merahasiakan atas terjadinya perkawinan tersebut kepada khalayak ramai

(36)

Sedangkan pengertian kawin sirri yang berkembang dalam

masyarakat saat ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan memenuhi semua rukun dan syarat perkawinan menurut

ketentuan hukum agama islam, namun proses perkawinan tersebut tidak dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan sehingga oleh karenanya

perkawinan tersebut tidak dicatat dalam daftar catatan perkawinan di Kantor Pencatat Perkawinan dan tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh

pemerintah.14

Menurut hukum islam, perkawinan di bawah tangan atau sirri

adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat rukun perkawinan. Namun dari aspek peraturan perundang-undangan perkawinan model ini belum lengkap

karena belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administrative yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya perkawinan. Yang

biasanya menjadi korban akibat adanya perkawinan model ini, yang dalam bentuk pengingkaran terjadinya perkawinan di bawah tangan yang dilakukan

dan tak jarang pula anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu juga tidak diakui. Terkadang muncul permasalahan juga dalam hal pembagian waris.

Pasal 43 UUP mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sedangkan anak yang dilahirkan dari

perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan

ibunya. Dalam undang-undang pemerintah bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang menikah sesuai dengan agama dan hukum pemerintah, sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang

14

(37)

dilahirkan dari pasangan suami istri yang menikah sesuai agama saja, seperti

pernikahan sirri pada kasus machica yang menggugat pasal 43 Undang-Undang Perkawinan.15 Dalam judicial review16, MK menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan perkawinan. Itu juga dapat didasarkan pada pembuktian adanya

hubugan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak demikian, maka dirugikan adalah anak yang bersangkutan. Barangkali dalam hal ini MK

berasumsi bahwa bayi tidak bersalah atas kelahirannya. Setiap bayi memang dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga tidak semestinya ia dirugikan akibat

ulah orang tuanya. Sebagaimana terdapat dalam hadist:

ْ ع

ْ ْ ك : س ع ه ص ا ق : ق ْ ا

ا أف , ْطفْ ا ع ْ

(

ا ا ) ... ا صْ ْ ا , ا

Dari Abu Huraiah berkata, Rasullah saw bersabda: setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah) lalu kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi,

atau Nasrani atau Majusi… (HR. Bukhari)

Namun di sisi lain putusan MK dalam kasus di atas dapat

mengembalikan hak-hak dan perlindungan anak di luar nikah, tetapi tidak

15

Permohonan Machica dikabulkan oleh MK. Dalam putusan nomor 46/PUU-IX Tahun 2011, MK menetapkan seharusnya ayat tersebut berbunyi: “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahun dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan daah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

16

(38)

menutup kemungkinan akan muncul permasalahan baru di belakang akibat

putusan MK ini. Karena wajar jika kemudian Ketua Majelis Ulama Indonesia

(MUI) KH Makruf Amien menegaskan bahwa, putusan MK tersebut sangat

kontroversial di kalangan umat Islam dan menimbulkan kegelisahan luar

biasa, melanggar syariat Islam dan merubah tatanan Islam.17

Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu

pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan

syarat-syarat pada saksi itu sendiri.

Mengenai saksi di antara para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi’I

dan Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan,

bahkan Syafi’I bependapat bahwa saksi sebagai rukun nikah.18

Dalam hukum islam nikah sirri bukan masalah baru, sebab dalam

kitab Al-Muwatha karyan Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah

sirri berasal dari ucapan Umar ibnu al-Khattab r.a:

,ك ْ ْخا

, ْ ا ج اا ْ ع ْ ْش ْ

ْ ف ج ْ ا ع ْ ا , ْ ْ ا

: ع قف

سْ ا

ا

ج ف

ق ْ ك ْ ْ ا ,

Artinya: “ bahwasanya Umar dihadapan seorang laki-laki yang menikah tanpa saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata: ini nikah sirri aku tidak membolehkannya, seandainya kamu melakukannya pasti aku rajam”.

17

http://www.mifdlol.staff.iainsalatiga.ac.id/2013/01/28/sebuah-catatan-untuk- keputusan-mahkamah-konstitusi-mk-terkait-pelaksanaan-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ di akses pada jumat, 3 Juli 2015 23.57 wib

18

(39)

Pengertian pernikahan sirri dalam persepsi Umar tersebut bahwa

syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap

meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria

Umar dapat dipandang sebagai nikah sirri.19

Menurut Jumhur Ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi-saksi

tidak sah. Jika ketika ijab kabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun

diumumkan kepada orang damai dengan cara lain, pernikahannya tidak sah.20

Menurut para Ulama Hanafiah telah meletakkan kriteria bagi orang

yang diterima dan tidak di kesaksiannya dalam akad nikah. Mereka berkata,

setiap orang yang layak untuk menjadi seorang wali dalam akd nikah dengan

hak perwalian diri sendiri, maka ia layak untuk menjadi saksi dalam akad ini.

Sikap undang-undang terhadap kesaksiannya: undang-undang

ahwal syakhshiyyah Syiria (pasal 12) mengambil pendapat madzhab Hanafi

dalam masalah persaksian. Di dalamnya tercantum bahwa, “Dalam sahnya

akad nikah disyaratkan kehadiran dua orang saksi lelaki, atau seorang lelaki

dan dua orang perempuan yang beragama Islam, berakal, baligh serta mampu

mendengar ucapan ijab dan qabul sekaligus memahaminya.” Maksudnya, ini

dalam pernikahan sesama Muslim. Adapun pernikahan di antara Ahli Kitab,

maka sah dengan kesaksian dua orang dari ahli kitab, sekalipun kedua saksi

19

Mahful M. dan Herry Mohammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta: IKAPI, 1996), h. 31

20

(40)

tersebut berbeda agama dengan si perempuan, seperti kesaksian orang-orang

Nasrani akan pernikahan seorang perempuan Yahudi.21

Pernikahan sirri: sebagai penguat disyaratkannya persaksian, para

ulama Malikiah berkata, “Nikah sirri itu rusak dengan talak ba’in jika suami

-istri tersebut telah melakukan persenggamaan. Sebagaimana juga rusaknya

pernikahan tanpa saksi dengan terjadi hubungan suami-istri. Mereka berdua

dikenakan had zina;jilis atau rajam, jika telah terjadi persenggamaan dan hal

itu mereka akui. Atau persenggamaan tersebut terbukti dengan persaksian

empat saksi, seperti dalam kasus perzinaan. Mereka berdua tidak diberi

ampunan hanya karena ketidaktahuan mereka, akan tetapi mereka berdua

tidak dikenakan had, jika pernikahan mereka telah menyebar dan diketahui

oleh banyak orang, seperti dengan diiringi pemukulan rebana, diadakan

walimah, disaksikan dua saksi fasik dan sejenisnya. Karena hal itu masih

dalam taraf syubhat. Nabi saw.pernah bersabda22:

ْ ش ْ ْ ا ا

ء ْ ا

Artinya: “Halangilah had itu dengan hal-hal yang syubhat”

Perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan, ada yang

menyebut kawin syar‟I dan juga yang menyebut kawin Modin, kawin Kyai. Sejumlah istilah muncul mengenai perkawinan di bawah tangan. Akan tetapi

pada umumnya yang dimaksud perkawinan di bawah tangan adalah

21

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011, Jilid 9), h.79

22

(41)

perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).

Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah

secara Agama, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak

memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Pendapat lain menyebutkan bahwa perkawinan sirri atau

perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan

tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan. Terdapat

perbedaan pendapat tentang sah tidaknya perkawinan di bawah tangan,

dikarenakan adanya perbedaan penafsirannya terhadap ketentuan Pasal 2 ayat

(2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang pasti ketentuan Pasal

2 ayat (2) yang mengharuskan pencatatan perkawinan terpisah dengan

ketentuan pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang

harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya.23

Adapun pemahaman lain dan lebih umum mengenai kawin sirri

dalam pandangan masyarakat islam adalah perkawinan hanya memenuhi

ketentuan agama, yaitu memenuhi syarat dan rukun nikah. Rukun dan syarat

nikah itu meliputi: 1) adanya calon suami dan calon istri 2) adanya wali

pengantin perempuan 3) adanya dua saksi yang adil (terdiri atas dua orang

laki-laki atau seorang laki-laki ditambah dua orang perempuan); 4) ijab dan

Kabul. Selain rukun atau syarat wajib nikah, terdapat sunnah nikah yang

perlu dilakukan, yaitu khotbah nikah; pengumuman perkawinan dengan

23

(42)

penyelenggaraan walimaturrus perayaan; menyebutkan mahar atau mas

kawin.

Dalam pernikahan sirri, biasanya unsur walimatul „ursy /perayaan

sebagai upaya pengumuman kepada masyarakat yang tidak dilakukan. Sebab

pada praktiknya, pernikahan sirri tidak pernah diumumkan kepada

masyarakat. Walimatul „ursy bertujuan untuk mengumumkan pernikahan yang sudah terjadi kepada masyarakat, minimal keluarga dan tetangga dekat.

Hal ini harus dilakukan untuk menghindari fitnah dan prasangka buruk orang

lain. Selain itu, perilaku pernikahan sirri pun tidak melaporkan pernikahannya

ke KUA.24

Perkawinan sirri juga akan menimbulkan kecenderungan bahwa

pihak laki-laki untuk bertindak sewenang-wenang karena merasa bahwa

posisinya dihadapan hukum lebih menguntungkan dibandingkan perempuan,

karena pihak suami bisa meninggalkan begitu saja istri sirinya tanpa tanggung

jawab apa-apa dan hukum tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya.

Perkawinan sirri pada umumnya dilakukan oleh orang yang secara aturan

administrasi tidak dapat melakukan poligami tanpa adanya ijin dari istri dan

atasannya, hal ini serng terjadi pada kalangan Pegawai Negri Sipil (PNS),

TNI, Polri yang kemudian melakukan pernikahan secara diam-diam agar

jangan sampai diketahui oleh pihak istri dan lingkungan kerjanya.

Dari fenomena kawin sirri itu kemudian memunculkan istilah “istri simpanan” yaitu istri-istri yang dikawini secara sirri oleh seorang laki-laki

24

(43)

yang keberadaannya disembunyikan dari istri dan keluarga dalam

pernikahannya yang pertama, perkawinan sirri dilakukan untuk menghindari

perbuatan zina sehingga dari sudut pandang itu sebenarnya mengandung

nilai-nilai kebaikan, terlepas apakah perkawinan itu merupakan bentuk upaya

untuk menyembunyikan dari istri dan keluarga, sepanjang bahwa rukun dan

syarat itu terpenuhi menurut ketentuan agama, maka perkawinan seperti itu

harus dipandang sebagai perkawinan yang sah.

Perkawinan sirri juga banyak dilatarbelakangi oleh adanya prinsip

kebolehan berpoligami dalam ajaran islam, namun itu terkendala dengan

adanya pembatasan dan pengaturan dalam aturan perundang-undangan,

misalnya bagi seorang Pegawai Negri Sipil (PNS)/TNI dan Polri poligami

walaupun bia dilakukan namun hal itu sulit, dan harus melewati segala

macam prosedur yang rumit. Berpangkal tolak dari kenyataan tersebut, maka

banyak orang yang mengambil jalam pintas dengan segala resiko jabatan

yang menyertainya dengan melakukan perkawinan secara sirri demi

melaksanakan hajatnya.25

C. Hubungan Pernikahan Sirri dengan Pencatatan

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang

mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan dapat

mengurangi kemaksiatan penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina.

25

(44)

Karena suatu perkawinan merupakan perbuatan hukum, maka tentu

saja ia akan menimbulkan akibat hukum. Yang tadinya antara seorang

laki-laki dan perempuan haram berhubungan badan, setelah perkawinan menjadi

halal. Dari hubungan badan itu menghasilkan turunan, melahirkan keluarga

sedarah dan semenda. Dari perkawinan itu juga timbul hak-hak dan

kewajiban-kewajiban lain seperti nafkah, waris, hibah dan sebagainya.26

Alquran dan hadist tidak mengatur secara rinci mengenai

pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai

pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum

Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat , baik perkawinan yang dilaksanakan

berdasarkan hukum islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh

masyarakat yang tidak berdasarkan hukum islam. Pencatatan perkawinan

merupakan upaya untuk menjaga kesucian (mitsaqan ghalizan) aspek hukum

yang timbul dari hukum perkawinan. Realisasi pencatatan itu, malhirkan Akta

nikah yang masing-masing dimiliki oleh suami dan istri salinannya. Akta

tersebut dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa

dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi

kepentingan umat islam khususnya dam masyarakat Indonesia pada

umumnya. Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi

26

(45)

hukum perkawinan yang bersifat national yang menempatkan hukum islam

mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Amat

wajar bila ada pendapat yang mengungkapkan bahwa Undang-undang

Perkawinan merupakan ajal teori receptive (istilah Hazairin) yang dipelopori

oleh Cristian Snouck Hourgroje. Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam

pasal 2 ayat (2) meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih,

sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala. Upaya ini perlu

dilakukan oleh umat islam secara berkesinambungan di negara Republik

Indonesia.27

Berdasarkan kendala di atas, sebagai akibat adanya pemahaman

fikih Imam Syafi’i yang sudah membudaya di kalangan umat islam

Indonesia. Menurut paham mereka, perkawinan telah dianggap cukup bila

syarat dan rukunnya sudah dipenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi

akta nikah. Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih

ditemukan perkawinan di bawah

Gambar

Komposisi Peruntukan TanahTabel 1
Tabel 2 Nama-nama Perangkat Pemerintah Keluahan Jatinegara
Tabel 3
Tabel 4 Sarana Perekonomian Yang Terdapat di Wilayah Kelurahan Jatinegara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh bahan pengisi sorbitol dan laktosa terhadap mutu fisik tablet dan tanggapan rasa tablet kunyah ekstrak jahe merah

Meskipun kondisi sarana dan prasarana di SMA Negeri 1 pangkep berada dalam kategori ideal guru penjas harus mampu memanfaatkan dan menggunakan secara maksimal

According to Biggs and Tefler in Dimyanti and Mudjiono (2006) students' learning motivation can be weak, lack of learning motivation will weaken activities, so the quality

Sebagai kesimpulan, defisiensi zinc bukan merupa- kan faktor risiko diare akut menjadi melanjut, tetapi dengan catatan bahwa diperlukan jumlah subjek lebih banyak yang

Vuoden 1980 kylärajaus verrattuna vuoden 2005 aluerajauksiin Hävinneet kyläalueet 1980 – 2005 Kylästä taajamaksi 1980 – 2005 Pysynyt kylänä 1980 – 2005 Taajama

 Dengan diberikan teks tentang hidup rukun, siswa dapat menggunakan kalimat ajakan dalam teks percakapan yang berkaitan dengan sikap hidup rukun dalam bentuk kalimat sederhana

Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Nurgoho, 2006).. menemukan bahwa sikap

Untuk mengetahui apakah pelayanan prima, konsultasi Account Representative , dan kesadaran perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan formal, maka penulis akan membahas