• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Manfaat Penelitian

2. Pengertian Pembelajaran

Surya (2004:7-10) merumuskan pembelajaran sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu tersebut dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Menurutnya terdapat beberapa prinsip yang mendasari suatu pembelajaran seperti: a) pembelajaran sebagai usaha untuk memperoleh perubahan tingkah- laku; b) hasil dari pembelajaran diindikasikan dengan terjadinya perubahan perilaku secara keseluruhan; c) pembelajaran merupakan suatu proses yang berkesinambungan; d) proses pembelajaran terjadi karena adanya suatu dorongan serta tujuan yang akan dicapai; serta e) pembelajaran merupakan manifestasi bentuk pengalaman.

Berdasarkan perumusan tersebut di atas, penulis dapat mengatakan bahwa pembelajaran merupakan serangkaian proses yang secara sadar dilakukan oleh seseorang (peserta didik) dan berlangsung secara terus-menerus untuk mencapai terjadinya perubahan tingkah laku selama seseorang berinteraksi dengan lingkungan fisik, individu lain, situasi, serta persoalan tertentu.

B. Filsafat Konstruktivisme dan Pengaruhnya Terhadap Pembelajaran 1. Pembelajaran Konstruktivistik

Konstruktivisme merupakan filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi (bentukan) kita

sendiri (Von Glasersfeld dalam Bettencourt dan Matthews, dalam Suparno, 1997:18). Von Glasersfeld secara sederhana menyatakan bahwa pengetahuan (knowledge) bukanlah suatu tiruan dari suatu kenyataan dan bukanlah suatu gambaran nyata dari kenyataan yang ada, akan tetapi pengetahuan merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan individual. Seseorang dapat membentuk sebuah skema, kategori, konsep beserta struktur pengetahuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya (Bettencourt, dalam Suparno, 1997:18). Menurutnya pengetahuan merupakan hasil ciptaan manusia yang dikonstruksi berdasarkan pengalaman, dimana pengalaman tersebut terbatas pada banyak sedikitnya pengalaman yang telah dialami dan didapat oleh seseorang.

Jika seseorang mengkonstruksi pengetahuannya sudah barang tentu akan melibatkan sebuah proses. Menurut Piaget (Suparno, 1997:18), proses pembentukan pengetahuan berlangsung secara terus-menerus dengan setiap kali perlu mengadakan reorganisasi akan adanya suatu pemahaman yang bersifat baru. Dari keseluruhan gagasan mengenai definisi pengetahuan maka penulis menyimpulkan bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil bangunan dari pemikiran (abstraksi) seseorang terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar manusia, dimana proses konstruksi tersebut berlangsung terus-menerus, yang dilandasi dengan pengalaman baik pengalaman fisik, kognitif, serta mental yang telah seseorang miliki untuk mengkolaborasikannya dengan informasi yang bersifat baru.

Senada dengan hal di atas, Lorsbach dan Tobin (Suparno, 1997: 18), mengemukakan sebuah gagasan bahwa sarana yang dapat memungkinkan seseorang untuk mengetahui tentang “sesuatu” ialah inderanya. Dengan kemampuan inderanya seseorang dapat berinteraksi dengan obyek maupun lingkungan, sehingga setelah terjadi proses interaksi memungkinkan seseorang untuk memikirkan mengenai obyek dan lingkungan tersebut. Para konstruktivis menekankan bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang berusaha untuk mengetahui tentang sesuatu (belajar). Lorsbach dan Tobin (Suparno, 1997:19), dengan tegas menyatakan bahwa pengetahuann tidak bisa dipindahkan (ditransfer) secara langsung dari pikiran seseorang (pendidik) menuju kepikiran orang lain (peserta didik), sehingga siswa sendirilah yang harus memahami apa yang telah diajarkannya melalui proses penyesuaian dengan pengalamannya.

Berdasarkan gagasan Von Glasersfeld, dkk (Suparno,1997: 18) yang dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan akan lebih bermakna bagi seseorang jika pengetahuan tersebut merupakan hasil dari serangkaian proses aktif di bawah bimbingan seorang guru ataupun orang lain yang dilakukan terus-menerus berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki seseorang. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara langsung dari otak seseorang (guru) menuju ke otak individu lain (murid) tanpa melalui serangkaian proses tertentu, dapat dikatakan pula bahwa pengalamanlah yang berperan dalam proses konstruksi pengetahuan.

Kesimpulan akhir dari uraian di atas ialah: “tanpa melalui pengalaman fisik, kognitif, dan mental, maka pengetahuan tidak mungkin akan terbangun”.

Menurut Von Glasersfeld (1996 dalam Suparno, 1997:19), pengetahuan dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang pada waktu orang tersebut berinteraksi dengan lingkungan disekitarnya. Menurut dia lingkungan dapat berupa: a) keseluruhan obyek dan semua relasi yang diabstraksikan dari pengalaman; dan b) sesuatu disekitar kita terutama hal-hal yang sedang kita isolasikan.

Von Glasersfeld dalam Matthews (1994 dalam Suparno, 1997:19), menekankan bahwa struktur konsepsi seseorang akan membentuk pengetahuan apabila struktur tersebut dapat digunakan dalam mengadapi persoalan-persoalan sehubungan dengan konsepsi tersebut. Syarat mutlak agar suatu konsepsi dan abstraksi disebut telah membentuk pengetahuan di dalam pikiran seseorang yaitu apabila konsep ataupun abstraksi terhadap “sesuatu” dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai macam persoalan yang sedang dihadapi.

Von Glasersfeld (Bettentcourt, 1989 dalam Suparno, 1997:20), mengutarakan bahwa semua pengetahuan (knowledge) yang kita peroleh merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Ajaran konstruktivis secara tegas menolak adanya kemungkinan proses transfer pengetahuan dari individu yang satu (guru) menuju individu yang lain (siswa), dengan dasar tidak mungkin seseorang dapat memindahkan pengetahuan sebab setiap orang

akan membangun pengetahuan pada diri masing-masing. Jika seseorang (guru) bermaksud menstransfer pengetahuan baik konsep, ide, serta pengertian yang ditujukan kepikiran orang lain (siswa), maka proses transfer pengetahuan tersebut harus diinterpretasi dan dikonstruksi oleh siswa berdasarkan pengalaman yang telah ia peroleh. Menurut dia untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan diperlukan beberapa kemampuan seperti:

a. Mengingat dan mengungkapkan kembali suatu pengalaman, sebab pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut.

b. Membandingkan dan menjustifikasi (mengambil keputusan) mengenai persamaan dan perbedaan tentang sesuatu, sebab untuk dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat persamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan.

c. Lebih menyukai pengalaman tertentu dari pada pengalaman yang lain sehingga akan membentuk persoalan nilai dari pengetahuan yang seseorang bangun.

Dalam konteks proses pembentukan pengetahuan, Piaget (Suparno,1997: 20-21), menyatakan terdapat dua aspek berpikir yaitu:

a. Berpikir figuratif yang berarti imajinasi keadaan sesaat dan statis, dimana aspek ini meliputi persepsi, imajinasi, serta gambaran mental seseorang terhadap suatu obyek maupun fenomena.

b. Berpikir operatif yang bermakna sesuatu yang lebih cenderung dan berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain, dimana aspek ini meliputi proses operasi intelektual maupun sistem transformasi.

Menurutnya aspek berpikir yang lebih esensial adalah aspek berpikir opertif, dimana dengan memanfaatkan aspek tersebut memungkinkan seseorang untuk dapat mengembangkan pengetahuannya mulai dari level satu menuju level yang lebih tinggi.

Shapiro (Suparno, 1997: 21), menegaskan tujuan dari seseorang untuk dapat mengetahui sesuatu bukanlah untuk menemukan sebuah realitas, akan tetapi untuk mengorganisasikan “pengetahuan” yang cocok dengan pengalaman hidup seseorang, sehingga dapat digunakan bila suatu saat seseorang berhadapan dengan tantangan dan pengalaman yang

bersifat baru. Tasker (Hamzah, 2006),menitik-beratkan tiga hal yang harus terjadi

dalam pembelajaran konstruktivistik yaitu:

a. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.

b. Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna.

Senada dengan pernyataan Tasker, Wheatley (Hamzah, 2006), mengajukan dua prinsip utama yang mencerminkan pembelajaran konstruktivistik yaitu:

a. Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, melainkan secara aktif oleh struktur kognitif siswa.

b. Fungsi-fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Berdasarkan gagasan Tasker dan Wheatley (Hamzah, 2006)tersebut di atas, sebuah pembelajaran dapat dikatakan konstruktivistik bila selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung melibatkan peran aktif seluruh siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya. Peran aktif itu dapat berwujud mengaitkan antara konsepsi yang sudah ia miliki dengan konsepsi yang baru ia terima, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan ketidak-selarasan dengan hal tersebut. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi kognisi masing-masing anak yang tidak lepas dari bimbingan guru maupun orang lain yang berkompeten pada bidang tertentu diharapkan siswa tersebut dapat membangun pengetahuan secara mandiri.

Kartika Budi (2000: 46-57), menegaskan bahwa suatu pembelajaran yang bersifat konstruktivistik dapat dibangun melalui beberapa variasi antara lain: a) membina siswa-siswi untuk mampu membaca sendiri seperti: literatur, reader, hand out, serta buku-buku pelajaran; b) mendorong siswa untuk selalu berperan aktif bertanya; c) melatih dan

membiasakan siswa untuk berani menyampaikan pendapat, konsepsi, ide-ide serta gagasan yang telah dimiliki masing-masing siswa; d) membangun peta konsep; e) merancang dan melaksanakan percobaan; f) menganalisis data dan menarik kesimpulan; g) memilih dan menentukan sendiri kegiatan (belajar) yang akan dilakukan; h) eksperimen dan demonstrasi; i) belajar dalam kelompok; serta j) penyelesaian soal-soal secara sistematis. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa semakin banyak aspek yang dilakukan (muncul) selama proses belajar mengajar berlangsung, maka kegiatan pembelajaran yang dilakukan disebut sebagai pembelajaran konstruktivistik.

2. Aspek Pembelajaran Konstruktivistik 1. Perubahan konsep

Suparno (2000:15), secara sederhana menjelaskan bahwa suatu pembelajaran dapat dikatakan baik apabila selama proses pembelajaran berlangsung, membantu terjadinya perubahan konsep pada diri siswa. Menurut dia perubahan tersebut dapat berupa semakin lengkapnya suatu konsep maupun semakin benarnya suatu konsep, dimana perubahan yang terjadi dapat bersifat pelan-pelan yang lazim disebut proses “asimilasi”, selain itu perubahan yang terjadi juga dapat bersifat drastis disebut dengan proses “akomodasi”.

Menurut disiplin ilmu fisika hal yang paling utama pada saat seseorang (siswa) sedang belajar adalah terjadinya perubahan konsep

pada diri anak yang sedang belajar. Secara umum perubahan itu dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu:

a. Pengembangan konsep yang telah dimiliki seseorang siswa dari yang belum lengkap menjadi lebih lengkap ataupun dari yang belum sempurna menjadi lebih sempurna.

b. Pembetulan konsep dari yang tidak tepat atau salah menjadi konsep yang benar dan atau sesuai dengan apa yang telah menjadi kesepakatan para ahli di bidang ilmu fisika (Suparno, 2000: 15).

Melalui proses perubahan tersebut diharapkan seseorang siswa yang sedang belajar akan mempunyai pengetahuan fisika yang lebih lengkap dan benar, sehingga apa yang mereka pelajari pada saat tertentu pada akhirnya dapat berguna untuk memenuhi tuntutan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang siswa yang sedang menuntut ilmu pengetahuan pada jenjang dan periode tertentu, ataupun juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mempelajari suatu konsep yang memiliki taraf lebih tinggi dari apa yang sedang mereka pelajari saat itu.

Posner, dkk (Suparno, 2000: 16), menekankan bahwa dalam proses belajar terdapat dua fase dari perubahan konsep yaitu:

a. Central commitment, berdasar ungkapan tersebut tersirat pengertian bahwa dalam fase “central commitment” para ilmuwan mendefinisikan persoalan, strategi menghadapi

persoalan, dan menentukan kriteria untuk melakukan penyelesaian suatu persoalan.

b. The central commitment in need of modification, berdasar ungkapan ini tersirat pengertian bahwa ilmuwan harus mengubah “central commitment” jika ternyata hal tersebut bertentangan dengan asumsi dasar mereka (ilmuwan).

Menurut Suparno (2000:16), suatu perubahan konsep harus dilakukan apabila definisi, strategi, maupun kriteria yang digunakan ternyata masih menghasilkan akibat-akibat yang berlawanan dengan anggapan dasar para ilmuwan, dapat dikatakan pula secara konkret perubahan konsep harus dilakukan apabila definisi, strategi, dan kriteria yang digunakan masih belum berguna pada saat seseorang (siswa) menemui suatu persoalan yang terkait dengan tuntutan tugas dan tanggung jawabnya sebagai individu yang sedang belajar.

Selain kedua fase di atas Posner, dkk (Suparno, 2000:16), menyatakan bahwa dalam proses belajar terdapat dua proses yang memiliki sifat hubungan kedekatan terhadap “central commitment dan the central commitment in need of modification” dari perubahan konsep yaitu:

a. Tahap “asimilasi”, pada tahap ini siswa hanya menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk menghadapi gejala-gejala maupun situasi yang bersifat baru melalui suatu

perubahan kecil, dimana perubahan tersebut masuk dalam taraf penyesuaian.

b. Tahap “akomodasi”, dalam tahap ini seseorang (siswa) harus mengganti atau mengubah konsep-konsep lama yang masih mereka pertahankan dari suatu waktu tertentu hingga saat itu, sebab konsep-konsep lama yang mereka punyai tersebut sudah tidak relevan lagi jika digunakan untuk menghadapi situasi maupun persoalan yang bersifat baru.

Posner dkk (Suparno, 2000:17), menekankan bahwa diperlukan beberapa keadaan lain agar proses “akomodasi” dapat terjadi seperti:

a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada, sehingga seseorang yang sedang belajar akan mengubah konsep yang telah mereka punyai jika ternyata sudah tidak relevan lagi terhadap situasi, gejala, dan pengalaman yang mereka hadapi saat itu, sehingga sebagian maupun keseluruhan konsep dan pengalaman yang telah mereka miliki sampai waktu itu sudah usang (tidak sesuai) untuk menghadapi situasi, gejala, dan pengalaman yang bersifat baru.

b. Konsep yang baru harus bersifat “intelligible” (mudah dipahami dan dimengerti), sehingga siswa dapat mengerti bagaimana pengalaman-pengalaman yang baru saja didapat pada waktu tertentu dapat dengan mudah didekati menggunakan konsep-konsep yang bersifat baru tersebut.

2. Keterampilan proses

Pendekatan terhadap keterampilan proses merupakan usaha untuk memperoleh informasi mengenai seberapa dalam perolehan belajar siswa secara menyeluruh baik pengetahuan, sikap, konsep, serta nilai (Usman, 1997: 42). Menurutnya dengan pendekatan keterampilan proses maka sekaligus dapat dikembangkan sikap lain seperti: a) kreatif; b) kerja sama; c) tanggung jawab; dan d) disiplin sesuai penekanan pada bidang ilmu yang terkait. Selanjutnya secara sederhana dia menjelaskan bahwa pendekatan keterampilam proses merupakan salah satu pendekatan dalam proses belajar-mengajar yang tertuju pada pengembangan kemampuan-kemampuan fisik dan sosial yang sangat mendasar sebagai daya penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam setiap individu. Selebihnya Usman (1997: 42-43), memberikan batasan mengenai aspek-aspek yang terkait dalam keterampilan proses antara lain kemampuan untuk:

a. Mengamati yaitu keterampilan mengumpulkan data maupun informasi dengan memanfaatkan kepekaan indera.

b. Merencanakan penelitian yaitu keterampilan menentukan hal-hal seperti: obyek yang akan diteliti, tujuan dan ruang lingkup penelitian, sumber data atau informasi, cara analisis, alat dan bahan yang diperlukan, maupun sumber acuan yang diperlukan. c. Menginterpretasikan yaitu keterampilan menafsirkan sesuatu

informasi yang telah diperoleh berdasarkan hasil pengamatan, analisis, serta eksperimen.

d. Mengklasifikasikan yaitu keterampilan menggolongkan sesuatu yang dapat berupa benda, konsep, atau nilai melalui peninjauan terhadap persamaan dan perbedaan sesuatu baik berupa benda, kenyataan, maupun konsep sebagai dasar penggolongan.

e. Memprediksi yaitu keterampilan mengantisipasi dan atau menyimpulkan suatu hal yang akan terjadi berdasrkan perkiraan atas kecenderungan pola tertentu maupun hubungan antar data serta informasi.

f. Menerapkan yaitu keterampilan menggunakan hasil belajar yang dapat berupa informasi, kesimpulan, konsep, hukum, teori, ataupun keterampilan tertentu.

g. Mengkomunikasikan yaitu keterampilan menyampaikan suatu perolehan ataupun hasil belajar terhadap individu (siswa) yang lain baik dalam bentuk tulisan, gambar, peragaan, serta tindakan. 3. Berpikir kritis

Dalam konteks proses belajar-mengajar “berpikir kritis” merupakan salah satu unsur yang layak untuk selalu dibina. Suparno (1999: 42), memberikan ulasan berkaitan dengan pentingnya berpikir kritis (critical thingking). Menurut dia sangatlah penting seorang guru dapat melatih siswa-siswi untuk berpikir kritis mengenai persoalan yang sedang dihadapi, murid perlu dilatih untuk tidak terlalu mudah

“mengiyakan” suatu gagasan atau pernyataan yang sedang ataupun yang telah dikemukakan oleh guru maupun orang lain. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan jalan membiasakan mereka untuk selalu bertanya tentang suatu hal, misalnya; mengapa bisa demikian? Selain hal tersebut perlu juga membiasakan mereka untuk dapat memberikan suatu alasan yang rasioanal pada saat mereka akan mengungkapkan suatu gagasan maupun ide-idenya sehubungan dengan segala sesuatu yang sedang dihadapi.

4. Sikap

Thurstone, dkk (Azwar, 2005: 5), mendefinisikan “sikap” sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, dimana reaksi tersebut pada umunya nampak dalam hal perasaan memihak (favorable) atau perasaan tidak memihak (unfavorable). Lebih lanjut Thurstone memformulasikan definisi mengenai “sikap” sebagai “derajad efek positif ataupun efek negatif yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu obyek”.

Sedangkan Rosenberg dan Hovland (Azwar, 2005: 7-9), menyatakan bahwa “sikap” tersusun atas tiga komponen yaitu: a) kognisi (cognitif); b) afeksi (affectif); dan c)konasi (conatif), dimana ketiganya akan terabstraksi membentuk sikap. Menurut pendapat kedua tokoh ini sikap yang dimiliki seseorang terhadap suatu obyek merupakan suatu gejala yang dapat menjembatani proses interaksi antara respon seseorang terhadap obyek yang sedang dihadapi.

Selebihnya Rosenberg dan Hovland membuat skema mengenai konsepsi sikap sebagai berikut:

Gambar 1. Konsepsi skematik sikap menurut Rosenberg dan Hovland (sumber; Azwar: 2005, hal 8)

Kothandapani (Azwar, 2005: 23-28) mengatakan bahwa struktur sikap terdiri atas tiga komponen yaitu: a) kognitif; b) afektif; serta c) konatif. Komponen kognitif merupakan suatu manivestasi dari keyakinan seseorang terhadap suatu obyek. Komponen afektif merupakan bentuk representasi dari perasaan yang ditentukan oleh aspek emosional pada saat seseorang sedang berinteraksi terhadap obyek tertentu. Sedangkan komponen konatif dimaknai sebagai generalisasi kecenderungan seseorang terhadap suatu obyek untuk berperilaku sesuai dengan kehendak yang sedang berperan pada situasi dan saat itu.

Dokumen terkait