• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Tinjauan Yuridis Mengenai Pembiayaan Sekunder Perumahan

C. Pengertian Pembiayaan Sekunder Perumahan

206

Dengan demikian mortgage jika dilihat dari sisi penjaminannya merupakan bentuk yang mirip dengan Hipotek207 yang mana jaminan tersebut sekarang telah digantikan menjadi Hak Tanggungan208

205

Pasal 4 ayat (2) Perpres No 19 Tahun 2005.

206

http://www.businessdictionary.com/definition/mortgage.html

207

Pasal 1162 menyebutkan “ Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.

208

Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan menyebutkan “Hak Tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adallah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu kreditur-kreditur lain”

. Sedangkan jika kita melihat makna mortgage dari sisi perikatannya (perjanjiannya) maka dapat dilhat bahwa mortgage tersebut adalah serupa dengan apa yang

disebut sebut sebagai Kredit Pemilikan Rumah. Kredit Pemilikan Rumah adalah suatu fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan kepada para nasabah perorangan yang akan membeli atau memperbaiki rumah.209 Dengan demikian dapat dipahami bahwa Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan suatu perikatan/perjanjian pinjam-meminjam210

209

uang antara bank dan nasabah debitur dari bank tersebut.

Penyaluran dana oleh bank kepada masyarakat yang membutuhkan dana dilakukan melalui suatu perjanjian kredit, dimana perjanjian kredit tersebut dapat ditujukan kepada berbagai macam hal yang dapat bersifat produktif ataupun bersifat konsumtif, termasuk di dalamnya perjanjian kredit antara bank dan masyarakat nasabah debitur bank tersebut untuk membeli atau pemilikan rumah bagi nasabah debitur bank tersebut. Masyarakat yang ingin membeli suatu rumah pada umumnya akan menggunakan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dapat diberikan oleh suatu bank. Dalam hal ini bank dapat memberikan kredit kepada masyarakat yang hendak membeli rumah dengan balas jasa berupa bunga pada tingkatan tertentu.

Keberadaan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ini sangat membantu masyarakat yang ingin membeli rumah mengingat harga suatu rumah tergolong mahal untuk dibeli secara tunai. Namun perlu diingat bahwa Kredit Pemilikan Rumah adalah suatu kredit jangka panjang, sedangkan dalam prakteknya, dana perbankan untuk penyediaan rumah secara kredit melalui penerbitan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang berjangka panjang pada umumnya berasal dari tabungan, giro dan deposito yang merupakan dana jangka pendek. Apabila bank menerbitkan KPR secara terus menerus dengan pembiayaan bersumber pada dana jangka pendek, maka bank akan mengalami kesenjangan antara sumber dan penggunaan dana (mismatch funding).

210

Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan mobilisasi dana jangka panjang guna memenuhi kebutuhan pembiayaan perumahan yang berjangka panjang pula. Sejalan dengan program Pemerintah untuk meningkatkan kegiatan pembangunan di bidang perumahan sebagai salah satu upaya penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau oleh masyarakat, perlu diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui pembiayaan sekunder perumahan.211 Untuk melakukan kegiatan pembiayaan yang dimaksud, didirikan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan. Sumber pembiayaan sekunder perumahan di samping berasal dari modal sendiri, juga diperoleh dari penerbit Efek Beragun Aset dalam bentuk Surat Utang dan Surat Partisipasi.212

Dengan demikian dapat dipahami bahwa apa yang dimaksud dengan pembiayaan sekunder perumahan adalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada kreditur dengan melakukan sekuritsasi aset.213 Dari proses sekuritisasi tersebut kemudian dihasilkan suatu surat berharga yang disebut efek beragun aset

(asset-backed security) yang dapat bersifat ekuitas/partisipasi (saham) ataupun bersifat utang (obligasi).214

Adapun yang menjadi underlying asset dalam sekuritisasi dalam rangka pembiayaan sekunder perumahan adalah piutang-piutang/ tagihan-tagihan yang timbul dari Kredit Pemilikan Rumah. Dengan demikian jelaslah bahwa proses sekuritisasi aset dalam pembiayaan sekunder perumahan itu dibatasi hanya mengenai piutang-piutang yang terbit dari Kredit Pemilikan Rumah, yang tentunya berbeda dengan sekuritisasi aset yang lainnya

211 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 Perpres no 19 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “pembiayaan sekunder perumahan aalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada kreditor asal dengan melakukan sekuritisasi”.

212 Penjelasan Umum Perpres No 19 Tahun 2005.

213

Pasal 1 angka 11 Perpres No.19 Tahun 2005 Tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan.

214

yang dapat dilakukan atas aset-aset keuangan lainnya atau tagihan yang timbul dari segala macam bentuk perjanjian kredit.215

Dari penjabaran di atas tersebut maka dapat dipahami bahwa suatu proses sekuritsasi aset merupakan proses yang harus ada dalam pembiayaan sekunder perumahan, dimana hal itu dilakukan dengan maksud awal untuk mengalihkan piutang-piutang kepada pihak lain. Proses sekuritisasi aset dalam pembiayaan sekunder perumahan yang bertujuan untuk mengalihkan piutang tersebut adalah sesuatu yang sangat penting karena ketika suatu bank mengalihkan piutangnya hanya dengan perjanjian jual-beli piutang216 pada umumnya217

Kendala tersebut antara lain karena tidak praktis karena kreditur asal (originator) harus melakukan pengalihan piutang (cessie)

tentu akan mengalami kendala dalam pelaksanaannya.

218

Selain dari pada itu pada umumnya jumlah piutang yang akan dialihkan itu tentu harus satu persatu, dalam artian bahwa kreditur asal (originator) dalam mengalihkan piutangnya melalui jual-beli piutang pada umumnya, hanya dapat mengalihkan piutangnya terhadap sekurang-kurangnya satu orang debiturnya, dengan demikian bank harus mengalihkan seluruh piutangnya terhadap seorang debitur tersebut kepada pembeli piutang, hal ini dikarenakan asas individual (individualiteit), asas totalitas (totaliteit) dan asas tak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Maksudnya adalah bahwa seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa piutang adalah suatu benda tak

di setiap kali ada pembeli dari piutang tersebut. Sedangkan apabila bank dalam pembiayaan sekunder perumahan mengalihkan piutangnya dengan cara sekuritisasi aset maka akta cessie cukup satu kali saja dibuat, yakni antara kreditur asal (originator) dengan Issuer.

215

Gunawan Widjaja, E Paramitha Saparda, Op.cit hal 99.

216 Pasal 1533 KUHPerdata

217

Bentuk jual-beli piutang ini mempunyai bentuk yang mirip dengan anjak piutang, dimana yang dimaksud dengan anjak piutang adalah usaha yang dilakukan dengan pembelian atau pengalihan

piutang/tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri, Bismar Nasution, 2009, Hukum Kegiatan Ekonomi, Medan, Books Terrace &Library, hal 59

218

berwujud yang bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 511 angka 3 KUHPerdata yakni berupa “tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih”, oleh karena asas individualitas

(individualiteit) maka suatu hal hanya dapat diberikan sebagai benda apabila sesuatu tersebut adalah sesuatu yang dapat ditentukan secara terpisah (individueel bepaald)219

Maksudnya adalah bahwa sesuatu yang dapat dikatakan sebagai benda atau diberikan sebagai benda adalah segala sesuatu yang dapat ditentukan sebagai suatu kesatuan atau sebagai suatu jumlah atau ukuran tertentu, dengan demikian bahwa jika suatu piutang tersebut merupakan suatu benda tidak berwujud yang tidak bergerak maka tentu suatu piutang harus memenuhi asas individualitas (individualiteit), individualitas suatu piutang adalah sejumlah uang yang sama dengan sejumlah uang yang diberikan oleh kreditur untuk dipinjam oleh debitur. Dengan demikian sesuai dengan asas totalitas (totaliteit) dan asas tak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid), maka pengalihan utang dalam perjanjian jual-beli piutang oleh bank tidak dapat dilakukan secara sebagian dari jumlah piutang si bank terhadap seorang debitur kepada si pembeli piutang, hal ini dikarenakan pada perjanjian Kredit Pemilikan Rumah melekat kepada bank suatu hak tanggungan dan hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi,

.

220

oleh karenanya penyerahan hak tanggungan tidak dapat dilakukan secara sebagian melainkan harus secara totalitas, padahal dalam perjanjian jual-beli piutang pengalihan piutang tersebut mengakibatkan segala embel-embel dari piutang tersebut menjadi beralih juga, termasuk jaminan atau pembebanan yang melekat pada piutang tersebut yang dalam hal ini adalah hak tanggungan.221

Dengan demikan apabila piutang tersebut dialihkan secara sebagian maka hak tanggungannya pun beralih secara sebagian, padahal hal ini bertentangan dengan asas individualitas (individualiteit), asas totalitas (totaliteit), asas tak dapat dipisahkan

219 Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaja, 2004, Op.cit,hal 180. 220

Pasal 2 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.

221

(onsplitsbaarheid) dan tentunya bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Hal ini menyebabkan piutang bank terhadap seorang debitur harus dialihkan secara totalitas, padahal dalam hal ini jumlah piutang yang berasal dari perjanjian Kredit Pemilikan Rumah itu pada umumnya adalah piutang dalam jumlah uang yang cukup besar dan tentu saja pihak calon pembeli piutang tersebut merasa enggan untuk membelinya selain dikarenakan masalah risiko kredit juga karena masalah likuiditas terhadap piutang-piutang yang akan dibelinya itu.

Sebenarnya jika suatu bank ingin melakukan sekuritisasi terhadap asetnya, maka sekuritisasi aset itu dapat dilakukan tidak hanya terhadap piutang-piutang yang timbul dari Kredit Pemilikan Rumah saja melainkan dapat terhadap berbagai aset keuangan lainnya yang terdiri dari kredit, tagihan yang timbul dari surat berharga, tagihan yang timbul dikemudian hari (fuure receiveables) dari aset keuangan lain yang setara.222 Aset keuangan yang akan dialihkan ini selanjutnya wajib memenuhi kriteria sebagai berikut223

1) Memiliki arus kas (cash flows);

:

2) Dimiliki dan dalam pengendalian kreditur asal;

3) Dapat dipindahtangankan dengan bebas kepada penerbit.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa suatu bank hanya bisa menjadi kreditur asal

(originator) asal saja telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas. Selain itu bank juga dilarang untuk menjadi kreditur asal (originator) apabila pengalihan aset keuangan dalam rangka sekuritisasi aset mengakibatkan rasio kewajiban penyediaan modal minimum bank menurun.224

222 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No.7/4/PBI/2005

223

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia No.7/4/PBI/2005

224

Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia No.7/4/PBI/2005

Selain itu juga bank sebagai kreditur asal yang juga bertindak sebagai penyedia kredit pendukung, penyedia fasilitas likuiditas dan atau pemodal hanya dapat menyediakan

jasa-jasa terkait dengan pemberian seluruh fasilitas dalam sekuritisasi aset tersebut maksimum 20% dari nilai aset keuangan yang dialihkan.225

1. Penjualan Piutang

Dokumen terkait