• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Pendidikan Dasar

Dalam dokumen PENYEDIAAN DAN PEMERATAAN FASILITAS PEND (Halaman 41-48)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Pendidikan Dasar

2.1.2 Pengertian Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar adalah salah satu jenjang pendidikan yang harus dilewati oleh peserta didik jika menempuh jalur pendidikan formal. Menurut Ihsan (1997) jenjang pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan , yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tingkat kerumitan bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan pengajaran.

Gutek (2002) mendefinisikan pendidikan dasar sebagai tahap awal dari pendidikan formal atau terorganisasi yang mendahului sekolah lanjutan/menengah dengan cara membekali anak dengan ketrampilan-ketrampilan dasar akademis

(fundamental academic skills), ilmu pengetahuan dasar (basic knowledge) serta kemampuan bersosialisasi dengan orang lain dan menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat dan negara. Sedangkan menurut Ihsan (1997) Pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan ketrampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam bermasyarakat serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan pendidikan yang memberikan bekal dasar bagi perkembangan kehidupan baik untuk pribadi maupun masyarakat.

Peraturan Pemerintah Nomor. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan mendefinisikan pendidikan dasar sebagai jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang diselenggarakan pada satuan pendidikan berbentuk Sekolah Dasar (SD) atau bentuk lain yang sederajat serta menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau bentuk lain yang sederajat. SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar yang menyelenggarakan pendidikan umum yang terdiri atas 6 (enam) tingkatan kelas, yaitu kelas 1 sampai dengan kelas 6. Sedangkan SMP adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar yang menyelenggarakan pendidikan umum yang terdiri atas 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu kelas 7, kelas 8, dan kelas 9 sebagai lanjutan dari SD atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD. Menurut Suhartono (2009) masa pendidikan SD pada umumnya adalah 6 tahun dan SMP adalah 3 tahun.

2.1.3 Fasilitas Pendidikan Dasar

Fasilitas pendidikan dasar yang paling utama adalah sekolah. Bahkan menurut Suhartono (2009) pendidikan dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai sistem persekolahan. Reimer (1987) mendefinisikan sekolah sebagai lembaga yang menghendaki kehadiran penuh kelompok-kelompok umur tertentu dalam ruang-ruang kelas yang dipimpin oleh guru untuk mempelajari kurikulum-kurikulum yang bertingkat. Sekolah memiliki kedudukan penting dalam masyarakat karena berperan strategis sebagai institusi yang menyelenggarakan

pendidikan bagi masyarakat. Ada hubungan yang erat antara sekolah dengan masyarakat. Sekolah membentuk suatu lingkungan pembelajaran bagi anak dan menjadi pusat dinamika masyarakat (Syafaruddin, 2002).

Sebagian besar orang tua memandang pendidikan sebagai pelayanan yang paling berharga yang dapat diberikan masyarakat pada anak-anaknya sehingga mayoritas orang tua bersedia menunda pemenuhan kebutuhan yang lain untuk mendukung pendidikan anak (Golany, 1976). Terbatasnya kemampuan dan pengetahuan orang tua sebagai akibat dari perkembangan ilmu dan teknologi, menurut Ihsan (1997) menyebabkan orang tua tidak mampu mendidik anaknya sehingga mempercayakan pada sekolah untuk mendidik anak mereka dalam bidang ilmu dan teknologi. Scotter et al. (1979) dalam Syafaruddin (2002) mengatakan bahwa orang tua memiliki harapan besar terhadap pengembangan potensi dan kemampuan anak melalui sekolah. Sekolah berperan penting dalam pembinaan pribadi anak serta sosialisasi dan pembudayaan suatu bangsa.

2.2 Penyediaan Fasilitas Pendidikan Dasar

Penyediaan fasilitas pendidikan berupa sekolah adalah salah satu aspek yang paling penting dalam pembangunan pendidikan. Ketersediaan sekolah, menurut Hartono (2005), merupakan pertimbangan utama bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Menurut Sa’ud (2006) dalam Yuniarsih et al. (2008) agar kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dapat terpenuh i maka perlu disediakan lembaga-lembaga dan fasilitas pendidikan.

Akhmadi et al. (2003) dan Syahza (2008) menyatakan keberlanjutan sekolah seorang siswa juga dipengaruhi oleh penyediaan fasilitas pendidikan. Menurut Suryadharma et al. (2006) jumlah tertinggi angka putus sekolah pada anak-anak di Indonesia terjadi diantara jenjang pendidikan, misalnya banyak lulusan SD yang kemudian tidak melanjutkan studinya ke SMP, menyediakan lebih banyak sekolah akan meningkatkan kemungkinan peserta didik untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Penyediaan fasilitas pendidikan dasar dapat didefinisikan sebagai pengalokasian fasilitas pendidikan dasar berupa sekolah dalam jumlah, jenis dan daya tampung tertentu guna memberikan kesempatan terhadap seluruh masyarakat

untuk mendapatkan pendidikan. Menurut Pagala et al. (2008) variabel yang mempengaruhi efisiensi dan efektifitas penyediaan sekolah dasar (SD) adalah luas daerah yang dilayani sekolah, jumlah penduduk, lokasi sekolah dan jarak tempuh menuju sekolah. Untuk mengukur tingkat penyediaan sekolah dapat dilakukan dengan membandingkan antara jumlah sekolah yang ada dengan jumlah sekolah yang dibutuhkan sebagai berikut (Analisis, 2010):

Σ S

A = --- (2.1)

Σ D Dimana:

A = Tingkat ketersediaan (availability) sekolah Σ S = Jumlah sekolah yang tersedia (supply) Σ D = Jumlah sekolah yang dibutuhkan (demand)

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) harus disediakan sekurang-kurangnya satu SD dengan enam rombongan belajar untuk 2.000 penduduk atau satu kelurahan, sedangkan pada wilayah berpenduduk lebih dari 2.000 Jiwa maka sarana dan prasarana di SD yang telah ada dapat ditambah untuk melayani tambahan rombongan belajar atau disediakan SD yang baru. Selain itu dalam tiap kecamatan harus ada setidaknya satu SMP. Semua lulusan SD dari kecamatan tersebut harus dapat ditampung oleh SMP yang ada di Kecamatan itu sendiri.

2.2.1 Jumlah dan Jenis Sekolah

Sekolah harus disediakan dalam jumlah dan jenis yang mencukupi. Jumlah sekolah merupakan indikator paling umum yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat penyediaan sekolah. Mutmainah et al. (2008) menggunakan indeks aksesibilitas Hansen untuk mengukur ketersediaan (availabilitas) fasilitas pendidikan berdasarkan jumlah sekolah yang ada di Kabupaten Grobogan. Indeks aksesibilitas Hansen dihitung menggunakan rumus (Tarigan, 2008):

Ej

Aij = --- (2.2)

dijb

Dimana :

Aij = Accesibility Index daerah i terhadap daerah j. Ej = Total lapangan kerja di daerah j.

dij = Jarak antara i dan j. b = Pangkat dari dij.

Indeks aksesibilitas adalah faktor utama bagi seseorang dalam memilih lokasi bertempat tinggal. Faktor jumlah lapangan kerja (Ej), dalam konteks pendidikan oleh Mutmainah et al. (2008) diganti dengan jumlah sekolah yang tersedia.

Jenis sekolah adalah pengelompokkan/kategorisasi sekolah berdasarkan bentuk satuan pendidikan, status pengelolaan, standarisasi dan akreditasi sekolah. Menurut Ihsan (1997) satuan pendidikan adalah satuan dalam sistem pendidikan nasional sebagai arena belajar. Satuan pendidikan harus dapat menciptakan suasana yang menunjang perkembangan peserta didik sesuai tujuan dan fungsi sistem pendidikan nasional. Sedangkan jenis pendidikan adalah satuan pendidikan yang dikelompokkan sesuai sifat dan tujuannya.

Berdasarkan bentuk satuan pendidikannya, sekolah dikdas dibedakan menjadi SD dan SMP. Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar yang terdiri atas 6 (enam) tingkatan kelas, yaitu kelas 1 sampai dengan kelas 6. Sedangkan SMP adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar yang terdiri atas 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu kelas 7, kelas 8, dan kelas 9 sebagai lanjutan dari SD atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD.

Berdasarkan statusnya pengelolaannya, sekolah dikdas dapat dibedakan menjadi sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri yaitu sekolah yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah/pemerintah daerah sedangkan sekolah

swasta adalah sekolah yang dimiliki dan dikelola oleh non pemerintah/pemerintah daerah, biasanya oleh yayasan yang bergerak di bidang sosial atau pendidikan.

Bila ditinjau dari aspek standarisasi mutu atau kualitasnya sekolah dapat dibedakan menjadi Sekolah Kategori Mandiri (SKM)/Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Non Standar. SKM/SSN adalah sekolah yang hampir atau sudah memenuhi standar nasional pendidikan yang meliputi delapan standar yaitu standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (Depdiknas, 2008). Sekolah non standar berarti sekolah yang belum memenuhi standar nasional pendidikan.

Secara umum jenis sekolah dapat ditinjau dari aspek akreditasi sekolah. Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non-formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yang dilakukan dilakukan secara objektif, adil, transparan, dan komprehensif sebagai bentuk akuntabilitas publik dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada standar nasional pendidikan (Sudrajat, 2009).

Akreditasi tersebut dilaksanakan menggunakan teknik skoring terhadap komponen-komponen penyelenggaraan sekolah (komponen akreditasi) oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). Pasal 86 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan perlunya dilakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan atau satuan pendidikan. Berdasarkan ketentuan Permendiknas No. 11/2009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan berdasarkan ketentuan Permendiknas No. 12/2009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah dinyatakan terakreditasi jika memenuhi seluruh kriteria berikut:

1. Memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sekurang-kurangnya 56.

2. Tidak lebih dari dua Nilai Komponen Akreditasi Skala Ratusan <56. 3. Tidak ada Nilai Komponen Akreditasi Skala Ratusan <40.

Sekolah dinyatakan tidak terakreditasi jika tidak memenuhi kriteria di atas. Sedangkan pemeringkatan akreditasi sekolah adalah sebagai berikut:

1. Peringkat akreditasi A (Sangat Baik) jika sekolah/madrasah memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 86 sampai dengan 100 (86 < NA < 100). 2. Peringkat akreditasi B (Baik) jika sekolah/madrasah memperoleh Nilai Akhir

Akreditasi (NA) sebesar 71 sampai dengan 85 (71 < NA < 85).

3. Peringkat akreditasi C (Cukup Baik) jika sekolah/madrasah memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 56 sampai dengan 70 (56 < NA < 70).

Pada perkembangannya kemudian diperkenalkan juga konsep-konsep seperti sekolah unggulan, sekolah kawasan, sekolah berstandar internasional (SBI) atau sekolah nasional berstandar internasional (SNBI). Menurut Nurkolis (2002) dalam Yuniarsih et al. (2008) sekolah unggul adalah sekolah yang meningkatkan kinerjanya secara terus menerus dan menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk mengembangkan prestasi peserta didik. Keunggulan sekolah juga terletak pada bagaimana cara pengelolaan sekolah sebagai organisasi.

Menurut Sahudi (2008) dalam Yuniarsih et al. (2008) sekolah kawasan adalah sekolah yang dibentuk berdasarkan kedekatan geografis. Konsep sekolah kawasan dianggap mampu mewujudkan pemerataan mutu dan menghilangkan kesenjangan pendidikan. Sekolah kawasan diharapkan dapat mengatasi kurangnya pemerataan siswa. Selama ini siswa hanya mendaftar di sekolah tertentu sehingga ada sekolah yang memiliki pendaftar berlimpah sementara disisi lain ada sekolah yang kekurangan pendaftar. Program sekolah kawasan menyangkut tiga hal yang meliputi peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, manajemen sekola h, dan sistem pembelajaran. Sekolah berstandar internasional (SBI) adalah sekolah yang telah memenuhi standar nasional pendidikan dan penyelenggarakan serta l ulusan berciri internasional. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan minimal satu buah satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan sebagai satuan pendidikan bertaraf internasional. (Yuniarsih et al, 2008).

Indeks Aksesibilitas Hansen dalam konteks pendidikan, terkait dengan jumlah dan jenis sekolah, dapat dituliskan sebagai berikut (Analisis, 2010):

(Sj) (Rsj) (Raj)

Aj = --- (2.3)

dijb

Dimana :

Aij = Accesibility Index daerah j.

Sj = Jumlah sekolah di daerah j.

Rsj = Rasio sekolah yang terstandarisasi SKM/SSN di daerah j. Raj = Rasio sekolah yang terakreditasi di daerah j.

dij = Jarak, digunakan jarak rata-rata antar Kecamatan. b = Pangkat dari dij, ditetapkan 2.

Dalam dokumen PENYEDIAAN DAN PEMERATAAN FASILITAS PEND (Halaman 41-48)

Dokumen terkait