• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GENDER DAN PENDIDIKAN

B. Pendidikan

1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan dapat diartikan dengan pengertian yang sangat luas meskipun juga cenderung dibatasi oleh sementara pemikir. Banyak sekali pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli, maka penulis berusaha untuk memaparkan pandangan para pakar mengenai definisi pendidikan.

Para ahli pendidikan mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: Dr. Kartini Kartono (1977: 10), mengatakan pedagogi (pendidikan, ilmu mendidik) pada masa dahulu berarti ilmu mengajar dan mentransmisikan/menyebarkan pengetahuan; sebagai alat-bantu guna mengoperkan pengetahuan yang diformalkan.

Definisi pendidikan tersebut di atas seolah-olah memberikan sebuah justifikasi bahwa pendidikan semata-mata dipahami sebagai kegiatan mentransfer pengetahuan kepada murid. Namun, jika membaca lebih lanjut, sebenarnya makna kata pedagogi menurut Dr. Kartini Kartono sebagaimana

ungkapannya, “pada masa sekarang pedagogi mendapatkan arti modern, yaitu

sebagai proses kultural guna memekarkan bakat, potensi dan multi- kemungkinan yang ada pada setiap individu. Sebab itu pendidikan merupakan rangkaian kegiatan yang kompleks, dibantu oleh teknik ilmiah dan metode cybernetic guna mempengaruhi individu serta kelompok manusia untuk membangun diri dan membangun dunia sekitar.

Menurutnya, pendidikan lebih merupakan proses mempengaruhi juga proses pembentukan yang terorganisir, direncanakan, diawasi, dinilai dan

dikembangkan secara terus-menerus dan berkala. Karena itu pedagogi (lebih baik disebut sebagai andragogy = pendidikan/ilmu mendidik manusia; Andros = manusia, agoo = menuntun, membimbing) ialah ilmu membentuk manusia, agar supaya dia bisa mandiri, dan selalu bertanggung jawab secara susila sepanjang hidupnya.

Plato (Choiri, 2008: 231-232) mengemukakan bahwa pendidikan sebagai proses maupun hasil. Sebagai proses, pendidikan memiliki tugas dan fungsi menyiapkan warga untuk kemampuannya hidup di masyarakat. Fungsi ini didelegasikan pada sekolah karena diasumsikan bahwa manusia dibagi ke dalam tiga kelas yang berbeda. Jika kebutuhan dibedakan oleh masing-masing individu bertanggungjawab dan fungsi sekolah diletakkan pada tempat yang proporsional. Selanjutnya sebagai hasil, sekolah memiliki fungsi “turning out”

“turning out” yakni menghasilkan individu yang mampu berkontemplasi

dengan alam dengan ide yang abstrak, raja philosof, yang menjadikan sesuatu itu sesuai dengan seluruh keuntungan pengetahuan yang benar dari kebaikan yang absolut. Pandangan ini terkesan klasik, Plato justru terkenal dan meletakkan pandangan baru bagi para ahli bahwa filsafat diperuntukkan juga untuk memberi perlakuan pada masalah pendidikan.

W. J. S. Poerwadarminta menjelaskan, secara linguistis, sebagai kata benda, pendidikan menurutnya merupakn proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang (individu) atau kelompok orang (komunitas) dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan latihan. Sementara itu, Rechey

dalam bukunya, Planing for Teaching, an introduction, menjelaskan bahwa pendidikan adalah “The term education refers to the broad function of preserving and improving the life of the group through bringing new members into its shared concern. Education is thus a far broader process than that which occurs in schools. It is an essencial social activity by which communities continue to exist. In comples communities, this function is specialized and institutionalized in formal education, but there is always the education outside

the school with which the formal procces in related” (istilah pendidikan

berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama untuk memperkenalkan warga masyarakat baru (generasi muda) pada pengenalan terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya ditengah masyarakat. Jadi, proses pendidikan jauh lebih luas daripada proses yang berlangsung disekolah. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial penting yang berfungsi untuk mentransformasikan keadaan suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Keterkaitan pendidikan dengan keadaan sosial sangatlah erat sehingga penddikan mungkin mengalami proses spesialisasi dan institusionalisasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang komplek dan modern. Meskipun demikian, proses pendidikan secara menyeluruh tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan informal yang berlangsung di luar sekolah) (Tatang S, 2012: 13-14).

Sementara itu, pendidikan menurut John Dewey adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.

J. J. Rousseau mendefinisaikan pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada masa dewasa.

Charter V. Good mengatakan bahwa pendidikan adalah: a). Seni, praktik, atau profesi mengajar. b). Ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan dan bimbingan murid; dalam arti luas digantikan dengan istilah pendidikan.

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Dalam UU no. 2 tahun 1989 pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Sementara itu, dalam UU no. 20 tahun 2003 pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Fathurrahman, 2012: 1-2).

Nurani Soyomukti (2013: 27-28) di dalam bukunya Teori-teori Pendidikan memberikan definisi pendidikan sebagai:

Proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Jadi, banyak hal yang dibicarakan ketika kita membicarakan pendidikan. Aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan antara lain:

1) Penyadaran; 2) Pencerahan; 3) Pemberdayaan; 4) Perubahan perilaku.

Lebih lanjut ia menjelaskan tentang pendidikan bahwa:

Pendidikan berkaitan dengan bagaimana manusia dipandang. Dalam hal ini, pandangan ilmiah tentang manusia memiliki implikasi terhadap pendidikan. Ini merupakan wilayah studi antropologi pendidikan. Antropologi sendiri merupakan ilmu tentang asal usul, perkembangan, karakteristik jenis (spesies) manusia atau studi tentang manusia.

Juga banyak aspek lain yang harus kita pahami untuk memahami makna pendidikan. Arti pendidikan itu sendiri juga menimbulkan berbagai macam pendidikan, termasuk bagaimana pendidikan harus diselenggarakan dan metode seperti apa yang harus dipakai.

Selanjuntnya, dalam bukunya Nurani Soyomukti (2013: 29-31) juga Siti Murtiningsih (2004: 3), dengan mengutip pendapat dari berbagai pihak membagi pendidikan dalam dua kategori yakni, pendidikan dalam arti luas dan pendidikan dalam arti sempit. Pendidikan dalam arti luas yaitu:

Pendidikan dalam arti luas dapat diartikan sebagai “proses tanpa

akhir yang diupayakan oleh siapa pun, terutama (sebagai tanggung jawab) Negara. Sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kesadaran

dan ilmu pengetahuan, pendidikan telah ada seiring dengan lahirnya peradaban manusia. Dalam hal inilah, letak pendidikan dalam masyarakat sebenarnya mengikuti perkembangan corak sejarah manusia. Tidak heran jika R.S. Peters dalam bukunya The Philosophy of Education menandaskan bahwa pada hakikatnya pendidikan tidak mengenal akhir karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat. Kaum humanis romantik seperti John Holt, William Glasser, Jonathan Kozol, Charles E. Silberman, George Leonard, Carl Rogers, Ivan Illich, John Dewey, dan sebagainya, cenderung mendefinisikan pandidikan dalam arti mahaluas dan mengecam praktik pendidikan di sekolah yang mereka jumpai. Sekolah, menurut mereka, justru mendehumanisasikan kemanusiaan. Mereka, misalnya, mengkritik pola hubungan antara guru dengan murid yang ototriter dan sekolah yang memasung perkembangan individualitas.

Ivan Illich, misalnya, adalah tokoh radikal humanis yang berada pada kelompok ini. Konsep sekaligus judul karyanya, Deschooling Society (Masyarakat Tanpa Sekolah) bisa dipandang sebagai penolakan komprehensif terhadap sekolah formal yang memasung kebebasan dan perkembangan manusia. Sekolah dianggapnya sama sekali tidak memadai bagi perkembangan anak-anak dan kaum muda.

Sementara itu, pendidikan dalam arti sempit dijelaskan oleh Soyomukti (2013: 40-46) sebagai berikut:

Dilihat dari maknanya yang sempit pendidikan identik dengan sekolah. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga tempat mendidikan (mengajar). Pendidikan merupakan segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja (usia sekolah) yang diserahkan kepadanya (sekolah) agar mempunyai kemampuan kognitif dan kesiapan mental yang sempurna dan berkesadaran maju dan berguna bagi masyarakat untuk terjun ke masyarakat, menjalin hubungan sosial, dan memikul tanggung jawab mereka sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Jadi, cara pandang sempit ini membatasi proses pendidikan berdasarkan waktu atau masa pendidikan, lingkungan pendidikan maupun bentuk kegiatan. Pendidikan berlangsung dalam waktu yang terbatas, yaitu masa anak dan remaja. Anak-anak yang tidak masuk sekolah dianggap menakutkan. Bahkan, orangtua takut terlambat

menyekolahkan anaknya. Lingkungan pendidikan pun diciptakan secara khusus dengan standar dan syarat-syarat bagi penyelenggaraan pendidikan. Ada ruang kelas, ruang administrasi, ruang guru, tempat latihan olahraga dan seni, ada laboratorium untuk melakukan tes dan penelitian.

Mazhab psikologi yang paling mendukung proses pendidikan dalam arti sempit ini adalah kaum Behavioris. Tokoh-tokohnya antara lain B. Watson, B. F. Skinner, Lester Frank Ward, dan sebagainya. Para pendahulu aliran pengetahuan dan psikologi ini adalah Isaac Newton, yang mengembangkan metode ilmiah di bidang-bidang ilmu fisik…

Kaum Behavioris sangat meyakini sekolah sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, dan pesimis atau meragukan model pendidikan yang hanya mengandalkan pengalaman hidup yang tak dilembagakan. Mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap masa depan sekolah sebagai hal ihwal yang berkaitan dengan rekayasa pengubahan tingkah laku.

Aliran psikologi ini tampaknya menganggap manusia hanya sebagai salah satu jenis binatang, tanpa perbedaan esensial dengan jenis-jenis binatang lainnya dan memiliki kecenderungan-kecenderungan merusak dan anti-sosial yang sama… Lihatlah pernyataan salah seorang pemikir Behavioris, Lester Frank Ward, berikut ini.

“Setiap anak dilahirkan di dunia, hendaknya dipandang oleh

masyarakat ibarat bahan mentah yang harus diolah dalam pabrik. Alam tak dapat diandalkan dalam mengembangkan kemampuan individu. Pengembangan kemampuan individu harus direncanakan dan sebahagian besar rencana tersebut harus dilaksanakan dalam sekolah yang baik. (Soyomukti, 2013: 48).

Banyak sekali definisi pendidikan yang diberikan oleh para ahli dan pakar pendidikan sebagaimana telah penulis uraikan di atas, namun semuanya itu sedikit atau banyak hampir selalu memiliki perbedaan baik secara redaksional maupun secara maknawi, baik secara tujuan dan prosesnya, dan bermacam-macam perbedaan yang tentunya dilatarbelakangi oleh berbagai hal sesuai dengan pribadi dan kecenderungan masing-masing ahli. Adapun dari bermacam definisi yang beragam tersebut penulis menemukan sedikit titik temu

dan keseragamannya, yakni semuanya mengarah para unsur-unsur kebendaan, keduniawian dan sama-sama bernalar menggunakan pemikiran-pemikiran layaknya seorang ahli pendidikan umum, inilah yang menjadikan definisi pendidikan yang dimaksud berbeda dengan definisi-definisi yang diuraikan oleh para pakar pendidikan Islam yang hampir dapat dipastikan semuanya diilhami oleh semangat risalah al-Qur‟an sebagai wahyu dan Sunnah nabi

sebagai teladan yang sempurna yang diuraikan pada bahagian selanjutnya.

Dokumen terkait