• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V GENDER DALAM PANDANGAN M QURAISH SHIHAB

B. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Keluarga Menurut

2. Perempuan Sebagai Anak

Penulis telah menguraikan pandangan Quraish Shihab mengenai

konteks mendidik dan membentuk watak anak‒oleh sebab itu, pada bagian

selanjutnya penulis berusaha menguraikan kedudukan perempuan sebagai anak dalam pandangan Quraish Shihab.

Ajaran Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, bahkan semua agama dan budaya memerintahkan anak untuk berbakti kepada kedua orangtua, ibu dan bapak, lebih-lebih agama Islam dan budaya timur. Ihsân (bakti) kepada orangtua yang diperintahkan agama fitrah (Islam) menurut Quraish Shihab adalah bersikap sopan santun kepada keduanya dalam ucapan dan pebuatan, sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat, sehingga mereka merasa senang terhadap kita, serta mencukupi kebutuahn-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan kita (sebagai anak). Tidak termasuk sedikit pun (dalam kewajiban berbuat baik/berbakti kepada keduanya) sesuatu yang mencabut kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau rumah tangga atau jenis-jenis pekerjaan yang bersangkut paut dengan pribadi anak, agama, atau negaranya (Shihab, 2007: 131).

Contoh nyata dari pandangan Quraish Shihab tentang kebebasan anak dalam menentukan pilihan hidupnya adalah pandangannya mengenai bolehnya seorang anak tidak mengikuti anjuran atau larangan orangtua dalam memilih pasangan hidup, dalam fatwanya, dengan merujuk hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasâ‟î (juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah,

hadis nomor 1874, ed.) melalui istri Nabi, „Â‟isyah. Bahwa, “Seorang

„Ayahku akan mengawinkan aku dengan anak saudaranya, dengan tujuan

untuk mengangkat‒melalui aku‒reputasinya, padahal aku tidak suka padanya.‟ „A‟isyah ra., berkata, „Duduklah menunggu kedatangan Rasulullah.‟ (Ketika beliau datang dan wanita itu menyampaikan

(persoalan)nya, Rasulullah mengutus seseorang kepada ayah gadis itu agar menemui beliau. (Ketika sang ayah datang) Rasul saw., menyerahkan kepada sang anak untuk menetapkan pilihannya. (Akan tetapi, setelah

pilihan berada di tangannya), wanita tersebut berkata, „Aku setuju dengan

apa yang dilakukan ayahku. Akan tetapi (pengaduan ini kulakukan) karena aku ingin wanita-wanita mengetahui bahwa seorang ayah tidak mempunyai wewenang dalam hal ini (perkawinan).

Namun, ada hal lain yang menurut Quraish Shihab harus menjadi pertimbangan dalam hal ini, yaitu hubungan baik dan kesediaan

berkorban untuk menyenangkan orangtua‒sebagaimana hadis yang

diriwayatkan oleh an-Nasâ‟î tersebut (Shihab, 2010: 526-527).

Quraish Shihab berpendapat bahwa dalam masalah rumah tangga termasuk menentukan calon pendamping hidup, pekerjaan, agama, dan Negara seorang anak secara umum diberikan kebebasan untuk menentukan jalannya sendiri. Kebebasan ini tentu tidak hanya berlaku bagi laki-laki saja, melainkan juga bagi anak perempuan. Jika demikian halnya, muncul pertanyaan bagaimanakah hak dan kebebasan perempuan dalam menuntut ilmu atau studi?

Siapa yang bepergian untuk menuntut ilmu yang dinilainya wajib untuk mengembangkan dirinya atau untuk berbakti kepada agama dan negaranya, atau bepergian untuk memperoleh pekerjaan yang bermanfaat bagi diri, atau umatnya, sedangkan orangtua atau salah satu dari keduanya

tidak setuju‒karena dia tidak mengetahui nilai pekerjaan itu‒maka sang

anak tidak dinilai durhaka, bukan dinilai tidak berbkati, dari segi pandangan akal dan syar‟ (Shihab, 2007: 131). Kebolehan yang dimaksud oleh Quraish Shihab tidak hanya terbatas bagi laki-laki, untuk menangkis anggapan itu Quraish Shihab (2007: 359-360) menulis.

Kepergian perempuan untuk studi‒walau tanpa mahram‒dapat

dibenarkan selama terjamin kehormatan dan keselamatannya serta tidak mengundang kemaksiatan. Memang, ada larangan

Nabi saw., bagi perempuan untuk bepergian tanpa “mahram”,

tetapi larangan itu harus dipahami berdasarkan „illat (motif)nya, bukan sekedar bunyi teksnya. Larangan tersebut disebabkan oleh kekhawatiran terjadinya gangguan terhadap mereka di perjalanan, atau ikut sertanya setan merangsang untuk melakukan dosa, atau timbulnya isu negatif dari kepergiannya sendiri tanpa ditemani oleh mahram. Akan tetapi, jika perempuan berangkat bersama- sama dengan orang lain yang dapat menampik kekhawatiran tersebut atau ketika ia diantar, katakanlah ke bandara dan akan dijemput di bandara yang dituju masing-masing oleh yang terpercaya, ketika itu agama tidak melarangnya bepergian walau sendirian.

Penjelasan Quraish tersebut sekaligus menampik anggapan yang mungkin saja muncul bahwa kebolehan perempuan pergi untuk studi hanya dalam jarak yang relatif dekat, walaupun dengan alasan demi keamanan. Alasan Quraish Shihab cukup relevan dengan mengemukakan kondisi yang kemungkinan besar dapat menjamin keamanan setiap orang.

Kebolehan yang wajar diberikan kepada perempuan dalam rangka menempuh pendidikan tidak hanya dalam konteks tempat yang akan dituju, tetapi juga kebolehan memilih bidang keilmuan yang ingin dipelajari. Dengan pesatnya kemajuan berbagai disiplin ilmu pengetahuan saat ini, kewajiban perempuan untuk belajar tidak lagi hanya terbatas pada disiplin ilmu agama, tetapi telah meluas sedemikian rupa sehingga lapangan studi mereka pun dapat mencakup bayak sekali disiplin ilmu (Shihab, 2007: 359).

Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mendidik anak adalah pengertian dan kesadaran orangtua terhadap wujud dan kepribadian sang anak. Cinta kepada anak hendaknya tidak mengantar orangtua memaksa sang anak untuk menjadi seperti mereka, atau

“kelanjutan” mereka. Cinta adalah hubungan mesra antara dua “aku”

(Shihab, 2008: 214). Cinta orangtua kepada anak yang digambarkan oleh Quraish Shihab sejalah dengan makna cinta yang dikemukakan oleh Harits al-Muhâsibî dari Junaidi al-Baghdadi, “Cinta adalah kecenderunganmu

secara total dan lebih mengutamakan sang kekasih ketimbang dirimu sendiri, ruhmu, dan hartamu. Engkau menyesuaikan dirimu dengannya lahir batin dan mengetahui keterbatasanmu dalam mencintainya” (Ahmad, 2009: 20-21).

Kalau orangtua memaksakan anaknya menjadi “kelanjutannya” atau “sama dengannya”, maka pudarlah cinta. Karena ketika itu “aku” hanya ada satu, sedangkan “cinta” seperti dikemukakan di atas adalah “hubungan mesra antara dua „aku‟”. Seorang anak,

berapa pun usianya, adalah seorang manusia yang memiliki jiwa, perasaan dan kepribadian (Shihab, 2008: 214).

Demikian ungkapan indah yang mengandung unsur pendidikan psikologis penulis letakkan sebagai penutup uraian tentang pandangan Quraish Shihab terhadap hak dan kebolehan anak perempuan untuk menentukan tempat dan bidang studi yang dipilihnya. Penjelasan- penjelasan di atas menunjukkan dengan sangat terang bahwa Quraish Shihab berpendapat, dalam situasi dan kondisi seperti sekarang menuntut ilmu bahkan ke tempat yang jauh bukanlah sebuah larangan bagi perempuan tapi sebuah kebolehan yang niscaya, dan termasuk ke dalam kebolehan itu adalah memilih dan menentukan sendiri bidang studi yang akan ditempuh.

Dokumen terkait