• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKREDITAN RAKYAT

2.2 Perjanjian Kredit

2.2.1 Pengertian perjanjian kredit

Salah satu fungsi perbankan sebagai penyalur dana masyarakat dengan cara memberikan kredit melahirkan hubungan hukum antara bank (kreditur) dan nasabah peminjam dana (debitur). Jane P. Mallor dalam bukunya yang berjudul

Business Law : The Ethical And E-commerce Enviorment menyatakan “To minimize his credit risk, a creditor may contract for security”.38 Berdasarkan pernyataan tersebut sebelum memberikan kredit kepada debitur, bank sebagai kreditur mengadakan suatu perjanjian atau kesepakatan untuk memperkecil resiko dan guna mengamankan pemberian kredit. Bentuk hubungan hukum antara bank dan nasabah peminjam dana adalah kesepakatan pinjam meminjam yang dalam praktik perbankan dinamakan dengan perjanjian kredit (akad kredit). Perjanjian kredit berisi suatu janji oleh kreditur untuk memberikan sejumlah dana dan suatu janji oleh debitur untuk membayar kembali dana tersebut pada tanggal tertentu.

38

Jane P. Mallor, 2010,Business Law : The Ethical And E-commerce Enviorment, McGraw-Hill Companies, New York, h.719.

Sebelum menguraikan mengenai pengertian perjanjian kredit, terlebuh dahulu dapat diuraikan mengenai pengertian perjanjian. Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian adalah peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing- masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan.39

Dilihat dari jenis perjanjian, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian timbal balik artinya jika pihak nasabah debitur tidak memenuhi isi perjanjian maka salah satu pihak dapat menuntut pihak lainnya sesuai dengan jenis prestasinya. Penyerahan uang dalam perjanjian kredit bank merupakan perjanjian sepihak, artinya jika pihak tidak merealisasikan pinjaman uang, maka nasabah debitur tidak dapat menuntut bank dengan alasan ingkar janji, demikian juga sebaliknya kalau nasabah debitur tidak mau mengambil pinjaman uang setelah diberitahukan oleh bank, maka bank tidak dapat menuntut nasabah debitur.40

Dalam praktik perbankan perjanjian kredit umumnya dibuat secara tertulis baik dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan dan ini akan merupakan bukti kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal ingkar janji oleh pihak bank. Dasar hukum perjanjian kredit dapat dilihat dalam pasal 1 butir 11 UU Perbankan. Dalam pasal

39

Hermansyah, 2008,Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, h.71.

40

tersebut menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat berdasarkan perjanjian. Perjanjian itu lahir berdasarkan kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan peminjam dana. Perjanjian tersebut lazim disebut perjanjian kredit.

R. Subekti berpendapat bahwa :

“Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam- meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769”.41

Kemudian Marhaenis Abdul Hay mengemukakan pendapat yang sama bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata. Kemudian pendapat senada dikemukakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman yang menyatakan bahwa :

“ Dari rumusan yang terdapat di dalam UU Perbankan mengenai pengertian kredit, dapat disimpulkan dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam KUHPerdata pasal 1754. Perjanjian pinjam meminjam ini juga mengandung makna yang luas, yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah”42

41

Rachmad Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,h.261.

42

Djuhaendah Hasan mengemukakan pendapat yang berbeda, beliau berpendapat bahwa perjanjian kredit tidak tepat dikatakan dikuasai oleh ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum, karena antara perjanjian pinjam meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa hal berbeda. Perbedaan dimaksud anatara lain :

1. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam perjanjian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima tersebut, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas

2. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan dan tidak mungkin diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberi pinjaman dapat oleh individu

3. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan pinjam- meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meinjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam Undang- Undang 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata, Undang-Undang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah dalam Bidang Ekonomi, terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia dan sebagainya

4. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman harus disertai bunga, imbalan atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan

5. Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan, baik materiil maupun immateriil. Sedangkan dalam perjanjian pinjam- meminjam jaminan merupakan pengaman bagi kepastian pelunasan utang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan ini hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja.43

Perjanjian kredit bank tidak identik dengan perjanjian pinjam meminjam sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata baik ditilik dari segi pengertian,

43

subjek pemberi kredit, pengaturan, tujuan dan jaminannya. Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang yang bersifat konsensual riil dan merupakan perjanjian tidak bernama (onbeniem de overeentskomst). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perjanjian kredit bank tersebut lahir karena adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang merupakan dasar hubungan hukum antara bank dengan nasabah peminjam dananya, dengan beberapa karakter tertentu. 2.2.2 Syarat- syarat sahnya perjanjian kredit

Syarat-syarat sahnya perjanjian kredit terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata antara lain sebagai berikut :

1. Adanya kesepakatan

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Dengan adanya kata sepakat maka perjanjian itu telah terjadi atau terwujud. Sejak saat itu pula perjanjian menjadi mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan. Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata pada prinsipnya kekuatan mengikat perjanjian setelah tercapainya kata sepakat sangat kuat sekali. Sehingga suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau suatu perjanjian tidak boleh ditarik kembali secara sepihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Menurut pasal 1321 KUHPerdata

kata sepakat tidak sah apabila diperoleh karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau tipuan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa tidak cakap dalam membuat perjanjian adalah

a. Orang-orang yang belum dewasa

Menurut pasal 330 KUHPerdata Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.44 b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

Mereka yang dibawah pengampuan sesuai ketentuan pasal 433 KUHPerdata adalah orang dungu, sakit otak, mata gelap dan boros. Mereka yang dibawah pengampuan harus dibuktikan di mana orang yang bersangkutan telah ditaruh dibawah pengampuan berdasarkan penetapan pengadilan.

c. Orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dalam Pasal 108 KUHPerdata menyatakan bahwa wanita yang telah bersuami tidak cakap membuat perjanjian dan karenanya ia harus meminta ijin dari suaminya.

3. Hal tertentu

Hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian baik berupa barang atau jasa yang dapat dinilai dengan uang. Dalam pasal 1333 KUHPerdata menentukan

44

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara, Tanpa Tahun Terbit, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press,Denpasar, h.57.

bahwa barang yang menjadi objek perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya misalnya jenis barang yang tampak oleh mata dapat ditentukan dengan cara menghitung, menimbang, mengukur, menakar, menentukan batas, menentukan kualitas.

4. Suatu sebab yang halal

Syarat yang terakhir adalah suatu sebab yang halal, dimana untuk membuat suatu perjanjian menjadi sah menurut pasal 1320 KUHPerdata adalah harus terpenuhinya unsur sebab yang halal. Suatu sebab yang halal adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan dan kesusilaan. Dalam pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian dinyatakan tidak memiliki kekuatan jika dibuat tanpa sebab atau dibuat berdasarkan sebab yang palsu atau sebab yang terlarang.

Syarat pertama dan kedua dalam pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif karena menyangkut subjek yang membuat perjanjian. Bila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian atas permohonan yang bersangkutan dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim yang berlaku sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap.

Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena menyangkut objek dari perjanjian dan bila salah satu dari syarat tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum dimana perjanjian tersebut dianggap tidak pernah terjadi atau tidak pernah ada.

Dokumen terkait