• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

2. Pengertian Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama terdapat beberapa pendapat dari para sarjana, yaitu :

a. Abdurrahman

Yang dimaksud dengan perkawinan antar agama adalah :

“Suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang

lainnya.” (Abdurrahman dan H Riduan Syahrani, 1978:20)

Dari definisi di atas sangat jelas bahwa perkawinan tersebut dapat dilakukan oleh orang-orang yang berbeda agama. Didalam Hukum Islam, terdapat dua pandangan mengenai perkawinan beda agama yaitu menyatakan bahwa perkawinan beda agama dengan golongan musyrik dilarang (haram). Pandangan kedua, dikenal adanya perkawinan beda agama (halal), hal ini didasarkan pada surat Al- Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini wanita non Muslim, tapi tidak berlaku untuk sebaliknya. b. R. Soetojo Prawirohamidjojo.

Mengemukakan mengenai perkawinan antar agama adalah : 1) Pandangan agama Kristen Katholik dalam hal Perkawinan beda

commit to user

adalah, bahwa gereja baik Katholik maupun Prostestan, tidak dapat mengakui perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen Katholik dengan akad nikah menurut Hukum Islam.

2) Pandangan agama Islam adalah bahwa seorang pria Islam boleh mengawini wanita-wanita ahlul kitab (selain Islam) akan tetapi tidak boleh sebaliknya, yaitu wanita Islam tidak boleh dikawini oleh pria yang bukan Islam (R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1986:6). Dalam pandangan ini dikenal adanya perkawinan beda agama (halal), hal ini didasarkan pada surat Al- Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini wanita non Muslim, tapi tidak berlaku untuk sebaliknya.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur masalah perkawinan beda agama tetapi secara tegas tidak melarang pelaksanaan perkawinan bagi orang yang berbeda agama, karena Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur masalah perkawinan beda agama sehingga dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada definisi mengenai perkawinan beda agama. But what we have seen are Muslims: good Muslims and bad Muslims; ugly Muslims and pretty Muslims; just Muslims and unjust Muslims; Muslims who are oppressors, racists, bigots, misogynists, and criminals as well as Muslims who are compassionate, liberators, seekers of an end to racism and sexism and those who aspire for global justice and equity.” ( Revd Dr John Azumah, Church & Society in Asia Today • Vol 13 No 2 • August

2010 )

Pada umumnya, dalam hukum perkawinan setiap negara disyaratkan adanya pencatatan perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Keharusan pencatatan perkawinan merupakan syarat formil atau syarat administrasi di banyak negara.

Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan syarat sahnya perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pendaftaran

commit to user

perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. Sehingga perkawinan yang dilakukan warga negara Indonesia di luar negeri dapat diakui sebagai perkawinan yang sah apabila telah di daftarkan di lembaga pencatatan setempat dan mendapat surat bukti perkawinan.

Selain adanya syarat pencatatan di negara setempat, hukum perkawinan kita juga mensyaratkan setiap warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar negeri segera mendaftarkan perkawinannya di lembaga pemerintah sekembalinya ke Indonesia.

Bila kita lihat Pasal 56 (1) UU Perkawinan dinyatakan apabila terjadi perkawinan warga negara Indonesia atau antar-warga negara Indonesia dengan antar-warga negara asing di mana perkawinan tersebut dilangsungkan di luar negeri, maka perkawinan tersebut dinyatakan sah apabila telah dilakukan berdasarkan hukum perkawinan negara setempat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum perkawinan Indonesia. Kemudian berdasakan Pasal 56 (2) UU Perkawinan menyatakan dalam waktu satu tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Jadi, untuk dapat diakuinya suatu perkawinan warga negara Indonesia di luar negeri, maka berdasarkan hukum perkawinan harus memenuhi dua persyaratan terlebih dahulu yaitu;

1) perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum perkawinan negara setempat dan perkawinan tersebut harus didaftarkan di lembaga pencatatan untuk mendapat surat bukti perkawinan;

2) surat bukti perkawinan tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pencatatan Perkawinan setempat selambat-lambatnya satu tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia.

Setelah kedua syarat tersebut dipenuhi maka perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia tersebut adalah sah dan sama kedudukannya dengan perkawinan yang dilakukan di wilayah Indonesia. Sebaliknya, apabila kedua syarat tersebut tidak dipenuhi,

commit to user

maka perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tidak diakui oleh negara karena tidak sesuai dengan hukum perkawinan yang berlaku.

Dalam UU Perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya tidak diatur secara jelas mengenai perkawinan beda agama. Perkawinan antara mereka yang berbeda agama, harus memperhatikan hukum agama masing-masing yang mengatur mungkin atau tidaknya perkawinan tersebut dilangsungkan. Oleh karena itu, pola pengaturan yang dilakukan oleh UU Perkawinan ialah menyerahkan kepada hukum agama untuk menegakkan larangan perkawinan atau menentukan kebolehan perkawinan tersebut, khususnya bagi mereka yang berbeda agama. UU Perkawinan dalam hal ini cenderung untuk menyerahkan pengaturannya pada hukum agama, bagaimana menyikapi perkawinan antara mereka yang berbeda agama tersebut.

Namun demikian, UU Perkawinan secara implisit mengaturnya, dan hal ini dapat terlihat dalam UU Perkawinan yang mengatur hal yang berkaitan dengan perkawinan antara pasangan yang berbeda agama, yaitu: Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa: "dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang

dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Berdasarkan pasal 8 Undang-undang Perkawinan mengenai larangan perkawinan dimana dalam butir f pada pasal tersebut dinyatakan sebagai berikut: Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin ( Grace Gunawan, 20 Juni 2011, 9:55 )

Adapun Syarat-Syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 sampai dengan Pasal 7. Didalam ketentuan tersebut ditentukan dua

commit to user

syarat untuk melangsungkan syarat-syarat Intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat Intern itu antara lain perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

2) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

5) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh

commit to user

kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.

Untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan. Dengan berlakunya Undang-Undang no 1 tahun 1974, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku:

1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam perlaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi : 1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Nikah, Talak dan Rujuk; 2) Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang

memuat :

a) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon.

commit to user

Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu;

b) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan (Sudikno Mertokusumo, 2001:62).

Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah terjadi Unifikasi di lapangan hukum perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 66 menyatakan bahwa : Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk

Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk

Ordonantie Christen Indonesia 1933 Nomor 74), Peraturan

Perkawinan Campuran ( Regeling Op de Gemengde Huwelijken Staatsblad 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Akan tetapi, Unifikasi ini tidak bertahan lama dikarenakan pada tahun 1991 dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak menutup kemungkinan bagi terjadinya perkawinan beda agama di kalangan penduduk negara Indonesia dan masalah perkawinan beda agama ini dapat dijumpai pengaturannnya dalam bagian ketiga Bab XII, Ketentuan-Ketentuan lain.

Dari perumusan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 57 telah dipersempit pengertian perkawinan beda agama dan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang warga negara Republik Indonesia dengan agama yang berbeda.

commit to user

Dalam rangka memperoleh atau mendapatkan kepastian terhadap kedudukan hukum perkawinan diperlukan adanya bukti-bukti autentik. Adapun bukti-bukti autentik perkawinan berupa Akta perkawinan yang berhak mengeluarkan adalah Lembaga Catatan Sipil menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. (Victor M.Situmorang & Cormentyna Sitanggang , 1991:9).

Munculnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, walaupun tujuan undang-undang ini baik bagi semua warga negara mengenai sahnya suatu perkawinan menurut hukum Negara, memberikan perlindungan bagi semua Warga Negara Indonesia (WNI) memperoleh perlindungan melalui pencatatan perkawinannya sesuai dengan agama yang dipeluk masing-masing warga negara.

Pencatatan Sipil merupakan proses pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Proses tersebut dimulai dari dokumen kependudukan meliputi : ( Prosedur dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, 2009 : 3 )

1) Biodata Penduduk 2) KK ( Kartu Keluarga )

3) KTP ( Kartu Tanda Penduduk ) 4) Surat keterangan kependudukan

a) Surat Keterangan Pindah

b) Surat Keterangan Pindah Keluar Negeri c) Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri d) Surat Keterangan Tempat Tinggal

e) Surat KeteranganTinggal Sementara f) Surat Keterangan Kelahiran

g) Surat Keterangan Lahir Mati h) Surat Keterangan Kematian i) Surat Keterangan Perkawinan j) Surat Keterangan Perceraian

commit to user

k) Surat Keterangan Pengganti Tanpa Identitas l) Surat Keterangan Pencatatan Sipil

5) Akta Pencatanan Sipil

Dari segi Hukum Administrasi Negara bahwa pengeluaran akta-akta oleh catatan sipil adalah suatu perbuatan administrasi negara dari suatu lembaga yang berwenang atau berhak melakukan perbuatan administrasi negara yang berupa ketetapan yang berbentuk akta catatan sipil dari peristiwaperistiwa yang dilaporkan pada lembaga catatan sipil, yang pada prinsipnya memenuhi sifat kongkrit, individual, formal dan final (Victor M. Situmorang & Cormentyna Sitanggang, 1991:13)

Dokumen terkait