• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Pengertian Perkawinan

a. Menurut Para Sarjana

Dalam hal ini akan dikemukakan pengertian perkawinan dari para sarjana, yaitu :

1) Scholteen, mengemukakan perkawinan adalah :

Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh Negara(Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1975:14).

2) R.Subekti, mengemukakan perkawinan adalah :

Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama (Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1975:14).

b. Menurut Peraturan Perundangan

1) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang-Undang-Undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang 1945, sedangkan dilain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agama dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan a) Pengertian Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

commit to user b) Syarat-syarat perkawinan

Menurut Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini maka berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu sesuai dengan UUD 1945. Hal ini, berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (H Riduan Syahrani, 2004:63).

Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku oleh lembaga yang berwenang yaitu Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama bagi pihak yang beragama Islam.

Penelitian dan Pengumuman Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. Pemberitahuan tersebut dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya. Pemberitahuan itu, memuat nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin maka disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (H Ridwan Syahrani, 2004:76).

Setelah dipenuhi syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ada halangan perkawinan, pegawai pencatat

commit to user

menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang telah ditetapkan oleh kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974). Pengumuman tersebut ditandatangani oleh pegawai pencatat dan memuat nama, umur, agama atau kepercayaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin sebelumnya maka disebutkan nama istri atau suaminya terdahulu, hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan dilangsungkan. Pengumuman tersebut ialah untuk memberi kesempatan kepada umum supaya mengetahui dan mengajukan keberatan bagi pelaksanaan perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agama yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya( H Riduan Syahrani, 2004:77).

Dalam tenggang waktu sepuluh hari sejak pengumuman yang dilakukan oleh pegawai pencatat tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang berkepentingan, maka pemberitahuan kehendak

melangsungkan perkawinan dianggap memenuhi syarat-syarat dan tidak ada halangan. Karena itu, pelaksanaan perkawinan segera dapat dilakukan (H Riduan Syahrani, 2004:78).

Menurut kententuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak

commit to user

perkawinan yang dilakukan oleh pegawai pencatat. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (H Riduan Syahrani, 2004:79). c) Tujuan perkawinan

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material (Sudikno Mertokusumo, 2001:62).

d) Sahnya perkawinan

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa sesuatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya : kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan (Hilman Hadikusuma,2007:4).

e) Asas atau Prinsip dalam Perkawinan

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan tentang asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun asas-asas atau prinsip dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini antara lain adalah sebagai berikut :

(1) Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum

commit to user

dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

(2) Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

(3) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.

(4) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan

commit to user

demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri.

Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri (Hilman Hadikusuma, 2007:6).

2) Menurut Kompilasi Hukum Islam a) Pengertian Perkawinan

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah ( Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam ).

b) Tujuan Perkawinan

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Untuk memenuhi ketentuan tersebut diatas, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mnengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

commit to user

(1) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; (2) Hilangnya Akta Nikah;

(3) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;

(4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;

(5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;

Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

c) Rukun dan Syarat Perkawinan

(1) Rukun PerkawinanUntuk melaksanakan perkawinan harus ada :

(a) Calon Suami; (b) Calon Istri; (c) Wali nikah;

(d) Dua orang saksi dan; (e) Ijab dan Kabul. (2) Syarat Perkawinan

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

commit to user

Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengantulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.

3) Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Pernikahan beda agama yang sudah dilegalkan oleh Pengadilan Negeri, tidak berarti pasangan itu menikah di Pengadilan Negeri. Wewenangnya hanya mengijinkan bukan menikahkan pasangan beda agama, karena kapasitas pengadilan bukan untuk keperluan tersebut. Bahwa faktor yang melegalkan pasangan beda agama diantaranya, mengacu pada Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Yang berbunyi, pencatatan perkawinan berlaku pula perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Di samping itu, juga dimuat dalam Pasal 10

commit to user

Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maupun Pasal 28 B Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 (http//hukumonline.com, 30 Maret 2011, 15:15).

Selama ini, sebelum keluarnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Aminduk), pasangan beda agama biasanya menikah di luar negeri untuk menghindari Undang-Undang Perkawinan yang melarang pasangan beda agama menikah. Tapi ada juga yang memakai cara penundukan sementara pada salah satu hukum agama, yaitu pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.

Dokumen terkait