• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Pesantren Salaf

1. Pengertian Pesantren Salaf

Istilah pesantren berasal dari kata santri dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri. Kata santri sendiri menurut John berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedangkan menurut Berg berasal dari kata Shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau sarjana ahli kitab agama Hindu48.

Sebagaimana keterangan di atas, bahwa pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan non formal yang memfasilitasi pendalaman agama bagi seluruh masyarakat baik anak-anak maupun dewasa, pengajarannya dibimbing seorang kyai yang secara mental dan panggilan hati untuk mengamalkan ilmunya demi kemaslahatan umat.

Menurut Suhartini bahwa pesantren memiliki tiga fungsi utama, yakni:

pertama, sebagai pusat pengkaderan dan pencetak pemikir-pemikir agama

ulama (centre of excellence); kedua, sebagai lembaga pencetak sumber daya manusia yang handal (human resources); dan ketiga, sebagai lembaga yang

48

Abd. Muin M, dkk, 2007, Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat, Jakarta: CV. Prasasti. Hlm. 17

36 PONDOK

SANTRI KYAI MASJID

PENGAJIAN KITAB-KITAB KLASIK

memiliki kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (community

empowerment)49.

Pandangan tentang pesantren yang sering dikaitkan dengan pembelajaran kepada santri untuk menjadi calon penerus ulama dengan dibekali ilmu agama Islam dan kompetensi para lulusan untuk siap menjadi tenaga yang handal serta kesiapan untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat adalah ciri khas pesantren dan secara riil terjadi di sebagian besar lembaga tersebut di tengah-tengah masyarakat.

Di dalam pendidikan pesantren terdapat elemen yang harus dimiliki, yaitu: seorang kyai, santri yang bersiap menuntut ilmu agama, adanya pengajian kitab yang membahas keagamaan Islam, masjid sebagai tempat menimba ilmu serta pondok tempat santri menetap dan menimba ilmu. Elemen tersebut digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Elemen Pesantren

Senada dengan yang disampaikan oleh Mu’in bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam harus memiliki lima elemen penting yaitu pondok tempat menginap santri, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kyai.

49

Rr. Suhartini, 2005, Problem Kelembagaan Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren, dalam A. Halim, Rr. Suhartini, M. Choirul Arif, A. Sunaryo AS (Eds) Manajemen Pesantren, Jogjakarta: LkiS. Hlm. 233

37

Kelima elemen pondok pesantren tersebut merupakan ciri khusus yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya50. Meskipun kelima elemen saling menunjang keberadaan pesantren, namun posisi kyai dalam praktiknya memegang peranan sentral dalam dunia pesantren51.

Peran kyai dalam memimpin pesantren sangat urgen, bahkan membludaknya santri yang sedang menimba ilmu di pesantren dipengaruhi karisma seorang kyai. Banyak ditemukan sepeninggal wafatnya sang kyai, maka tingkat minat orang tua untuk memondokkan putranya semakin berkurang.

Pesantren dan pengaruh kyai bagaikan magnet yang melekat dan mampu menimbulkan daya tarik umat untuk belajar di tempat tersebut. Pengaruh itu tidak lepas dari adanya kharisma yang dimiliki kyai yang ikhlas mengamalkan dan mengajarkan ilmu kepada masyarakat. Kharisma dianggap sebagai keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya, atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu52.

Seiring perkembangan zaman, pesantren berkembang pesat dengan hadirnya santri yang datang dari berbagai penjuru tanah air demi mendapatkan ilmu agama yang cukup. Keadaan ini mendorong santri untuk belajar kebiasaan atau budaya yang berkembang di pesantren tersebut khususnya santri yang

50

Op. Cit. Hlm. 17-18

51

Yasmadi, 2005, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurkholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam

Tradisional, Jakarta: Ciputat Press. Hlm. 63

52

Baharuddin dan Umiarso, 2012, Kepemimpinan Pendidikan Islam; Antara Teori dan Praktik, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm. 206

38

datang dari luar jawa harus menguasai bahasa Jawa agar dapat memahami pesan yang disampaikan oleh kyai.

Corak pesantren masa kini semakin beragam, karena disamping datangnya santri dari daerah lain juga karena mau tidak mau pesantren harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar atau mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, model dan manajemen pesantren pada masa kini mengalami perubahan walaupun esensinya sama yaitu untuk menyebarluaskan agama Islam melalui pengajian kitab klasik.

Pada dasarnya pesantren dibagi menjadi dua, yaitu: pesantren tradisional (salafi) dan pesantren modern (Khalafi). Pesantren salafi bersifat konservatif, sedangkan pesantren Khalafi bersifat adaptif. Adaptif dilakukan terhadap perubahan dan pengembangan pendidikan yang merupakan akibat dari tuntutan perkembangan sains dan teknologi modern.53

Pesantren salaf merupakan pesantren yang turun temurun sejak datangnya Islam sehingga ajaran dan sistem pembelajarannya masih mempertahankan metode klasik. Sementara itu, pesantren khalaf merupakan pesantren yang telah menyesuaikan dengan tuntutan zaman dengan mengedepankan teknologi demi kemudahan dan kemutakhiran informasi yang diperoleh santri.

Pesantren Salaf atau pesantren masih mempertahankan nilai-nilai tradisional, menyimpan potensi kesadaran multikultural. Wacana lokal dan rasionalitas lokal selama ini sudah diyakini menjadi custom atau tradisi pesantren. Demikian pula, konsep kemajuan bagi pesantren ini juga bertitik

53

39

tolak dari tradisi, sehingga tidak mengalami keterputusan sejarah54. Pesantren yang dikenal dengan sebutan salaf atau tradisional inilah yang sebenarnya melanjutkan tradisi Walisongo yang mengajarkan nilai-nilai toleransi dalam ajaran Islam.

Usia pesantren tradisional yang begitu tua pada umumnya tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan kekuatan atau kemajuan manajemennya. Kondisi manajemen pesantren tradisional hingga hari ini sangat memprihatinkan, suatu keadaan sangat membutuhkan solusi segera untuk menghindari ketidakpastian pengelolaan yang berlarut-larut. Kenyataan ini menggambarkan bahwa kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan profesionalisme berdasarkan keahlian (skill), baik human skill, maupun technical skill secara terpadu. Akibatnya, tidak ada perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan yang baik dan sebagainya.55

Seiring berjalannya waktu, pesantren salaf mencoba untuk keluar dari kungkungan tradisionalisme, sehingga saat ini menggagas berbagai usaha demi mewujudkan pendidikan yang sesuai dengan kondisi zaman serta mampu bersaing di dunia modern. Kelebihan akan tampak manakala pesantren juga mampu membawa ruh Islami yang kental sebagai identitas khas serta tidak mengabaikan pentingnya komunikasi dengan dunia luar.

54

Jamaluddin Mohammad, 2010, Pesantren dan Pendidikan Multikulturalisme, Diakses tanggal 9 Februari 2014 pada http://buntetpesantren.org

55

Mujamil Qomar, 2007, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga

40