BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pragmatik
Pemahaman konseptual arti suatu istilah tidak selalu diperoleh dari satu
definisi. Malah satu definisi, ada kalanya, terasa tidak memadai untuk memberi
kesempatan ini, penulis tampilkan empat buah definisi yang merupakan esensi
deskripsi singkat tentang pragmatik, yang dibuat oleh Yule. Dalam deskripsinya, Yule
(1996:3) mengemukakan hal sebagai berikut.
1. Pragmatik berfokus pada pengkajian makna yang disampaikan oleh penutur
dan ditafsirkan sesudahnya oleh mitra tutur. Pengkajian makna, di sini, lebih
memperhatikan apa sesungguhnya yang penutur maksudkan dengan
tuturannya daripada sekedar makna yang terdapat pada tuturan itu. Dari
deskripsi singkat (1) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah
pengkajian makna yang dimaksudkan oleh penutur (Pragmatics is the study
of speaker meaning).
2. Pengkajian makna menurut penutur (seperti tersebut pada poin (1))
merupakan upaya penafsiran atas apa yang penutur maksudkan dalam
konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan
yang dihasilkan. Cara kerja pengkajian ini memperhatikan bagaimana
penutur menyesuaikan apa yang hendak dituturkan dengan konteks yang
melatarbelakanginya, seperti, siapa orang yang menjadi mitra tutur, di mana,
kapan, dan dalam keadaan bagaimana tuturan dihasilkan. Dari deskripsi
singkat (2) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian makna
karena pengaruh konteks (Pragmatics is the study of contextual meaning).
3. Melalui ancangan pragmatik menjadi pengamatan bagaimana mitra tutur
menginferensi tuturan yang didengarnya, sehingga hasil tafsirannya terhadap
tuturan itu sama dengan yang dimaksudkan oleh penutur. Pada pengkajian
makna seperti ini, diperhatikan juga berbagai hal yang terkait dengan tuturan
tetapi tidak terungkap dalam tuturan yang dihasilkan oleh penutur. Dengan
cara pengkajian, seperti yang disebutkan, membuat kita mengenal adanya
upaya pemahaman makna lain yang tidak terungkap dalam tuturan (invisible
meaning). Dari deskripsi singkat (3) diperoleh pengertian bahwa pragmatik
adalah pengkajian yang berupaya memperoleh informasi yang lebih banyak
daripada sekedar yang diperoleh dari yang dituturkan ( Pragmatics is the
study of how more gets communicated than is said).
4. Perspektif yang menyebut adanya informasi lain, di luar dari yang
dituturkan, seperti yang disebut pada poin (3), ternyata memicu munculnya
pertanyaan, apa sesungguhnya yang berperan dalam membuat adanya
informasi lain di samping informasi yang diperoleh dari tuturan itu.
Jawabannya, menurut Yule, menyangkut soal jarak (distance). Faktor
kedekatan atau kejauhan secara fisik, sosial, ataupun konseptual, adalah
bagian dari pengalaman manusia. Dengan memperhatikan kedekatan atau
kejauhannya dengan mitra tutur, penutur dapat menentukan batasan terhadap
apa yang perlu dituturkannya. Dari deskripsi singkat (4) diperoleh
yang menyatakan jarak relatif (Pragmatics is the study of the expression of
relative distance).
Deskripsi singkat yang dituangkan melalui keempat definisi di atas memberi
pengertian serta gambaran tentang ranah kajian bidang pragmatik.
2.2 Historiografi Singkat Pragmatik
Hingga kini (2009) tercatat bahwa pragmatik, sebagai salah satu sub-bidang
linguistik, usianya sudah mencapai empat dasawarsa. Kepesatan perkembangan serta
minat ahli bahasa untuk mengakrapinya, terutama dalam dua dekade terakhir ini
(Huang, 2007:3), adalah sesuatu yang mungkin luput dari perkiraan pada waktu
sebelumnya. Salah satu indikasi peningkatan minat banyak ahli terhadap pragmatik,
dari penjelasan Mey (2001:3-4), dapat dilihat pada semakin pesatnya penerbitan jurnal
ataupun buku teks bertaraf internasional tentang pragmatik, seperti Journal of
Pragmatics, Pragmatics, Concise Encyclopedia of Pragmatics, yang masing-masing
diterbitkan sejak tahun 1977, 1991, 1998, dan masih berlangsung hingga kini (lihat
juga Rahardi, 2006:45-51).
Jawaban antisipatif terhadap sebab kepesatan perkembangan kajian pragmatik
seperti itu, sebelumnya, telah diberikan oleh Leech (1983:1) yang menyatakan bahwa
orang tidak akan mengerti bahasa secara benar apabila orang yang bersangkutan tidak
mengerti pragmatik, yaitu, bidang linguistik yang mengkaji bagaimana bahasa
digunakan dalam komunikasi. Dengan mengikuti penjelasan Huang (2007:2-5), aspek
Pragmatik sebagai sub-bidang linguistik modern berawal dari adanya
kajian-kajian filosofis bahasa pada periode tahun 1930-an yang dilakukan oleh Charles
Morris, Rudolf Carnap, dan Charles Pierce. Mendapat masukan dan atas pengaruh dari
Pierce, Morris membuat adanya pembagian bidang semiotik (ilmu tentang tanda pada
umumnya) atas tiga bagian, yaitu, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Menurut tipologi
ini, sintaksis Morris maksudkan sebagai pengkajian terhadap hubungan formal antara
sesama tanda. Artinya, bagaimana menyusun tautkan sesama bentuk-bentuk bahasa
dan bentuk hasil susun taut mana yang berterima. Pengkajian semacam ini umumnya
dilakukan tanpa memperhitungkan objek ril yang diacu atau orang yang
menggunakannya. Semantik melakukan pengkajian terhadap hubungan tanda dengan
acuannya, atau dapat juga dikatakan pengkajian hubungan antara bentuk-bentuk
bahasa dengan maujud duniawinya. Pragmatik adalah pengkajian terhadap hubungan
tanda dengan penutur atau penggunanya. Di antara ketiga bidang dalam trikotomi di
atas, hanya pragmatik yang melibatkan manusia turut menjadi objek dalam kajiannya
(lihat juga Yule, 1996:5). Terhadap trikotomi tersebut, Carnap, kemudian, membuat
pengurutan atas dasar tingkat keabstrakan masing-masing. Sintaksis dan pragmatik
masing-masing menempati posisi paling dan kurang abstrak, sedangkan semantik pada
posisi antara keduanya. Hubungan hierarkis tersebut dimaknainya, bahwa sintaksis
memberi masukan kepada semantik, yang selanjutnya, memberi masukan pula kepada
pragmatik.
Lalu, bagaimana respons ahli bahasa pada periode tahun 1930-an dan
Leech, kehadiran pragmatik tahun 1930-an tidak serta merta menjadi topik yang
menarik untuk dibicarakan. Bagi mereka, seangkatan Bloomfield, misalnya, liputan
ilmu bahasa itu hanya di seputar fonetik, fonemik, dan morfofonemik (morfologi);
sementara sintaksis masih dianggap bidang yang terlalu abstrak untuk dipahami dan
dipelajari.
Perubahan sikap dalam merespons kehadiran trikotomi semiotik di atas baru
terlihat pada akhir tahun 1950-an, seiring dengan berkembangnya teori linguistik
Chomsky, yang memposisikan sintaksis sebagai prioritas dalam pengkajian bahasa.
Namun, karena pengaruh latar belakang struktural mentalis yang kuat pada Chomsky,
membuatnya berpandangan bahwa kajian makna masih merupakan hal yang belum
perlu ditekuni.
Pada perkembangan linguistik yang semakin pesat antara 1960 dan 1970-an,
sikap Chomsky dalam pengkajian makna mendapat tantangan dari mahasiswanya
sendiri. Mereka (seperti Katz, Fodor, Ross, Lakoff, Postal) menunjukkan rasa
ketidakpuasan dan ketidaksetiaan mereka kepada Chomsky yang mengkaji bahasa dari
aspek mental yang abstrak itu, dan mulai meninggalkan tradisi mentalis dalam
mengkaji penggunaan bahasa. Ketika itu, mereka telah menemukan cara bagimana
mengintegrasikan kajian makna ke dalam teori linguistik. Lakoff (1971) bersama rekan
lainnya, yang merasa tertarik dengan kajian-kajian filosofis bahasa Austin dan
kawan-kawan (yang menjadikan bahasa alami (ordinary language) sebagai objek kajiannya),
telah siap dengan argumentasi bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari kajian
ke dalam peta kajian linguistik. Terintegrasikannya pragmatik ke dalam kajian
linguistik memberi arti bahwa lingkup bidang linguistik tidak hanya sebatas aspek fisik
bahasa, melainkan meluas dengan liputan bentuk, makna, dan konteks di dalamnya.
Penyebutan nama banyak ahli dari Amerika pada uraian historis singkat di atas
mungkin dapat memberi kesan bahwa Amerika merupakan pionir dalam
pemberhasilan pengintegrasian pragmatik ke dalam kerangka kajian bidang linguistik.
Kesan semacam itu seyogianya tidak demikian apabila perkembangan linguistik dilihat
dari wawasan kesejarahan yang lebih luas. Sepintas memang ada benarnya bahwa di
antara banyak bidang kajian, linguistik banyak diwarnai oleh Amerika. Namun, perlu
diingat pula bahwa tidak sedikit ahli bereputasi besar dari luar (aliran) Amerika yang
relatif jauh sebelum tahun 1970-an telah menekankan perlunya kajian makna
situasional dalam kajian linguistik. J.R. Firth, misalnya, adalah nama linguis kawakan
dari Inggris yang memiliki pandangan seperti itu. Firth (1935) dengan jelas
menyatakan bahwa semua ilmu bahasa adalah kajian tentang makna, dan semua makna
merupakan fungsi dalam konteks (Halliday & Hasan, 1992:10). Demikian juga dengan
Halliday (1969), secara komprihensif telah memaparkan teori sosialnya mengenai
bahasa. Pelibatan teori sosial ke dalam pengkajian bahasa, seperti yang dikembangkan
oleh Halliday, memberi kejelasan bahwa kajian makna bahasa tidak lepas dari –
dengan memperhitungkan manusia dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya.
Nama-nama lain dari luar Amerika yang sudah cukup lama akrab dengan
dengan teori kebahasaan merekalah terinspirasinya linguis Amerika, seperti Lakoff,
Ross, untuk memasuki ranah kajian pragmatik sebelum tahun 1970-an.
Ketertarikan minat orang untuk mengetahui lebih jauh ihwal pragmatik disertai
pula dengan upaya-upaya pengkajian intens dalam bidang yang sama, seperti yang
dilakukan oleh Horn, Fillmore, dan Gazdar pada tahun 1970-an. Tampil dan terbitnya
buku teks Levinson (1983) yang berjudul Pragmatics, tercatat sebagai proklamasi
sekaligus, yang menandai the coming of age of pragmatics discipline in its own right.
Semenjak itulah, penelitian di bidang pragmatik berkembang pesat dan terus berlanjut
(Huang, 2007:3). Dengan demikan, jangkauan linguistik yang semakin luas akibat
bertambahnya bidang pragmatik di dalamnya, sekaligus membuat berubahnya pula
persepsi orang akan hakikat maupun batasan bahasa. Hingga kini, bidang liputan
linguistik, berdasarkan urutan kronologis kehadirannya dalam sejarah linguistik,
adalah sebagai berikut,
1. fonetik/fonologi;
2. morfologi;
3. sintaksis;
4. semantik;
5. pragmatik.
2.3 Antara Semantik dan Pragmatik
Hal yang perlu mendapat pembicaraan pada 2.3 ini adalah pembedaan antara
keterkaitan bidang kajian yang bersifat komplementer. Masing-masing berurusan
dengan pengungkapan makna, yang disampaikan melalui wahana bahasa.
Untuk kejelasan perbedaan antara keduanya, dapat dilakukan, misalnya,
dengan memperhatikan penggunaan pronomina persona dia dalam tuturan Sudah
bangun dia? Setidaknya perlu dua hal terdapat pada mitra tutur (pendengar) agar dia
disebut paham akan makna dia pada tuturan di atas. Pertama, mitra tutur mengetahui
bahwa dia dalam tuturan bahasa Indonesia tersebut memiliki makna sebagai ‘orang
ketiga tunggal yang diacu, bukan penutur ataupun mitra tutur’. Kedua, mitra tutur
mengetahui siapa orang yang dimaksud dia oleh penutur pada tuturan tersebut. Dari
kedua hal yang disebutkan, yang pertama adalah bagian dari pengetahuan semantik,
dan yang kedua sebagai kompetensi pragmatik. Pada hal yang pertama, untuk sampai
kepada mengetahui makna unsur bahasa (seperti dia saja), mitra tutur cukup dengan
berbekal pengetahuan tentang aspek internal bahasa saja (dalam hubungan ini,
semantik); sedangkan pada yang kedua, untuk sampai pada mengetahui yang
dimaksudkan oleh penutur dalam menggunakan unsur bahasa (seperti untuk acuan dia
yang tepat dalam tuturan tersebut), mitra tutur tidak cukup hanya dengan bermodalkan
pengetahuan tentang aspek internal bahasa saja, melainkan juga dengan pengetahuan
umum (encyclopaedic knowledge) dari luar bahasa. Pengetahuan umum itu, seperti,
informasi yang diperoleh tentang yang dituturkan sebelum saat tuturannya (Saeed,
2000:17-19).
Uraian dengan contoh penggunaan unsur bahasa (dia) di atas memberi
bidang semantik, sedangkan pengkajian makna satuan lingual secara eksternal menjadi
tugas bidang pragmatik. Pemberian makna dalam kajian semantik dapat dilakukan
tanpa pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan
tentang bahasa, sedangkan dalam kajian pragmatik, makna dapat ditentukan melalui
pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan bahasa.
Pengertian lain yang dapat diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa
pengkajian unsur bahasa dalam semantik ditujukan untuk mengetahui makna semata
dari satuan lingual itu, sedangkan pengkajian unsur bahasa dalam pragmatik tujuannya
untuk mengetahui maksud penutur dengan menggunakan unsur bahasa yang
dituturkannya.
Pembedaan antara semantik dan pragmatik di atas sejalan dengan pembedaan
yang dibuat oleh Leech (1993:8-9). Menurutnya, perbedaan bidang semantik dengan
prangmatik terletak pada perbedaan penggunaan verba to mean. Apabila to mean itu
berasal dari unsur bahasa, berarti terdapat hubungan diadik (dyadic) antara unsur
bahasa dengan maknanya, dan apabila to mean berasal dari penutur dalam
menggunakan unsur bahasa, berarti terdapat hubungan triadik (triadic), yaitu, antara
penutur, unsur bahasa, dan maknanya. Makna dalam hubungan diadik adalah makna
unsur bahasa yang digunakan, lepas dari penafsiran kontekstual dari penuturnya.
Apabila unsur bahasa yang digunakan diganti dengan X, misalnya, rumusan
pertanyaan untuk memperoleh makna diadik, menurut Leech, adalah What does X
Makna dalam hubungan triadik adalah makna unsur bahasa yang diberi melalui
pertimbangan kontekstual dari penuturnya. Rumusan pertanyaan untuk memperoleh
makna triadik, dengan demikian, adalah What did you mean by X? (Apakah yang Anda
maksudkan dengan X itu?). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa ranah kajian
semantik berada dalam lingkupan hubungan diadik, sedangkan kajian pragmatik
berada dalam lingkupan hubungan triadik. Pengulangan kedua rumusan pertanyaan di
atas, jika dikaitkan dengan pembedaan antara semantik dengan pragmatik, dapat
diskemakan sebagai berikut.
(1) What does X mean ? = semantik
(Apakah makna X itu?)
(2) What did you mean by X ? = pragmatik
(Apakah yang Anda maksudkan dengan X itu?)
(Bandingkan dengan Leech (1983))
Dengan demikian, rumusan terhadap masing-masing istilah, antara semantik
dan pragmatik, dapat diturunkan dari pemahaman uraian di atas – sebagai berikut.
Semantik adalah sub-bidang linguistik yang mengkaji tentang makna unsur bahasa
lepas dari pemaknaan kontekstual penggunanya, sedangkan pragmatik adalah
sub-bidang linguistik yang mengkaji tentang makna dalam hubungannya dengan konteks
2.4 Konteks Tutur
Penyebutan konteks tutur pemunculannya sering ditemukan dalam kajian
bahasa (linguistik), terutama dalam kajian pragmatik. Membuat rumusan konteks tutur
yang tepat untuk penggunaan yang luas tentu tidak mudah karena apa saja yang
menjadi komponen konteks tutur itu dapat berbeda di antara para ahli. Namun, sebuah
rumusan konteks tutur, yang penulis anggap bercorak relatif moderat, dimuat di sini.
Secara umum dapat dikatakan bahwa konteks tutur adalah faktor lingkungan
dinamis sekitar yang relevan terhadap pemilihan bentuk dan penafsiran satuan lingual
yang digunakan. Bandingkan dengan Huang (2007:13) yang merumuskan konteks
tutur sebagai “any relevant features of the dynamic setting or environment in which a
linguistic unit is systematically used”.
Tentang konteks tutur terdapat juga pembagiannya, seperti yang dikemukakan
oleh Ariel (Huang, 2007:13-14). Melihat sumbernya, dia membagi konteks tutur atas
tiga jenis. Yang pertama hingga yang ketiga, masing-masing adalah: (1) konteks fisik
(physical context), (2) konteks lingual (linguistic context), dan (3) konteks
pengetahuan umum (general knowledge context) seseorang. Konteks (1) adalah
lingkungan dinamis yang melatari tuturan, seperi partisipan (penutur dan mitra tutur),
lokasi, dan waktu tuturan (Gasser, 2003). Mitra tutur sebagai konteks fisik, yang
berperan (relevan) dalam pemilihan bentuk dan penafsiran maknanya, dapat dilihat,
misalnya, pada penggunaan pronomina persona orang kedua tunggal kau pada Jangan
kau datang lagi! Terpilihnya bentuk kau (bukan Anda, Tuan, Ayah, dsb.) pada tuturan
yang menjadi mitra tuturnya. Penutur tidak akan menggunakan kau sebagai pilihan
apabila orang yang menjadi mitra tutur, misalnya, ayahnya. Jadi, dalam hubungan ini,
mitra tutur adalah konteks fisik di sekitar tuturan, yang melatari dan berpengaruh
terhadap dipilihnya penggunaan kau oleh penutur untuk menyapa mitra tuturnya.
Dari aspek pemaknaan, kau tidak dapat diberi atau ditentukan maknanya
sebelum mengetahui siapa yang menjadi mitra tutur bagi penutur pada saat tuturan
tersebut berlangsung (atau, siapa yang dimaksud oleh penutur dengan menggunakan
kau dalam tuturannya). Dengan mengetahui siapa orang yang menjadi mitra tutur,
misalnya Budi (konteks fisik), barulah dapat ditentukan makna bentuk unsur lingual
kau.
Konteks jenis (2) adalah unsur-unsur lain dari bahasa itu sendiri yang melatari
bentuk lingual yang digunakan. Apa yang disebut sebelum saat tuturan, misalnya,
berpengaruh dalam pemilihan dan penentuan makna unsur bahasa yang digunakan.
Unsur bahasa dia pada tuturan tanya dari Budi kepada Ali berikut ini, misalnya,
pilihan penggunaannya, oleh Budi (sebagai mitra tutur), didasarkan pada konteks
lingual yang dihasilkan oleh Ali (sebagai penutur) sebelum saat tuturan dia oleh Budi.
Pilihan Budi menggunakan dia (bukan engkau, saya, dsb.) dipengaruhi oleh
pertimbangan bahwa bentuk lingual yang sesuai untuk mengacu orang ketiga tunggal
(Mira) yang dituturkan oleh Ali adalah dia.
Dalam penentuan makna terhadap dia, konteks lingual yang sama, yang
dituturkan oleh Ali sebelumnya, juga memiliki pengaruh. Terhadap dia, yang
tutur) setelah mengetahui bahwa yang Budi maksudkan dengan dia adalah Mira, yang
terdapat pada tuturan (konteks lingual) sebelumnya.
Ali : Mira sudah datang.
Budi : Mana dia ?
Konteks jenis (3) merupakan latar belakang pengetahuan yang dimiliki
bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai anggota dari masyarakat yang sama.
Dengan kesamaan latar belakang pengetahuan itu penutur mengasumsikan bahwa
mitra tutur akan dengan persepsi yang sama dengan penutur terhadap yang hendak
dituturkan. Atau, dengan kata lain, apa yang hendak dituturkan oleh penutur diyakini
akan dapat dimaknai mitra tutur sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penutur.
Terhadap uraian yang baru disebutkan, Gibbs (Saeed, 2000:185) membuat
bentuk sebuah rumusan. Apabila S = Penutur (Speaker), P = Proposisi (proposition),
dan A = Mitra Tutur (Addressee), rumusannya adalah sebagai berikut.
“ S and A mutually know a proposition P, if and only if :
S knows that P
A knows that P
S knows that A knows that P
A knows that S knows that A knows that P,
Sebagai bukti bahwa antara penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang
pengetahuan yang sama terhadap sebuah proposisi, dapat dilihat pada komunikasi
antara A dengan B, yang Saeed contohkan sebagai berikut.
A : Shall we go and get some ice cream?
B : I’m on a diet.
A : Oh, okay.
Dapat dikatakan bahwa proposisi (P) yang diketahui secara bersama oleh
penutur dan mitra tutur itu adalah, ‘Diet itu berpantang es krim (karena sarat lemak)’.
Keberlangsungan komunikasi terakhir, di atas, menandakan bahwa B tahu akan
proposisi itu, dan yakin bahwa A juga mengetahuinya. Oleh karena A dapat
memaklumi alasan (penolakan) B, berarti A juga mengetahui proposisi itu. Lebih jauh
adalah, A juga mengetahui bahwa B tahu bahwa A mengetahui P itu.
Kesamaan latar belakang pengetahuan umum pada penutur dan mitra tutur,
seperti yang disebutkan, berpengaruh terhadap keberlangsungan komunikasi antara
partisipan tutur. Soal ada-tidaknya keberlangsungan komunikasi antara partisipan
tutur, dalam bahasa populernya, masing-masing disebut dengan istilah “nyambung”
dan “tidak nyambung”.
Pada perkembangan selanjutnya, pengertian konteks tutur berupa latar
belakang pengetahuan umum dibedakan oleh Clark (Huang, 2007:14) dengan
membaginya kepada dua jenis pengetahuan, masing-masing, pengetahuan umum
(personal common ground). Pengetahuan jenis pertama merupakan pengetahuan yang
sama yang melatarbelakangi setiap anggota suatu masyarakat, sedangkan pengetahuan
jenis kedua berupa pengetahuan yang melatarbelakangi anggota-angota tertentu dari
suatu masyarakat, yang mereka peroleh dari pengalaman masa lalu mereka.
2.5 Urgensi Deiksis
Pada mulanya istilah deiksis (deixis), dari bahasa Yunani Kuno deiknymi
(Saeed, 2000:173), dipersepsi sebagai ‘pengacuan dengan isyarat’. Bagian dan
gerakan tertentu dari anggota tubuh penutur digunakan untuk mengacu sesuatu yang
dimaksudkannya. Pengarahan (jari) tangan kepada sesuatu yang dimaksudkan adalah
salah satu contoh cara pengacuan dengan menggunakan isyarat bagian tubuh.
Pengacuan seperti itu, menurut Lyons (1995:303-304), boleh jadi merupakan cara
alami manusia sejak dini (proto-form of reference (Bohnemeyer, 2006)) dalam
mengidentifikasi apa yang dimaksudkannya. Ditambahkan bahwa cara pengacuan
seperti itu dapat ditemukan dalam berbagai budaya dunia.
Dengan mengambil analogi dari kenyataan di atas, Lyons sampai kepada satu
kesimpulan bahwa setiap ekspresi lingual yang memiliki fungsi yang sama dengan
fungsi mengacu yang terdapat pada isyarat anggota tubuh, seperti disebutkan di atas,
sifatnya deiktis. Bentuk-bentuk pronomina persona dan demonstrativa adalah
termasuk ke dalam jenis ekspresi lingual yang jelas memiliki kesamaan fungsi dengan
penggunaan bagian tubuh, seperti (jari) tangan, untuk mengacu kepada sesuatu. Hal itu
menyebut merasa puas, tanpa menyebutnya secara lengkap, yakni dengan Saya
merasa puas. Untuk tidak menyebut Gambar itu kabur secara lengkap, kita dapat
menyampaikan maksud yang sama dengannya, hanya dengan menyebut Gambar
kabur, seraya mengacu dengan menggunakan jari telunjuk, misalnya, ke arah gambar
tertentu yang tergantung di dinding.
Dari Yule (1996:9) diperoleh juga penjelasan terkait dengan fungsi deiksis.
Menurutnya, salah satu hal yang amat penting sehubungan dengan penggunaan bahasa
adalah deiksis. Istilah deiksis, secara bersahaja, dia maknai sebagai ‘upaya pengacuan
melalui penggunaan bahasa’ (pointing via language). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa setiap bentuk lingual yang memiliki fungsi demikian
(mengacu/menunjuk) disebut ekspresi deiksis. Kata itu dalam bentuk tuturan tanya
Apa itu?, misalnya, adalah ekspresi deiksis, yang digunakan untuk mengacu kepada
sesuatu yang relatif jauh dari penuturnya.
Deiksis termasuk salah satu fenomena bahasa yang universal karena
ekspresi-ekspresi deiksis dapat ditemukan pada semua bahasa manusia. Tentang mengapa
demikian halnya dapat diperoleh jawabannya, misalnya dari Huang (2007:132), yang
memberi penjelasan bahwa melakukan komunikasi melalui wahana bahasa di antara
sesama penggunanya tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien tanpa kehadiran
deiksis di dalamnya.
Pendapat senada dengan Huang tentang urgensi deiksis dalam penggunaan
bahasa terdapat juga dalam Bohnemeyer (2006). Guna menguat yakinkan orang akan
kemudian mencoba menjelaskannya kepada mitra tutur tanpa melibatkan penggunaan
deiksis. Apabila dalam upaya menjelaskan tersebut ternyata mengalami kendala, hal
itu memberi bukti bahwa pendapat di atas benar. Artinya, penggunaan bahasa untuk
menjelaskan sesuatu (dunia) dapat terkendala, contoh pada 1.4, apabila tidak disertai