• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deiksis Dalam Bahasa Mandailing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Deiksis Dalam Bahasa Mandailing"

Copied!
407
0
0

Teks penuh

(1)

DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Linguistik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M,Sc (CTM), Sp.A(K)

Dipertahankan pada tanggal 14 Mei 2011

pada pukul 09.30 di Medan, Sumatera Utara

NAMSYAH HOT HASIBUAN

NIM 058107010/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Linguistik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M,Sc (CTM), Sp.A(K)

Dipertahankan pada tanggal 14 Mei 2011

pada pukul 09.30 di Medan, Sumatera Utara

NAMSYAH HOT HASIBUAN

NIM 058107010/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Linguistik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Doktor Terbuka

Pada

Hari

:

Sabtu

Tanggal

:

14

Mei

2011

P u k u l

: 09.30

Oleh

(4)

Judul Disertasi : DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING

Nama Mahasiswa : Namsyah Hot Hasibuan

N I M : 058107010

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

tt

Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. Promotor

tt tt

Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. Ko-Promotor Ko-Promotor

Ketua Program Studi Linguistik, Direktur Sekolah Pascasarjana,

tt tt

(5)

HASIL PENELITIAN DISERTASI INI TELAH DISETUJUI UNTUK SIDANG TERBUKA TANGGAL 14 MEI 2011

Oleh

Promotor

tt

Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D.

Ko-Promotor

tt tt

Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd.

Mengetahui

Ketua Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

tt

(6)

Telah diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 05 Februari 2011

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. USU Medan

Anggota :

1. Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. UNIMED Medan

2. Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED Medan

3. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED Medan

4. Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D. NTU Singapore

5. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU Medan

6. Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU Medan

Dengan Surat Keputusan

(7)

Diuji Pada Ujian Disertasi (Promosi) Tanggal 14 Mei 2011

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. USU Medan

Anggota :

1. Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. UNIMED Medan

2. Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED Medan

3. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED Medan

4. Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D. NTU Singapore

5. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU Medan

6. Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU Medan

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

(8)

TIM PROMOTOR

tt

Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D.

tt

Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd.

tt

(9)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

tt

Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

tt

Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D.

tt

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

tt

(10)

BUKTI PENGESAHAN PERBAIKAN DISERTASI

Judul Disertasi : DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING Nama Mahasiswa : Namsyah Hot Hasibuan

NIM : 058107010

Program Studi : Linguistik

No

Nama

Tanda Tangan

Tanggal

1 Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. tt 2 Mei 2011

2 Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. tt 4 Mei 2011

3 Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. tt 3 Mei 2011

4 Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. tt 5 Mei 2011

5 Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D. tt 10 Mei 2011

6 Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. tt 5 Mei 2011

(11)

PERNYATAAN

JUDUL: DEIKSIS

DALAM

BAHASA MANDAILING

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri. Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau terdapat plagiat pada bagian-bagiannya, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, 30 Juli 2010

tt

 

Meterai 

(12)

ABSTRAK

Penelitian ini secara khusus memilih deiksis dalam bahasa Mandailing sebagai objeknya. Sejauh yang penulis ketahui, belum ditemukan adanya penelitian khusus sebelumnya dengan topik yang sama. Deiksis sebagai pilihan objek penelitian, selain hal yang baru disebutkan, didasarkan juga pada pentingnya fungsi yang dimilikinya dalam penggunaan bahasa. Dapat diperkirakan, akan ditemukan kendala dalam menerangkan sesuatu apabila pelibatan deiksis (seperti penggunaan pronomina, demonstrativa, bentuk sapaan) tidak terdapat di dalamnya. Deiksis yang dapat dipersepsi sebagai tindak pengacuan terhadap sesuatu dengan unsur lingual tertentu (deictic expression) memiliki tiga fungsi penting. Yang pertama adalah menghadirkan acuan yang dimaksud oleh penutur ke dalam tuturannya. Kedua, menspesifikasi acuan tertentu dari sejumlah kemungkinan acuan, dan yang ketiga, untuk menggiring perhatian mitra tutur kepada acuan yang dimaksudkan oleh penutur.

Tiga masalah berkenaan dengannya telah dirumuskan sebagai fokus untuk dicarikan jawabannya melalui penelitian ini. Masalahnya adalah: (1) bagaimana setiap ekspresi deiksis digunakan, (2) bagaimana perwujudan lingual ekspresi deiksis dalam setiap jenisnya dimunculkan, dan (3) keunikan apa yang ditemukan dalam setiap jenis deiksis.

Oleh karena penelitian ini bersifat kualitatif-deskriptif, hasil pemerian, sebagai jawaban terhadap ketiga masalah tersebut akan menjadi bahan informatif tentang deiksis bahasa Mandailing pada khususnya, dan kajian pragmatik pada umumnya. Sebagai upaya untuk diperolehnya hasil informatif tersebut, telah dilakukan pengumpulan data dari lima jenis deiksis, yang meliputi deiksis persona, deiksis ruang, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis wacana. Penyertaan dua jenis terakhir merupakan hal yang membuat hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian tentang deiksis sebelumnya.

Proses analisis data diawali melalui metode klasifikasi menurut masing-masing jenis deiksisnya dalam kerangka teori. Unsur lingual yang diklasifikasi sebagai ekspresi deiksis berdasarkan kerangka teoretis yang digunakan, selanjutnya, diperikan, bagaimana masing-masing digunakan berdasarkan pengamatan lapangan dan informasi dari para informan. Dari paparan dan analisis, diperoleh hasil bahwa dalam deiksis persona, penggunaan pronomina untuk mengacu orang tidak lepas dari pengaruh dominan penggunaan istilah kekerabatan. Pengacuan dengan pronomina persona dipengaruhi oleh penggunaan istilah kekerabatan. Penggunaan pronomina persona menghendaki adanya pengombinasian dengan istilah kekerabatan yang sesuai, tetapi penggunaan istilah kekerabatan tidak menghendaki pengombinasiannya dengan pronomina persona. Bentuk terikat pronomina persona bahasa Mandailing lebih banyak daripada bentuk bebasnya. Hal demikian disebabkan terdapatnya sejumlah bentuk bebas dengan kepemilikan bentuk terikat lebih dari satu.

(13)

penetapan kedeiktisan dengan mendasarkan penggunaannya pada perspektif penutur. Hal lain yang ditemukan adalah, adanya hubungan bersifat simetris di antara sesama jenis demonstrativanya dalam menyatakan jarak relatif antara acuan dengan penutur atau antara acuan dengan penutur dan mitra tuturnya.

Dalam deiksis waktunya, masalah kedeiktisan sama halnya dengan yang terdapat dalam deiksis ruang. Ekspresi lingual pengungkap waktu deiktis sifatnya apabila yang menjadi pusat deiksis dalam pengacuan adalah penuturnya. Terdapat tiga hari sebelum dan sesudah hari tuturan, dalam bahasa Mandailing, yang tidak dapat diacu dengan menyebut nama harinya karena terdapat ekspresi deiksis khusus untuk mengacu masing-masing hari tersebut.

Dalam deiksis sosial dominasi penggunaan istilah kekerabatan tetap ditemukan dalam mengacu mitra tutur. Istilah-istilah lain di luar istilah kekerabatan dapat diabaikan penggunaannya asalkan yang digunakan untuk mengacu atau menyapa mitra tutur itu adalah istilah kekerabatan. Terhadap orang yang menjadi mitra tutur, pengacuannya dengan ekspresi deiksis berupa istilah kekerabatan adalah penginformasian sekaligus hubungan kekerabatan yang terdapat antara mitra tutur dengan penutur. Di samping itu, ditemukan sejumlah istilah kekerabatan tunggal yang dapat digunakan untuk menyapa mitra tutur dalam hubungan kekerabatan yang berbeda. Hal demikian disebabkan oleh terdapatnya sejumlah isilah kekerabatan dalam bentuk frasa dengan inti yang sama, sehingga yang dijadikan sebagai pengacu atau menyapa adalah bagian intinya.

Dalam deiksis wacananya, terdapat penggunaan ekspresi deiksis yang sama untuk mengacu bagian wacana yang berbeda. Untuk mengetahui bagian wacana yang menjadi acuannya diperlukan pemahaman konteks. Apabila bagian wacana tidak ditemukan sesudahnya, yang menjadi acuan adalah tuturan terdapatnya ekspresi deiksis tersebut pada saat pengacuan.

Kata Kunci: deiksis, fungsi, klasifikasi,

pemerian, kecenderungan.

(14)

ABSTRACT

Deixis in bahasa Mandailing had specifically been selected an object of this research. To the best of my knowledge there hasn’t been research specifically on the same topic. Apart from this background deixis as the focus of the study is viewed to have an important function in language use. It is predictable that to describe something will be difficult if we do not use deictic expressions such as pronouns, demonstratives, terms of address. Deixis as it is perceived as an act of referring to entities by using certain linguistic expressions (deictic expression), has three main functions. Firstly, to represent the referent intended by the speaker into his utterance. Secondly, to specify the intended referent among possible referents, and the third one is, to direct the addressee’s attenton to the speaker’s intended referent.

There are three abbreviated questions as the focus pertaining with deixis in bahasa Mandailing, and the answers for them expected from this research. The questions are: (1) how is deictic expressions respectively used, (2) how do the linguistic deictic expressions in every kind of it emerge, and (3) what kind of uniqueness can be found in every kind of deixis.

Due to the qualitative-descriptive feature of this research, descriptive answers to those three questions would be a special informative source of deixis in bahasa Mandailing, and an additional information for pragmatic study of language. Data collection in obtaining the descriptions about the five kinds of deixis (personal, spacial, temporal, social, and discourse deixis) had been carried out. The last two kinds of deixis make this study different from the previous ones.

The process of data analysis was firstly conducted by classifying the kind of deixis according to the theoretical frame work. Linguistic elements classified theoretically as deixis expressions, then how they are used according to the field observation and the informant’s descriptions are described. The result of analysis showed that there are tendencies that the use of personal pronoun can not be separated from it’s term of kinship. Refering by using personal pronoun is influenced by the use of term of kinship. The use of personal pronoun is suggested to be accompanied by appropriate term of kinship, but the use of term of kinship does not need to be accompanied by personal pronoun. The numbers of bound forms of personal pronoun in bahasa Mandailing are more than that of it’s free forms. This occurs because of the existence of a number of free forms with more than one bound form.

(15)

In terms of temporal deixis, the use of expression is the same as that in spacial deixis. The temporal expression will be deictic if the speaker is centre of deixis when he or she refers to something. There are three days before and after the day of referring which cannot be referred to with the names of the day because bahasa Mandailing has special deictic terms in referring to those days.

In terms of social deixis, the dominant use of kinship terms is found in referring to the addressee. It is possible to ignore the use of other terms if the terms used to refer consist of kinship terms. Referring to the addressee, kinship terms also informs the kinship relation between the addressee and the speaker. There are also several sole kinship terms that can be used to refer to different person. In practice, several phrasal kinship terms can be shortened only by using it’s nuclei.

In terms of discourse deixis, one certain deictic expression can be used to refer to a part of discourse which is being or will be refered. To know it’s referent, we need to understand it’s utterance context. If there is no part of discourse after it, it refers to the part of discourse being uttered.

Key words: deixis, functions, classification,

(16)

Kajian deiksis mengajariku bahwa saya boleh jadi adalah engkau bagi orang lain, dan engkau baginya boleh jadi itulah yang saya bagiku. Roket yang meluncur ke atas di siang hari, di mataku itu adalah naik, namun kajian deiksis mengajariku bahwa itu boleh jadi adalah turun. Begitu juga akan ini-ku, boleh jadi adalah itu-mu bagi orang lain. Kajian deiksis mengajariku akan perlunya menggilir sudut pandang (Namsyah Hot Hasibuan).

Sati (Willem Iskander, 1830 – 1876)

Bahasa

Mandailing Indonesia

Iabo ale amang sinuan tunas

Langkama ho amang marguru tu sikola Ulang hum baen song luas-luas

Tai ringgas ho amang marsipoda ...

Lao ita marsarak

Marsipaingot dope ahu di o Ulang lupa, ... Manjalai bisuk na peto

...

O, Na Lobi Denggan Roa ! Na umbege na upardokon on Mangido au di Ita

Ita patorang pangaroai ni danak on

Wahai anakku sayang

Berangkatlah nak berguru ke sekolah Jangan hanya bermain-main

Tapi rajinlah nak menuntut ilmu ...

Menjelang kita berpisah ini

Kusempatkan masih berpesan padamu Jangan lupa, ...

Mencari ilmu yang benar

...

Wahai Yang Mahapenyayang

Yang Mahamendengar yang kumohonkan ini Kumohon pada-Mu

Terangilah sanubari anak ini

Semoga wujud capaian harapan di atas ada pada:

1. Anak-anakku: a. Amarsyah Ali Hasibuan b. Yanisah Hasibuan 2. Keluargaku

3. Kerabatku, dan 4. Bangsaku.

(17)

UCAPAN TERIMA KASIH

Karya tulis berupa disertasi ini merupakan laporan pengkajian sebagian ihwal

deiksis bahasa Mandailing, yang penyelesaiannya bertepatan dengan saat berakhirnya

masa studi penulis di Program Doktor Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera (SPs USU). Penulisan laporan ini mendasari dua hal pokok, yang

masing-masing dengan asal yang berbeda. Pertama dari SPs USU sendiri, yang

menjadikannya sebagai salah satu syarat dalam pemerolehan gelar doktor dalam

bidang linguistik. Kedua adalah dari penulis sendiri, di samping pemenuhan tuntutan

di atas, yang menjadikannya sebagai tantangan peningkatan kemampuan dalam

pengkajian linguistik secara khusus.

Adalah hal yang tidak dapat penulis nafikan bahwa disertasi ini tidak akan

terwujud atas kerja sendiri. Ada saja masalah dalam penyelesaiannya. Di antara

masalah itu, ada yang dalam penyelesaiannya dapat dilakukan setelah lebih dahulu

beroleh informasi, di samping yang dapat diselesaikan oleh penulis sendiri.

Alhamdulillah, masalah yang dimaksudkan dapat juga akhirnya diselesaikan berkat

kerja sama dan niat baik untuk membantu dari semua pihak yang terkait dalam upaya

mewujudkannya. Untuk itu sudah pada tempatnya ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D., yang sejak dini

dengan kesiapannya selaku promotor telah banyak membantu, baik dalam pemberian

literatur relevan, bimbingan serta arahan dalam penyelesaian disertasi ini. Begitu juga

(18)

Dr. Busmin Gurning, M.Pd., penulis ucapkan terima kasih atas bimbingan, saran, dan

arahan konstruktif yang diberikan sehingga diperolehnya disertasi yang lebih baik

daripada bentuknya semula.

Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Hein Steinhauer, sebagai academic advisor

penulis selama mengikuti Program Sandwich di Universitas Leiden, yang telah banyak

membantu dalam membuka akses ke sumber-sumber informasi untuk pemerolehan

literatur relevan yang diperlukan dan kesudiannya membaca draf awal disertasi ini

serta memberikan masukan berharga dalam proses penyelesaiannya. Tidak terkecuali

kepada sejawat Dr. Drs. Syahron Lubis, M.A., dari Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara, sebagai penutur asli dan mengerti bahasa Mandailing, atas kesediaan

dan kesudiannya memeriksa dan berdiskusi tentang keaslian data yang digunakan serta

kebenaran pemaknaannya ke dalam bahasa Indonesia.

Ucapan terima kasih yang takterhingga dan tulus penulis sampaikan kepada

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., Ketua Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (KPSL SPs USU), yang dengan kerendahan

dan ketulusan hati selalu memberikan motivasi dan jalan keluar dari pelik-pelik yang

penulis hadapi dalam penyelesaian tugas akhir akademis yang dijalani. Prof. Dr. Ir. A.

Rahim Matondang, MSIE, Direktur SPs USU, dan pendahulunya Prof. Dr. Ir. T.

Chairun Nisa, B., M.Sc.; Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSc (CTM),

Sp.A., Rektor; dan pendahulunya Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A.(K); Dr.

Drs. Syahron Lubis, M.A., Dekan Fakultas Sastra USU; dan pendahulunya Prof.

(19)

memberi kesempatan kepada penulis mengikuti studi di PSL SPs USU. Terima kasih

tidak lupa penulis tujukan kepada pihak terkait di USU yang telah membantu penulis

dalam pendanaan studi selama perkuliahan.

Kepada para guru penulis yang amat terpelajar di PSL SPs USU (Prof. T.A.

Ridwan, Ph.D. (alm), Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D., Prof. Amrin Saragih, Ph.D.,

Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D., Prof. Amran Halim, Ph.D., Prof. Mangasa

Silitonga, Ph.D., Prof. Dr. Jawasi Naibaho, Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., Prof. Dr.

Berlin Sibarani, M.Pd., Dr. Sugiono, dsb.), yang mengajar dan menambah tahu penulis

tentang ilmu (linguistik), penulis ucapkan terima kasih, semoga ilmu yang diajarkan

merupakan bagian dari kebajikan yang bermanfaat secara berantai di kemudian hari.

Kepada kolega penulis seangkatan, yang berbudi baik dan nama semuanya

diingat tetapi tidak disebut di sini, terima kasih yang tulus atas segala perhatian dan

saran baiknya untuk pencepatan perampungan penulisan tugas akhir ini; begitu juga

atas kerja sama yang baik dan kekompakan yang terbina di antara sesama kita semasa

perkuliahan. Terima kasih yang sama penulis tujukan juga kepada para pegawai atau

mitra kerja staf pimpinan di Universitas Sumatera Utara, khusnya di Program Studi

Linguistik, yang telah membantu dan memudahkan penulis dalam penyelesaian semua

urusan akademik.

Kepatutan berterima kasih dari penulis tertuju kepada istri tercinta, Siti Sahro,

yang senantiasa melakukan apa yang terbaik darinya dalam semua kondisi dan situasi

yang penulis jalani, dan kepada kedua anak tersayang Amarsyah Ali Hasibuan dan

(20)

hasil penelitian ini. Kepada pengayom pertama serta orangtua bagi penulis (Ali Aham

Hasibuan dan Siti Arfah Harahap) dan kedua mertua (Syaiin Lubis dan Rohana

Matondang) yang keempatnya telah tiada dan tidak sempat menyaksikan acara dan

capaian ini, hanya doa dari kami, semoga beroleh kelapangan, perlindungan, dan

keselamatan dari Khalik pengabul doa dan pencipta segalanya itu.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis mempersembahkan disertasi

ini untuk dibaca oleh khalayak dari semua pihak. Mungkin di dalamnya terdapat

kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, tiada pintu tertutup bagi penulis untuk

menerima ide ataupun kritikan yang menuju kepada kesempurnaan.

Medan, 30 Juli 2010

Penulis,

Namsyah Hot Hasibuan

(21)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... ix

LAMBANG DAN SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Fokus Penelitian ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 6

1.5 Liputan Penelitian ... 7

1.6 Klarifikasi Istilah ... 7

1.7. Sepintas Tentang Mandailing ... 10

1.7.1 Letak Geografis ... 10

1.7.2 Sistem Kemasyarakatan ... 14

1.7.3 Kepercayaan ... 17

1.7.4 Bahasa Mandailing dan Rumpunnya ... 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 22

2.0 Pengantar ... 22

(22)

2.2 Historiografi Singkat Pragmatik ... 25

2.3 Antara Semantik dan Pragmatik ... 29

2.4 Konteks Tutur ... 33

2.5 Urgensi Deiksis ... 37

2.6 Deiksis Dari Sejumlah Ahli ... 39

2.7 Antara Referensi dan Deiksis ... 45

2.8 Kajian Sebelumnya ... 50

2.9 Kerangka Teori ... 54

2.9.1 Deiksis Persona ... 57

2.9.2 Deiksis Tempat ... 64

2.9.3 Deiksis Waktu ... 68

2.9.4 Deiksis Sosial ... 73

2.9.5 Deiksis Wacana ... 76

BAB III METODE PENELITIAN ... 79

3.1 Model Penelitian ... 79

3.2 Subjek dan Lokasi Penelitian... 80

3.2.1 Subjek Penelitian ... 80

3.2.2 Lokasi Penelitian ... 80

3.3 Data dan Teknik Analisis ... 81

(23)

3.3.2 Teknik Analisis ... 83

3.4 Keterbatasan ... 85

BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS... 88

4.1 Deiksis Persona Dalam Bahasa Mandailing ... 88

4.1.1 Bentuk Bebas ... 84

4.1.1.1 Pronomina Orang Pertama ... 94

4.1.1.2 Pronomina Persona Orang Kedua ... 107

4.1.1.3 Pronomina Persona Orang Ketiga ... 118

4.1.2 Bentuk Terikat ... 125

4.1.3 Bentuk Gabungan Dengan Leksem Lain ... 135

4.2 Deiksis Tempat Dalam Bahasa Mandailing... 153

4.2.1 Ekspresi Tempat Dalam Bahasa Mandailing ... 153

4.2.2 Demonstrativa Bahasa Mandailing ... 160

4.2.2.1 Demonstrativa Pronominal ... 161

4.2.2.2 Demonstrativa Adjektival ... 166

4.2.2.3 Demonstrativa Adverbial ... 177

4.2.2.3.1 Demonstrativa Adverbial Dengan Preposisi i ... 179

4.2.2.3.2 Demonstrativa Adverbial Dengan Preposisi tu ... 184

4.2.2.3.3 Demonstrativa Adverbial Dengan Preposisi ngon ... 187

4.2.2.4 Demonstrativa Jenis Lain ... 191

(24)

4.3.1.1 Ekspresi Waktu yang Deiktis ... 198

4.3.1.1.1 Pengacu Waktu Lampau ... 199

4.3.1.1.2 Pengacu Waktu Kini ... 202

4.3.1.1.3 Pengacu Waktu Mendatang ... 205

4.3.1.2 Ekspresi Waktu yang Non-Deiktis ... 208

4.3.1.2.1 Dengan Penanda Waktu Lampau ... 209

4.3.1.2.2 Dengan Penanda Waktu Kini ... 216

4.3.1.2.3 Dengan Penanda Waktu Mendatang... 219

4.3.2 Antara Gerak dan Waktu ... 224

4.3.2.1 Implikasi Penutur Yang Bergerak ... 225

4.3.2.2 Implikasi Waktu Yang Bergerak ... 229

4.4 Deiksis Sosial Dalam Bahasa Mandailing ... 233

4.4.1 Pronomina Persona ... 234

4.4.1.1 Pronomina Persona homu ... 235

4.4.1.2 Pronomina Persona halahi ... 237

4.4.2 Bentuk Sapaan ... 238

4.4.2.1 Dengan Penyebutan Marga ... 239

4.4.2.2 Dengan Istilah Kekerabatan ... 241

4.4.2.3 Dengan Istilah Jabatan ... 249

4.4.2.4 Dengan Istilah Kepangkatan ... 250

4.4.3 Bentuk Terikat ... 251

(25)

4.5 Deiksis Wacana Dalam Bahasa Mandailing ... 252

4.5.1 Pengacu Bagian Sebelum Saat Tuturan ... 253

4.5.2 Pengacu Bagian Pada Saat Tuturan ... 261

4.5.3 Pengacu Bagian Sesudah Saat Tuturan ... 262

4.5.4 Penanda Wacana ... 263

BAB V TEMUAN PENELITIAN ... 265

5.0 Pengangar ... 265

5.1 Deiksis Persona ... 265

5.2 Deiksis Tempat ... 268

5.3 Deiksis Waktu ... 271

5.4 Deiksis Sosial ... 272

5.5 Deiksis Wacana ... 274

BAB VI PEMBAHASAN ... 276

6.0 Pengantar ... 276

6.1 Deiksis Persona ... 276

6.2 Deiksis Tempat ... 289

6.3 Deiksis Waktu ... 299

6.4 Deiksis Sosial ... 308

(26)

BAB VII KESIMPULAN dan SARAN ... 322

7.1 Kesimpulan ... 322

7.2 Saran ... 329

DAFTAR BACAAN ... 331

LAMPIRAN ... 337

1. Daftar Penutur / Informan ... 337

2. Data Transkripsi Rekaman ... 339

3. Data Catatan dan Yang Dari Informan ... 349

4. Biodata Singkat ... 371

     

             

(27)

LAMBANG DAN SINGKATAN

? : Bentuk yang ditandai dengannya dipertanyakan

keberterimaan penggunaannya.

* : Unsur lingual yang ditandai dengannya tidak berterima

dalam konstruksi tertentu.

= : Tanda untuk keidentikan makna semantis

& : Tanda pengganti kata dan pada bagian tertentu

( ) : Di dalamnya terdapat keterangan tambahan opsional.

( …. ) : Posisi tertentu dalam kalimat yang dapat diisi oleh setiap

bentuk lingual dari sejumlah kemungkinan.

[ ….. ] : Ada bagian awal atau akhir kalimat yang dihilangkan.

: Di dalamnya terdapat unsur lingual yang mungkin dapat di-

gabungkan dengan unsur lingual yang terdapat pada kiri atau

kanan, atau kiri dan kanannya.

: Di dalamnya terdapat unsur lingual yang padanan gabungannya

ke kiri atau ke kanan secara horizontal.

BI : Bahasa Inggris

BM : Bahasa Mandailing

br : baris

Di : Data informan

(28)

Dp : Data penutur

hal. : halaman

INH : Impola Ni Hata

no : nomor

SM : Sinondang Mandailing

         

             

(29)

ABSTRAK

Penelitian ini secara khusus memilih deiksis dalam bahasa Mandailing sebagai objeknya. Sejauh yang penulis ketahui, belum ditemukan adanya penelitian khusus sebelumnya dengan topik yang sama. Deiksis sebagai pilihan objek penelitian, selain hal yang baru disebutkan, didasarkan juga pada pentingnya fungsi yang dimilikinya dalam penggunaan bahasa. Dapat diperkirakan, akan ditemukan kendala dalam menerangkan sesuatu apabila pelibatan deiksis (seperti penggunaan pronomina, demonstrativa, bentuk sapaan) tidak terdapat di dalamnya. Deiksis yang dapat dipersepsi sebagai tindak pengacuan terhadap sesuatu dengan unsur lingual tertentu (deictic expression) memiliki tiga fungsi penting. Yang pertama adalah menghadirkan acuan yang dimaksud oleh penutur ke dalam tuturannya. Kedua, menspesifikasi acuan tertentu dari sejumlah kemungkinan acuan, dan yang ketiga, untuk menggiring perhatian mitra tutur kepada acuan yang dimaksudkan oleh penutur.

Tiga masalah berkenaan dengannya telah dirumuskan sebagai fokus untuk dicarikan jawabannya melalui penelitian ini. Masalahnya adalah: (1) bagaimana setiap ekspresi deiksis digunakan, (2) bagaimana perwujudan lingual ekspresi deiksis dalam setiap jenisnya dimunculkan, dan (3) keunikan apa yang ditemukan dalam setiap jenis deiksis.

Oleh karena penelitian ini bersifat kualitatif-deskriptif, hasil pemerian, sebagai jawaban terhadap ketiga masalah tersebut akan menjadi bahan informatif tentang deiksis bahasa Mandailing pada khususnya, dan kajian pragmatik pada umumnya. Sebagai upaya untuk diperolehnya hasil informatif tersebut, telah dilakukan pengumpulan data dari lima jenis deiksis, yang meliputi deiksis persona, deiksis ruang, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis wacana. Penyertaan dua jenis terakhir merupakan hal yang membuat hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian tentang deiksis sebelumnya.

Proses analisis data diawali melalui metode klasifikasi menurut masing-masing jenis deiksisnya dalam kerangka teori. Unsur lingual yang diklasifikasi sebagai ekspresi deiksis berdasarkan kerangka teoretis yang digunakan, selanjutnya, diperikan, bagaimana masing-masing digunakan berdasarkan pengamatan lapangan dan informasi dari para informan. Dari paparan dan analisis, diperoleh hasil bahwa dalam deiksis persona, penggunaan pronomina untuk mengacu orang tidak lepas dari pengaruh dominan penggunaan istilah kekerabatan. Pengacuan dengan pronomina persona dipengaruhi oleh penggunaan istilah kekerabatan. Penggunaan pronomina persona menghendaki adanya pengombinasian dengan istilah kekerabatan yang sesuai, tetapi penggunaan istilah kekerabatan tidak menghendaki pengombinasiannya dengan pronomina persona. Bentuk terikat pronomina persona bahasa Mandailing lebih banyak daripada bentuk bebasnya. Hal demikian disebabkan terdapatnya sejumlah bentuk bebas dengan kepemilikan bentuk terikat lebih dari satu.

(30)

penetapan kedeiktisan dengan mendasarkan penggunaannya pada perspektif penutur. Hal lain yang ditemukan adalah, adanya hubungan bersifat simetris di antara sesama jenis demonstrativanya dalam menyatakan jarak relatif antara acuan dengan penutur atau antara acuan dengan penutur dan mitra tuturnya.

Dalam deiksis waktunya, masalah kedeiktisan sama halnya dengan yang terdapat dalam deiksis ruang. Ekspresi lingual pengungkap waktu deiktis sifatnya apabila yang menjadi pusat deiksis dalam pengacuan adalah penuturnya. Terdapat tiga hari sebelum dan sesudah hari tuturan, dalam bahasa Mandailing, yang tidak dapat diacu dengan menyebut nama harinya karena terdapat ekspresi deiksis khusus untuk mengacu masing-masing hari tersebut.

Dalam deiksis sosial dominasi penggunaan istilah kekerabatan tetap ditemukan dalam mengacu mitra tutur. Istilah-istilah lain di luar istilah kekerabatan dapat diabaikan penggunaannya asalkan yang digunakan untuk mengacu atau menyapa mitra tutur itu adalah istilah kekerabatan. Terhadap orang yang menjadi mitra tutur, pengacuannya dengan ekspresi deiksis berupa istilah kekerabatan adalah penginformasian sekaligus hubungan kekerabatan yang terdapat antara mitra tutur dengan penutur. Di samping itu, ditemukan sejumlah istilah kekerabatan tunggal yang dapat digunakan untuk menyapa mitra tutur dalam hubungan kekerabatan yang berbeda. Hal demikian disebabkan oleh terdapatnya sejumlah isilah kekerabatan dalam bentuk frasa dengan inti yang sama, sehingga yang dijadikan sebagai pengacu atau menyapa adalah bagian intinya.

Dalam deiksis wacananya, terdapat penggunaan ekspresi deiksis yang sama untuk mengacu bagian wacana yang berbeda. Untuk mengetahui bagian wacana yang menjadi acuannya diperlukan pemahaman konteks. Apabila bagian wacana tidak ditemukan sesudahnya, yang menjadi acuan adalah tuturan terdapatnya ekspresi deiksis tersebut pada saat pengacuan.

Kata Kunci: deiksis, fungsi, klasifikasi,

pemerian, kecenderungan.

(31)

ABSTRACT

Deixis in bahasa Mandailing had specifically been selected an object of this research. To the best of my knowledge there hasn’t been research specifically on the same topic. Apart from this background deixis as the focus of the study is viewed to have an important function in language use. It is predictable that to describe something will be difficult if we do not use deictic expressions such as pronouns, demonstratives, terms of address. Deixis as it is perceived as an act of referring to entities by using certain linguistic expressions (deictic expression), has three main functions. Firstly, to represent the referent intended by the speaker into his utterance. Secondly, to specify the intended referent among possible referents, and the third one is, to direct the addressee’s attenton to the speaker’s intended referent.

There are three abbreviated questions as the focus pertaining with deixis in bahasa Mandailing, and the answers for them expected from this research. The questions are: (1) how is deictic expressions respectively used, (2) how do the linguistic deictic expressions in every kind of it emerge, and (3) what kind of uniqueness can be found in every kind of deixis.

Due to the qualitative-descriptive feature of this research, descriptive answers to those three questions would be a special informative source of deixis in bahasa Mandailing, and an additional information for pragmatic study of language. Data collection in obtaining the descriptions about the five kinds of deixis (personal, spacial, temporal, social, and discourse deixis) had been carried out. The last two kinds of deixis make this study different from the previous ones.

The process of data analysis was firstly conducted by classifying the kind of deixis according to the theoretical frame work. Linguistic elements classified theoretically as deixis expressions, then how they are used according to the field observation and the informant’s descriptions are described. The result of analysis showed that there are tendencies that the use of personal pronoun can not be separated from it’s term of kinship. Refering by using personal pronoun is influenced by the use of term of kinship. The use of personal pronoun is suggested to be accompanied by appropriate term of kinship, but the use of term of kinship does not need to be accompanied by personal pronoun. The numbers of bound forms of personal pronoun in bahasa Mandailing are more than that of it’s free forms. This occurs because of the existence of a number of free forms with more than one bound form.

(32)

In terms of temporal deixis, the use of expression is the same as that in spacial deixis. The temporal expression will be deictic if the speaker is centre of deixis when he or she refers to something. There are three days before and after the day of referring which cannot be referred to with the names of the day because bahasa Mandailing has special deictic terms in referring to those days.

In terms of social deixis, the dominant use of kinship terms is found in referring to the addressee. It is possible to ignore the use of other terms if the terms used to refer consist of kinship terms. Referring to the addressee, kinship terms also informs the kinship relation between the addressee and the speaker. There are also several sole kinship terms that can be used to refer to different person. In practice, several phrasal kinship terms can be shortened only by using it’s nuclei.

In terms of discourse deixis, one certain deictic expression can be used to refer to a part of discourse which is being or will be refered. To know it’s referent, we need to understand it’s utterance context. If there is no part of discourse after it, it refers to the part of discourse being uttered.

Key words: deixis, functions, classification,

(33)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Linguistik berkembang dengan pesat, dan hal itu memberi dampak berupa

pengakumulasian sejumlah karya yang tidak terkira jumlahnya. Tidaklah terlalu sulit

memahami hal itu apabila dikaitkan dengan sifat objek material linguistik yang

senantiasa mengalami perubahan, atau oleh peningkatan intensitas penelitian yang

dilakukan terhadapnya. Bahasa yang hidup sebagai akibat dinamika yang terdapat

dalam masyarakat senantiasa akrab dengan perubahan. Oleh karena perubahan yang

tetap ada pada setiap bahasa maka teori kebahasaan pun dapat berubah dan

berkembang sejalan dengan intensitas penelitian kebahasaan yang dilakukan

terhadapnya.

Hal menarik yang dapat diamati dari fenomena tersebut tidak saja terdapat dan

terbatas pada pemerian bahasa tertentu beserta keunikan yang dimunculkannya, tetapi

juga pada aneka cara pendekatan beserta teori yang diperoleh dari hasil penelitian itu.

Pada tataran pragmatik, misalnya, telah banyak sumber dengan liputan aspek yang

lebih luas dan berbeda dari sebelumnya. Di antaranya malah ada yang hadir dengan

liputan secara khusus, dengan pengambilan fokus pada aspek atau sub-aspek tertentu.

Namun, perlu disadari bahwa hasil penelitian terhadap bahasa tertentu sebagai

sumber lahirnya teori dapat menyiratkan problema tentang tingkat keberterimaan teori

itu sendiri untuk semua bahasa. Hal ini sekaligus memberi asumsi bahwa tidak ada

(34)

kajian aspek-aspek bahasa berbagai bahasa yang ada di dunia. Dalam hubungan ini,

penerapan suatu teori terhadap bahasa lain di luar bahasa yang menjadi model buat

pemunculan suatu teori dapat dipandang sebagai upaya melihat tingkat keberterimaan

teori tersebut di satu pihak, serta adanya kemungkinan keunikan komparatif yang

terdapat pada bahasa yang diteliti di pihak lain.

Menyadari akan hal bahasa daerah yang terdapat di wilayah Indonesia yang

jumlahnya mencapai 746 buah (dari informasi Kepala Balai Bahasa Medan (Amrin

Saragih), tanggal 14 Mei 2010), kehadiran teori baru di era yang oleh sebagian orang

katakan modern ini merupakan tantangan tersendiri dalam memahami lebih jauh ihwal

kebahasaan kita yang bhinneka itu. Kepemilikan kita terhadap bahasa-bahasa daerah

sudah jelas dan tercatat sebagai keberuntungan tersendiri dalam menjaga

terpeliharanya kelangsungan kehidupan budaya daerah yang merupakan kekayaan

nasional (Halim, 1981:21-22). Salah satu di antara bahasa daerah yang jumlahnya

disebutkan di atas adalah bahasa Mandailing.

Berdasarkan pengamatan penulis, bahasa ini masih tergolong kepada bahasa

yang masih jarang mendapat sentuhan pengaplikasian teori linguistik. Sejumlah ahli,

seperti Willem Iskander (1872), Bgd. Maracub Marpaung (1958), Loekman H. Siregar,

dkk. (1983), tercatat sebagai yang pernah menulis tentang bahasa Mandailing. Namun,

pada tulisan mereka belum terlihat adanya bahasan-bahasan khusus tentang salah satu

di antara aspek bahasa Mandailing tersebut.

Deiksis sebagai salah satu sub-bidang pragmatik, yang urgensinya amat jelas

(35)

belum mendapat tempat tersendiri sebagai bahan kajian atau bahasan. Perihal deiksis,

seperti pronomina persona, demonstrativa, adverbia lokatif-temporal, dapat dikatakan

hanya dijadikan sebagai muatan di berbagai bagian tulisan mereka untuk keperluan

bacaan dan latihan bagi pembacanya.

Dua ahli lain, yang juga tercatat memiliki tautan dengan perihal bahasa

Mandailing, adalah H.N. Van der Tuuk dan H.J. Eggink. Keduanya telah pernah

menulis tentang bahasa Mandailing pada aspek yang berbeda. Van der Tuuk (1864)

tampil dengan hasil penelitiannya tentang fonologi, khususnya yang menyangkut

sistem bunyi bahasa Mandailing. Hasil penelitian tersebut dia jadikan sebagai salah

satu bab dalam bukunya Tobasche Spraakkunst. Selain tentang sistem bunyi bahasa

Mandailing, Van der Tuuk tidak terlihat lebih jauh melakukan penelitian terhadap

aspek bahasa Mandailing lainnya.

Berikutnya, hasil penelitian bahasa Mandailing yang dilakukan oleh Eggink

(1936) dapat dipandang sebagai karya berwibawa dalam wujud kamus. Buku tersebut

memuat banyak kosa kata bahasa Mandailing dengan artinya. Dalam bukunya tersebut,

Angkola en Mandailing Bataksch – Nederlandsch Woordenboek, Eggink tampak telah

berupaya menampilkan aspek-aspek semantis bahasa Mandailing secara cermat dan

menyeluruh yang berguna bagi penelitian selanjutnya.

Dapat dikatakan bahwa dalam lingkup daftar kosa kata yang termuat dalam

buku kamus yang dihasilkannya terliput juga komponen lingual berkategori deiksis,

seperti yang disebutkan di atas – berupa kata ganti orang, kata penunjuk, kata

(36)

perolehan kata berkategori deiksis bersama artinya dalam kamus, termasuk yang

termuat dalam kamus Eggink tersebut, belum dapat sepenuhnya memberi informasi

tentang ihwal kedeiksisan suatu bahasa. Dengan gambaran tersebut di atas, tidaklah

berlebihan apabila dikatakan bahwa dari tulisan para ahli yang pernah menulis tentang

bahasa Mandailing di atas belum diperoleh informasi memadai tentang deiksis dalam

bahasa Mandailing.

Keinginan untuk memperoleh informasi perihal deiksis dalam bahasa

Mandailing mendasari upaya yang penulis lakukan untuk mengadakan kajian

terhadapnya melalui suatu penelitian khusus. Penelitian ini dapat dipandang sebagai

upaya, seperti yang dinyatakan oleh Barthes (Wuthnow, dkk., 1984:139), to

reconstitute an object, sehingga melalui prosesnya orang mengetahui akan kaidah atau

hukum yang berlaku pada objek yang diteliti. Artinya, menurut Barthes, dari hasil

sentuhan intelek manusia terhadap objek yang ditelitinya manusia dapat menjelaskan

sesuatu yang belum terlihat atau terpikirkan oleh orang lain pada objek itu. Dengan

penetapan fokus penelitian pada deiksis bahasa Mandailing, hasilnya diharapkan

menjadi bagian dari sumber informasi tentang deiksis bahasa Mandailing.

1.2 Fokus Penelitian

Terkait dengan aspek linguistik yang belum terlihat pada hasil penelitian para

ahli yang tersebut pada bagian latar belakang (1.1), yang dipandang perlu mendapat

pencermatan adalah soal penggunaan ekspresi deiksis. Secara umum dapat dikatakan

(37)

partisipan. Oleh karenanya, pemerian tentang ekspresi deiksis seyogianya juga dengan

memperhatikan penggunaannya dalam konteks sosial berbahasa. Tiga pertanyaan

telah dirumuskan untuk dicarikan jawabannya sebagai fokus kegiatan dalam penelitian

ini; ketiganya adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah ekspresi deiksis bahasa Mandailing digunakan?

2. Bagaimanakah perwujudan lingual ekspresi deiksis bahasa Mandailing?

3. Keunikan bagaimanakah yang ditemukan dalam setiap jenis deiksis bahasa

Mandailing?

1.3 Tujuan Penelitian

Gambaran perihal deiksis bahasa Mandailing yang terdapat pada bagian latar

belakang (1.1) masih menyisakan sejumlah rumpang yang perlu mendapat

penyelesaian dari perspektif linguistik. Pengkajian lanjut melalui penelitian khusus ini

bertujuan memberi andil dalam menutup rumpang itu dengan upaya yang dapat penulis

lakukan, yaitu:

1. Memerikan fungsi setiap ekspresi deiksis bahasa Mandailing (bagaimana

masing-masing digunakan).

2. Memerikan, dalam wujud lingual bagaimanakah ekspresi deiksis bahasa

Mandailing tampil.

3. Memerikan, bagaimanakah keunikan temuan yang terdapat dalam setiap

(38)

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Pada bagian latar belakang (1.1) telah disinggung sedikit tentang urgensi

deiksis pada penggunaan bahasa. Deiksis adalah satu di antara fenomena lingual

universal. Setiap bahasa memiliki ekspresi deiksisnya masing-masing yang dapat

difungsikan untuk mengacu sesuatu dalam berkomunikasi. Sebatas itu mudah

dipahami bahwa tanpa pelibatan penggunaan ekspresi deiksis di dalamnya komunikasi

tersebut tidak akan seefektif dan seefisien komunikasi yang melibatkan penggunaan

ekspresi deiksis di dalamnya (Huang, 2007:132). Salah satu bukti nyata tidak jalannya

komunikasi secara wajar tanpa penggunaan ekspresi deiksis di dalamnya adalah pada

komunikasi yang menggunakan tuturan Saya ada di sini. Dengan peniadaan unsur saya

dan di sini, yang masing-masing merupakan ekspresi deiksis pada tuturan tersebut,

dapat dikatakan bahwa tidak ada sebenarnya informasi yang diperoleh dari penuturnya

jika yang tinggal hanya bagian tuturan ada saja.

Dalam kaitannya dengan penelitian yang dilakukan, membaca dan memahami

hasilnya, tentang deiksis bahasa Mandailing, akan membantu dalam pencapaian

kepadaan dalam penggunaan bahasa tersebut. Selain itu, bahasa sebagai produk

masyarakat, dia juga merupakan cerminan dari yang berlaku dalam budaya dan

masyarakat. Setidaknya, dari pemahaman hasil penelitian ini, pembacanya akan

terbantu dalam memahami budaya dan pengintegrasian dirinya dalam masyarakat

Mandailing. Secara teoretis, hasil penelitian ini akan memperkaya khazanah hasil

(39)

1.5 Liputan Penelitian

Dalam kajian linguistik dewasa ini dikenal lima jenis deiksis, yang terdiri dari:

deiksis persona (personal deixis), deiksis tempat (spacial deixis), deiksis waktu

(temporal deixis), deiksis sosial (social dexis), dan deiksis wacana (discourse deixis)

(Levinson, 1983:54-94, 2006a-b; Cruse, 2004:333-337; Huang, 2007:136-174). Dalam

penelitian ini penulis menyertakan semua dari kelima jenis deiksis yang disebutkan di

atas sebagai objek penelitian, dengan batasan pada bahasa Mandailing yang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari; bukan yang digunakan dalam kegiatan resmi atau formal.

Penelitian ini berada pada tataran kata atau frasa, dengan fokus perhatian, bagaimana

masing-masing satuan lingual yang ditampilkan tersebut digunakan.

1.6 Klarifikasi Istilah

Dalam kajian ini terdapat sejumlah istilah yang perlu mendapat penjelasan

secara konseptual karena istilah-istilah yang dimaksud diperkirakan sering muncul

pada bagian tertentu dalam tulisan ini. Selain itu, istilah-istilah yang dimaksud

sebagian besar terdiri dari istilah yang berkenaan dengan fokus penelitian.

Istilah-istilah itu adalah: acuan, pengacuan, ekspresi deiksis, makna ekspresi deiksis, jenis

deiksis, penggunaan deiksis, dan bahasa Mandailing.

Acuan

Acuan (referent) dimaknai sebagai sesuatu yang ditunjukkan, baik oleh penutur

(40)

Pengacuan

Pengacuan (reference) adalah proses penunjukan yang dilakukan oleh penutur dengan

menggunakan bentuk lingual tertentu atau oleh bentuk lingual itu sendiri terhadap

sesuatu.

Ekspresi deiksis

Ekspresi deiksis (deictic expression) adalah ekspresi lingual yang penentuan acuannya

dilakukan melalui pemahaman konteks dihasilkannya ekspresi tersebut (Termasuk di

dalamnya adalah berupa pronomina persona (seperti saya, engkau, dia, -ku, -mu, -nya),

pronomina demonstratva (seperti ini, itu), adverbia, baik yang menyatakan tempat

ataupun waktu, seperti di sini, di situ; sekarang, nanti.

Makna ekspresi deiksis

Makna di sini dimaksudkan meliputi makna semantik dan makna pragmatik suatu

ekspresi deiksis. Makna semantik pemerolehannya berasal dari sifat simbolisnya,

sedangkan makna pragmatik diperoleh melalui penggunaan ekspresi atau unsur lingual

itu oleh penutur pada konteks situasi tutur tertentu.

Jenis deiksis

Dalam kajian ini, yang dimaksud dengan jenis deiksis (kinds of deixis)adalah kategori

tertentu dalam pembagian deiksis yang didasarkan pada sifat informasi yang terdapat

pada setiap ekspresi deiksis. Jika ekspresi deiksis menginformasikan tentang orang,

(41)

jenis personal. Selanjutnya, disebut deiksis waktu apabila ekspresi deiksis tersebut

menginformasikan aspek waktu.

Penggunaan deiksis

Istilah penggunaan deiksis dalam kajian ini dapat diidentikkan dengan fungsi yang

dimiliki ekspresi deiksis dalam konteks sosial berbahasa. Jika fungsi bahasa dapat

dimaknai sebagai cara orang menggunakan bahasanya maka penggunaan deiksis

adalah, bagaimana ekspresi deiksis digunakan oleh penutur bahasa dalam kehidupan

sosialnya.

Bahasa Mandailing

Dalam mempersepsi bahasa Mandailing, pada pengkajian ini, daerah asal pemakaian

bahasa terkait di dalamnya karena asal mula pemakaian suatu bahasa dapat dikatakan

berasal dari suatu daerah tertentu. Dengan demikian, bahasa Mandailing yang

dimaksudkan dalam penelitian ini, yang sekaligus dijadikan sebagai objek kajian,

adalah bahasa Mandailing yang digunakan oleh masyarakat asal daerah Mandailing.

Daerah ini meliputi wilayah, mulai dari Simarongit Sihepeng (Kecamatan Siabu)

sampai ke Ranjobatu (Kecamatan Muarasipongi), yang memanjang dari Utara ke

Selatan; sedangkan sebelah Timur dan Barat berbatasan dengan pegunungan Bukit

Barisan.

Penjelasan di atas menggariskan ketentuan bahwa bahasa Mandailing yang

(42)

1.7 Sepintas Tentang Mandailing

1.7.1 Letak Geografis

Mandailing, secara keseluruhan, merupakan bagian dari Kabupaten Mandailing-

Natal; sebuah kabupaten terujung di Selatan Propinsi Sumatera utara.

(43)

Daerah ini terletak di antara 90 0 – 100 0 Bujur Timur, di sebelah Utara

Khatulistiwa. Dengan sendirinya daerah ini terkena iklim musim yang mengenal

adanya musim penghujan dan musim kemarau.

Wilayah Mandailing, sejak periode pemerintahan Belanda, dibagi atas tiga

bagian. Setelah masa kemerdekaan dan masuk ke era reformasi, yang mengenal

adanya “pemekaran wilayah”, wilayah Mandailing dibagi lagi atas beberapa bagian

berupa kecamatan. Namun, pembagian Mandailing atas tiga wilayah, seperti

pembagian pertama di atas, masih mendominasi persepsi orang Mandailing dibanding

dengan pembagian yang dilakukan kemudian. Pembagiannya atas tiga bagian adalah,

yang pertama, Mandailing Julu. Pada zaman Belanda disebut Klein Mandailing.

Mandailing Julu berarti ‘Mandailing Hulu’, dan Klein Mandailing berarti ‘Mandailing

Kecil’. Disebut demikian karena dia terletak di sebelah arah hulu (sungai) dan paling

kecil dari dua wilayah bagian lainnya. Mandailing Julu mempunyai wilayah, dari

Maga sampai ke Ranjobatu, dan beribu kota di Kotanopan.

Bagian kedua ialah Mandailing Godang. Pada zaman Belanda disebut juga

Groot Mandailing. Mandailing Godang berarti ‘Mandailing Besar’ atau ‘Mandailing

Raya’. Disebut demikian karena bagian kedua ini mempunyai wilayah paling luas dan

paling banyak penduduknya daripada dua bagian Mandailing lainnya. Wilayahnya

terdapat, antara Siramram dan Maga. Panyabungan adalah ibu kotanya dan juga

merupakan tempat yang mula-mula ramai.

Yang ketiga ialah Mandailing Jae, atau disebut juga Mandailing Harangan.

(44)

Siramram. Kata jae berarti ‘hilir’, dan harangan artinya ‘hutan’. Penyebutan

Mandailing Jae didasarkan pada letaknya yang berada di bagian arah hilir (sungai);

sedangkan penyebutannya sebagai Mandailing Harangan adalah karena usianya yang

paling muda dari dua bagian wilayah Mandailing lainnya yang terlebih dahulu ramai.

Dua bagian wilayah lainnya yang penduduknya telah ramai ketika itu, bagian ketiga

dari wilayah Mandailing ini masih merupakan hutan yang belum banyak dihuni.

Sebelum masa kemerdekaan, yang berkuasa untuk pemerintahan adalah raja.

Di wilayah Mandailing, raja-raja yang berkuasa pada mulanya berasal dari marga

Nasution dan Lubis. Mandailing Godang dan Mandailing Jae berada di bawah

kekuasaan raja bermarga Nasution, sedangkan Mandailing Julu oleh raja dari marga

Lubis. Selain kedua marga tersebut, yang lebih dahulu berkuasa di Mandailing, dikenal

juga marga lain yang menyusul kemudian, seperti: Hasibuan, Siregar, Harahap, dan

sebagainya. Sebagian mereka ada juga yang sempat menjadi raja di Mandailing

Godang dan Mandailing Jae. Mereka mengambil anak gadis raja-raja Mandailing

Godang. Raja dari marga Hasibuan, misalnya, pernah berkuasa di Simangambat, dan

hampir di Sihepeng. Di Rumbio, pernah juga berkuasa raja dari marga Siregar

(Sumber: dari informan).

Sebagaimana halnya dengan daerah-daerah lain di Sumatera, Mandailing juga

dilalui oleh Pegunungan Bukit Barisan. Jajaran pegunungan tersebut terbagi dua dan

membuat Mandailing berada di antara kedua jajaran tersebut. Pegunungan Bukit

Barisan yang memanjang dari Utara ke Selatan menjadi batas wilayah mandailing

(45)

Sihepeng dan Ranjo batu. Tanah-tanah Mandailing bagian sebelah Timur merupakan

bagian yang lebih tinggi daripada bagian Baratnya, sehingga sungai-sungai yang ada

pada umumnya mengalir ke arah Barat. Sepanjang aliran sungai inilah terdapat

daerah-daerah persawahan yang dikerjakan sepanjang tahun. Sungai-sungai besar yang

terdapat di Mandailing, antara lain adalah sungai Aek Batang gadis, Aek Muara Sada,

Aek Kitang, Aek Pohon, Aek Dano, dan sebagainya.

Daerah Mandailing, dari ujung Utara ke ujung Selatan, dapat dilalui oleh lalu

lintas kenderaan. Kedua ujung tersebut terhubung oleh jalan raya lintas Medan –

Padang yang berfungsi sebagai urat nadi utama lalu lintas. Keberadaan jalan raya lintas

antar propinsi tersebut merupakan suatu keberuntungan bagi orang Mandailing karena

dengan keberadaan prasarana tersebut orangang Mandailing dengan mudah berkenalan

dengan dunia luar (Bangun, 1976:94). Dengan melewati jalan lintas tersebut juga akan

terlihat bukit dan gunung dengan hutan primer dan sekundernya, serta tanah-tanah

rendah yang menjadi areal pertanian.

Dapat dikatakan bahwa sebagian besar orang Mandailing di pedesaan hidup

dari usaha tanah. Tanah-tanah datar dan sebagian bukit merupakan daerah pertanian

yang subur. Pada lahan-lahan yang datar dengan airnya yang cukup kebanyakan orang

mengerjakan sawah (saba), sedangkan pada lahan-lahan perbukitan atau tanah-tanah

yang agak tinggi lazimnya orang mengerjakan ladang (kobun).

Dalam bertani belum banyak ditemukan pekerjaan khusus, yakni memilih

antara dua; bersawah, atau berladang. Kebanyakan penduduk mengerjakan kedua

(46)

keluarga biasanya juga memiliki lahan tanah untuk perladangan. Dari sawah mereka

peroleh hasil padi, dan dari ladang diperoleh pula hasil dari berbagai tanaman, seperti:

karet, kopi, kelapa, coklat, buah-buahan, sayur-sayuran, dan sebagainya.

Pada periode sesudah panen padi, menunggu masa turun ke sawah yang

berikutnya, sering juga dilakukan pekerjaan martapo sebagai usaha tambahan.

Martapo dimaksudkan untuk tinggal di sawah dengan memelihara berbagai hewan

peliharaan, seperti ikan dalam tambak, ayam-itik, dan sebagainya. Dengan demikian,

diperoleh pula hasil tambahan berupa ikan dan telur. Usaha lain yang menjadi

pencaharian sebagian kecil orang Mandailing di pedesaan adalah: berdagang,

berjualan, menagkap ikan di sungai, menempa besi, bekerja pada jasa angkutan,

menganyam tikar, membuat tali, membuat gula, dan sebagainya.

1.7.2 Sistem Kemasyarakatan

Berbicara tentang sistem kemasyarakatan, dalam hubungannya dengan

masyarakat Mandailing, berarti berbicara pula tentang sistem adat yang berlaku dalam

kehidupan masyarakatnya. Adat sejak lama telah mengatur dan memberi ketetapan

berupa hukum-hukum adat dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Sekalipun

agama dan sistem-sistem lainnya terdapat dalam kehidupan, namun peranan sistem

adat yang telah berlaku sebelumnya tampak masih mendominasi, terutama dalam

kehidupan tradisional. Masyarakat Mandailing tersusun dalam kelompok-kelompok

patrilineal genealogis. Garis turunan mengikuti pihak ayah. Seorang anak termasuk

(47)

Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu hubungan permanen antara

kelompok kerabat yang disebut dalihan na tolu. Dalihan na tolu berarti ‘tungku yang

tiga’. Tungku senantiasa harus tiga untuk menjamin keutuhannya serta menjamin

keselamatan apa saja yang ditaruh di atasnya. Susunan seperti itu ditemukan dalam

peraturan adat guna kemantapan dari setiap mupakat. Sesuatu yang menjadi masalah

keluarga atau sebagai anggota masyarakat harus dibicarakan dan diselesaikan dalam

lembaga dalihan na tolu. Dia merupakan hasil perwujudan tiga kelompok keluarga

yang timbul sebagai akibat dari perkawinan eksogam pada marga-marga yang ada di

satu pihak dan menurut garis keturunan di pihak lain.

Ketiga kelompok keluarga yang menjadi eksponen lembaga ini adalah:

kahanggi, mora, dan anakboru. Kahanggi ialah barisan keturunan laki-laki yang

berasal dari satu ayah asal atau nenek. Mereka tergabung dalam satu kelompok marga

menurut marga ayah asal dan mereka terhadap sesamanya akan bertutur kahanggi.

Selanjutnya, kahanggi yang masih berasal dari satu ibu-bapak disebut suhut. Mora

adalah kelompok kahanggi dari pihak ibu atau pengambilan anak gadis menurut adat.

Anakboru ialah kelompok kahanggi dari yang mengambil saudara perempuan atau

pengambil anak gadis. Walau demikian, setiap kelompok tidak selamanya berfungsi

sebagai kahanggi, mora, anakboru. Pada kesempatan lain, dapat saja terjadi pergantian

fungsi antara masing-masing kelompok terhadap kahanggi dari marga-marga lain.

Seorang dari pihak mora, misalnya, bisa saja beralih fungsi menjadi anakboru pada

kesempatan lain, yaitu pada upacara adat yang diadakan oleh pihak yang menjadi

(48)

Nasution, misalnya, yang menjadi anakboru bagi kelompok marga Lubis karena

mengambil anak gadis mereka, dapat menjadi mora pula bagi kelompok marga

Hasibuan disebabkan yang bermarga Hasibuan mengambil anak gadis dari keluarga

Nasution. Demikian seterusnya, sehingga pada setiap anggota dari kelompok marga

yang satu terdapat tiga fungsi secara menyatu, dan dia akan dipanggil sebagai apa dia

dalam suatu upacara adat.

Minimal, kelompok kerabat yang tiga tersebutlah yang bertanggungjawab atas

terlaksananya suatu upacara atau musyawarah adat. Untuk kesempurnaan musyawarah,

dalihan na tolu lazimnya dilengkapi dengan kehadiran pengetua adat dan hatobangon.

Hatobangon adalah perwakilan dari setiap kelompok marga yang dituakan oleh

masyarakat karena kepandaian dan kecakapannya dalam bidang peradatan, di samping

kepribadiannya yang terpuji. Pengetua adat, yang biasa disebut panusunan bulung atau

raja na toras, adalah pihak yang berkuasa pada suatu kampung. Jika sesuatu sudah

merupakan hasil mufakat bersama dari kelima komponen tersebut, segala sesuatunya

harus dilakukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Keutuhan hasil mufakat bersama biasanya disimbolkan dengan kehadiran

perangkat burangir ‘sekapur sirih’. Burangir yang terdiri dari: daun sirih, kapur sirih,

gambir, pinang, tembakau; masing-masing merupakan simbolisasi dari pihak yang

turut dalam penetapan suatu keputusan. Daun sirih, kapur sirih, gambir, ketiganya

merupakan simbolisasi keikutsertaan pihak suhut, kahanggi, dan anakboru; sedangkan

pinang dan tembakau menyimbolkan mora dan hatobangon atau pengetua adat dalam

(49)

menghasilkan air pekat berwarna merah padam yang dengan detergen apapun

digunakan dalam upaya menghilangkannya, setelah mengenai kain putih, biasanya

akan berakhir dengan sia-sia. Demikian kekutan putusan musyawarah adat yang

disimbolkan dengan kehadiran burangir (Sumber: keterangan informan).

1.7.3 Kepercayaan

Islam adalah satu-satunya agama yang dianut oleh mayoritas penduduk.

Pendidikan agama diterima oleh setiap orang, baik dari dalam maupun dari luar

lingkungan keluarga. Pada masa dini, yakni sekitar usia tujuh tahun, anak-anak telah

disuruh belajar dan menuntut pengetahuan agama. Untuk itu anak-anak biasanya

menggabungkan diri dalam suatu kelompok pengajian yang diasuh oleh seorang guru

yang pandai. Mereka pada tahap ini diajari dan dididik untuk memperoleh kemahiran

dalam membaca kitab suci Al-Quran. Kemahiran ini merupakan keharusan bagi si

anak sebelum melangkah kepada tingkatan berikutnya. Dengan demikian, bukan suatu

hal yang ganjil apabila kepandaian dan sedikit pengetahuan agama dimiliki oleh setiap

putera puteri Mandailing.

Agama Islam tersebar di wilayah ini melalui ranah Minangkabau sebelum dan

bersamaan dengan masuknya kaum Paderi ke tanah Mandailing. Agama ini berterima

di hati penduduk sekalipun sebelumnya wilayah Mandailing dikenal dengan penganut

animisme dan Hinduismenya. Sebelum masuknya Belanda ke Mandailing, Islam telah

menjadi agama anutan seluruh penduduk. Ajaran Islam telah memberi pengaruh

(50)

kepercayaan lama pada sebagian penduduk masih dapat dijumpai. Upacara-upacara

yang menyangkut kekeluargaan, berupa masalah perkawinan, kematian, faraid, dan

sebagainya telah diwarnai oleh anasir ajaran Islam.

Di samping masih adanya sisa kepercayaan lama yang oleh para dai atau

mubalig dipandang dapat merusak akidah Islami penduduk, berkembang pula

pengajaran agama Islam. Dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan agama

berupa madrasah di berbagai tempat telah menghasilkan banyak alumni yang dapat

membantu membukakan mata masyarakat terhadap ajaran agama Islam, sehingga

dewasa ini jumlah mereka yang akidahnya tercampur dengan anasir kepercayaan lama

sudah semakin berkurang. Dapat dikatakan bahwa penyebaran Islam ke seluruh

pelosok tidak lagi menjadi masalah seperti untuk tahap berikutnya, yaitu memikirkan

dan mengupayakan pengisian rohani masyarakat dengan ajaran Islam yang sebenarnya

dan mempertinggi mutu pengetahuan mereka.

Walau demikian, tidak berarti penduduk Mandailing sekarang ini

keseluruhannya terdiri dari penganut Islam. Selain itu, di Mandailing terdapat juga

penduduk beragama Kristen Protestan dan Katolik. Yang mula pertama di antara

keduanya memasuki tanah Mandailing adalah Kristen Protestan. Masuknya Kristen ke

daerah ini bermula sesudah Belanda menginjakkan kakinya di Mandailing. Dengan

melemahnya kekuasaan raja-raja Mandailing sebagai akibat dominasi pemerintah

Belanda telah membukakan pintu bagi agama Kristen untuk dapat masuk ke daerah

(51)

Kebanyakan mereka datang dari Utara, sekitar Danau Toba. Itu sebabnya di

Mandailing, sebutan Toba selalu diidentikkan dengan Kristen. Mereka biasanya hidup

dengan membuka dan membuat perkampungan tersendiri, tidak bergabung dengan

penganut Islam. Setelah kemerdekaan, jumlah penganut agama Kristen dan Katolik,

dari Januari ke Januari terlihat semakin bertambah akibat perkembangan penduduk dan

bertambahnya pendatang Kristen baru (Sumber: keterangan informan).

1.7.4 Bahasa Mandailing dan Rumpunnya

Wahana komunikasi yang digunakan di Mandailing adalah bahasa Mandailing.

Bahasa Indonesia, sekalipun diketahui, penggunaannya terbatas pada acara-acara

formal saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa yang benar-benar

digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat hanya satu, yakni bahasa

Mandailing. Semua penduduk mengetahui dan dapat menggunakannya, sekalipun tidak

mengetahui masuk ke dalam rumpun bahasa apa bahasa Mandailing dikelompokkan.

Terkait dengan ihwal pengelompokan bahasa ini, ada baiknya kita mengikuti

pemikiran Mees (1967:9) yang mengisyaratkan bahwa bahasa-bahasa yang

menunjukkan banyak persamaan dan sedikit perbedaan dapat digolongkan ke dalam

satu rumpun bahasa. Sementara itu, Muljana (1975:11) menyebutkan bahwa

bahasa-bahasa Austronesia (istilah Schmidt) telah lama dikenal di dunia ilmu bahasa-bahasa,

khususnya dalam ilmu bahasa perbandingan (comparative historical linguistics) untuk

menunjukkan keserumpunan bahasa-bahasa yang terdapat di kepulauan nusantara (atau

(52)

empat buah benua. Memanjang dari pulau Madagaskar di sebelah Barat sampai ke

pulau Pas di sebelah Timur, sedangkan sebelah Utara-Selatan berbatasan dengan pulau

Formosa dan Selandia Baru.

Dalam buku Ilmu Perbandingan Bahasa-bahasa Austronesia, Mees

mengadakan pembagian dan memberi penjelasan terhadap bahasa-bahasa Austronesia.

Dia membagi bahasa-bahasa tersebut atas dua kelompok besar, yakni, bahasa-bahasa

Austronesia bagian Barat, dan bahasa-bahasa Austronesia bagian Timur. Yang terdapat

di bagian Barat disebut bahasa-bahasa Hesperanesia atau bahasa-bahasa Nusantara,

sedangkan yang di bagian Timur disebut bahasa-bahasa Lautan Teduh atau

bahasa-bahasa Oseania. Yang terakhir ini masih dibagi lagi atas tiga kelompok bahasa:

bahasa-bahasa Polinesia (Nusabanyak), bahasa-bahasa Melanesia (Nusahitam), dan

bahasa-bahasa Mikronesia (Nusakecil), sedangkan yang sebelah Barat dibagi atas 11

kelompok, yakni: (1) bahasa Formosa, (2) bahasa Filipina, (3)

bahasa-bahasa Sub-Filipina, (4) bahasa-bahasa-bahasa-bahasa Sulawesi, (5) bahasa-bahasa-bahasa-bahasa Ambon, (6)

bahasa-bahasa Nusatenggara, (7) bahasa-bahasa di pulau Jawa, (8) bahasa-bahasa

Kalimantan, (9) bahasa-bahasa di pulau Sumatera dan sekitarnya, (10) bahasa-bahasa

di Madagaskar dan sekitarnya, (11) bahasa-bahasa Cham di Kamboja.

Perhatian kita sekarang tertuju pada kelompok nomor (9) karena di sinilah

terdapat bahasa Mandailing, di samping bahasa Aceh, Melayu, Karo, Toba, Siladang,

dan sebagainya. Dari penjelasan Mees tentang rumpun bahasa di atas diketahui bahwa

(53)

(bahasa Nusantara), sebagai sub-rumpun Austronesia, yang terdapat di pulau

(54)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.0 Pengantar

Para ahli bahasa yang berbicara tentang deiksis (seperti Levinson (1983,

2006a-b), Fasold (2006), Mey (2001), Bohnemeyer (2006), Yule (1996), Huang

(2007)) tidak menjadikan deiksis sebagai bahan pembicaraan tanpa menyertakan

pragmatik lebih dahulu di dalamnya. Hal demikian beralasan mengingat bahwa salah

satu aspek mendasar dalam kajian deiksis, yakni, inferensi makna, dilakukan dengan

memperhitungkan konteks. Perubahan konteks penggunaan tuturan, termasuk yang

dinyatakan sebagai ekspresi deiksis, akan berimplikasi pada perubahan makna ekspresi

tersebut. Peranan konteks yang menentukan, seperti itu, menyebabkan kajian deiksis

digolongkan sebagai sub-bidang kajian pragmatik.

Analogi untuk pemahaman lebih lanjut tentang kajian deiksis sebagai

sub-bidang pragmatik, contohnya, adalah antara afiksasi dengan morfologi bahasa.

Perubahan bentuk morfem, termasuk disebabkan proses afiksasi, adalah kajian

morfologi. Oleh karenanya, afiksasi adalah sub-bidang kajian morfologi. Lalu, sebagai

apa pragmatik itu?

2.1 Pengertian Pragmatik

Pemahaman konseptual arti suatu istilah tidak selalu diperoleh dari satu

definisi. Malah satu definisi, ada kalanya, terasa tidak memadai untuk memberi

(55)

kesempatan ini, penulis tampilkan empat buah definisi yang merupakan esensi

deskripsi singkat tentang pragmatik, yang dibuat oleh Yule. Dalam deskripsinya, Yule

(1996:3) mengemukakan hal sebagai berikut.

1. Pragmatik berfokus pada pengkajian makna yang disampaikan oleh penutur

dan ditafsirkan sesudahnya oleh mitra tutur. Pengkajian makna, di sini, lebih

memperhatikan apa sesungguhnya yang penutur maksudkan dengan

tuturannya daripada sekedar makna yang terdapat pada tuturan itu. Dari

deskripsi singkat (1) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah

pengkajian makna yang dimaksudkan oleh penutur (Pragmatics is the study

of speaker meaning).

2. Pengkajian makna menurut penutur (seperti tersebut pada poin (1))

merupakan upaya penafsiran atas apa yang penutur maksudkan dalam

konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan

yang dihasilkan. Cara kerja pengkajian ini memperhatikan bagaimana

penutur menyesuaikan apa yang hendak dituturkan dengan konteks yang

melatarbelakanginya, seperti, siapa orang yang menjadi mitra tutur, di mana,

kapan, dan dalam keadaan bagaimana tuturan dihasilkan. Dari deskripsi

singkat (2) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian makna

karena pengaruh konteks (Pragmatics is the study of contextual meaning).

(56)

3. Melalui ancangan pragmatik menjadi pengamatan bagaimana mitra tutur

menginferensi tuturan yang didengarnya, sehingga hasil tafsirannya terhadap

tuturan itu sama deng

Gambar

Gambaran proses pemerolehan data tersebut dapat dilihat pada bagan 06 di bawah.

Referensi

Dokumen terkait

Pada kalimat (12a) deiksis persona dia referennya mengacu pada orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut yang dimaksudkan penutur adalah lawan bicaranya’ kalimat (12b)

Liza Padillah Parinduri, Nim 208212021, Analisis Bahasa Tuturan dalam Mangupa pada Perkawinan Batak Mandailing. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Program Studi

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk deiksis dan fungsi deiksis yang terdapat dalam roman Le Magasin des Suicides. Subjek penelitian ini adalah semua

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikaji oleh peneliti, maka tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan bentuk-bentuk dan fungsi deiksis sosial yang terdapat pada tuturan

Alasan dimunculkan sebagai sumber data sekunder, disebabkan percakapan tokoh dalam film tersebut terdapat pelesapan deiksis yang tidak ditemukan dalam sumber data

Terhadap orang yang menjadi mitra tutur, pengacuannya dengan ekspresi deiksis berupa istilah kekerabatan yang penginformasian sekaligus hubungan kekerabatan yang terdapat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terdapat 62 bentuk deiksis dalam bahasa Minangkabau di Kecamatan Sangir Batang Hari, ternyata terdapat 24 bentuk deiksis orang, 22

Di dalam bukunya, Moeliono (2003:42) mengemukakan pengertian deiksis, yaitu: deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya