DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Linguistik
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M,Sc (CTM), Sp.A(K)
Dipertahankan pada tanggal 14 Mei 2011
pada pukul 09.30 di Medan, Sumatera Utara
NAMSYAH HOT HASIBUAN
NIM 058107010/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Linguistik
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M,Sc (CTM), Sp.A(K)
Dipertahankan pada tanggal 14 Mei 2011
pada pukul 09.30 di Medan, Sumatera Utara
NAMSYAH HOT HASIBUAN
NIM 058107010/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Linguistik
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Doktor Terbuka
Pada
Hari
:
Sabtu
Tanggal
:
14
Mei
2011
P u k u l
: 09.30
Oleh
Judul Disertasi : DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING
Nama Mahasiswa : Namsyah Hot Hasibuan
N I M : 058107010
Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing
tt
Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. Promotor
tt tt
Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. Ko-Promotor Ko-Promotor
Ketua Program Studi Linguistik, Direktur Sekolah Pascasarjana,
tt tt
HASIL PENELITIAN DISERTASI INI TELAH DISETUJUI UNTUK SIDANG TERBUKA TANGGAL 14 MEI 2011
Oleh
Promotor
tt
Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D.
Ko-Promotor
tt tt
Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd.
Mengetahui
Ketua Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
tt
Telah diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 05 Februari 2011
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. USU Medan
Anggota :
1. Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. UNIMED Medan
2. Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED Medan
3. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED Medan
4. Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D. NTU Singapore
5. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU Medan
6. Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU Medan
Dengan Surat Keputusan
Diuji Pada Ujian Disertasi (Promosi) Tanggal 14 Mei 2011
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. USU Medan
Anggota :
1. Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. UNIMED Medan
2. Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED Medan
3. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED Medan
4. Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D. NTU Singapore
5. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU Medan
6. Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU Medan
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
TIM PROMOTOR
tt
Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D.
tt
Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd.
tt
TIM PENGUJI LUAR KOMISI
tt
Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.
tt
Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D.
tt
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.
tt
BUKTI PENGESAHAN PERBAIKAN DISERTASI
Judul Disertasi : DEIKSIS DALAM BAHASA MANDAILING Nama Mahasiswa : Namsyah Hot Hasibuan
NIM : 058107010
Program Studi : Linguistik
No
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
1 Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. tt 2 Mei 2011
2 Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. tt 4 Mei 2011
3 Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. tt 3 Mei 2011
4 Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. tt 5 Mei 2011
5 Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D. tt 10 Mei 2011
6 Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. tt 5 Mei 2011
PERNYATAAN
JUDUL: DEIKSIS
DALAM
BAHASA MANDAILING
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri. Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau terdapat plagiat pada bagian-bagiannya, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Medan, 30 Juli 2010
tt
Meterai
ABSTRAK
Penelitian ini secara khusus memilih deiksis dalam bahasa Mandailing sebagai objeknya. Sejauh yang penulis ketahui, belum ditemukan adanya penelitian khusus sebelumnya dengan topik yang sama. Deiksis sebagai pilihan objek penelitian, selain hal yang baru disebutkan, didasarkan juga pada pentingnya fungsi yang dimilikinya dalam penggunaan bahasa. Dapat diperkirakan, akan ditemukan kendala dalam menerangkan sesuatu apabila pelibatan deiksis (seperti penggunaan pronomina, demonstrativa, bentuk sapaan) tidak terdapat di dalamnya. Deiksis yang dapat dipersepsi sebagai tindak pengacuan terhadap sesuatu dengan unsur lingual tertentu (deictic expression) memiliki tiga fungsi penting. Yang pertama adalah menghadirkan acuan yang dimaksud oleh penutur ke dalam tuturannya. Kedua, menspesifikasi acuan tertentu dari sejumlah kemungkinan acuan, dan yang ketiga, untuk menggiring perhatian mitra tutur kepada acuan yang dimaksudkan oleh penutur.
Tiga masalah berkenaan dengannya telah dirumuskan sebagai fokus untuk dicarikan jawabannya melalui penelitian ini. Masalahnya adalah: (1) bagaimana setiap ekspresi deiksis digunakan, (2) bagaimana perwujudan lingual ekspresi deiksis dalam setiap jenisnya dimunculkan, dan (3) keunikan apa yang ditemukan dalam setiap jenis deiksis.
Oleh karena penelitian ini bersifat kualitatif-deskriptif, hasil pemerian, sebagai jawaban terhadap ketiga masalah tersebut akan menjadi bahan informatif tentang deiksis bahasa Mandailing pada khususnya, dan kajian pragmatik pada umumnya. Sebagai upaya untuk diperolehnya hasil informatif tersebut, telah dilakukan pengumpulan data dari lima jenis deiksis, yang meliputi deiksis persona, deiksis ruang, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis wacana. Penyertaan dua jenis terakhir merupakan hal yang membuat hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian tentang deiksis sebelumnya.
Proses analisis data diawali melalui metode klasifikasi menurut masing-masing jenis deiksisnya dalam kerangka teori. Unsur lingual yang diklasifikasi sebagai ekspresi deiksis berdasarkan kerangka teoretis yang digunakan, selanjutnya, diperikan, bagaimana masing-masing digunakan berdasarkan pengamatan lapangan dan informasi dari para informan. Dari paparan dan analisis, diperoleh hasil bahwa dalam deiksis persona, penggunaan pronomina untuk mengacu orang tidak lepas dari pengaruh dominan penggunaan istilah kekerabatan. Pengacuan dengan pronomina persona dipengaruhi oleh penggunaan istilah kekerabatan. Penggunaan pronomina persona menghendaki adanya pengombinasian dengan istilah kekerabatan yang sesuai, tetapi penggunaan istilah kekerabatan tidak menghendaki pengombinasiannya dengan pronomina persona. Bentuk terikat pronomina persona bahasa Mandailing lebih banyak daripada bentuk bebasnya. Hal demikian disebabkan terdapatnya sejumlah bentuk bebas dengan kepemilikan bentuk terikat lebih dari satu.
penetapan kedeiktisan dengan mendasarkan penggunaannya pada perspektif penutur. Hal lain yang ditemukan adalah, adanya hubungan bersifat simetris di antara sesama jenis demonstrativanya dalam menyatakan jarak relatif antara acuan dengan penutur atau antara acuan dengan penutur dan mitra tuturnya.
Dalam deiksis waktunya, masalah kedeiktisan sama halnya dengan yang terdapat dalam deiksis ruang. Ekspresi lingual pengungkap waktu deiktis sifatnya apabila yang menjadi pusat deiksis dalam pengacuan adalah penuturnya. Terdapat tiga hari sebelum dan sesudah hari tuturan, dalam bahasa Mandailing, yang tidak dapat diacu dengan menyebut nama harinya karena terdapat ekspresi deiksis khusus untuk mengacu masing-masing hari tersebut.
Dalam deiksis sosial dominasi penggunaan istilah kekerabatan tetap ditemukan dalam mengacu mitra tutur. Istilah-istilah lain di luar istilah kekerabatan dapat diabaikan penggunaannya asalkan yang digunakan untuk mengacu atau menyapa mitra tutur itu adalah istilah kekerabatan. Terhadap orang yang menjadi mitra tutur, pengacuannya dengan ekspresi deiksis berupa istilah kekerabatan adalah penginformasian sekaligus hubungan kekerabatan yang terdapat antara mitra tutur dengan penutur. Di samping itu, ditemukan sejumlah istilah kekerabatan tunggal yang dapat digunakan untuk menyapa mitra tutur dalam hubungan kekerabatan yang berbeda. Hal demikian disebabkan oleh terdapatnya sejumlah isilah kekerabatan dalam bentuk frasa dengan inti yang sama, sehingga yang dijadikan sebagai pengacu atau menyapa adalah bagian intinya.
Dalam deiksis wacananya, terdapat penggunaan ekspresi deiksis yang sama untuk mengacu bagian wacana yang berbeda. Untuk mengetahui bagian wacana yang menjadi acuannya diperlukan pemahaman konteks. Apabila bagian wacana tidak ditemukan sesudahnya, yang menjadi acuan adalah tuturan terdapatnya ekspresi deiksis tersebut pada saat pengacuan.
Kata Kunci: deiksis, fungsi, klasifikasi,
pemerian, kecenderungan.
ABSTRACT
Deixis in bahasa Mandailing had specifically been selected an object of this research. To the best of my knowledge there hasn’t been research specifically on the same topic. Apart from this background deixis as the focus of the study is viewed to have an important function in language use. It is predictable that to describe something will be difficult if we do not use deictic expressions such as pronouns, demonstratives, terms of address. Deixis as it is perceived as an act of referring to entities by using certain linguistic expressions (deictic expression), has three main functions. Firstly, to represent the referent intended by the speaker into his utterance. Secondly, to specify the intended referent among possible referents, and the third one is, to direct the addressee’s attenton to the speaker’s intended referent.
There are three abbreviated questions as the focus pertaining with deixis in bahasa Mandailing, and the answers for them expected from this research. The questions are: (1) how is deictic expressions respectively used, (2) how do the linguistic deictic expressions in every kind of it emerge, and (3) what kind of uniqueness can be found in every kind of deixis.
Due to the qualitative-descriptive feature of this research, descriptive answers to those three questions would be a special informative source of deixis in bahasa Mandailing, and an additional information for pragmatic study of language. Data collection in obtaining the descriptions about the five kinds of deixis (personal, spacial, temporal, social, and discourse deixis) had been carried out. The last two kinds of deixis make this study different from the previous ones.
The process of data analysis was firstly conducted by classifying the kind of deixis according to the theoretical frame work. Linguistic elements classified theoretically as deixis expressions, then how they are used according to the field observation and the informant’s descriptions are described. The result of analysis showed that there are tendencies that the use of personal pronoun can not be separated from it’s term of kinship. Refering by using personal pronoun is influenced by the use of term of kinship. The use of personal pronoun is suggested to be accompanied by appropriate term of kinship, but the use of term of kinship does not need to be accompanied by personal pronoun. The numbers of bound forms of personal pronoun in bahasa Mandailing are more than that of it’s free forms. This occurs because of the existence of a number of free forms with more than one bound form.
In terms of temporal deixis, the use of expression is the same as that in spacial deixis. The temporal expression will be deictic if the speaker is centre of deixis when he or she refers to something. There are three days before and after the day of referring which cannot be referred to with the names of the day because bahasa Mandailing has special deictic terms in referring to those days.
In terms of social deixis, the dominant use of kinship terms is found in referring to the addressee. It is possible to ignore the use of other terms if the terms used to refer consist of kinship terms. Referring to the addressee, kinship terms also informs the kinship relation between the addressee and the speaker. There are also several sole kinship terms that can be used to refer to different person. In practice, several phrasal kinship terms can be shortened only by using it’s nuclei.
In terms of discourse deixis, one certain deictic expression can be used to refer to a part of discourse which is being or will be refered. To know it’s referent, we need to understand it’s utterance context. If there is no part of discourse after it, it refers to the part of discourse being uttered.
Key words: deixis, functions, classification,
Kajian deiksis mengajariku bahwa saya boleh jadi adalah engkau bagi orang lain, dan engkau baginya boleh jadi itulah yang saya bagiku. Roket yang meluncur ke atas di siang hari, di mataku itu adalah naik, namun kajian deiksis mengajariku bahwa itu boleh jadi adalah turun. Begitu juga akan ini-ku, boleh jadi adalah itu-mu bagi orang lain. Kajian deiksis mengajariku akan perlunya menggilir sudut pandang (Namsyah Hot Hasibuan).
Sati (Willem Iskander, 1830 – 1876)
Bahasa
Mandailing Indonesia
Iabo ale amang sinuan tunas
Langkama ho amang marguru tu sikola Ulang hum baen song luas-luas
Tai ringgas ho amang marsipoda ...
Lao ita marsarak
Marsipaingot dope ahu di o Ulang lupa, ... Manjalai bisuk na peto
...
O, Na Lobi Denggan Roa ! Na umbege na upardokon on Mangido au di Ita
Ita patorang pangaroai ni danak on
Wahai anakku sayang
Berangkatlah nak berguru ke sekolah Jangan hanya bermain-main
Tapi rajinlah nak menuntut ilmu ...
Menjelang kita berpisah ini
Kusempatkan masih berpesan padamu Jangan lupa, ...
Mencari ilmu yang benar
...
Wahai Yang Mahapenyayang
Yang Mahamendengar yang kumohonkan ini Kumohon pada-Mu
Terangilah sanubari anak ini
Semoga wujud capaian harapan di atas ada pada:
1. Anak-anakku: a. Amarsyah Ali Hasibuan b. Yanisah Hasibuan 2. Keluargaku
3. Kerabatku, dan 4. Bangsaku.
UCAPAN TERIMA KASIH
Karya tulis berupa disertasi ini merupakan laporan pengkajian sebagian ihwal
deiksis bahasa Mandailing, yang penyelesaiannya bertepatan dengan saat berakhirnya
masa studi penulis di Program Doktor Linguistik pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera (SPs USU). Penulisan laporan ini mendasari dua hal pokok, yang
masing-masing dengan asal yang berbeda. Pertama dari SPs USU sendiri, yang
menjadikannya sebagai salah satu syarat dalam pemerolehan gelar doktor dalam
bidang linguistik. Kedua adalah dari penulis sendiri, di samping pemenuhan tuntutan
di atas, yang menjadikannya sebagai tantangan peningkatan kemampuan dalam
pengkajian linguistik secara khusus.
Adalah hal yang tidak dapat penulis nafikan bahwa disertasi ini tidak akan
terwujud atas kerja sendiri. Ada saja masalah dalam penyelesaiannya. Di antara
masalah itu, ada yang dalam penyelesaiannya dapat dilakukan setelah lebih dahulu
beroleh informasi, di samping yang dapat diselesaikan oleh penulis sendiri.
Alhamdulillah, masalah yang dimaksudkan dapat juga akhirnya diselesaikan berkat
kerja sama dan niat baik untuk membantu dari semua pihak yang terkait dalam upaya
mewujudkannya. Untuk itu sudah pada tempatnya ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D., yang sejak dini
dengan kesiapannya selaku promotor telah banyak membantu, baik dalam pemberian
literatur relevan, bimbingan serta arahan dalam penyelesaian disertasi ini. Begitu juga
Dr. Busmin Gurning, M.Pd., penulis ucapkan terima kasih atas bimbingan, saran, dan
arahan konstruktif yang diberikan sehingga diperolehnya disertasi yang lebih baik
daripada bentuknya semula.
Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Hein Steinhauer, sebagai academic advisor
penulis selama mengikuti Program Sandwich di Universitas Leiden, yang telah banyak
membantu dalam membuka akses ke sumber-sumber informasi untuk pemerolehan
literatur relevan yang diperlukan dan kesudiannya membaca draf awal disertasi ini
serta memberikan masukan berharga dalam proses penyelesaiannya. Tidak terkecuali
kepada sejawat Dr. Drs. Syahron Lubis, M.A., dari Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara, sebagai penutur asli dan mengerti bahasa Mandailing, atas kesediaan
dan kesudiannya memeriksa dan berdiskusi tentang keaslian data yang digunakan serta
kebenaran pemaknaannya ke dalam bahasa Indonesia.
Ucapan terima kasih yang takterhingga dan tulus penulis sampaikan kepada
Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., Ketua Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (KPSL SPs USU), yang dengan kerendahan
dan ketulusan hati selalu memberikan motivasi dan jalan keluar dari pelik-pelik yang
penulis hadapi dalam penyelesaian tugas akhir akademis yang dijalani. Prof. Dr. Ir. A.
Rahim Matondang, MSIE, Direktur SPs USU, dan pendahulunya Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa, B., M.Sc.; Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSc (CTM),
Sp.A., Rektor; dan pendahulunya Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A.(K); Dr.
Drs. Syahron Lubis, M.A., Dekan Fakultas Sastra USU; dan pendahulunya Prof.
memberi kesempatan kepada penulis mengikuti studi di PSL SPs USU. Terima kasih
tidak lupa penulis tujukan kepada pihak terkait di USU yang telah membantu penulis
dalam pendanaan studi selama perkuliahan.
Kepada para guru penulis yang amat terpelajar di PSL SPs USU (Prof. T.A.
Ridwan, Ph.D. (alm), Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D., Prof. Amrin Saragih, Ph.D.,
Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D., Prof. Amran Halim, Ph.D., Prof. Mangasa
Silitonga, Ph.D., Prof. Dr. Jawasi Naibaho, Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., Prof. Dr.
Berlin Sibarani, M.Pd., Dr. Sugiono, dsb.), yang mengajar dan menambah tahu penulis
tentang ilmu (linguistik), penulis ucapkan terima kasih, semoga ilmu yang diajarkan
merupakan bagian dari kebajikan yang bermanfaat secara berantai di kemudian hari.
Kepada kolega penulis seangkatan, yang berbudi baik dan nama semuanya
diingat tetapi tidak disebut di sini, terima kasih yang tulus atas segala perhatian dan
saran baiknya untuk pencepatan perampungan penulisan tugas akhir ini; begitu juga
atas kerja sama yang baik dan kekompakan yang terbina di antara sesama kita semasa
perkuliahan. Terima kasih yang sama penulis tujukan juga kepada para pegawai atau
mitra kerja staf pimpinan di Universitas Sumatera Utara, khusnya di Program Studi
Linguistik, yang telah membantu dan memudahkan penulis dalam penyelesaian semua
urusan akademik.
Kepatutan berterima kasih dari penulis tertuju kepada istri tercinta, Siti Sahro,
yang senantiasa melakukan apa yang terbaik darinya dalam semua kondisi dan situasi
yang penulis jalani, dan kepada kedua anak tersayang Amarsyah Ali Hasibuan dan
hasil penelitian ini. Kepada pengayom pertama serta orangtua bagi penulis (Ali Aham
Hasibuan dan Siti Arfah Harahap) dan kedua mertua (Syaiin Lubis dan Rohana
Matondang) yang keempatnya telah tiada dan tidak sempat menyaksikan acara dan
capaian ini, hanya doa dari kami, semoga beroleh kelapangan, perlindungan, dan
keselamatan dari Khalik pengabul doa dan pencipta segalanya itu.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis mempersembahkan disertasi
ini untuk dibaca oleh khalayak dari semua pihak. Mungkin di dalamnya terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, tiada pintu tertutup bagi penulis untuk
menerima ide ataupun kritikan yang menuju kepada kesempurnaan.
Medan, 30 Juli 2010
Penulis,
Namsyah Hot Hasibuan
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... ix
LAMBANG DAN SINGKATAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Fokus Penelitian ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 6
1.5 Liputan Penelitian ... 7
1.6 Klarifikasi Istilah ... 7
1.7. Sepintas Tentang Mandailing ... 10
1.7.1 Letak Geografis ... 10
1.7.2 Sistem Kemasyarakatan ... 14
1.7.3 Kepercayaan ... 17
1.7.4 Bahasa Mandailing dan Rumpunnya ... 19
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 22
2.0 Pengantar ... 22
2.2 Historiografi Singkat Pragmatik ... 25
2.3 Antara Semantik dan Pragmatik ... 29
2.4 Konteks Tutur ... 33
2.5 Urgensi Deiksis ... 37
2.6 Deiksis Dari Sejumlah Ahli ... 39
2.7 Antara Referensi dan Deiksis ... 45
2.8 Kajian Sebelumnya ... 50
2.9 Kerangka Teori ... 54
2.9.1 Deiksis Persona ... 57
2.9.2 Deiksis Tempat ... 64
2.9.3 Deiksis Waktu ... 68
2.9.4 Deiksis Sosial ... 73
2.9.5 Deiksis Wacana ... 76
BAB III METODE PENELITIAN ... 79
3.1 Model Penelitian ... 79
3.2 Subjek dan Lokasi Penelitian... 80
3.2.1 Subjek Penelitian ... 80
3.2.2 Lokasi Penelitian ... 80
3.3 Data dan Teknik Analisis ... 81
3.3.2 Teknik Analisis ... 83
3.4 Keterbatasan ... 85
BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS... 88
4.1 Deiksis Persona Dalam Bahasa Mandailing ... 88
4.1.1 Bentuk Bebas ... 84
4.1.1.1 Pronomina Orang Pertama ... 94
4.1.1.2 Pronomina Persona Orang Kedua ... 107
4.1.1.3 Pronomina Persona Orang Ketiga ... 118
4.1.2 Bentuk Terikat ... 125
4.1.3 Bentuk Gabungan Dengan Leksem Lain ... 135
4.2 Deiksis Tempat Dalam Bahasa Mandailing... 153
4.2.1 Ekspresi Tempat Dalam Bahasa Mandailing ... 153
4.2.2 Demonstrativa Bahasa Mandailing ... 160
4.2.2.1 Demonstrativa Pronominal ... 161
4.2.2.2 Demonstrativa Adjektival ... 166
4.2.2.3 Demonstrativa Adverbial ... 177
4.2.2.3.1 Demonstrativa Adverbial Dengan Preposisi i ... 179
4.2.2.3.2 Demonstrativa Adverbial Dengan Preposisi tu ... 184
4.2.2.3.3 Demonstrativa Adverbial Dengan Preposisi ngon ... 187
4.2.2.4 Demonstrativa Jenis Lain ... 191
4.3.1.1 Ekspresi Waktu yang Deiktis ... 198
4.3.1.1.1 Pengacu Waktu Lampau ... 199
4.3.1.1.2 Pengacu Waktu Kini ... 202
4.3.1.1.3 Pengacu Waktu Mendatang ... 205
4.3.1.2 Ekspresi Waktu yang Non-Deiktis ... 208
4.3.1.2.1 Dengan Penanda Waktu Lampau ... 209
4.3.1.2.2 Dengan Penanda Waktu Kini ... 216
4.3.1.2.3 Dengan Penanda Waktu Mendatang... 219
4.3.2 Antara Gerak dan Waktu ... 224
4.3.2.1 Implikasi Penutur Yang Bergerak ... 225
4.3.2.2 Implikasi Waktu Yang Bergerak ... 229
4.4 Deiksis Sosial Dalam Bahasa Mandailing ... 233
4.4.1 Pronomina Persona ... 234
4.4.1.1 Pronomina Persona homu ... 235
4.4.1.2 Pronomina Persona halahi ... 237
4.4.2 Bentuk Sapaan ... 238
4.4.2.1 Dengan Penyebutan Marga ... 239
4.4.2.2 Dengan Istilah Kekerabatan ... 241
4.4.2.3 Dengan Istilah Jabatan ... 249
4.4.2.4 Dengan Istilah Kepangkatan ... 250
4.4.3 Bentuk Terikat ... 251
4.5 Deiksis Wacana Dalam Bahasa Mandailing ... 252
4.5.1 Pengacu Bagian Sebelum Saat Tuturan ... 253
4.5.2 Pengacu Bagian Pada Saat Tuturan ... 261
4.5.3 Pengacu Bagian Sesudah Saat Tuturan ... 262
4.5.4 Penanda Wacana ... 263
BAB V TEMUAN PENELITIAN ... 265
5.0 Pengangar ... 265
5.1 Deiksis Persona ... 265
5.2 Deiksis Tempat ... 268
5.3 Deiksis Waktu ... 271
5.4 Deiksis Sosial ... 272
5.5 Deiksis Wacana ... 274
BAB VI PEMBAHASAN ... 276
6.0 Pengantar ... 276
6.1 Deiksis Persona ... 276
6.2 Deiksis Tempat ... 289
6.3 Deiksis Waktu ... 299
6.4 Deiksis Sosial ... 308
BAB VII KESIMPULAN dan SARAN ... 322
7.1 Kesimpulan ... 322
7.2 Saran ... 329
DAFTAR BACAAN ... 331
LAMPIRAN ... 337
1. Daftar Penutur / Informan ... 337
2. Data Transkripsi Rekaman ... 339
3. Data Catatan dan Yang Dari Informan ... 349
4. Biodata Singkat ... 371
LAMBANG DAN SINGKATAN
? : Bentuk yang ditandai dengannya dipertanyakan
keberterimaan penggunaannya.
* : Unsur lingual yang ditandai dengannya tidak berterima
dalam konstruksi tertentu.
= : Tanda untuk keidentikan makna semantis
& : Tanda pengganti kata dan pada bagian tertentu
( ) : Di dalamnya terdapat keterangan tambahan opsional.
( …. ) : Posisi tertentu dalam kalimat yang dapat diisi oleh setiap
bentuk lingual dari sejumlah kemungkinan.
[ ….. ] : Ada bagian awal atau akhir kalimat yang dihilangkan.
: Di dalamnya terdapat unsur lingual yang mungkin dapat di-
gabungkan dengan unsur lingual yang terdapat pada kiri atau
kanan, atau kiri dan kanannya.
: Di dalamnya terdapat unsur lingual yang padanan gabungannya
ke kiri atau ke kanan secara horizontal.
BI : Bahasa Inggris
BM : Bahasa Mandailing
br : baris
Di : Data informan
Dp : Data penutur
hal. : halaman
INH : Impola Ni Hata
no : nomor
SM : Sinondang Mandailing
ABSTRAK
Penelitian ini secara khusus memilih deiksis dalam bahasa Mandailing sebagai objeknya. Sejauh yang penulis ketahui, belum ditemukan adanya penelitian khusus sebelumnya dengan topik yang sama. Deiksis sebagai pilihan objek penelitian, selain hal yang baru disebutkan, didasarkan juga pada pentingnya fungsi yang dimilikinya dalam penggunaan bahasa. Dapat diperkirakan, akan ditemukan kendala dalam menerangkan sesuatu apabila pelibatan deiksis (seperti penggunaan pronomina, demonstrativa, bentuk sapaan) tidak terdapat di dalamnya. Deiksis yang dapat dipersepsi sebagai tindak pengacuan terhadap sesuatu dengan unsur lingual tertentu (deictic expression) memiliki tiga fungsi penting. Yang pertama adalah menghadirkan acuan yang dimaksud oleh penutur ke dalam tuturannya. Kedua, menspesifikasi acuan tertentu dari sejumlah kemungkinan acuan, dan yang ketiga, untuk menggiring perhatian mitra tutur kepada acuan yang dimaksudkan oleh penutur.
Tiga masalah berkenaan dengannya telah dirumuskan sebagai fokus untuk dicarikan jawabannya melalui penelitian ini. Masalahnya adalah: (1) bagaimana setiap ekspresi deiksis digunakan, (2) bagaimana perwujudan lingual ekspresi deiksis dalam setiap jenisnya dimunculkan, dan (3) keunikan apa yang ditemukan dalam setiap jenis deiksis.
Oleh karena penelitian ini bersifat kualitatif-deskriptif, hasil pemerian, sebagai jawaban terhadap ketiga masalah tersebut akan menjadi bahan informatif tentang deiksis bahasa Mandailing pada khususnya, dan kajian pragmatik pada umumnya. Sebagai upaya untuk diperolehnya hasil informatif tersebut, telah dilakukan pengumpulan data dari lima jenis deiksis, yang meliputi deiksis persona, deiksis ruang, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis wacana. Penyertaan dua jenis terakhir merupakan hal yang membuat hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian tentang deiksis sebelumnya.
Proses analisis data diawali melalui metode klasifikasi menurut masing-masing jenis deiksisnya dalam kerangka teori. Unsur lingual yang diklasifikasi sebagai ekspresi deiksis berdasarkan kerangka teoretis yang digunakan, selanjutnya, diperikan, bagaimana masing-masing digunakan berdasarkan pengamatan lapangan dan informasi dari para informan. Dari paparan dan analisis, diperoleh hasil bahwa dalam deiksis persona, penggunaan pronomina untuk mengacu orang tidak lepas dari pengaruh dominan penggunaan istilah kekerabatan. Pengacuan dengan pronomina persona dipengaruhi oleh penggunaan istilah kekerabatan. Penggunaan pronomina persona menghendaki adanya pengombinasian dengan istilah kekerabatan yang sesuai, tetapi penggunaan istilah kekerabatan tidak menghendaki pengombinasiannya dengan pronomina persona. Bentuk terikat pronomina persona bahasa Mandailing lebih banyak daripada bentuk bebasnya. Hal demikian disebabkan terdapatnya sejumlah bentuk bebas dengan kepemilikan bentuk terikat lebih dari satu.
penetapan kedeiktisan dengan mendasarkan penggunaannya pada perspektif penutur. Hal lain yang ditemukan adalah, adanya hubungan bersifat simetris di antara sesama jenis demonstrativanya dalam menyatakan jarak relatif antara acuan dengan penutur atau antara acuan dengan penutur dan mitra tuturnya.
Dalam deiksis waktunya, masalah kedeiktisan sama halnya dengan yang terdapat dalam deiksis ruang. Ekspresi lingual pengungkap waktu deiktis sifatnya apabila yang menjadi pusat deiksis dalam pengacuan adalah penuturnya. Terdapat tiga hari sebelum dan sesudah hari tuturan, dalam bahasa Mandailing, yang tidak dapat diacu dengan menyebut nama harinya karena terdapat ekspresi deiksis khusus untuk mengacu masing-masing hari tersebut.
Dalam deiksis sosial dominasi penggunaan istilah kekerabatan tetap ditemukan dalam mengacu mitra tutur. Istilah-istilah lain di luar istilah kekerabatan dapat diabaikan penggunaannya asalkan yang digunakan untuk mengacu atau menyapa mitra tutur itu adalah istilah kekerabatan. Terhadap orang yang menjadi mitra tutur, pengacuannya dengan ekspresi deiksis berupa istilah kekerabatan adalah penginformasian sekaligus hubungan kekerabatan yang terdapat antara mitra tutur dengan penutur. Di samping itu, ditemukan sejumlah istilah kekerabatan tunggal yang dapat digunakan untuk menyapa mitra tutur dalam hubungan kekerabatan yang berbeda. Hal demikian disebabkan oleh terdapatnya sejumlah isilah kekerabatan dalam bentuk frasa dengan inti yang sama, sehingga yang dijadikan sebagai pengacu atau menyapa adalah bagian intinya.
Dalam deiksis wacananya, terdapat penggunaan ekspresi deiksis yang sama untuk mengacu bagian wacana yang berbeda. Untuk mengetahui bagian wacana yang menjadi acuannya diperlukan pemahaman konteks. Apabila bagian wacana tidak ditemukan sesudahnya, yang menjadi acuan adalah tuturan terdapatnya ekspresi deiksis tersebut pada saat pengacuan.
Kata Kunci: deiksis, fungsi, klasifikasi,
pemerian, kecenderungan.
ABSTRACT
Deixis in bahasa Mandailing had specifically been selected an object of this research. To the best of my knowledge there hasn’t been research specifically on the same topic. Apart from this background deixis as the focus of the study is viewed to have an important function in language use. It is predictable that to describe something will be difficult if we do not use deictic expressions such as pronouns, demonstratives, terms of address. Deixis as it is perceived as an act of referring to entities by using certain linguistic expressions (deictic expression), has three main functions. Firstly, to represent the referent intended by the speaker into his utterance. Secondly, to specify the intended referent among possible referents, and the third one is, to direct the addressee’s attenton to the speaker’s intended referent.
There are three abbreviated questions as the focus pertaining with deixis in bahasa Mandailing, and the answers for them expected from this research. The questions are: (1) how is deictic expressions respectively used, (2) how do the linguistic deictic expressions in every kind of it emerge, and (3) what kind of uniqueness can be found in every kind of deixis.
Due to the qualitative-descriptive feature of this research, descriptive answers to those three questions would be a special informative source of deixis in bahasa Mandailing, and an additional information for pragmatic study of language. Data collection in obtaining the descriptions about the five kinds of deixis (personal, spacial, temporal, social, and discourse deixis) had been carried out. The last two kinds of deixis make this study different from the previous ones.
The process of data analysis was firstly conducted by classifying the kind of deixis according to the theoretical frame work. Linguistic elements classified theoretically as deixis expressions, then how they are used according to the field observation and the informant’s descriptions are described. The result of analysis showed that there are tendencies that the use of personal pronoun can not be separated from it’s term of kinship. Refering by using personal pronoun is influenced by the use of term of kinship. The use of personal pronoun is suggested to be accompanied by appropriate term of kinship, but the use of term of kinship does not need to be accompanied by personal pronoun. The numbers of bound forms of personal pronoun in bahasa Mandailing are more than that of it’s free forms. This occurs because of the existence of a number of free forms with more than one bound form.
In terms of temporal deixis, the use of expression is the same as that in spacial deixis. The temporal expression will be deictic if the speaker is centre of deixis when he or she refers to something. There are three days before and after the day of referring which cannot be referred to with the names of the day because bahasa Mandailing has special deictic terms in referring to those days.
In terms of social deixis, the dominant use of kinship terms is found in referring to the addressee. It is possible to ignore the use of other terms if the terms used to refer consist of kinship terms. Referring to the addressee, kinship terms also informs the kinship relation between the addressee and the speaker. There are also several sole kinship terms that can be used to refer to different person. In practice, several phrasal kinship terms can be shortened only by using it’s nuclei.
In terms of discourse deixis, one certain deictic expression can be used to refer to a part of discourse which is being or will be refered. To know it’s referent, we need to understand it’s utterance context. If there is no part of discourse after it, it refers to the part of discourse being uttered.
Key words: deixis, functions, classification,
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Linguistik berkembang dengan pesat, dan hal itu memberi dampak berupa
pengakumulasian sejumlah karya yang tidak terkira jumlahnya. Tidaklah terlalu sulit
memahami hal itu apabila dikaitkan dengan sifat objek material linguistik yang
senantiasa mengalami perubahan, atau oleh peningkatan intensitas penelitian yang
dilakukan terhadapnya. Bahasa yang hidup sebagai akibat dinamika yang terdapat
dalam masyarakat senantiasa akrab dengan perubahan. Oleh karena perubahan yang
tetap ada pada setiap bahasa maka teori kebahasaan pun dapat berubah dan
berkembang sejalan dengan intensitas penelitian kebahasaan yang dilakukan
terhadapnya.
Hal menarik yang dapat diamati dari fenomena tersebut tidak saja terdapat dan
terbatas pada pemerian bahasa tertentu beserta keunikan yang dimunculkannya, tetapi
juga pada aneka cara pendekatan beserta teori yang diperoleh dari hasil penelitian itu.
Pada tataran pragmatik, misalnya, telah banyak sumber dengan liputan aspek yang
lebih luas dan berbeda dari sebelumnya. Di antaranya malah ada yang hadir dengan
liputan secara khusus, dengan pengambilan fokus pada aspek atau sub-aspek tertentu.
Namun, perlu disadari bahwa hasil penelitian terhadap bahasa tertentu sebagai
sumber lahirnya teori dapat menyiratkan problema tentang tingkat keberterimaan teori
itu sendiri untuk semua bahasa. Hal ini sekaligus memberi asumsi bahwa tidak ada
kajian aspek-aspek bahasa berbagai bahasa yang ada di dunia. Dalam hubungan ini,
penerapan suatu teori terhadap bahasa lain di luar bahasa yang menjadi model buat
pemunculan suatu teori dapat dipandang sebagai upaya melihat tingkat keberterimaan
teori tersebut di satu pihak, serta adanya kemungkinan keunikan komparatif yang
terdapat pada bahasa yang diteliti di pihak lain.
Menyadari akan hal bahasa daerah yang terdapat di wilayah Indonesia yang
jumlahnya mencapai 746 buah (dari informasi Kepala Balai Bahasa Medan (Amrin
Saragih), tanggal 14 Mei 2010), kehadiran teori baru di era yang oleh sebagian orang
katakan modern ini merupakan tantangan tersendiri dalam memahami lebih jauh ihwal
kebahasaan kita yang bhinneka itu. Kepemilikan kita terhadap bahasa-bahasa daerah
sudah jelas dan tercatat sebagai keberuntungan tersendiri dalam menjaga
terpeliharanya kelangsungan kehidupan budaya daerah yang merupakan kekayaan
nasional (Halim, 1981:21-22). Salah satu di antara bahasa daerah yang jumlahnya
disebutkan di atas adalah bahasa Mandailing.
Berdasarkan pengamatan penulis, bahasa ini masih tergolong kepada bahasa
yang masih jarang mendapat sentuhan pengaplikasian teori linguistik. Sejumlah ahli,
seperti Willem Iskander (1872), Bgd. Maracub Marpaung (1958), Loekman H. Siregar,
dkk. (1983), tercatat sebagai yang pernah menulis tentang bahasa Mandailing. Namun,
pada tulisan mereka belum terlihat adanya bahasan-bahasan khusus tentang salah satu
di antara aspek bahasa Mandailing tersebut.
Deiksis sebagai salah satu sub-bidang pragmatik, yang urgensinya amat jelas
belum mendapat tempat tersendiri sebagai bahan kajian atau bahasan. Perihal deiksis,
seperti pronomina persona, demonstrativa, adverbia lokatif-temporal, dapat dikatakan
hanya dijadikan sebagai muatan di berbagai bagian tulisan mereka untuk keperluan
bacaan dan latihan bagi pembacanya.
Dua ahli lain, yang juga tercatat memiliki tautan dengan perihal bahasa
Mandailing, adalah H.N. Van der Tuuk dan H.J. Eggink. Keduanya telah pernah
menulis tentang bahasa Mandailing pada aspek yang berbeda. Van der Tuuk (1864)
tampil dengan hasil penelitiannya tentang fonologi, khususnya yang menyangkut
sistem bunyi bahasa Mandailing. Hasil penelitian tersebut dia jadikan sebagai salah
satu bab dalam bukunya Tobasche Spraakkunst. Selain tentang sistem bunyi bahasa
Mandailing, Van der Tuuk tidak terlihat lebih jauh melakukan penelitian terhadap
aspek bahasa Mandailing lainnya.
Berikutnya, hasil penelitian bahasa Mandailing yang dilakukan oleh Eggink
(1936) dapat dipandang sebagai karya berwibawa dalam wujud kamus. Buku tersebut
memuat banyak kosa kata bahasa Mandailing dengan artinya. Dalam bukunya tersebut,
Angkola en Mandailing Bataksch – Nederlandsch Woordenboek, Eggink tampak telah
berupaya menampilkan aspek-aspek semantis bahasa Mandailing secara cermat dan
menyeluruh yang berguna bagi penelitian selanjutnya.
Dapat dikatakan bahwa dalam lingkup daftar kosa kata yang termuat dalam
buku kamus yang dihasilkannya terliput juga komponen lingual berkategori deiksis,
seperti yang disebutkan di atas – berupa kata ganti orang, kata penunjuk, kata
perolehan kata berkategori deiksis bersama artinya dalam kamus, termasuk yang
termuat dalam kamus Eggink tersebut, belum dapat sepenuhnya memberi informasi
tentang ihwal kedeiksisan suatu bahasa. Dengan gambaran tersebut di atas, tidaklah
berlebihan apabila dikatakan bahwa dari tulisan para ahli yang pernah menulis tentang
bahasa Mandailing di atas belum diperoleh informasi memadai tentang deiksis dalam
bahasa Mandailing.
Keinginan untuk memperoleh informasi perihal deiksis dalam bahasa
Mandailing mendasari upaya yang penulis lakukan untuk mengadakan kajian
terhadapnya melalui suatu penelitian khusus. Penelitian ini dapat dipandang sebagai
upaya, seperti yang dinyatakan oleh Barthes (Wuthnow, dkk., 1984:139), to
reconstitute an object, sehingga melalui prosesnya orang mengetahui akan kaidah atau
hukum yang berlaku pada objek yang diteliti. Artinya, menurut Barthes, dari hasil
sentuhan intelek manusia terhadap objek yang ditelitinya manusia dapat menjelaskan
sesuatu yang belum terlihat atau terpikirkan oleh orang lain pada objek itu. Dengan
penetapan fokus penelitian pada deiksis bahasa Mandailing, hasilnya diharapkan
menjadi bagian dari sumber informasi tentang deiksis bahasa Mandailing.
1.2 Fokus Penelitian
Terkait dengan aspek linguistik yang belum terlihat pada hasil penelitian para
ahli yang tersebut pada bagian latar belakang (1.1), yang dipandang perlu mendapat
pencermatan adalah soal penggunaan ekspresi deiksis. Secara umum dapat dikatakan
partisipan. Oleh karenanya, pemerian tentang ekspresi deiksis seyogianya juga dengan
memperhatikan penggunaannya dalam konteks sosial berbahasa. Tiga pertanyaan
telah dirumuskan untuk dicarikan jawabannya sebagai fokus kegiatan dalam penelitian
ini; ketiganya adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah ekspresi deiksis bahasa Mandailing digunakan?
2. Bagaimanakah perwujudan lingual ekspresi deiksis bahasa Mandailing?
3. Keunikan bagaimanakah yang ditemukan dalam setiap jenis deiksis bahasa
Mandailing?
1.3 Tujuan Penelitian
Gambaran perihal deiksis bahasa Mandailing yang terdapat pada bagian latar
belakang (1.1) masih menyisakan sejumlah rumpang yang perlu mendapat
penyelesaian dari perspektif linguistik. Pengkajian lanjut melalui penelitian khusus ini
bertujuan memberi andil dalam menutup rumpang itu dengan upaya yang dapat penulis
lakukan, yaitu:
1. Memerikan fungsi setiap ekspresi deiksis bahasa Mandailing (bagaimana
masing-masing digunakan).
2. Memerikan, dalam wujud lingual bagaimanakah ekspresi deiksis bahasa
Mandailing tampil.
3. Memerikan, bagaimanakah keunikan temuan yang terdapat dalam setiap
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Pada bagian latar belakang (1.1) telah disinggung sedikit tentang urgensi
deiksis pada penggunaan bahasa. Deiksis adalah satu di antara fenomena lingual
universal. Setiap bahasa memiliki ekspresi deiksisnya masing-masing yang dapat
difungsikan untuk mengacu sesuatu dalam berkomunikasi. Sebatas itu mudah
dipahami bahwa tanpa pelibatan penggunaan ekspresi deiksis di dalamnya komunikasi
tersebut tidak akan seefektif dan seefisien komunikasi yang melibatkan penggunaan
ekspresi deiksis di dalamnya (Huang, 2007:132). Salah satu bukti nyata tidak jalannya
komunikasi secara wajar tanpa penggunaan ekspresi deiksis di dalamnya adalah pada
komunikasi yang menggunakan tuturan Saya ada di sini. Dengan peniadaan unsur saya
dan di sini, yang masing-masing merupakan ekspresi deiksis pada tuturan tersebut,
dapat dikatakan bahwa tidak ada sebenarnya informasi yang diperoleh dari penuturnya
jika yang tinggal hanya bagian tuturan ada saja.
Dalam kaitannya dengan penelitian yang dilakukan, membaca dan memahami
hasilnya, tentang deiksis bahasa Mandailing, akan membantu dalam pencapaian
kepadaan dalam penggunaan bahasa tersebut. Selain itu, bahasa sebagai produk
masyarakat, dia juga merupakan cerminan dari yang berlaku dalam budaya dan
masyarakat. Setidaknya, dari pemahaman hasil penelitian ini, pembacanya akan
terbantu dalam memahami budaya dan pengintegrasian dirinya dalam masyarakat
Mandailing. Secara teoretis, hasil penelitian ini akan memperkaya khazanah hasil
1.5 Liputan Penelitian
Dalam kajian linguistik dewasa ini dikenal lima jenis deiksis, yang terdiri dari:
deiksis persona (personal deixis), deiksis tempat (spacial deixis), deiksis waktu
(temporal deixis), deiksis sosial (social dexis), dan deiksis wacana (discourse deixis)
(Levinson, 1983:54-94, 2006a-b; Cruse, 2004:333-337; Huang, 2007:136-174). Dalam
penelitian ini penulis menyertakan semua dari kelima jenis deiksis yang disebutkan di
atas sebagai objek penelitian, dengan batasan pada bahasa Mandailing yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari; bukan yang digunakan dalam kegiatan resmi atau formal.
Penelitian ini berada pada tataran kata atau frasa, dengan fokus perhatian, bagaimana
masing-masing satuan lingual yang ditampilkan tersebut digunakan.
1.6 Klarifikasi Istilah
Dalam kajian ini terdapat sejumlah istilah yang perlu mendapat penjelasan
secara konseptual karena istilah-istilah yang dimaksud diperkirakan sering muncul
pada bagian tertentu dalam tulisan ini. Selain itu, istilah-istilah yang dimaksud
sebagian besar terdiri dari istilah yang berkenaan dengan fokus penelitian.
Istilah-istilah itu adalah: acuan, pengacuan, ekspresi deiksis, makna ekspresi deiksis, jenis
deiksis, penggunaan deiksis, dan bahasa Mandailing.
Acuan
Acuan (referent) dimaknai sebagai sesuatu yang ditunjukkan, baik oleh penutur
Pengacuan
Pengacuan (reference) adalah proses penunjukan yang dilakukan oleh penutur dengan
menggunakan bentuk lingual tertentu atau oleh bentuk lingual itu sendiri terhadap
sesuatu.
Ekspresi deiksis
Ekspresi deiksis (deictic expression) adalah ekspresi lingual yang penentuan acuannya
dilakukan melalui pemahaman konteks dihasilkannya ekspresi tersebut (Termasuk di
dalamnya adalah berupa pronomina persona (seperti saya, engkau, dia, -ku, -mu, -nya),
pronomina demonstratva (seperti ini, itu), adverbia, baik yang menyatakan tempat
ataupun waktu, seperti di sini, di situ; sekarang, nanti.
Makna ekspresi deiksis
Makna di sini dimaksudkan meliputi makna semantik dan makna pragmatik suatu
ekspresi deiksis. Makna semantik pemerolehannya berasal dari sifat simbolisnya,
sedangkan makna pragmatik diperoleh melalui penggunaan ekspresi atau unsur lingual
itu oleh penutur pada konteks situasi tutur tertentu.
Jenis deiksis
Dalam kajian ini, yang dimaksud dengan jenis deiksis (kinds of deixis)adalah kategori
tertentu dalam pembagian deiksis yang didasarkan pada sifat informasi yang terdapat
pada setiap ekspresi deiksis. Jika ekspresi deiksis menginformasikan tentang orang,
jenis personal. Selanjutnya, disebut deiksis waktu apabila ekspresi deiksis tersebut
menginformasikan aspek waktu.
Penggunaan deiksis
Istilah penggunaan deiksis dalam kajian ini dapat diidentikkan dengan fungsi yang
dimiliki ekspresi deiksis dalam konteks sosial berbahasa. Jika fungsi bahasa dapat
dimaknai sebagai cara orang menggunakan bahasanya maka penggunaan deiksis
adalah, bagaimana ekspresi deiksis digunakan oleh penutur bahasa dalam kehidupan
sosialnya.
Bahasa Mandailing
Dalam mempersepsi bahasa Mandailing, pada pengkajian ini, daerah asal pemakaian
bahasa terkait di dalamnya karena asal mula pemakaian suatu bahasa dapat dikatakan
berasal dari suatu daerah tertentu. Dengan demikian, bahasa Mandailing yang
dimaksudkan dalam penelitian ini, yang sekaligus dijadikan sebagai objek kajian,
adalah bahasa Mandailing yang digunakan oleh masyarakat asal daerah Mandailing.
Daerah ini meliputi wilayah, mulai dari Simarongit Sihepeng (Kecamatan Siabu)
sampai ke Ranjobatu (Kecamatan Muarasipongi), yang memanjang dari Utara ke
Selatan; sedangkan sebelah Timur dan Barat berbatasan dengan pegunungan Bukit
Barisan.
Penjelasan di atas menggariskan ketentuan bahwa bahasa Mandailing yang
1.7 Sepintas Tentang Mandailing
1.7.1 Letak Geografis
Mandailing, secara keseluruhan, merupakan bagian dari Kabupaten Mandailing-
Natal; sebuah kabupaten terujung di Selatan Propinsi Sumatera utara.
Daerah ini terletak di antara 90 0 – 100 0 Bujur Timur, di sebelah Utara
Khatulistiwa. Dengan sendirinya daerah ini terkena iklim musim yang mengenal
adanya musim penghujan dan musim kemarau.
Wilayah Mandailing, sejak periode pemerintahan Belanda, dibagi atas tiga
bagian. Setelah masa kemerdekaan dan masuk ke era reformasi, yang mengenal
adanya “pemekaran wilayah”, wilayah Mandailing dibagi lagi atas beberapa bagian
berupa kecamatan. Namun, pembagian Mandailing atas tiga wilayah, seperti
pembagian pertama di atas, masih mendominasi persepsi orang Mandailing dibanding
dengan pembagian yang dilakukan kemudian. Pembagiannya atas tiga bagian adalah,
yang pertama, Mandailing Julu. Pada zaman Belanda disebut Klein Mandailing.
Mandailing Julu berarti ‘Mandailing Hulu’, dan Klein Mandailing berarti ‘Mandailing
Kecil’. Disebut demikian karena dia terletak di sebelah arah hulu (sungai) dan paling
kecil dari dua wilayah bagian lainnya. Mandailing Julu mempunyai wilayah, dari
Maga sampai ke Ranjobatu, dan beribu kota di Kotanopan.
Bagian kedua ialah Mandailing Godang. Pada zaman Belanda disebut juga
Groot Mandailing. Mandailing Godang berarti ‘Mandailing Besar’ atau ‘Mandailing
Raya’. Disebut demikian karena bagian kedua ini mempunyai wilayah paling luas dan
paling banyak penduduknya daripada dua bagian Mandailing lainnya. Wilayahnya
terdapat, antara Siramram dan Maga. Panyabungan adalah ibu kotanya dan juga
merupakan tempat yang mula-mula ramai.
Yang ketiga ialah Mandailing Jae, atau disebut juga Mandailing Harangan.
Siramram. Kata jae berarti ‘hilir’, dan harangan artinya ‘hutan’. Penyebutan
Mandailing Jae didasarkan pada letaknya yang berada di bagian arah hilir (sungai);
sedangkan penyebutannya sebagai Mandailing Harangan adalah karena usianya yang
paling muda dari dua bagian wilayah Mandailing lainnya yang terlebih dahulu ramai.
Dua bagian wilayah lainnya yang penduduknya telah ramai ketika itu, bagian ketiga
dari wilayah Mandailing ini masih merupakan hutan yang belum banyak dihuni.
Sebelum masa kemerdekaan, yang berkuasa untuk pemerintahan adalah raja.
Di wilayah Mandailing, raja-raja yang berkuasa pada mulanya berasal dari marga
Nasution dan Lubis. Mandailing Godang dan Mandailing Jae berada di bawah
kekuasaan raja bermarga Nasution, sedangkan Mandailing Julu oleh raja dari marga
Lubis. Selain kedua marga tersebut, yang lebih dahulu berkuasa di Mandailing, dikenal
juga marga lain yang menyusul kemudian, seperti: Hasibuan, Siregar, Harahap, dan
sebagainya. Sebagian mereka ada juga yang sempat menjadi raja di Mandailing
Godang dan Mandailing Jae. Mereka mengambil anak gadis raja-raja Mandailing
Godang. Raja dari marga Hasibuan, misalnya, pernah berkuasa di Simangambat, dan
hampir di Sihepeng. Di Rumbio, pernah juga berkuasa raja dari marga Siregar
(Sumber: dari informan).
Sebagaimana halnya dengan daerah-daerah lain di Sumatera, Mandailing juga
dilalui oleh Pegunungan Bukit Barisan. Jajaran pegunungan tersebut terbagi dua dan
membuat Mandailing berada di antara kedua jajaran tersebut. Pegunungan Bukit
Barisan yang memanjang dari Utara ke Selatan menjadi batas wilayah mandailing
Sihepeng dan Ranjo batu. Tanah-tanah Mandailing bagian sebelah Timur merupakan
bagian yang lebih tinggi daripada bagian Baratnya, sehingga sungai-sungai yang ada
pada umumnya mengalir ke arah Barat. Sepanjang aliran sungai inilah terdapat
daerah-daerah persawahan yang dikerjakan sepanjang tahun. Sungai-sungai besar yang
terdapat di Mandailing, antara lain adalah sungai Aek Batang gadis, Aek Muara Sada,
Aek Kitang, Aek Pohon, Aek Dano, dan sebagainya.
Daerah Mandailing, dari ujung Utara ke ujung Selatan, dapat dilalui oleh lalu
lintas kenderaan. Kedua ujung tersebut terhubung oleh jalan raya lintas Medan –
Padang yang berfungsi sebagai urat nadi utama lalu lintas. Keberadaan jalan raya lintas
antar propinsi tersebut merupakan suatu keberuntungan bagi orang Mandailing karena
dengan keberadaan prasarana tersebut orangang Mandailing dengan mudah berkenalan
dengan dunia luar (Bangun, 1976:94). Dengan melewati jalan lintas tersebut juga akan
terlihat bukit dan gunung dengan hutan primer dan sekundernya, serta tanah-tanah
rendah yang menjadi areal pertanian.
Dapat dikatakan bahwa sebagian besar orang Mandailing di pedesaan hidup
dari usaha tanah. Tanah-tanah datar dan sebagian bukit merupakan daerah pertanian
yang subur. Pada lahan-lahan yang datar dengan airnya yang cukup kebanyakan orang
mengerjakan sawah (saba), sedangkan pada lahan-lahan perbukitan atau tanah-tanah
yang agak tinggi lazimnya orang mengerjakan ladang (kobun).
Dalam bertani belum banyak ditemukan pekerjaan khusus, yakni memilih
antara dua; bersawah, atau berladang. Kebanyakan penduduk mengerjakan kedua
keluarga biasanya juga memiliki lahan tanah untuk perladangan. Dari sawah mereka
peroleh hasil padi, dan dari ladang diperoleh pula hasil dari berbagai tanaman, seperti:
karet, kopi, kelapa, coklat, buah-buahan, sayur-sayuran, dan sebagainya.
Pada periode sesudah panen padi, menunggu masa turun ke sawah yang
berikutnya, sering juga dilakukan pekerjaan martapo sebagai usaha tambahan.
Martapo dimaksudkan untuk tinggal di sawah dengan memelihara berbagai hewan
peliharaan, seperti ikan dalam tambak, ayam-itik, dan sebagainya. Dengan demikian,
diperoleh pula hasil tambahan berupa ikan dan telur. Usaha lain yang menjadi
pencaharian sebagian kecil orang Mandailing di pedesaan adalah: berdagang,
berjualan, menagkap ikan di sungai, menempa besi, bekerja pada jasa angkutan,
menganyam tikar, membuat tali, membuat gula, dan sebagainya.
1.7.2 Sistem Kemasyarakatan
Berbicara tentang sistem kemasyarakatan, dalam hubungannya dengan
masyarakat Mandailing, berarti berbicara pula tentang sistem adat yang berlaku dalam
kehidupan masyarakatnya. Adat sejak lama telah mengatur dan memberi ketetapan
berupa hukum-hukum adat dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Sekalipun
agama dan sistem-sistem lainnya terdapat dalam kehidupan, namun peranan sistem
adat yang telah berlaku sebelumnya tampak masih mendominasi, terutama dalam
kehidupan tradisional. Masyarakat Mandailing tersusun dalam kelompok-kelompok
patrilineal genealogis. Garis turunan mengikuti pihak ayah. Seorang anak termasuk
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu hubungan permanen antara
kelompok kerabat yang disebut dalihan na tolu. Dalihan na tolu berarti ‘tungku yang
tiga’. Tungku senantiasa harus tiga untuk menjamin keutuhannya serta menjamin
keselamatan apa saja yang ditaruh di atasnya. Susunan seperti itu ditemukan dalam
peraturan adat guna kemantapan dari setiap mupakat. Sesuatu yang menjadi masalah
keluarga atau sebagai anggota masyarakat harus dibicarakan dan diselesaikan dalam
lembaga dalihan na tolu. Dia merupakan hasil perwujudan tiga kelompok keluarga
yang timbul sebagai akibat dari perkawinan eksogam pada marga-marga yang ada di
satu pihak dan menurut garis keturunan di pihak lain.
Ketiga kelompok keluarga yang menjadi eksponen lembaga ini adalah:
kahanggi, mora, dan anakboru. Kahanggi ialah barisan keturunan laki-laki yang
berasal dari satu ayah asal atau nenek. Mereka tergabung dalam satu kelompok marga
menurut marga ayah asal dan mereka terhadap sesamanya akan bertutur kahanggi.
Selanjutnya, kahanggi yang masih berasal dari satu ibu-bapak disebut suhut. Mora
adalah kelompok kahanggi dari pihak ibu atau pengambilan anak gadis menurut adat.
Anakboru ialah kelompok kahanggi dari yang mengambil saudara perempuan atau
pengambil anak gadis. Walau demikian, setiap kelompok tidak selamanya berfungsi
sebagai kahanggi, mora, anakboru. Pada kesempatan lain, dapat saja terjadi pergantian
fungsi antara masing-masing kelompok terhadap kahanggi dari marga-marga lain.
Seorang dari pihak mora, misalnya, bisa saja beralih fungsi menjadi anakboru pada
kesempatan lain, yaitu pada upacara adat yang diadakan oleh pihak yang menjadi
Nasution, misalnya, yang menjadi anakboru bagi kelompok marga Lubis karena
mengambil anak gadis mereka, dapat menjadi mora pula bagi kelompok marga
Hasibuan disebabkan yang bermarga Hasibuan mengambil anak gadis dari keluarga
Nasution. Demikian seterusnya, sehingga pada setiap anggota dari kelompok marga
yang satu terdapat tiga fungsi secara menyatu, dan dia akan dipanggil sebagai apa dia
dalam suatu upacara adat.
Minimal, kelompok kerabat yang tiga tersebutlah yang bertanggungjawab atas
terlaksananya suatu upacara atau musyawarah adat. Untuk kesempurnaan musyawarah,
dalihan na tolu lazimnya dilengkapi dengan kehadiran pengetua adat dan hatobangon.
Hatobangon adalah perwakilan dari setiap kelompok marga yang dituakan oleh
masyarakat karena kepandaian dan kecakapannya dalam bidang peradatan, di samping
kepribadiannya yang terpuji. Pengetua adat, yang biasa disebut panusunan bulung atau
raja na toras, adalah pihak yang berkuasa pada suatu kampung. Jika sesuatu sudah
merupakan hasil mufakat bersama dari kelima komponen tersebut, segala sesuatunya
harus dilakukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Keutuhan hasil mufakat bersama biasanya disimbolkan dengan kehadiran
perangkat burangir ‘sekapur sirih’. Burangir yang terdiri dari: daun sirih, kapur sirih,
gambir, pinang, tembakau; masing-masing merupakan simbolisasi dari pihak yang
turut dalam penetapan suatu keputusan. Daun sirih, kapur sirih, gambir, ketiganya
merupakan simbolisasi keikutsertaan pihak suhut, kahanggi, dan anakboru; sedangkan
pinang dan tembakau menyimbolkan mora dan hatobangon atau pengetua adat dalam
menghasilkan air pekat berwarna merah padam yang dengan detergen apapun
digunakan dalam upaya menghilangkannya, setelah mengenai kain putih, biasanya
akan berakhir dengan sia-sia. Demikian kekutan putusan musyawarah adat yang
disimbolkan dengan kehadiran burangir (Sumber: keterangan informan).
1.7.3 Kepercayaan
Islam adalah satu-satunya agama yang dianut oleh mayoritas penduduk.
Pendidikan agama diterima oleh setiap orang, baik dari dalam maupun dari luar
lingkungan keluarga. Pada masa dini, yakni sekitar usia tujuh tahun, anak-anak telah
disuruh belajar dan menuntut pengetahuan agama. Untuk itu anak-anak biasanya
menggabungkan diri dalam suatu kelompok pengajian yang diasuh oleh seorang guru
yang pandai. Mereka pada tahap ini diajari dan dididik untuk memperoleh kemahiran
dalam membaca kitab suci Al-Quran. Kemahiran ini merupakan keharusan bagi si
anak sebelum melangkah kepada tingkatan berikutnya. Dengan demikian, bukan suatu
hal yang ganjil apabila kepandaian dan sedikit pengetahuan agama dimiliki oleh setiap
putera puteri Mandailing.
Agama Islam tersebar di wilayah ini melalui ranah Minangkabau sebelum dan
bersamaan dengan masuknya kaum Paderi ke tanah Mandailing. Agama ini berterima
di hati penduduk sekalipun sebelumnya wilayah Mandailing dikenal dengan penganut
animisme dan Hinduismenya. Sebelum masuknya Belanda ke Mandailing, Islam telah
menjadi agama anutan seluruh penduduk. Ajaran Islam telah memberi pengaruh
kepercayaan lama pada sebagian penduduk masih dapat dijumpai. Upacara-upacara
yang menyangkut kekeluargaan, berupa masalah perkawinan, kematian, faraid, dan
sebagainya telah diwarnai oleh anasir ajaran Islam.
Di samping masih adanya sisa kepercayaan lama yang oleh para dai atau
mubalig dipandang dapat merusak akidah Islami penduduk, berkembang pula
pengajaran agama Islam. Dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan agama
berupa madrasah di berbagai tempat telah menghasilkan banyak alumni yang dapat
membantu membukakan mata masyarakat terhadap ajaran agama Islam, sehingga
dewasa ini jumlah mereka yang akidahnya tercampur dengan anasir kepercayaan lama
sudah semakin berkurang. Dapat dikatakan bahwa penyebaran Islam ke seluruh
pelosok tidak lagi menjadi masalah seperti untuk tahap berikutnya, yaitu memikirkan
dan mengupayakan pengisian rohani masyarakat dengan ajaran Islam yang sebenarnya
dan mempertinggi mutu pengetahuan mereka.
Walau demikian, tidak berarti penduduk Mandailing sekarang ini
keseluruhannya terdiri dari penganut Islam. Selain itu, di Mandailing terdapat juga
penduduk beragama Kristen Protestan dan Katolik. Yang mula pertama di antara
keduanya memasuki tanah Mandailing adalah Kristen Protestan. Masuknya Kristen ke
daerah ini bermula sesudah Belanda menginjakkan kakinya di Mandailing. Dengan
melemahnya kekuasaan raja-raja Mandailing sebagai akibat dominasi pemerintah
Belanda telah membukakan pintu bagi agama Kristen untuk dapat masuk ke daerah
Kebanyakan mereka datang dari Utara, sekitar Danau Toba. Itu sebabnya di
Mandailing, sebutan Toba selalu diidentikkan dengan Kristen. Mereka biasanya hidup
dengan membuka dan membuat perkampungan tersendiri, tidak bergabung dengan
penganut Islam. Setelah kemerdekaan, jumlah penganut agama Kristen dan Katolik,
dari Januari ke Januari terlihat semakin bertambah akibat perkembangan penduduk dan
bertambahnya pendatang Kristen baru (Sumber: keterangan informan).
1.7.4 Bahasa Mandailing dan Rumpunnya
Wahana komunikasi yang digunakan di Mandailing adalah bahasa Mandailing.
Bahasa Indonesia, sekalipun diketahui, penggunaannya terbatas pada acara-acara
formal saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa yang benar-benar
digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat hanya satu, yakni bahasa
Mandailing. Semua penduduk mengetahui dan dapat menggunakannya, sekalipun tidak
mengetahui masuk ke dalam rumpun bahasa apa bahasa Mandailing dikelompokkan.
Terkait dengan ihwal pengelompokan bahasa ini, ada baiknya kita mengikuti
pemikiran Mees (1967:9) yang mengisyaratkan bahwa bahasa-bahasa yang
menunjukkan banyak persamaan dan sedikit perbedaan dapat digolongkan ke dalam
satu rumpun bahasa. Sementara itu, Muljana (1975:11) menyebutkan bahwa
bahasa-bahasa Austronesia (istilah Schmidt) telah lama dikenal di dunia ilmu bahasa-bahasa,
khususnya dalam ilmu bahasa perbandingan (comparative historical linguistics) untuk
menunjukkan keserumpunan bahasa-bahasa yang terdapat di kepulauan nusantara (atau
empat buah benua. Memanjang dari pulau Madagaskar di sebelah Barat sampai ke
pulau Pas di sebelah Timur, sedangkan sebelah Utara-Selatan berbatasan dengan pulau
Formosa dan Selandia Baru.
Dalam buku Ilmu Perbandingan Bahasa-bahasa Austronesia, Mees
mengadakan pembagian dan memberi penjelasan terhadap bahasa-bahasa Austronesia.
Dia membagi bahasa-bahasa tersebut atas dua kelompok besar, yakni, bahasa-bahasa
Austronesia bagian Barat, dan bahasa-bahasa Austronesia bagian Timur. Yang terdapat
di bagian Barat disebut bahasa-bahasa Hesperanesia atau bahasa-bahasa Nusantara,
sedangkan yang di bagian Timur disebut bahasa-bahasa Lautan Teduh atau
bahasa-bahasa Oseania. Yang terakhir ini masih dibagi lagi atas tiga kelompok bahasa:
bahasa-bahasa Polinesia (Nusabanyak), bahasa-bahasa Melanesia (Nusahitam), dan
bahasa-bahasa Mikronesia (Nusakecil), sedangkan yang sebelah Barat dibagi atas 11
kelompok, yakni: (1) bahasa Formosa, (2) bahasa Filipina, (3)
bahasa-bahasa Sub-Filipina, (4) bahasa-bahasa-bahasa-bahasa Sulawesi, (5) bahasa-bahasa-bahasa-bahasa Ambon, (6)
bahasa-bahasa Nusatenggara, (7) bahasa-bahasa di pulau Jawa, (8) bahasa-bahasa
Kalimantan, (9) bahasa-bahasa di pulau Sumatera dan sekitarnya, (10) bahasa-bahasa
di Madagaskar dan sekitarnya, (11) bahasa-bahasa Cham di Kamboja.
Perhatian kita sekarang tertuju pada kelompok nomor (9) karena di sinilah
terdapat bahasa Mandailing, di samping bahasa Aceh, Melayu, Karo, Toba, Siladang,
dan sebagainya. Dari penjelasan Mees tentang rumpun bahasa di atas diketahui bahwa
(bahasa Nusantara), sebagai sub-rumpun Austronesia, yang terdapat di pulau
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.0 Pengantar
Para ahli bahasa yang berbicara tentang deiksis (seperti Levinson (1983,
2006a-b), Fasold (2006), Mey (2001), Bohnemeyer (2006), Yule (1996), Huang
(2007)) tidak menjadikan deiksis sebagai bahan pembicaraan tanpa menyertakan
pragmatik lebih dahulu di dalamnya. Hal demikian beralasan mengingat bahwa salah
satu aspek mendasar dalam kajian deiksis, yakni, inferensi makna, dilakukan dengan
memperhitungkan konteks. Perubahan konteks penggunaan tuturan, termasuk yang
dinyatakan sebagai ekspresi deiksis, akan berimplikasi pada perubahan makna ekspresi
tersebut. Peranan konteks yang menentukan, seperti itu, menyebabkan kajian deiksis
digolongkan sebagai sub-bidang kajian pragmatik.
Analogi untuk pemahaman lebih lanjut tentang kajian deiksis sebagai
sub-bidang pragmatik, contohnya, adalah antara afiksasi dengan morfologi bahasa.
Perubahan bentuk morfem, termasuk disebabkan proses afiksasi, adalah kajian
morfologi. Oleh karenanya, afiksasi adalah sub-bidang kajian morfologi. Lalu, sebagai
apa pragmatik itu?
2.1 Pengertian Pragmatik
Pemahaman konseptual arti suatu istilah tidak selalu diperoleh dari satu
definisi. Malah satu definisi, ada kalanya, terasa tidak memadai untuk memberi
kesempatan ini, penulis tampilkan empat buah definisi yang merupakan esensi
deskripsi singkat tentang pragmatik, yang dibuat oleh Yule. Dalam deskripsinya, Yule
(1996:3) mengemukakan hal sebagai berikut.
1. Pragmatik berfokus pada pengkajian makna yang disampaikan oleh penutur
dan ditafsirkan sesudahnya oleh mitra tutur. Pengkajian makna, di sini, lebih
memperhatikan apa sesungguhnya yang penutur maksudkan dengan
tuturannya daripada sekedar makna yang terdapat pada tuturan itu. Dari
deskripsi singkat (1) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah
pengkajian makna yang dimaksudkan oleh penutur (Pragmatics is the study
of speaker meaning).
2. Pengkajian makna menurut penutur (seperti tersebut pada poin (1))
merupakan upaya penafsiran atas apa yang penutur maksudkan dalam
konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan
yang dihasilkan. Cara kerja pengkajian ini memperhatikan bagaimana
penutur menyesuaikan apa yang hendak dituturkan dengan konteks yang
melatarbelakanginya, seperti, siapa orang yang menjadi mitra tutur, di mana,
kapan, dan dalam keadaan bagaimana tuturan dihasilkan. Dari deskripsi
singkat (2) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian makna
karena pengaruh konteks (Pragmatics is the study of contextual meaning).
3. Melalui ancangan pragmatik menjadi pengamatan bagaimana mitra tutur
menginferensi tuturan yang didengarnya, sehingga hasil tafsirannya terhadap
tuturan itu sama deng