• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

A. Pengertian dan Sejarah Makar

Definisi makar dilihat dari Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan maksud hendak membunuh orang.1 Makar juga bisa diartikan sebagai perbuatan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah (kudeta).2

Makar berasal dari kata “aanslag” (bahasa Belanda), yang menurut

arti harfiah adalah penyerangan atau serangan. Istilah aanslag ini juga terdapat dalam KUHP yakni pada Pasal-Pasal 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b, 140. (Pasal 105 dan 130 dianggap tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal VIII, butir 13). Namun makar yang dimuat dalam Pasal 139a, 139b dan 140 KUHP tidak masuk dalam bab mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan masuk dalam kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya.3

Dalam pembendaharaan hukum pidana “aanslag” telah lazim

diterjemahkan dengan makar.4 Pengertian makar terdapat pada Pasal 107 KUHP, dimana redaksi aslinya ialah:

1

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 623

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka), Edisi ke I, h. 618

3

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet I, h. 7

4

De aanslag ondernomen men het oogmerk om omventelingteweeg tebrengen, wordt gestraf met gevangenisstraf van ten hoogste vifftien jaren”.5

Engelbrecht menterjemahkan Pasal tersebut dengan: “Makar yang

dilakukan dengan maksud untuk meruntuhkan pemerintahan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.6

Terjemahan Engelbrecht tersebut dapat diketahui bahwa terjemahan kata aanslag itu sama dengan kata “makar”.7

Sedangkan Wiryono Prodjodikoromenggunakan terjemahan kata makar sebagai kata aanslag yang menurut beliau berarti serangan.8

Mengenai istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara khusus dapat ditemui dalam Pasal 87 KUHP, yang berbunyi:

“Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan

seperti yang dimaksud dengan Pasal 53 KUHP.”9

Nyatalah bahwa sebenarnya makar itu sendiri adalah suatu pengertian khusus yang berhubungan erat dengan syarat-syarat yang ada dalam hal untuk dapat dipidananya suatu percobaan melakukan kejahatan sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 53 KUHP ayat (1),10 yaitu:

5

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15

6

Engelbrecht, Kitab Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Republik Indonesia,

tahun 1960, h. 1402, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15

7

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15

8

Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1980), h. 187

9

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 16

10

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah

ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena

kehendaknya sendiri.”11

Menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP ada tiga syaratnya yang harus ada agar seseorang dapat dipidana melakukan percobaan kejahatan, yaitu:

a. Niat.

b. Permulaan pelaksanaan.

c. Pelaksanaannya itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya.12

Maksud sebenarnya dari Pasal 53 (1) KUHP itu agar pembuat (dader) yang belum selesai mewujudkan kejahatan juga dapat dipidana, yakni dengan ketentuan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada si pembuat yang tidak selesai itu setinggi-tingginya ialah pidana yang ditetapkan pada kejahatan itu dikurangi sepertiganya. Mengapa harus dikurangi sepertiga dari ancaman maksimumnya? Karena menurut pembentuk Undang-Undang percobaan kejahatan itu belum berupa penyerangan/pelanggaran terhadap kepentingan hukum yang dilindungi, akan tetapi telah membahayakan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi Undang-Undang. Nyatalah pula bahwa pertanggungjawaban pidana bagi pelaku percobaan itu lebih ringan dari pada pertanggungjawaban pidana pada kejahatan yang telah selesai.13

Jika dihubungkan dengan syarat untuk dapat dipidananya, percobaan melakukan kejahatan yang dirumuskan Pasal 53 KUHP, maka jelaslah bahwa

11

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 26

12

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 8

13

makar (Pasal 87 KUHP) bukan nama atau kualifikasi dari suatu kejahatan tertentu sebagaimana yang sering kita dengar, melainkan sesuatu wujud tingkah laku tertentu yang memenuhi unsur/syarat tertentu, syaratnya adalah: a. Adanya niat.

b. Adanya permulaan pelaksanaan, dalam arti yang dimaksud dengan Pasal 53 ayat (1) KUHP.

Pengertian itu baru dapat menjadi suatu kejahatan makar apabila dalam mewujudkan permulaan pelaksanaan tadi didorong oleh suatu kehendak atau maksud yang terlarang seperti pada Pasal 104, 106, 107 KUHP.14

Dapat disimpulkan bahwa makar itu adalah suatu wujud tingkah laku tertentu yang telah memenuhi tiga unsur dari Pasal 53 (1) KUHP, yang artinya untuk mempidana sesuatu pelaku/pembuat (dader) yang telah melakukan suatu perbuatan yang masuk kualifikasi kejahatan makar, sudahlah cukup terpenuhi tiga syarat seperti yang dijelaskan dalam Pasal 53 (1) KUHP.

Dengan sejarahnya yang panjang dalam usaha meraih kemerdekaan dari pihak penjajah, Indonesia masih belum bisa berdiri tegak kokoh dalam mempertahankan kemerdekaannya. Setelah meraih kemerdekaanpun Indonesia masih mendapatkan perlawanan dalam mempertahankan keutuhan negaranya, namun kali ini perlawanan dan usaha-usaha memecah belah Indonesia datang dari rakyat Indonesia itu sendiri. Sebagai contoh peristiwa gerakan makar dibawah ini diantaranya:

a. Partai Komunis Indonesia (PKI)

1) Latar Belakang Tumbuh dan Berkembangnya PKI

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai yang bertujuan

14

menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Paham Komunis di Indonesia pada mulanya dibawa oleh seseorang yang berkebangsaan Belanda yaitu H.J.F.M. Sneevliet. Pada tahun 1913 menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan Marxis berkebangsaan Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda. Ia sebelumnya adalah pemimpin organisasi buruh angkutan dan anggota

Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di Belanda.15

Untuk menanamkan pengaruhnya, Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang Belanda yang berhaluan sosialis yang ada di Hindia Belanda, dan pada tahun 1914 bersama J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi Marxis yang pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Setahun kemudian, mereka menerbitkan majalah Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai media propaganda Marxisme. Selain majalah itu, ISDV juga menerbitkan surat kabar Suara Mardika dan kemudian Suara Rakyat.16

Untuk menanamkan ajaran Marxisme di Hindia Belanda, Sneevliet memanfaatkan organisasi yang sedang berkembang pesat di Indonesia pada waktu itu, yaitu Sarekat Islam (SI). Sneevliet menggunakan cara dengan memasukkan anggota ISDV menjadi anggota SI, dan sebaliknya anggota SI dibolehkan menjadi anggota

15

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis

Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1992), Edisi 1, Cet 2, h. 7

16

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis

ISDV. Pada tahun 1947 Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh yang kuat dikalangan anggota SI. Mereka berhasil membawa beberapa tokoh muda SI menjadi anggota ISDV, diantaranya adalah Semaoen dan Darsono. Kedua orang inilah yang menjadi penyebar Marxisme ke kalangan masyarakat Indonesia.17

Nama Partai Komunis Indonesia (PKI) digunakan pertama kali dalam Kongres di Jakarta pada bulan Juni 1924 yang diadakan oleh Perserikatan Komunis di Hindia Belanda. Setelah itu, PKI berhasil tumbuh menjadi partai politik yang memiliki massa pengikut yang semakin besar.

2) Pemberontakan PKI terhadap Pemerintah Republik Indonesia

Aktivitas-aktivitas PKI mulai muncul sejak tahun 1947, saat pemerintah Indonesia mengambil langkah diplomatik dengan Belanda, PKI dengan tegas menentang semua langkah itu. Dalam tahun-tahun sulit menjelang Proklamasi Kemerdekaan dan selama perang kemerdekaan, keberadaan PKI di Indonesia tidak pernah mempunyai sikap yang menguntungkan bagi Republik Indonesia.

Berikut beberapa pemberontakan yang dilakukan PKI diantaranya adalah:

1) Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah.18

Pada akhir Oktober sampai dengan awal Desember

17

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis

Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 8

18

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis

1945, di Jawa Tengah muncul gerakan komunis yang dikenal

dengan sebutan “Peristiwa Tiga Daerah”, yakni di Tegal,

Brebes, dan Pemalang yang berpusat di Desa Talang, Kabupaten Tegal. Para petualang politik berhaluan komunis berhasil menghimpun massa dan berusaha merebut kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia dengan cara kekerasan di tiga daerah tersebut. Massa di daerah-daerah Slawi, Pemalang, dan Brebes dapat dipengaruhinya, tetapi kota Tegal masih dalam penguasaan satuan-satuan Tentara Keamanan Rakyat XVII (TKR XVII). Pada tanggal 17 Desember 1945 segera setelah dilakukan serangan pembersihan oleh Resimen TKR XVII, situasi keamanan di tiga daerah tersebut berhasil dipulihkan. 2) Pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948.19

Pada tanggal 1 September 1948, Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI) pertama terbentuk dengan Muso sebagai Ketua PKI menggantikan Sardjono. Muso membentuk Politbiro dan Mr. Amir Sjarifuddin diangkat menjadi Sekretaris Urusan Pertahanan, Suripno memegang Urusan Luar Negeri, M.H. Lukman seorang tokoh muda memimpin Sekretariat

Agitasi dan Propaganda (Agitprop). Tokoh muda lainnya D.N. Aidit dipercaya untuk memimpin Urusan Perburuhan. Orang muda ketiga yaitu Njoto diangkat menjadi wakil PKI dalam Badan Pekerja KNIP.

19

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis

Tokoh-tokoh komunis mengadakan pidato-pidato yang bernada membakar emosi massa di Yogyakarta, Sragen, Solo dan Madiun. Aksi-aksi untuk mendiskreditkan pemerintah Republik Indonesia dilancarkan. Sementara itu Muso di depan rakyat banyak senantiasa menggembar-gemborkan janji-janji muluk PKI, sedangkan pegawai-pegawai pemerintah dan tokoh-tokoh partai yang bukan PKI dijadikan sasaran terornya.

aksi kerusuhan lain kemudian menyusul. Aksi-aksi kerusuhan oleh PKI di kota Solo diwarnai oleh penculikan, pembunuhan dan teror bersenjata. Kolonel Soetarto, Panglima Divisi IV/Panembahan Senopati, dibunuh karena tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI, kemudian disusul pembunuhan terhadap Dr. Muwardi sebagai pimpinan Barisan Banteng.

Pada tanggal 18 September 1948 pukul 03.00 ketika seluruh perhatian ditujukan ke kota Solo, meletuslah di kota Madiun tiga kali tembakan pistol sebagai tanda dimulainya pemberontakan yang dilakukan PKI. Dengan didukung oleh kekuatan satu brigade FDR/PKI di bawah pimpinan Sumarsono dan Kolonel Djokosujono, kaum komunis melakukan perebutan kekuasaan di Madiun dan memproklamasikan

berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Pemberontakan dan

proklamasi itu jelas mengkhianati Proklamasi 17 Agustus 1945. Pasukan PKI kemudian bergerak merebut objek-objek vital, seperti kantor-kantor pemerintah, Markas Sub-Teritorial

Comando Madiun, Markas Polisi Militer, Bank, serta Kantor Pos dan Telepon, dan Markas Staf Pertahanan Djawa Timur (SPDT).20

Setelah mengadakan pembahasan secara mendalam, Pemerintah Republik Indonesia menjawab tantangan PKI

dengan mempersilahkan rakyat memilih “Muso dengan PKI -nya atau Soekarno-Hatta”. Ternyata rakyat memilih Soekarno -Hatta. Pasukan TNI segera digerakkan untuk melakukan penumpasan dibawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer Pati-Solo-Madiun, dan Kolonel Sungkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur. Pemberontakan PKI-Madiun ini segera ditumpas oleh satuan-satuan TNI dari Brigade Sadikin, Kusno Utomo (Jawa Barat), Surachmat (Jawa Timur) dan satuan-satuan dari Divisi II (Jawa Tengah), serta satuan-satuan yang didukung oleh massa rakyat yang bangkit menentang PKI.

Dua minggu kemudian, yakni pada tanggal 30 September 1948, pasukan TNI telah berhasil menduduki kembali kota Madiun. Pada tanggal 4 Desember 1948 setelah pemberontakan PKI-Madiun berhasil ditumpas dan Muso tertembak mati, beberapa minggu kemudian Mr. Amir Sjarifuddin, Suripno, Sardjono, Harjono, dan Djokosujono juga terbunuh. Tokoh-tokoh PKI yang berhasil melarikan diri antara lain adalah Abdul Majid, Alimin, Ngadiman Hardjosuprapto,

20

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis

D.N. Aidit, Njoto, Tan Ling Djie, dan Sumarsono. 3) Gerakan 30 September/PKI

Setelah gagal pada usaha pertamanya dalam pemberontakan di Madiun pada tahun 1948, rupanya PKI belum berhenti dalam upaya mengkomuniskan Indonesia. Rencana operasi perebutan kekuasaan oleh PKI sudah lama disiapkan, tetapi pelaksanaan perintah operasinya masih menunggu saat yang tepat. Hal ini disebabkan karena pimpinan Angkatan Darat dinilai sebagai penghalang program PKI. Menurut pengakuan Sjam Kamaruzaman (Ketua Biro Khusus PKI) di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, dalam diskusi-diskusi Comite Central (CC) PKI sejak tahun 1965, pimpinan Angkatan Darat dinilai sebagai penghalang pelaksanaan program PKI dan menunjukan sikap permusuhan terhadap PKI.21

Di pihak lain TNI AD yang pada umumnya terdiri dari

para pejuang ’45, merupakan kekuatan ideologis Pancasila

yang kompak dan berpengalaman dalam menghadapi ancaman komunis seperti pengalaman mereka menghadapi pemberontakan PKI Madiun 1948.22

Setelah berbagai aksi propaganda, memanipulasi pidato-pidato Soekarno, infiltrasi ideologi komunis dan

21

Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan

Indonesia. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008), h. 8

22

pelatihan militer di Lubang Buaya, pada hari Jum’at tanggal 1

Oktober 1965 pukul 04.00 dini hari, PKI mulai melancarkan perebutan kekuasaan dengan diawali penculikan dan pembunuhan enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama. Menurut rencana, pelaksanaannya ialah tanggal 30 September 1965 pada jam yang sama. Pengunduran waktu selama 24 jam yang diputuskan oleh Sjam itu disebabkan para komandan satuan yang akan melakukan penculikan, belum seluruhnya terkumpul.23

Sebelumnya pada tanggal 30 September malam, untuk pertama kalinya diadakan rapat di rumah Sjam Kamaruzaman untuk melancarkan serangan. Secara politis G.30.S/PKI dikendalikan oleh Dewan Militer. Dalam Dewan Militer, D.N. Aidit bertindak sebagai Ketua, Sjam sebagai wakil yang memegang pimpinan pelaksana G.30.S/PKI. Operasi militer dipegang oleh Kolonel A Latief sebagai Komandan Central Komando yang dikendalikan dari Gedung Penas di pinggir Jakarta bypass dekat dengan Halim.24

Letkol Untung Samsuri, Danyon-1/Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa yang bertugas menjaga keselamatan Presiden, dipilih menjadi pimpinan gerakan. Disini D.N. Aidit bermaksud untuk mengelabui bahwa yang bergerak keluar

23

Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan

Indonesia, h. 20

24

Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan

adalah Pasukan Pengawal Presiden, dan sekaligus memberikan kesan bahwa gerakan itu merupakan masalah intern Angkatan Darat yang dilakukan oleh Pasukan Pengawal Presiden untuk melindungi Presiden dari upaya perebutan kekuasaan yang akan dilakukan Dewan Jenderal.25 Dewan Jenderal adalah hasil hasutan yang dilakukan oleh PKI dengan maksud menanamkan kebencian kepada TNI.

Dalam rapat Dewan Militer itu D.N. Aidit memerintahkan kepada Letkol Untung lewat Sjam (Ketua Biro Khusus PKI) untuk melakukan persiapan. Pada tanggal 30 September pukul 10.00, Letkol Untung memberikan pengarahan kepada para pimpinan pelaksana G.30.S/PKI di Lubang Buaya. Dalam pengarahan itu Letkol Untung mengatakan akan diadakannya gerakan pendahuluan untuk memberi pukulan yang menentukan terhadap kekuatan yang mereka sebut sebagai Dewan Jenderal.

Gerakan itu di atas kertas seluruhnya berkekuatan satu

divisi yang disebut “Divisi Ampera”, sedangkan operasi pendahuluan diberi nama sandi “Operasi Takari”, yang terdiri

dari Pasukan Pasopati (bertugas melakukan penculikan terhadap para perwira tinggi AD), Pasukan Bima Sakti (bertugas menguasai Jakarta), dan Pasukan Gathutkaca (bertugas sebagai pasukan cadangan yang berada di Lubang Buaya). Tetapi dalam rapat pada tanggal 29 September malam

25

Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan

D.N. Aidit merubah nama “Operasi Takari” menjadi “Gerakan

30 September”.26

Gerakan 30 September PKI yang merupakan gerakan militer berhasil menculik dan membunuh, Letjen TNI Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen TNI Suprapto (Deputi-II/Pangad), Mayjen TNI Haryono M.T. (Deputi-I(Deputi-II/Pangad), Mayjen TNI S. Parman (Asisten-I/Pangad), Brigjen TNI D.I. Pandjaitan (Asisten-IV/Pangad) dan Brigjen TNI Sutojo Siswomihardjo (Oditur Jenderal Militer/Inspektur Kehakiman AD). Penculikan terhadap Jenderal A.H. Nasution yang menjadi sasaran utama gagal karena berhasil menyelamatkan diri.27 Namun, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean menjadi korban dan tewas dalam upaya penculikan tersebut.

b. Pemberontakan DI/TII

Setelah empat tahun Indonesia meraih kemerdekaan, gejolak dalam bangsa Indonesia rupanya belum berakhir. Bukan dari pihak asing, melainkan dari dalam tubuh bangsa Indonesia sendiri. Di dasari atas ketidakpuasan terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat, rakyat yang berada di daerah akhirnya muncul dan mulai menunjukan sikap perlawanan kepada pemerintah pusat. Salah satu

26

Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan

Indonesia, h. 22

27

Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan

yang menunjukan sikap perlawanan ini adalah Darul Islam. Berikut beberapa contoh pemberontakan yang dilakukan DI/TII.

1) Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Darul Islam atau yang disebut juga dengan Negara Islam Indonesia (NII) didirikan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang ditandai dengan pembacaan proklamasi oleh Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisampang, Kewedanaan Cisayong, Tasikmalaya. Negara ini tumbuh dalam masa perang di tengah-tengah revolusi nasional masih sedang berjalan. Melalui proklamasi itu, Kartosuwiryo dan para pengikutnya secara tegas memisahkan diri dari negara kesatuan RI, dengan kata lain memberontak terhadap pemerintah yang sah.28

Pada saat masa Perjanjian Renville29, Kartosuwiryo melihat peluang untuk merealisasikan cita-citanya. Kartosuwiryo menganggap perjanjian itu sangat merendahkan pemerintah dan berarti pemerintah sudah berkapitulasi terhadap Belanda. Dalam salah satu keputusan Renville itu ialah pemindahan pasukan RI yaitu pasukan Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Akan tetapi laskar di daerah tersebut seperti laskar Hizbullah dan laskar Sabilillah tidak bersedia dipindahkan. Mereka tetap bertahan di Jawa Barat dan berkonsentrasi di Gunung Cupu.

28

Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi”,

(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), Cet I, h. 405-406

29

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 diatas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, yaitu USS Renville yang berlabuh di pelabuhan Tanjunng Priok, Jakarta.

Pemindahan pasukan itu dan pembentukan Negara Pasundan oleh Belanda pada Maret 1948 mengakibatkan vakumnya kekuasaan RI di Jawa Barat. Hal ini dimanfaatkan oleh Kartosuwiryo, yang pada mulanya menunjang perjuangan RI namun kemudian berbalik dan diarahkan untuk merealisasikan cita-citanya untuk mendirikan Negara Islam.30

Pada tanggal 10-11 Februari 1948, Kartosuwiryo dan para pengikutnya mengadakan konferensi untuk yang pertama kali. Dalam konferensi ini menghasilkan beberapa keputusan yang diantaranya adalah mengubah sistem ideologi Islam Partai Masyumi dari kepartaian menjadi kenegaraan. Dalam konferensi ini juga mengangkat Kartosuwiryo sebagai Imam umat Islam Jawa Barat dan penunjukan Oni Qital yang seorang pengikut fanatik Kartosuwiryo menjadi pimpinan Tentara Islam Indonesia.

Sejak awal 1949, Kartosuwiryo menganggap daerah Jawa Barat sebagai daerah de facto NII. Karena hal itu, ia menyatakan bahwa setiap pasukan yang masuk ke Jawa Barat berarti melanggar kedaulatan NII. Mereka akan dihancurkan apabila melanggar peraturan itu, namun Kartosuwiryo membuat pengecualian dengan harus mengakui NII apabila tidak ingin dihancurkan.31

Untuk mengembalikan daerah Jawa Barat ke Negara Kesatuan

30

Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h. 406

31

Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h. 407

Republik Indonesia, maka pasukan yang tadinya dihijrahkan ke Jawa Tengah akibat perjanjian Renville, kembali ke Jawa Barat dengan melakukan penyusupan dan long march kembali ke daerah asal mereka. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi Pagar Betis dan operasi Bratayudha. Akhirnya pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo beserta para pengikutnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Kemudian, oleh Mahkamah Angkatan Darat Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati sebagai akibat pemberontakannya itu sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dipadamkan.32

Gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) yang didirikan oleh Kartosuwiryo ini adalah sebagai bentuk embrio dari gerakan-gerakan Darul Islam yang berada di daerah lainnya seperti Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.

2) Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Tidak berbeda jauh seperti apa yang terjadi di Jawa Barat, awal mula terjadinya pemberontakan di Jawa Tengah oleh gerakan DI/TII ini disebabkan akibat dari Perjanjian Renville. Akibat perjanjian ini, daerah Pekalongan di Jawa Tengah juga ditinggalkan oleh kesatuan TNI dan aparat pemerintahan. Karena hal ini timbullah kevakuman pemerintah di daerah ini. Kevakuman ini dimanfaatkan

32

http://www.artikelsiana.com./2014/09/pemberontakan-DI/TII-cara-pemerintah-penanggulangannya.html. Diakses pada tanggal 5 Mei 2015

oleh Amir Fatah. Pada tahun 1948, ia membawa tiga kompi pasukan Hizbullah yang tidak di-TNI-kan ke daerah Pekalongan. Amir Fatah mengaku mendapat intruksi dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk mengadakan gerakan imbangan di daerah Tegal dan Brebes terhadap usaha Belanda dan mencegah Kartosuwiryo melebarkan pengaruhnya di Jawa Tengah.33

Setelah Belanda melancarkan agresi militer pada pada 19 Desember 1948, pasukan TNI mengadakan penyusupan dan perlawanan ke daerah Pekalongan, Tegal dan Brebes. Di daerah ini pasukan TNI mengadakan kerja sama dengan Amir Fatah, kemudian Amir Fatah di angkat sebagai kepala koordinator perlawanan di daerah Tegal dan Brebes.

Namun pada Maret 1949, Amir Fatah mengadakan pertemuan dengan utusan Kartosuwiryo di Desa Pengarasan, Bumiayu. Dalam perundingan ini Amir Fatah berjanji akan bergabung dengan Kartosuwiryo. Sebagai buktinya ia diangkat sebagai komandan pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal TII. Pada

Dokumen terkait