• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi bughat dan makar : menurut persepektif hukum islam dan hukum positif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sanksi bughat dan makar : menurut persepektif hukum islam dan hukum positif"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Imam Maulana

N I M :1111045200002

PROGRAM STUDI SIYASAH SYAR’IAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

SKRTPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah danHukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat rmtuk

Memperoleh Gelar Smjana Syariah (S.SV).

Oleh: Imam Vaulpna NIM. 1111045200002

Di Bawah Bimbingan:

NIP: 197812302001nA02

PR(}GRAM

STU}I

STYASAH SYAR'IAII

FAKTILTAS SYARIAII DAN HUKTJM

urN

sYARrr

gro,t

yaiur,r,art

(3)

Skripsi berjudul "Sanksi Bughat dan Makar: Men urut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positr telah diujikan dalam Sidang Munaciashah Fakultas Syariah dan Hulcum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 September 2015 M/ 04 Dzulhijjah 1436 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah).

Jakarta, 17 September 2015 M/ 04 Dzulhijjah 1436 H

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

111111

Dr. Ase • a udin Ja ar MA.

NIP. 19691216 199603 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASHAH

1. Ketua : Dra. Hj. Maskufa, MA

NIP. 196680703 199403 2 002

2. Sekretaris : Sri ElidayafiAg

NIP. 19710215 199703 2 002

3. Pembimbing I : Dr. AlFitra, SH. M.Hum

NIP.19720203 200701 1 034

4. Pembimbing IT : Masyrofah, S.M., M.Si NIP. 19781230 200112 2 002

5. Penguji I : Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA NIP.19581110198803 1,001

(4)

iv

Syar’iah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 1436 H / 2015 M, x + 88 halaman.

Masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana bughat dan pelaku makar dalam pemberontakan bisa diberikan sanksi sesuai dengan hukum Islam maupun hukum positif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan hukum positif terhadap makar, bagaimana bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap pelaku makar dan mengetahui apa perbedaan dan persamaan bughat dan makar menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif.

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari sumber hukum primer, sumber hukum sekunder dan sumber hukum tersier baik manual maupun digital yang berkaitan dengan tema pembahasan. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi bagi bughat menurut perspektif hukum Islam adalah diperangi dan dijatuhi hukuman mati (jarimah hudud), hal ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, namun apabila pemimpin/imam memberikan pengampunan maka,

bughat bisa dijatuhi jarimah ta’zir. Dan sanksi bagi pelaku makar menurut perspektif hukum positif adalah pidana mati dan pidana penjara, hal ini sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam Buku II Bab I KUHP yang penulis fokuskan menjadi empat pasal yaitu dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP dan ditambah dengan Pasal 108 KUHP. Namun, disini pelaku makar sudah bisa dipidana apabila telah memenuhi tiga unsur yaitu permulaan niat, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri, dan untuk hukumannya dikurangi sepertiga. Namun dalam pemberian sanksi kepada bughat maupun pelaku makar harus dilakukan secara hati-hati dan sebelumnya harus ada proses dialog/musyawarah.

Kata kunci : Sanksi, Bughat, Makar. Pembimbing : Dr. Alfitra, SH., M.Hum.

Masyrofah, S.Ag., M.Si.

(5)

v

ِمْيِحّرلا ِنَمْحّرلا ِه ِمْسِب

Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan

kemampuan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjalankan tugas-tugas

kekhalifahan di bumi dan atas semua yang telah dilimpahkan kepada umat

manusia secara umum dan penulis secara khusus. Shalawat beserta salam tak

luput kepada risalah-Nya Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat, dan

mereka semua yang telah berjuang untuk menegakkan kalimat tauhid di atas muka

bumi ini dan membimbing umat manusia sehingga dapat menjalani kehidupan

yang lebih baik di dunia dan kebaikan hidup di akhirat.

Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan.

Adanya bimbingan, kritikan dan masukan yang sangat berarti diperlukan penulis

untuk dapat lebih menyempurnakan dan memperbaiki agar penyajian skripsi ini

lebih sempurna.

Dalam perjalanan penulisan skripsi ini, satu hal yang menjadikan sebuah

kebanggaan bagi penulis adalah mengikuti perkuliahan di kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syari'ah dan Hukum. Di dalam

perjalanan ini begitu banyak pengalaman serta pengetahuan baru yang penulis

dapatkan, baik sifatnya menyenangkan maupun yang mengharukan, karena

dengan melewati itu semua maka kepribadian dan kedewasaan dalam bersikap

(6)

vi

faham bahwa dalam mengerjakan skripsi bukan perkara yang mudah karena butuh

ketelitian dan kemauan yang tinggi. Tetapi bersyukur alhamdulillah, semua itu bisa diatasi berkat motivasi dan dorongan yang diberikan oleh semua pihak yang

membantu dan memberikan dukungan tiada henti kepada penulis. Semoga Allah

SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu mengasihi dan

menyayangi kalian, dimana kalian berada. Amin. Rasa terima kasih ingin penulis

sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan yang

telah membimbing penulis dalam menjalani perkuliahan.

2. Ibu Dra. Maskufa, MA, Sebagai Ketua Program Studi Siyasah Syar’iah yang

telah memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis

selama penulis mengikuti perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan

studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Selaku Sekretaris Program Studi Siyasah Syar’iyah

yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam

keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan

sebaik-baiknya.

4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, Selaku Dosen Penasehat Akademik

yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat selama penulis

(7)

vii

5. Bapak Dr. Alfitra, SH., M.Hum dan Ibu Masyrofa, S.Ag., M.Si. Selaku dosen

pembimbing yang sangat penulis hormati, dengan sangat sabar dan keikhlasan

beliau membimbing penulis, memberikan banyak ilmu dan waktunya kepada

penulis sehingga banyak hal baru yang penulis dapatkan selama bimbingan

bersama beliau dan menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari bahan dan

literatur selama masa kuliah.

7. Kepada keluarga penulis, teristimewa ayahanda dan ibunda tercinta, Bapak

Syafe’i, S.Ag dan Ibu Junaeni yang senantiasa tiada henti mendoakan penulis,

memberikan limpahan kasih sayang, kesabaran, dukungan serta motivasi baik

moral maupun materil kepada penulis. Tak lupa untuk kakak-kakakku tercinta

Neneng Nurhaeni dan Syaiful Hadi, S.Pdi dan seluruh keluarga besar (alm) H.

Emed dan keluarga besar (alm) Abah Ismail terima kasih untuk segala doa

yang kalian berikan, semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih

sayang-Nya dan keberkahan untuk kalian.

8. Kepada kekasih Wulandari yang sama-sama sedang berjuang dalam meraih

mimpi dan juga untuk keluarganya, terima kasih untuk segala doa dan

dukungannya selama penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Kepada semua guru-guru penulis yang berada di Ponpes Al-Masthuriyah

(8)

viii

Lemo terima kasih atas doa yang beliau berikan kepada penulis.

10.Sahabat tercinta Gilang (Dagul), Martin (Kibo), Iqbal (Bapur), Iskandar (Ace),

Bima Aditya, Davi Amanas Putra, Fauzi A, Yusuf Dj, Qoka, Ashof, Dahlan,

Febryansyah (Ahonk), Yoga, Syarif H, Paul dan Fawaid. Terima kasih atas

kebersamaan dan keseruan yang penulis banggakan selama bersama kalian.

11.Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan SS

angkatan 2011, Andi, Hera, Lisna, Merry, Tiwa, Arista, Tomi, Uti, Dwi,

Anwar, Fajar, Devi, Fifit, Gilang, Mun'im, Rezi dan Buya. Dan tidak lupa juga

untuk teman-teman dari jurusan Pidana Islam angkatan 2011.

12.Kepada teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) kelompok SUDESI 2014.

Untuk Zahir, Herga, Ahsan, Ihsan, Aji, Ajo, Mizar, Dewi, Annisa, Tantri,

Heni, Citra, Rani dan Yani. Sebulan bersama kalian adalah sesuatu yang

sangat berkesan. Terima kasih semua atas perhatian dan dukungannya. Dan

tak lupa kepada warga Kp. Lemo khususnya Bapak Lurah Arban, Bang Baron,

Emak Encum, Bang Dedi, Fikri, Alung, Yogi dan Yosef. Terima kasih untuk

segala doa dan dukungannya.

13.Kepada semua pihak yang sudah membantu penulis, mohon maaf apabila

belum disebutkan. Akan tetapi, penulis berdo’a semoga agar kebaikan dan

ketulusan kalian di balas oleh Allah SWT.

Dalam penulisan skripsi ini mungkin terdapat banyak kekurangan, baik

(9)

ix

untuk para pembaca umumnya dan penulis khususnya.

Ciputat, 31 Juli 2015

Penulis

(10)

x

HALAMAN JUDUL.……… i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

LEMBAR PENGESAHAN………. iii

ABSTRAK………. iv

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR ISI………. x

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT………… 14

A. Pengertian dan Sejarah Bughat ... 14

B. Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan ... 29

1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (imam) ... 29

2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan Kekuatan ... 31

(11)

xi

BAB III MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF………. 36

A. Pengertian dan Sejarah Makar ... 36

B. Macam-Macam Kejahatan Makar ... 53

1. Makar yang Menyerang Keamanan Presiden atau Wakilnya 54 2. Makar yang menyerang Keamanan dan Keutuhan Wilayah Negara... 54

3. Makar yang Menyerang Kepentingan Hukum Tegaknya Pemerintah Negara ... 56

C. Makar dalam Hukum Positif ... 57

1. Pengaturan Makar dalam KUHP ... 57

2. Pengaturan Makar di Luar KUHP ... 60

BAB IV SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF….……….. 66

A. Sanksi Hukum Terhadap Bughat ... 66

B. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar... 71

C. Relevansi Sanksi Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar .... 73

BAB V PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 85

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Politik dan agama Islam sangat erat hubungannya. Bahkan tidak bisa

dipisahkan satu dari keduanya. Konsep politik Islam selalu berlandaskan

nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Bukan hanya politik saja, melainkan seluruh

aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam. Jadi, sangat tidak mungkin

jika konsep politik Islam justru terlepas dari Islam. Namun, dalam perjalanan

sejarah perpolitikan dan pemerintahan Islam, sebagai contoh proses pemilihan

maupun pemberhentian kepala negara, tidak ada yang baku dalam proses

keduanya itu.

Kepala negara tidak lain adalah wakil rakyat. Rakyatlah yang berhak

meminta pertanggungjawaban kepada kepala negara, dan rakyat pulalah yang

mengadakan bai’at, dan berhak pula memakzulkan (memberhentikannya)

apabila diperoleh cukup alasan untuk itu. Maka sebagai upaya terciptanya

prinsip check and balance, masyarakat memiliki hak untuk mengawasi tindak tanduk kepala negara itu. Oleh karena itu, apabila kepala negara tersebut

melakukan kecurangan atau dzalim serta mengabaikan segala ketentuan yang

berlaku dan diberlakukan (syari’at atau hukum), maka rakyat berhak menegur

ataupun memecatnya.1

Perbedaan pendapat, ambisi dan kepentingan masing-masing pihak

yang muncul dalam proses interaksi berpolitik tidak menutup kemungkinan

1

(13)

akan memicu lahirnya konflik, pertikaian, penindasan, peperangan dan

pembunuhan atau pertumpahan darah, yang pada gilirannya nanti bisa

berimplikasi pada terjadinya kehancuran total dalam berbagai dimensi

kehidupan umat manusia itu sendiri.2

Penjelasan seputar bughat secara lengkap diatur dalam hukum Pidana Islam. Hukum Pidana Islam yang biasa disebut sebagai Fiqh Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang

dilarang (jarimah) dan sanksi hukumnya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.3 Bughat dalam hukum Pidana Islam adalah golongan yang melawan Khalifah yang sudah sah dan tidak melakukan sesuatu yang

menyalahi ketentuan agama.4 Fenomena bughat masuk dalam soal kepemimpinan politik atau al-imarah. Dalam soal ini prinsipnya jelas, seperti yang disebutkan dalam Q.S. An-Nisaa’ ayat 59:

ا هُأٓ ي

ي ذَ ٱ

ن

يطٱ آونماء

اوع

ذّ ٱ

يطٱو

اوع

وسذرل ٱ

ل

ِ وٱو

رأم أۡ ٱ

نم

مأك

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.”5

Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah satu

hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan disini bisa bermakna tidak keluar

untuk mengangkat senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip

2

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 96

3Muhammad Amin Suma…et al.,

Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. ix

4

A. Hasan, Ibnu Hajar Al-Asqalani Bulughu al-Maram, Terjemahan Bulughul Maram. Jilid II, (Bandung: CV. Diponegoro, 1967) h. 186

5

(14)

ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi

anarki. Kalau ingin melakukan perbaikan, Imam Al-Ghazali menyebutkan

bahwa untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah

kota.6

Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan sebagian ulama Malikiyah

mengatakan bahwa orang yang melawan imam adalah pemberontak meskipun

pemberontakan itu didasarkan atas kebenaran, baik ia salah maupun benar.

Melawan imam bukan cara yang tepat untuk menegakkan kebenaran dan

meluruskan kesalahan. Apa yang mereka lakukan bisa mengakibatkan

kerusakan dan meruntuhkan kehidupan bernegara. Selain itu memberontak

terhadap orang yang sah kepemimpinannya adalah haram sebab imam yang

kepemimpinannya diakui harus ditaati.7

Dalam sebabnya, bughat disebabkan tidak lepas dari tiga pra kondisi: Pertama; bughat disebabkan hanya sebatas masalah akses politik dan ekonomi yang diikuti oleh nafsu untuk berkuasa dengan cara menyingkirkan

pemerintah yang sah.8 Kedua, bughat disebabkan karena persoalan ketidaksepakatan ide atau implementasinya dalam proses pemerintahan. Dan

yang ketiga, bughat tidak bisa dilepaskan karena pemerintah yang melakukan tindakan represif dan dzalim kepada rakyat. Dalam konteks ini bughat menjadi sangat berdekatan dengan aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar, artinya

6

http://m.nu.or.id/Bughat-.phpx. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

7

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 245

8

(15)

menjalankan aktivitas bughat menjadi kewajiban masyarakat.9

Namun tetap saja, apabila melihat pada apa yang ditimbulkan oleh

bughat selepas pemberontakan itu dilakukan, maka pemberontakan itu merupakan kejahatan politik yang sangat meresahkan. Sebab, kejahatan

semacam ini dapat menghancurkan persatuan kaum muslimin, menyalakan api

fitnah dan segala efek negatifnya mulai dari pertumpahan darah,

menghancurkan bangunan negara, menebarkan teror dan penyelewengan

hak.10

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar

atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat), maka kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segala-segalanya. Setiap

perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa terkecuali.11

Penerapan hukum di Indonesia tentunya dengan cara-cara yang

menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti

Ketuhanan Yang Maha Esa, harkat dan martabat manusia, dan hak asasi

manusia secara bijaksana dan adil kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa

melihat golongan, etnis, ras, warna kulit maupun jabatan tertentu.

Berbagai macam peristiwa dan kejadian nasional telah mewarnai

sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tiga ratus lima puluh tahun bangsa

Indonesia dijajah oleh bangsa asing (Belanda) dan didalam masa perjanjian

9

http://asysyariah.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

10

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan

Al-Qur’an dan Hadist), penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet. I, h. 245

11

(16)

terselip pula bangsa-bangsa lain yang ikut berusaha untuk memiliki negeri ini.

Tercatatlah bangsa Jepang dan Inggris, dan selama itu pula bangsa Indonesia

berjuang untuk mengusirnya yang pada akhirnya pada tanggal 17 Agustus

1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia mengucapkan

proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.12

Perjuangan bangsa Indonesia tidak cukup sampai disitu saja, banyak

peristiwa yang mewarnai sejarah bangsa Indonesia, seperti pada tanggal 18

September 1948 gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) secara terbuka dan

secara resmi mengadakan perebutan resmi terhadap kekuasaan Republik

Indonesia.13

Menyusul kemudian pada tanggal 25 April 1950 Maluku Selatan

yang memproklamasikan dirinya sebagai negara yang merdeka.14 Kemudian

menyusul peristiwa penembakan atas Presiden Republik Indonesia (Bung

Karno) yaitu yang terjadi pada tanggal 30 November 1957, yang dikenal

dengan peristiwa Cikini.15 Lalu PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik

Indonesia) yang berdiri di Sumatera pada tanggal 15 Februari 1958, dan di

bagian lain di negara Indonesia yaitu di Sulawesi berdiri pula Perjuangan

Semesta (PERMESTA).16 Kemudian, peristiwa yang tidak kalah pentingnya

12

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h. 9

13

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 9

14

Jusuf Abdullah Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), h. 33, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10

15

Peristiwa Cikini, (Jawatan Penerangan Provinsi Aceh, 1967), h. 17, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10

16

(17)

yaitu yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 yang dikenal dengan

Pemberontakan G/30.S/PKI. Peristiwa-peristiwa tersebut pada dasarnya

merupakan perebutan kekuasaan pemerintah yang sah dalam kekuasaanya.

Adapun latar belakangnya adalah berbeda-beda (tidak puas terhadap

pemerintah Republik Indonesia, dendam dan sebagainya). Sesuai dengan

rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perbuatan-perbuatan tersebut

diatas disebut dengan makar.17

Makar adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan

maksud hendak membunuh orang.18 Jika dilihat mengenai penjelasan makar

ini, maka pengaturan beserta sanksinya ada dalam rumusan KUHP Buku II

Bab I yang diantaranya terdapat dalam Pasal berikut ini:

Pasal 104 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

“Makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”19

Pasal 106 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah

negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”20

17

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10

18

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h. 623

19

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), Cet. 17, h. 44

20

(18)

Pasal 107 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.21

Tindak pidana makar dan bughat baik menurut hukum positif maupun hukum pidana Islam adalah merupakan bentuk kejahatan yang sangat

berbahaya dan juga dikategorikan sebagai kejahatan politik yang memiliki ciri

motif dan tujuan yang berbeda dari kejahatan biasa serta diancam dengan

sanksi pidana yang berat. Karena tindak pidana makar dan bughat ini pada dasarnya adalah konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan pihak penguasa

negara, maka demi menciptakan hubungan yang harmonis antara rakyat dan

pihak penguasa, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara harus dapat

melaksanakan pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip demokratis,

good goverment, melakukan pembangunan yang merata bagi seluruh daerah, serta menanamkan rasa nasionalisme kebangsaan dan persatuan melalui

pendidikan bagi seluruh warga negara, dan rakyat sendiri juga harus dapat

memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.

Mengingat diperlukan transfer “bahasa” syari’at Islam yang terdapat

dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, dan kitab-kitab Fiqh kedalam bahasa

Undang-Undang itu bukan pekerjaan mudah, dan juga bahasa merupakan bagian dari

budaya tertentu dan corak bahasa hukum atau bahasa Undang-Undang berbeda

dengan bahasa kitab kuning. Maka dari itu membutuhkan kerja sama yang luar

biasa dari para pakar hukum umum dan para pakar hukum Islam untuk

21

(19)

menyamakan bahasa. Sebagai contoh, kata “makar” dan “subversi” atau

bughat” tidak bisa disamakan begitu saja tanpa melewati proses transfer

bahasa.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penelitian akan dituangkan

dalam bentuk skripsi dengan judul: “SANKSI BUGHAT DAN MAKAR: MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah yang berkaitan dengan bughat dan makar dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, karena merupakan suatu permasalahan yang

kompleks. Maka penulis membatasi dan merumuskan masalah mengenai

bughat dan makar ini. Adapun masalah pokok penelitiannya sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan

hukum positif di Indonesia terhadap makar?

2. Bagaimanakah bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum

Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap makar di Indonesia?

3. Apakah perbedaan dan persamaan bughat dan makar menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Maksud dan tujuan yang penulis rumuskan berdasarkan pembatasan

dan perumusan masalah yang telah dilakukan adalah:

(20)

2. Untuk mengetahui bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam

hukum Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap makar di Indonesia.

3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan bughat dan makar menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif.

Sedangkan manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat

untuk memperoleh kesarjanaan Program Studi Siyasah Syar’iah.

2. Sebagai sumbangan pemikiran dan sekaligus pengembangan keilmuan

dibidang Fiqh Siyasah dalam konteks Ketatanegaraan Islam.

3. Menambah wacana ilmu pengetahuan mengenai bughat dan makar dalam Fiqh Siyasah maupun undang-undang.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian tentang topik bughat dan makar yang telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik sumber data yang diperoleh,

isu, maupun yang menyinggung secara umum. Berikut beberapa tinjauan

umum atas bagian karya-karya penelitian mengenai bughat dan makar.

Karya ilmiah yang pertama adalah skripsi yang berjudul “Konsep

Bughat Dalam Perspektif Politik Islam (Studi Kasus Terhadap G 30S/PKI)” yang ditulis oleh Iyan Fitriyana pada tahun 2012 Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Jakarta Syarif Hidayatullah. Secara umum menjelaskan bagaimana

(21)

Tinjauan yang kedua adalah buku yang digunakan penulis yaitu

“Tindak Pidana Makar Menurut KUHP yang ditulis oleh Djoko Prakoso.

Dalam buku ini menjelaskan tentang tindak pidana makar. Buku ini

menyajikan penjelasan yang sangat menarik, dan juga banyak dijadikan

sebagai sumber dalam penelitian yang berhubungan dengan pidana makar.

Karya ilmiah yang ketiga adalah skripsi yang berjudul “Kriteria

Thagut Dan Bughat Dalam Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Upaya Penyelesaian Penyimpangan Kekuasaan Di Indonesia” yang ditulis oleh

Rapikul Ihsan pada tahun 2012 Fakultas Ushuludin UIN Jakarta Syarif

Hidayatullah. Secara umum menjelaskan mengenai bagaimana pandangan

dalam Al-Qur’an tentang pemimpin yang tidak amanat dan mengenai kriteria

dari bughat itu sendiri.

Keempat adalah buku yang berjudul Ensiklopedi Hukum Pidana

Islam yang ditulis oleh Abdul Qadir Audah. Buku yang berjumlah beberapa

jilid ini banyak sekali menjelaskan apa yang menjadi kajian penulis dalam

penulisan skripsi ini, seperti pengertian bughat, pendapat para fukaha maupun penjelasan yang menyangkut dengan ketentuan hukum pidana Islam terkait

masalah seputar bughat.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam penulisan skripsi

ini, karena metode penelitian ini dapat menentukan langkah-langkah dari suatu

(22)

berasal dari buku-buku, artikel-artikel, majalah, koran, serta bahan-bahan

lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan penelitian riset pustaka

(Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menghimpun dan menelaah data sumber kepustakaan berupa

data-data primer dan sumber data-data sekunder yang relevan dengan pembahasan

skripsi ini.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer adalah sumber data yang ada kaitannya langsung

dengan tema skripsi ini. Sumber data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, kitab-kitab Fiqh Siyasah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11/PnPs/Tahun 1963

Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan

Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan

Subversi dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

b. Sumber data sekunder yakni sumber data yang tidak berkaitan

langsung dengan tema skripsi ini. Adapun sumber data sekunder yang

(23)

jurnal, surat kabar, majalah maupun melalui media internet.

c. Bahan hukum tersier yakni data yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap data-data primer dan sekunder yaitu berupa

kamus-kamus ilmiah, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Analisis Data

Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian

rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat

dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian.

Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis

menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan

pokok-pokok permasalahan secara menyeluruh.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku

"Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012".

F. Sistematika Penulisan Sementara

Penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari

lima bab, dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan

perincian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan

(24)

BAB II : TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT

Dalam bab ini membahas tentang Pengertian dan Sejarah Bughat, Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan, Dan Dasar Hukum Bughat.

BAB III : MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

Pada bab ini menjelaskan ini tentang Pengertian dan Sejarah

Makar, Macam-Macam Kejahatan Makar, Dan Makar dalam

Hukum Positif.

BAB IV : SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Dalam bab ini menjelaskan tentang Sanksi Hukum Terhadap

Bughat, Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar, dan Relevansi Sanksi Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar.

BAB V : PENUTUP

Merupakan bab penutup yang di dalamnya berisi kesimpulan dan

(25)

14

TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT

A. Pengertian dan Sejarah Bughat

Secara etimologi, kata bughat berasal dari bahasa Arab ىغب yang memiliki arti yang sama dengan kata َملظ yaitu berlaku dzhalim atau menindas.1 Dalam makna lain, kata bughat juga berasal dari kata َ ءاغب–ىغْبي–ىغب yang berarti menginginkan sesuatu.2

Sedangkan secara terminologi, para fukaha berbeda pendapat

mengenai definisi bughat ini. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam madzhab mereka. Diantaranya adalah:

a. Pendapat Malikiyah

Ulama Malikiyah mengartikan bughat atau pemberontak sebagai sekelompok kaum muslimin yang bersebrangan dengan

al-Imam al-A’zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak

dan kewajiban atau bermaksud menggulingkannya.3

b. Pendapat Hanafiyah

Ulama Hanafiyah mendefinisikan para pemberontak (bughat) yaitu keluar dari ketaatan kepada imam (pemimpin tertinggi/kepala

negara) yang sah dengan cara tidak sah. Pemberontak (al-bagi) berarti orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang benar dengan cara

1

Ali Muthohar, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), h. 228

2

Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), h. 69

3

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

(26)

tidak benar.4

c. Pendapat Syafi’iyah

Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bughat sebagai orang-orang

Islam yang melawan imam (pemimpin tertinggi) dengan cara keluar

darinya, tidak mau tunduk, menghalangi hak yang diarahkan kepada

mereka, dan mereka ini memiliki kekuatan, alasan, serta orang yang

mereka taati.

Definisi lainnya adalah orang yang keluar dari ketaatan dengan

alasan yang salah, namun belum dipastikan salahnya. Syaratnya,

mereka mempunyai banyak kekuatan dan ada pemimpin yang mereka

patuhi. Dengan demikian, pemberontakan dalam pandangan ulama

Syafi’iyah adalah keluarnya sekelompok orang yang mempunyai

kekuatan dan pemimpin yang ditaati dari imam dengan alasan (takwil) yang salah.5

Dengan pernyataan yang sedikit berbeda, Imam Al-Nawawi

berpendapat sebagai berikut; Pemberontak, menurut fuqaha, ialah

seseorang yang menentang penguasa. Orang tersebut keluar dari

ketundukan dengan cara menolak melakukan kewajiban-kewajiban

yang seharusnya ia lakukan dengan cara lainnya.6

d. Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah mendefinisikan bughat sebagai orang-orang

4

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 110

5

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

h. 234

6

(27)

yang keluar dari imam meski imam tersebut tidak adil sekalipun

dengan alasan yang layak dan mereka mempunyai kekuatan walaupun

diantara mereka tidak ada orang yang dipatuhi.7

e. Ulama Zahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah

Ulama Zahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah mendefinisikan

pemberontak sebagai orang yang menganggap dirinya benar,

sedangkan imam adalah salah, ia memerangi dan menuntut imam, ia

memiliki kelompok atau kekuatan, atau melakukan apa yang

diperintahkan untuk imam. Jadi, pemberontak adalah orang yang

keluar dari imam yang sah yang berasal dari kelompok yang memiliki

kekuatan.8

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ulama, terdapat

adanya perbedaan dan persamaan dalam memberikan pandangan mengenai

bughat. Dari segi perbedaan, definisi diantara beberapa madzhab fikih disebabkan perbedaan syarat yang wajib dipenuhi oleh bughat. Perbedaan tersebut tidak terletak pada unsur-unsur pemberontakan yang mendasar. Para

fukaha madzhab-madzhab ini mencoba mengumpulkan definisi dengan

definisi yang mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat tindak pidana

pemberontakan agar definisinya bisa bersifat jami’ (komprehensif) dan mani’

(mencegah pengertian lain masuk kedalam esensi pengertian yang dimaksud).9

7

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

h. 234

8

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

h. 234-235

9

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

(28)

Sedangkan dari sudut persamaan mengenai definisi bughat, mungkin bisa dibuatkan definisi bersama yang disesuaikan dengan definisi semua

madzhab, yang didasarkan atas unsur yang paling mendasar. Definisi tersebut

adalah pembangkangan terhadap imam (pemimpin tertinggi) dengan

perlawanan.10

Tindakan bughat ini memiliki kesamaan dengan hirabah

(perampokan) dan terorisme, yakni sama-sama mengadakan kekacauan dalam

sebuah negara. Namun, jika dilihat dari motif yang melatarinya ketiganya

sangat berbeda. Hirabah adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam

rumah atau di luar rumah yang bertujuan untuk menguasai harta orang lain

dan membunuh korban untuk menakut-nakuti.11 Sedangkan terorisme adalah

praktek-praktek tindakan terror oleh seseorang atau golongan dengan

penggunaan kekerasan untuk menciptakan ketakutan kepada masyarakat

umum dalam mencapai suatu tujuan.12 Jadi, tegasnya kejahatan yang

dilakukan bughat bukan hanya sekedar mengadakan kekacauan dan mengganggu keamanan negara, tapi juga bertujuan untuk mengambil alih

kekuasaan dan menggulingkan pemerintahan yang sah.

Apabila terjadi hal-hal yang mengarah kepada pertentangan yang

kemudian meluas kepada pemberontakan maka, menjadi kewajiban bagi

masyarakat untuk menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul.

10

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

h. 235

11

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 127

12

(29)

Sebab, pemberontakan ini dapat mengancam disintegrasi bangsa. Selain itu

pemberontakan dipandang sebagai bentuk kejahatan yang mengancam

keamanan negara. Semua kegiatan yang dilakukan hanya boleh dianggap

sebagai pemberontakan dan pembangkangan apabila mereka melibatkan

penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat menimbulkan keadaan

darurat dalam negara.13

Seperti yang telah disebutkan diatas pada umumnya, bahwa bughat

adalah sekelompok kaum muslimin yang menentang kekuasaan imam

(walaupun bertindak lalim) dan mereka tidak tunduk terhadap perintahnya

namun, ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh bughat seperti di bawah ini:14 Pertama, mereka mempunyai kekuasaan, baik dengan jumlah pengikut yang banyak maupun dengan kekuatan lain walaupun hanya

menggunakan benteng tempat mereka mempertahankan diri sekiranya dengan

kekuatan itu, mereka mampu menandingi imam. Dengan begitu, imam

menganggap perlu mengembalikan mereka agar taat dengan mendermakan

harta dan mengeluarkan para pengikut mereka.

Kedua, disyaratkan mereka mempunyai dasar argumen yang sempurna, dasar itu yang membuat mereka yakin bahwa memberontak

terhadap imam dan menolak menunaikan hak yang dihadapkan kepada mereka

hukumnya boleh. Sebab, orang yang memberontak tanpa disertai dasar

argumen disebut melawan kebenaran.15

13

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet V, h. 246

14

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan A

l-Qur’an dan Hadist), h. 245

15

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan A

(30)

Ketiga, disyaratkan dikalangan mereka harus ada orang yang menjadi figur panutan yang menginspirasi kekuatan dan kekuasaan. Sebagian ulama

menambahkan persyaratan bughat yaitu ada seorang yang diangkat menjadi imam dikalangan mereka. Maksudnya bughat tidak boleh diperangi, kecuali mereka adalah sekelompok orang yang membangkang, dan mereka tidak

mempunyai dasar argumen yang dapat dibenarkan.16

Dengan adanya pemimpin, mereka memiliki sumber pemikiran yang

sama dan melakukan sesuatu dengan kendali yang sama. Jadi, tidak ada

kekuatan bagi yang tidak memiliki pemimpin. Berapapun jumlah pemberontak

dan kekuatan yang mereka miliki, selama mereka tidak memiliki pemimpin,

mereka tidak akan memiliki kekuatan.

Dalam sejarah perjalanan pemerintahan Islam sepeninggal wafat

Rasulullah SAW tepatnya pada masa Khulafaurrasyidin, terdapat beberapa

pemberontakan yang dilakukan terhadap para Khalifah. Diantaranya adalah:

1. Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Khalifah pertama dalam

pemerintahan Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Abu Bakar dikenal

luas sebagai orang yang memiliki hati yang sangat lembut dan perasa. Dia

ramah, baik budi dan sangat setia. Namun pada saat berada di puncak

kekuasaan kaum Muslimin, dia telah banyak mengejutkan berbagai pihak

karena tindakannya yang sangat tegas.17

16

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan A

l-Qur’an dan Hadist), h. 246

17

(31)

Namun demikian, masih saja ada sebagian sekelompok orang

yang masih menampakan tidak adanya perubahan dalam diri mereka.

Suku-suku di sekitar Madinah menolak membayar zakat kepada petugas

pengumpul zakat yang diutus dari Madinah. Mereka mengepung Madinah

dan menyiapkan tentara secara terang-terangan untuk menunjukan sebuah

tantangan kepada pemerintahan pusat di Madinah.18

Menurut Ibnu Atsir, sebanyak dua puluh empat suku telah

menyatakan pemberontakannya. Semua wilayah, dari Yaman hingga

Madinah, telah diduduki para pemberontakan tersebut. Pemberontakan itu

demikian melebar, Thaif, Mekkah dan Madinah saat itu merupakan tiga

kota yang tetap loyal, sementara wilayah Arab yang lain telah dipenuhi

oleh orang-orang murtad. Sementara itu, kaum munafikin

menghembuskan api pemberontakan dari dalam tubuh umat. Dan pada saat

yang sama, kaum pemberontak itu didukung oleh munculnya empat orang

yang mengaku sebagai Nabi.19

Aksi pertama yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengatasi

pemberontakan tersebut adalah mengirim pasukan sebanyak 3.000 orang

di bawah pimpinan Usamah bin Zaid dalam sebuah ekspedisi yang

sebelumnya telah dipersiapkan Rasulullah SAW namun, sempat ditunda

karena Rasulullah SAW saat itu sedang sakit. Abu Bakar bersikeras untuk

mengirim pasukan itu sesuai dengan keputusan yang diambil oleh

Rasulullah SAW, meskipun beberapa sahabatnya menasehatinya agar

18

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 135

19

(32)

tindakan itu tidak diambil karena waktunya demikian kritis. Karena pada

saat itu Madinah akan kekosongan orang dan akan menjadi sebuah kota

tanpa pertahanan ketika suku-suku pembangkang yang ada bergerak untuk

merebut kota itu. Para pimpinan umat Islam mengusulkan sebuah

kebijakan yang lunak dan menyarankan agar menempuh jalan kompromi

dan konsiliasi. Namun, dengan tegas dia menampik konsiliasi dengan para

pemberontak yang mengepung kota.20

Dengan tanpa ragu dan penuh semangat dia menghancukan

semua suku yang dengan sengaja memberontak dan membalas serangan

mereka dengan serangan yang setimpal. Yang akhirnya kemenangan diraih

pihak kaum Muslimin.21

2. Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tidak ditemukan adanya

sebuah pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintahan Khalifah

Umar. Karena tidak adanya ancaman dari tindakan pemberontakan, maka

Khalifah memfokuskan pada usaha-usaha penaklukan ke berbagai wilayah

luar kota Madinah. Pada masa ini, Khalifah Umar telah mampu

menciptakan sebuah “imperium” besar bagi pemerintahan Islam dan juga

tentunya untuk menyebarluaskan agama Islam.

3. Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan

Utsman bin Affan adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang

memiliki hubungan sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Ibunya adalah

sepupu Rasulullah SAW. Sedangkan ayahnya adalah seorang pedagang

20

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 135

21

(33)

yang sukses dan terpandang, dia meninggalkan harta warisan yang sangat

banyak. Utsman pun adalah seorang pedagang bisnis yang cerdik, ia

kembangkan harta warisan yang diterima dari ayahnya itu menjadi

semakin banyak.22

Utsman menggunakan kekayaan dan hartanya untuk kepentingan

agama yang dia peluk. Pada saat hijrah ke Madinah, dia membeli sebuah

sumur untuk kaum Muslimin yang saat itu masih belum bisa mengambil

air yang bersih dan tawar. Pada saat ada panggilan jihad ke Tabuk, dan

rakyat diminta agar mengumpulkan dana untuk mempersenjatai pasukan

perang, Utsman mengeluarkan seribu keping emas, seribu unta, enam

puluh kuda dan berbagai peralatan perang lainnya untuk kepentingan

sepertiga dari jumlah tentara.23

Namun, sepertinya kebaikan dan kedermawanan Utsman bin

Affan tidak sepenuhnya dapat memuaskan sebagian kaum Muslimin.

Perasaan tidak senang dan tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan dalam

pemerintahan Utsman telah melahirkan sebuah kelompok oposisi yang

dipimpin oleh sahabat-sahabat terkenal. Sebut saja, seperti Abdullah bin

Mas’ud, Abu Dzar al-Ghifari, dan Ammar bin Yasir.

Sangat penting untuk memahami alasan-alasan beroposisi yang

dilakukan kaum Muslimin dan para sahabat secara khusus, yakni

melakukan tindakan-tindakan tersebut terhadap Khalifah adalah

berdasarkan kaidah-kaidah Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

SAW dan contoh-contoh yang dilakukan oleh dua Khalifah sebelumnya.

22

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 173

23

(34)

Yang meliputi berbagai hal, seperti politik, agama, ekonomi dan lainnya.

Para pengkritik Utsman, semuanya mendasarkan tindakan-tindakannya

dengan merujuk kepada semua dasar hukum tersebut dan hukum-hukum

yang sudah disepakati.24

Dampak final dari ketidakpuasan terhadap pemerintahan Khalifah

Utsman bin Affan adalah sebuah pemberontakan. Otak utama dari

pemberontakan ini adalah Abdullah bin Saba’. Dia adalah seorang Yahudi

asal Yaman, yang masuk Islam saat Utsman berkuasa memainkan peran

yang sangat signifikan dalam menggerakan masyarakat untuk mengadakan

pemberontakan. Akibat ulah pemberontakannya ini, dia diusir dari

Bashrah dan Kuffah. Namun dia berhasil ke Syiria dan bertemu dengan

Abu Dzar dan mengajaknya untuk bergabung dengan dirinya. Mua’wiyah

kembali mengusirnya dari Syiria. Dia kemudian berangkat menuju Mesir,

karena tempat itu dia anggap suasananya lebih kondusif untuk

menanamkan bibit pemberontakan.

Dia membentuk sebuah kelompok rahasia yang mampu

menghimpun banyak pengikut dan pendukung. Dengan sangat licik ia

mengeksploitasi perbedaan yang ada didalam masyarakat Islam dan

dengan cara inilah dia memecah belah umat. Dia gemar dan sukaria

dengan perilaku yang ambigu dan ambivalence, menyebarkan fitnah, isu jahat, kecurigaan, dia tampak memposisikan diri dengan orang-orang yang

lemah, tertindas dan dengan secara besar-besaran mengekspos korupsi dan

nepotisme yang ada di pihak pemerintah.25

24

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 186

25

(35)

Berbagai surat disebar atas nama Ali, Thalhah, dan Zubair, yang

berisi ajakan kepada rakyat di berbagai provinsi untuk mendongkel

Utsman. Orang-orang Badui Mesir, Kuffah dan Bashrah semuanya

bergerak untuk menentang otoritas kekuasaan Khalifah yang mereka tuduh

telah melakukan tindakan nepotisme, tidak kompeten dan telah

menyimpang dari norma-norma yang telah diberlakukan oleh para

pendahulunya. Utsman diminta untuk turun dari kursi Khilafah. Gerakan

yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ mendapat sambutan dan

memberikan tekanan yang demikian hebat kepada pemerintahan Utsman.26

Puncak dari pemberontakan itu, para pemberontak mengepung

rumah Utsman dan merangsek masuk ke dalam rumah Utsman untuk

membunuh sang Khalifah. Para pemberontak memukul-mukulkan

pedangnya kepada Khalifah yang saat itu sedang memegang Al-Qur’an.

Mereka memukulkan pedang-pedang mereka ke tubuh Khalifah yang

akhirnya meninggal dan terjatuh ke lantai.27

4. Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thallib adalah keturunan Bani Hasyim. Ia dilahirkan

di halaman Ka’bah dan sejak kecil diasuh oleh Khadijah, istri pertama

Rasulullah SAW. Ali r.a hidup bersama Rasulullah SAW di Mekkah dan

dia memiliki kedudukan tersendiri karena dia bergaul secara dekat dengan

Rasulullah SAW, baik sebelum maupun setelah Islam. Gurunya tak lain

adalah Rasulullah SAW sendiri. Dari tangan Rasulullah SAW langsung, ia

26

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 193

27

(36)

belajar Al-Qur’an.28

Ali bin Abi Thalib r.a dikukuhkan menjadi Khalifah Keempat

menggantikan Utsman bin Affan r.a yang mati terbunuh di tangan kaum

pemberontak.29 Pengukuhan Ali r.a menjadi Khalifah tidak semulus

pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas kematian Utsman r.a, pertentangan dan

kekacauan dan kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum

pemberontak yang membunuh Utsman r.a mendaulat Ali r.a supaya

bersedia di bai’at menjadi khalifah.30

Ali r.a di bai’at menjadi Khalifah di tengah-tengah kekacauan dan kerusuhan akibat kematian Khalifah Utsman r.a. Keadaan ini

bertambah kritis dan suasana politik semakin eksplosif akibat tindakan Ali

r.a, pembangkangan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap pengangkatannya

menjadi Khalifah yang menuntut agar ia segera menangkap dan mengadili

para pembunuh Utsman. Hal yang sama juga dituntut oleh Aisyah,

Thalhah dan Zubeir. Tuntutan ini tak dapat dipenuhi oleh Khalifah Ali r.a.

Tindakan dan kebijkasanaan Ali segera setelah resmi memegang

jabatan Khalifah adalah memberhentikan semua gubernur yang diangkat

Ustman, termasuk Muawiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru.

Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Ustman kepada keluarganya ditarik

kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang ketat terhadap

28

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 201

29

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 151

30

(37)

para pejabat pemerintahan. Ternyata para pejabat baru yang diangkat oleh

Ali menimbulkan pro dan kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang

menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral

seperti Mesir dan Bashrah. Pengiriman para pejabat baru ini dilakukan

oleh Ali pada awal tahun 36 Hijriah.31

Tindakan Ali itu justru memancing kemarahan keluarga Bani

Umayah dan memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk melawan

Ali. Bahkan, pembantu dekat Ali ada yang meniggalkannya dan bergabung

dengan Muawiyah. Mereka tidak suka cara pengawasan Ali yang ketat

dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Demikian juga Aisyah,

Thalhah dan Zubeir menyusun kekuatan di Bashrah. Alasan utama mereka

beroposisi terhadap Ali adalah untuk menuntut kematian Ustman.32

Akhirnya situasi politik yang eksplosif itu tak dapat dibendung.

Khalifah Ali, setelah mengetahui persiapan kedua kubu, Muawiyah dan

Aisyah, segera mengirim utusan untuk mencari jalan damai. Namun, usaha

itu gagal. Maka Ali pun memberlakukan hukum darurat dan menyatakan

perang terhadap para pembangkang dan pemberontak itu. Tentu, Ali punya

alasan untuk itu karena mereka menentang pemerintahan sah yang ia

pimpin, dan berarti pula mereka melanggar perintah Al-Qur’an.

Kubu yang pertama dihadapi Ali dan pasukannya adalah pasukan

yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir pada tahun 36 Hijriah

yang terkenal dengan Perang Jamal. Dalam perang ini kemenangan berada

di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah. Kedua pasukan

31

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 155

32

(38)

bertempur di Shiffin, di lembah sungai Eufrat yang kemudian terkenal

dengan Perang Shiffin pada tahun 37 Hijriah. Perang ini dihentikan dengan

diadakannya tahkim (arbitrase) atas permintaan pihak Muawiyah untuk berdamai yang disiasati oleh Amr bin Ash. Hasil dari Majelis Tahkim ini bukannya menyelesaikan ketegangan untuk mewujudkan perdamaian

melainkan terjadinya dualisme pemerintahan. Karena Majelis Tahkim atas rekayasa dan siasat Amr bin Ash, secara sepihak memberhentikan Ali dari

jabatan Khalifah dan mengukuhkan Muawiyah menjadi Khalifah, sehingga

secara de jure Muawiyah berada di pihak yang menang. Namun, sesudah peristiwa tahkim itu mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai Khalifah. Dua tahun kemudian, Muawiyah melalui intrik-intrik politiknya,

diproklamasikan menjadi Khalifah.33

Sebagian pengikut Ali memprotes keputusan Majelis Tahkim dan menyatakan keluar dari kelompok Ali. Alasannya, Ali menurut mereka

melakukan kesalahan besar yaitu mau menerima tahkim. Kelompok ini kemudian terkenal dengan Khawarij (orang-orang yang keluar) dan dianggap sebagai sekte pertama dalam Islam.34 Ali menyuruh Ibnu Abbas

untuk menemui kaum Khawarij. Ibnu Abbas mampu meyakinkan mereka

bahwa keputusan yang diambil itu tetap merujuk kepada Al-Qur’an dan

Sunnah Rasulullah. Dan andaikata itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan

Sunnah Rasulullah, maka Ali tidak akan menerima begitu saja dan pasti

dia akan bertempur menghadapi musuh-musuhnya. Perkataan Ibnu Abbas

33

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 158

34

(39)

membawa hasil. Elemen-elemen yang bersitegang saat itu sementara bisa

dirukunkan.35

Namun, karena memang dari awal mereka tidak tertarik terhadap

penobatan Ali ataupun Muawiyah sebagai Khalifah dan yang paling

penting adalah kekecewaan mereka karena diadakannya tahkim, setelah peperangan Nahrawan, saat sejumlah orang-orang Khawarij dibunuh,

mereka memutuskan untuk menyingkirkan Ali, Muawiyah dan Amr bin

Ash. Ketiga orang inilah yang mereka anggap sebagai orang-orang yang

paling bertanggungjawab terhadap semua kekacauan di seluruh dunia

Islam. Beberapa orang sukarelawan segera dibentuk untuk melaksanakan

rencana tersebut. Mereka adalah Abdurrahman bin Muljam yang

ditugaskan untuk membunuh Ali, Nazal diperintahkan untuk menghantam

Muawiyah, sedangkan Abdullah diperintahkan untuk menghabisi Amr bin

Ash. Pembunuhan ini akan dilakukan secara serentak di Kuffah, Damaskus

dan Fustat.

Ketiga sasaran tersebut diserang sesuai dengan rencana, yaitu

pada hari Jumat 17 Ramadhan 40 Hijriah pada saat shalat Subuh.

Muawiyah selamat dan tidak terluka sedikitpun, sedangkan Amr bin Ash

sedang sakit sehingga tidak memimpin shalat di Mesjid pada hari itu dan

penggantinya yang terbunuh. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil

menjalankan misinya di Kufah, pedang beracunnya berhasil ia tancapkan

ke tubuh Ali.

Pada usia enam puluh tahun, Ali meninggal akibat kejahatan yang

dilakukan oleh seorang Muslim. Kekuasaannya hanya berumur empat

35

(40)

tahun sembilan bulan. Meskipun dia dihadapkan dengan intrik yang terus

menerus dan pemberontakan yang tanpa henti, dia tidak menyimpan

dendam.36

B. Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan

Dari berbagai definisi mengenai bughat yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, ada beberapa unsur dalam jarimah pemberontakan, yaitu:

1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (imam)

Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang

adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya,

atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.37

Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan

untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang

ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu).

Akan tetapi, berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan

untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan

merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal

ini boleh karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali di dalam kebaikan, dan

tidak boleh dalam kemaksiatan.38 Dengan demikian, jika seorang kepala

negara tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat, sekalipun

36

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 222-223

37

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 111

38

(41)

kebijakannya tidak selalu membawa kebaikan bagi seluruh rakyat, maka

tetap wajib didengar dan ditaati. Masuk dalam kategori pemimpin negara

yang wajib ditaati adalah wakilnya, para menteri, para hakim, dan semua

aparat keamanan.39

Meskipun adil merupakan salah satu syarat untuk seorang kepala

negara (imam), namun menurut madzhab empat dan Syi’ah Zaidiyah,

haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam yang fasik, walaupun

pembangkangan itu dimaksudkan untuk amar ma’ruf nahi munkar.

Alasannya adalah karena pembangkangan terhadap imam itu biasanya

justru mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu timbulnya fitnah,

pertumpahan darah, merebaknya kerusakan, dan kekacauan dalam negara,

serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut

pendapat yang marjuh (lemah), apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengabaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari

jabatannya.40

Dilihat dari cara dan alasan pemberontakan ini dilakukan, Imam

Abu Hanifah, Al-Syafi’i, dan Ahmad membedakannya menjadi tiga, yaitu

sebagai berikut:41

a. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka memberontak, baik mereka mempunyai kekuatan senjata maupun tidak. b. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka

memberontak, tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan senjata.

c. Kaum pemberontak mempunyai argumentasi dan juga memiliki kekuatan senjata.

39

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 63

40

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 113

41

(42)

Untuk jenis kelompok kaum pemberontak yang ketiga dibedakan

menjadi dua, yaitu sebagai berikut.42

a. Pemberontakan yang dilakukan warga Syam di bawah kepemimpinan

Mu’awiyah bin Abu Sufyan terhadap kepemimpinan Ali bin Abi

Thalib.

b. Pemberontakan kaum Khawarij terhadap kepemimpinan Ali bin Abi

Thalib karena mereka tidak setuju dengan arbitrase yang dilakukan pihak Ali dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberontakan

hanya dilakukan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat.

Apabila pemberontakan dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di

suatu negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi,

maka itu tidak disebut pemberontakan.43

2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan Kekuatan.

Maksudnya adalah didukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh

sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekedar menolak kepala negara yang

telah diangkat secara aklamasi, tidak dinamakan al-baghyu. Misalnya, sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak mau membaiat Abu Bakar atau sikap

Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair yang tidak mau mengakui keabsahan

pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Sikap mereka tidak termasuk

al-baghyu karena sikap mereka tidak demonstratif. Menurut Abdul Qadir Audah, keengganan Ali tersebut hanya berlangsung selama satu bulan.

42

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67

43

(43)

Setelah itu, ia membaiat Abu Bakar. Adapun orang yang hingga wafat

tidak mau membaiat adalah Sa’ad bin Ubadah.44

Contoh lainnya adalah golongan Khawarij yang ada pada masa

pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mengenai hal ini, Imam

Al-Syafi’i mengatakan:

“Sesungguhnya sekelompok orang yang menampakan sikap seperti kaum Khawarij dengan memisahkan diri dari jamaah, bahkan menganggap jamaah tersebut kafir, tidak menyebabkan diperbolehkannya memerangi kelompok ini sebab, mereka masih berada di bawah perlindungan imam. Hal tersebut tidak menjadikan mereka berubah status menjadi (murtad) yang Allah

SWT perintahkan untuk diperangi.”45

Alasan lain mengenai kaum Khawarij yang tetap tidak dianggap

sebagai pemberontak adalah karena mereka tidak melakukannya secara

demonstratif dengan kekuatan senjata. Ali bin Abi Thalib tidak

menganggap tindakan kelompok Khawarij sebagai pelaku jarimah

pemberontakan karena ia melakukannya tidak secara demonstratif, tidak

dengan pengerahan massa, dan tidak dengan kekuatan bersenjata.

Tindakan ini dianggap sebagai tindak pidana pembunuhan biasa, bukan

pemberontakan.46

Jumhur Ulama, Imam Malik, Imam Al-Syafi’i, Imam Ahmad, dan

ulama kalangan Zahiriyah berpendapat bahwa selama para pembangkang

itu tidak menyusun kekuatan bersenjata dan tidak bersikap demonstratif;

mereka bukanlah pemberontak. Oleh karena itu, mereka tetap harus

diperlakukan seperti warga negara, tidak boleh diserang, apalagi dibunuh.

44

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 68

45

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 68

46

(44)

Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka

dapat dianggap sebagai pemberontak, karena mereka berkumpul bersama

dan merencanakan penyerangan. Hal itu cukup untuk dijadikan indikasi

akan adanya jarimah al-baghyu, walaupun tidak bersikap demonstratif

dengan menggunakan senjata. Demikian pula pendapat Syi’ah Zaidiyah.47

Perbedaan pandangan dalam masalah ini terletak pada tolak ukur

dan kapan sikap pembangkangan sebuah kelompok dapat dianggap

sebagai pemberontakan. Namun demikian, para ulama tetap sepakat bahwa

para pemberontak tidak boleh buru-buru disergap dan dibunuh, jika

mereka tidak melancarkan aksinya terlebih dahulu.48

3. Adanya Niat Melawan Hukum

Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan

adanya niat yang melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur

ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk

menjatuhkan imam atau tidak menaatinya. Apabila tidak ada maksud

untuk keluar dari imam, atau tidak ada maksud untuk menggunakan

kekuatan maka perbuatan pembangkangan itu belum dikategorikan sebagai

pemberontakan.

Untuk bisa dianggap keluar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku

bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak

menaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang

dibebankan kepada syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan

47

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70

48

(45)

pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak

dianggap sebagai pemberontak. Apabila seseorang pembangkang

melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaanَkekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka disini tidak diperlukan

adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum

sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.49

C. Dasar Hukum Bughat

Telah disebutkan sebelumnya bahwa bughat adalah sekelompok orang yang tidak taat lagi kepada pemimpin dan berusaha menggulingkan

pemerintahan yang sah. Hal ini menunjukan bahwa konflik yang terjadi adalah

konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan penguasa (pemimpin). Di dalam

Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan mengenai keharusan kita taat

terhadap pemimpin. Namun, perlu diingat bahwa taat disini bukan berarti taat

kepada kemaksiatan. Ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah ayat yang

terdapat dalam Q.S. An-Nisaa ayat 59:

ا. هُأ3ٰ .ي

ْ

ْ2ي0 ذَ ٱ

ْ.ْ

ْ2ي0طٱْ2إ3و/ .مإ.

ْ2إو/ع

ْ.ذل ٱ

ْ

ْ2ي0طٱ.(

ْ2إو/ع

ْ.لو /سذرل ٱ

ْ

ْ 0ِ 2(ٱ.(

ْ0رۡم ۡۡ ٱ

ْ

ْ20م

ْ2ن

ا.فْۖۡ /ُ

ِ

ْ

ْ .ٰ

ِ

إْ/(ه /ر.فْ ٖ ۡ .َْ 0ِْۡ /ُۡع.زٰ .ن.ó

ْ0ذل ٱ

ْ

ْ.(

ْ2و /سذرل ٱ

ْ0ل

ْ

ْ2ن

إ

ِ

ْ

ْ2ن/ك

ْ2و/ 0مۡؤ/óْۡ /ُ

ْ0بْ .ن

ْ0ذل أ

ْْ.(

ْ0%ۡو.يۡل ٱ

ْ

ْه0ر0خ34 ۡۡ ٱ

ْ

ْذ(ْ ٞۡۡ.خْ . 0ِٰ.

ْ.سۡحٱ

ْ/ْ

ْ2ي0(ۡ4أ.ó

ْ اً

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul-Nya (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

(Q.S. An-Nisaa: 59)

Mengingat perbuatan bughat ini adalah kejahatan yang dilarang dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda mengenai hal ini:

49

(46)

ْ/ذلإْ . 0ِ .رْ 0 2بإْ 2 .ع.(

ْ

ْ/2َ.ع

ْ/ذلإْ .َ .صْ 01 0بذنلإْ 0 .عْا.

ْ

ْ.قْ .ذّ .س.(ْ 0 2ي.ل.ع

ْ0مٱْ 2 0مْ)ٱ.رْ 2 .مْ:.لا

ْ2ي .شْ 0 0 2ۡ

ْ/ / .ر2 .يْااå

ْ/ ذ

ِ

ا.فْ, .ۡ 0ص.ي2ل.ف

)ّسمْ إ(ر(ْ ñذي0ل0 ا.جْ/ñ.ت2ي0 .فْ .تا. .فْإا 2ۡ 0شْ.ñ.عا. .ج2لإْ .ق.را.ف2 .م

50

ْ

Artinya: “Dari Ibn Abbas r.a Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang

merasa benci terhadap pemimpinnya maka bersabarlah terhadapnya, apabila memisahkan diri dari jama’ah (penguasa yang direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati dalam keadaan jahiliyyah”

ْ. /شْ / 2بإْ.ñ.ج.ف2ر.عْ 2 .ع.(

ْ/ذلإْ .َ .صْ0 ذلإْ/لو /س.رْ /ò2ع0 .َْ.لا.قْ:-ح2ي

ْ

ْ.ذّ .س.(ْ0 2ي.ل.ع

ْ2مٱ.(ْ2 /ُ .َٱْ 2 .مْ/لو/ق.يْ

ْ/ر

ْ ع2ي0 .َْ2 /ُ

ْ

ْ .َ.ع

ْ.ق01ر.فهيْ 2نٱْ/د2ي0ر/يْ-ل/ج.ر

ْ

)ّسمْ إ(ر(ْ/ 2و/ل/ت2قا.فْ2 /ُ.ت.عا. .َ

51

ْ

Artinya: “Dari A’fazah ibn Suraihin: Rasulullah SAW bersabda: „Siapa yang

mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan kemudian dia ingin memecahkan pers

Referensi

Dokumen terkait

Kategori metafora konseptual ARGUMENT IS WAR apa yang dominan muncul dalam berita bisnis pada surat kabar berbahasa inggris.. 1.3 Ruang Lingkup /

Maka dapat disimpulkan bila presuposisi itu di ambil dari sebuah pernyataan dalam bentuk percakapan atau komunikasi maka presuposisi itu pasti memiliki

Alasan penulis memilih novel tersebut karena memiliki cerita yang sangat menarik, selain itu dalam novel tersebut terdapat banyak relasi makna, yaitu sinonim

Adapun penelitian ini dibatasi hanya pada faktor petunjuk produk untuk merek (brand), desain (design) dan harga (proce) serta pengaruhnya terhadap niat beli (purchase

Pengaplikasian standar peneapan hygene dan sanitasi di kitchen sundara Four Season Resort at Jimbaran Bay ternayata belum secara sempurna diteapkan oleh para karyawan

Seiring dengan berkembangnya pembangunan diberbagai sektor khususnya pembangunan transportasi jalan raya dan jembatan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terkait dengan potensi dan ketersediaan bahan pangan lokal sumber karbohidrat non beras, yang meliputi : jenis sumber pangan

Dalam hal ini peneliti banyak sekali menemukan tingkat kesopanan dan kesantunan baik perilaku atau tuturan yang dilakukan oleh santri satu dengan yang lainnya,