Dalam konsep Islam istilah bank secara literatur tidak dikenal.
Istilah bank diambil dari bahasa Italia, yakni banco yang berarti meja.
Penggunaan istilah ini dikarenakan dalam kenyataan bahwa proses kerja bank sejak dulu, sekarang, dan di masa yang akan datang secara administratif dilaksanakan di atas meja. Adapun dalam Bahasa Arab bank
bis aa disebut dengan mshrif, yang berarti tempat berlangsungnya saling tukar menukar harta, baik dengan cara mengambil ataupun menyimpan, atau selainnya untuk melakukan muamalah. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan jo. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ditegaskan bahwa:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan; dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Dari pengertian ini terlihat bahwa kegiatan utama atau pokok bank sebagai lembaga keuangan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya serta berfungsi untuk meningkatkan tingkat ekonomi masyarakat. Menurut Heri Sudarsono (2003:23) pada umumnya yang dimaksud bank syariah adalah:
“Lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah”.
Menurut Muhammad (2005:5 ) bank syariah adalah:
“Lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, atau dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa .jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah Islam”.
Menurut A. Djazuli dan Yadi Janwari ( 2002:34 ) bank syariah adalah:
“Bank yang beroperasi di atas dasar ajaran (syariah) Islam, yang memiliki prinsip operasional berbeda dengan prinsip operasional bank konvensional (conventional bank )”.
Adapun menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan Muhammad Syafi'i Antonio ( 2001:45) membedakan menjadi dua pengertian bank yaitu : Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam.
Bank Islam adalah :
(1) Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam;
(2) Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan AI-qur'an dan Hadist. Sementara bank yang beroperasi sesuai prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam-khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam dan dalam tata cara bermuamalah itu dijauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan jo.
undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan membedakan jenis bank yaitu:
1. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada dan melayani seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat perorangan maupun lembaga-lembaga lainnya.
2. Bank Umum juga dikenal dengan nama bank komersil dan dikelompokkan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu bank umum devisa dan bank umum non devisa. Bank umum yang berstatus devisa memiliki produk yang lebih luas dibandingkan dengan bank umum yang non devisa, yaitu antara lain dapat melaksanakan jasa yang berhubungan dengan mata uang asing atau jasa bank ke luar negeri.
3 Bank Perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Jenis produk yang ditawarkan oleh Bank Perkreditan Rakyat relatif sempit daripada bank umum, bahkan ada beberapa jenis jasa yang tidak boleh diselanggarakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, seperti pembukaan rekening giro dan ikut kliring. Pembagian jenis bank ini hanya didasarkan pada segi fungsi bank. dan dimaksudkan untuk memperjelas ruang lingkup serta batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya.
Dalam sistem perbankan nasional kita, jika dibandingkan dengan bank konvensional, maka bank syariah tergolong bank yang baru beroperasi. Hal ini dikarenakan peluang untuk mendirikan bank syariah baru mulai terbuka dengan adanya deregulasi sektor perbankan pada 1 Juli 1983, yang memberi wewenang kepada bank untuk menentukan suku bunganya sendiri, termasuk nol persen (atau peniadaan bunga sekaligus).
Sungguh pun demikian kesempatan atau peluang itu belum dapat dimanfaatkan karena tidak diperkenankannya pembukaan kantor bank baru. Hal ini berlangsung sampai tahun 1988 dimana pemerintah mengeluarkan paket 27 Oktober 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru. Kemudian keberadaan bank syariah semakin pasti setelah disahkannnya UU No. 7/1992, dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya, baik bunga maupun keuntungan bagi hasil.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil (selanjutnya disingkat PP No. 72/1992), yang secara tegas memberikan batasan bahwa bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip
bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, maka jalan bagi operasional bank syariah semakin luas.
Titik kulminasi telah tercapai dengan disahkannya UU No. 10/1998, yang membuka kesempatan kepada siapa saja yang akan mendirikan bank syariah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional menjadi sis tem syariah, sekaligus menghapus Pasal 6 PP No. 72/1992 yang melarang dual bunking system.
Beberapa pasal dalam UU No. 10/1998 sebagai revisi dari UU No. 7/1992 yang dianggap penting dan merupakan aturan hukum dimana bank dapat menggunakan istilah syariah adalah:
a. Pasal 1 angka 12 yang menyatakan:
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;
b. Pasal 1 angka 13 yang menegaskan:
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antar bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtima);
c. Pasal 6 huruf m yang direvisi sehingga menjadi Pasal 6 huruf m yang berbunyi:
Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
d. Pasal 7 huruf c diubah sehingga Pasal 7 huruf e menjadi menyatakan sebagai berikut:
Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kem bali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia;
e. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 seluruhnya menyatakan bahwa :
(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan;
(2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia f. Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) diubah, serta-menambah ayat baru
diantara ayat (4) dan ayat (5) yang dijadikan ayat (4A), sehingga Pasal 11 ayat ( 1), ayat (3) dan ayat (4A) menyatakan sebagai berikut:
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hat lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan
dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan;
(2) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada:
a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh per seratus) atau lebih dari modal disetor bank;
b. anggota Dewan Komisaris;
c . anggota Direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. pejabat bank lainnya; dan
f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf c.
(4) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
g. Ketentuan pasal 13 huruf c diubah, sehingga pasal 13 huruf c menjadi menyatakan bahwa :
Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
h. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga pasal 29 seluruhnya menjadi menyatakan bahwa :
(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia;
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian;
(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank:
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank:
(5) Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga Pasal 37 seluruhnya menjadi berbunyi:
(1) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:
a. pemegang saham menambah modal;
b. pemegang saham mengg anti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
c. bank menghapus bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya:
d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajiban; .
f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
g. bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.
(2) Apabila:
a. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan atau
b. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna membubarkan badan hukum bank dan membuat tim likuidasi.
(3) Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia
meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa dengan telah diberlakukannya Undang undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan prinsip syariah melalui :
a. Pendirian kantor cabang atau kantor di bawah cabang baru;
atau
b. Pengubahan kantor cabang atau kantor di bawah cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah."
Bank syariah dalam melakukan operasionalnya harus tunduk kepada peraturan-peraturan dan persyaratan perbankan yang berlaku pada umumnya, antara lain:
1. Ketentuan perizinan dalam pengembangan usaha, seperti pembukaan cabang, dan kegiatan devisa;
2. Kewajiban pelaporan ke Bank Indonesia;
3. Pengawasan intern;
4. Pengawasan prestasi, permodalan, manajemen; rentabilitas, likuiditas dan faktor lainnya
5. Pengenaan sanksi atas pelanggaran.
Di samping ketentuan-ketentuan di atas, bank syariah juga dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah. ini menunjukkan bahwa bank syariah membutuhkan pengawasan yang lebih spesial, karena prinsip dasarnya pada aspek moral dan kesesuaiannya dengan prinsip syariah serta untuk memastikan pelaksanaan syariah dalam operasional bank syariah. Dengan berlakunya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, telah ditetapkan pula bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Dengan adanya kedua Undang-undang ini (UU No. l0/1998 dan UU No. 23/1999) yang mengatur operasional bank berdasarkan prinsip-prinsip syariah, telah mengamanahkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional bank syariah sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan bank syariah di Indonesia yaitu dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan operasional dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia ataupun Peraturan Bank Indonesia.
Surat keputusan yang dimaksud sebagaimana diuraikan di atas, adalah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor:
32/34/KEP/DIR/I999 tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam beberapa pasal dari surat keputusan tersebut telah diatur tentang kegiatan usaha bank umum yang, menjalankan prinsip syariah, dan pasal-pasal yang dimaksud adalah:
Pasal 1 huruf a, pasal 1 huruf g; Pasal 28 serta Pasal 29. Dasar hukum inilah yang dijadikan landasan bank-bank syariah dalam mengembangkan produk-produk dan operasionalnya.
Dalam pemberian pembiayaan atau kredit oleh bank kepada nasabah atau pengelola dana harus berpegang pada beberapa prinsip,
yaitu: (1) prinsip kepercayaan; (2) prinsip kehati-hatian; dan (3) prinsip 5 C, 5 P dan 3 R. Prinsip kepercayaan maksudnya adalah bahwa setiap pemberian pembiayaan atau kredit oleh bank kepada nasabah atau pengelola dana selalu dibarengi dengan kepercayaan, yakni kepercayaan bahwa pembiayaan atau kredit itu bermanfaat bagi debitur, dan kepercayaan bahwa debitur dapat membayar kembali pembiayaan atau kredit tersebut. Sedangkan prinsip kehati-hatian adalah sebagai salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam pemberian pembiayaan atau kredit. Untuk mewujudkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian pembiayaan atau kredit, maka harus dilakukan pengawasan, baik oleh bank itu sendiri (internal) maupun oleh pihak luar (eksternal) yang dilakukan oleh pihak Bank Sentral (Bank Indonesia). Adapun prinsip 5 C (kepribadian, kemampuan, modal, kondisi ekonomi, dan agunan), 5 P (para pihak, tujuan, pembayaran, perolehan laba, dan perlindungan), dan 3 R (hasil yang diperoleh, pembayaran kembali, dan kemampuan menanggung risiko), berkaitan dengan keyakinan pihak bank bahwa nasabah atau pengelola dana akan dapat melunasi pembiayaan atau kredit yang telah diberikan kepadanya oleh pihak bank.
G. Tujuan, Karateristik dan Keistimewaan Bank Islam (Syariah)