PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI ISLAM
THE EXISTENCE AND THE PROSPECT OF BANK SYARIAH IN THE LEGAL PERSPECTIVE OF ISLAMIC ECONOMY
Oleh :
NURJANNAH HASANUDDIN P0903206003
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2008
ii TESIS
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister
Program Studi Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Keperdataan
Disusun dan diajukan oleh
NURJANNAH HASANUDDIN
Kepada
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Makassar
iv Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Nurjannah Hasanuddin No. Pokok : P0903206003
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Keperdataan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar- benar
Merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 2008 Yang Menyatakan,
Nurjannah Hasanuddin
v
Atas Ridho Allah SWT, Alhamdulillah penulis ucapkan syukur kehadirat Allah SWT, atas Rahmat dan Hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Begitu banyak kesulitan yang dihadapi dan hanya karena semangat juang yang tak kunjung padam, tulisan ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat terwujud berkat bimbingan, arahan, motivasi dari berbagai pihak untuk itu pertama-tama penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Nasir Hamsah, M.Si Rektor Universitas Muslim Indonesia
2. Bapak H. Hasbi Ali, SH., MS Dekan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis.
Selanjutnya ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. Syamsul Bachri, SH., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah membantu memberikan rekomendasi untuk mengikuti Program Magister Hukum Universitas Hasanuddin.
Secara khusus ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada Bapak Prof. Dr. H. Soekarno Aburaera, S.H, selaku
vi
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi sehingga penulis dapat merampungkan penyelesaian tesis ini.
Demikian pula, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak A.M. Hatta Tayang (Manager) PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Syariah Makassar), Bapak Aswin Akib, SE (Manager) Operasional dan Keuangan Bank Niaga Madani (BPR Syariah Cabang Makassar), Bapak Yanuar Fachruddin, SE., MM pimpinan Bank Sul-Sel Cabang Utama Makassar, Bapak Dr. H.M. Arfah Sidiq, MA selaku informan yang telah bersedia menerima dan membantu penulis dalam melakukan penelitian, memberi data, informasi di institusi tersebut.
Kemudian dengan tulus diucapkan terima kasih kepada anggota penguji masing-masing :
1. Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Marlang, S.H., M.H.
2. Bapak Prof. Dr. H. Abrar Saleng, S.H., M.H.
3. Bapak Prof. Dr. H. Ahmadi Miru, S.H., M.H.
4. Bapak Prof. Dr. Guntur Hamzah, S.H., M.H. yang juga Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 2006-2008.
5. Bapak Prof. Dr. Muzakkir, S.H., M.H. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin 2008 – sekarang.
vii
Kopertis Wilayah IX Sulawesi yang telah memberikan rekomendasi, motivasi kepada penulis untuk mengikuti program Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Sangat khusus kepada suami yang tercinta H.A. llham Bachtiar, SE.,M.Si dan anak-anakku Sri Utami Permata, Maidah Dwiyana dan Muh.
Azham IIham patut disampaikan kebahagian bersama atas rampungnya tulisan ini.
Ucapan terima kasih kepada saudara-saudara kandung penulis Hj.Husniah Hasanuddin, Prof. Dr. H. Basri Hasanuddin, MA, beserta Istri, Drs. H. Muchlis Hasanuddin, Dr. H. Ma'mun Hasanuddin, S.H., M.H, H. Rahmat Hasanuddin, S.E., M.Si, H. Ansyar Nur Hasanuddin SE., MM, M. Syukri Hasanuddin, S.E., M.M, yang senantiasa memberikan semangat dan dorongan untuk berkiprah dan berusaha dengan penuh ketegaran s ebagai mahasiswa sekaligus sebagai ibu rumah tangga dalam merampungkan proses pendidikan ini.
Demikian juga terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Hasanuddin serta para dosen dan staf Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang telah membantu penulis mulai masa perkuliahan sampai penyelesaian studi ini. Kepada teman-teman penulis utamanya adik Suwarti yang telah memberikan kontribusi dukungan, semangat dan partisipasi dalam penyelesaian studi ini, penulis ucapkan terima kasih
viii
Universitas Muslim Indonesia Bapak Said Sampara, S.H., M.H. (kandidat Doktor Ilmu Hukum Unhas) dan Bapak M. Rum Dali, S.H., M.H yang senantiasa membantu memberikan arahan pikiran dan masukan pada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Terakhir, tak terhingga ucapan terima kasih penulis khaturkan sebanyak-banyaknya dan ta'zim kepada ayahanda penulis Hasanuddin (Alm) dan Ibunda tercinta Hj. Siti Naisa Hasanuddin (92 tahun) serta Ib u mertua H. Andi Marhuma yang dengan penuh kasih sayang memberi inspirasi dan semangat kepada penulis sejak duduk di bangku pendidikan di kampung halaman (Majene-Mandar) sampai sekarang ini.
Semoga Allah SWT, membalas budi baik dengan pahala yang sebesar-besarnya, Amin.
Makassar, Agustus 2008
Nurjannah Hasanuddin
ix
NURJANNAH HASANUDDIN . Eksistensi dan Prospek Bank Syariah dari Perspektif Hukum Ekonomi Islam (dibimbing oleh Sukarno Aburaera dan Arifin Hamid).
Penelitian ini bertujuan mengetahui eksistensi dan prospek bank syariah mengaktualisasikan nilai-nilai ekonomi Islam dalam setiap kegiatannya.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, kuesioner, dan dokumentasi. Data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembahasan yang dititikberatkan pada tiga bagian pokok implementasi nilai-nilai ekonomi Islam, yaitu dasar hukum, sistem pengawasan, dan penegakan hukum.
Kendala-kendala pengembangan bank syariah adalah perangkat hukum, jaringan pelayanan, sumber daya manusia, pemahaman, dan paradigma masyarakat, prospek perbankan syariah dalam pemberdayaan ekonomi umat yaitu peran bank konvensional, peningkatan sosial ekonomi, dan metode pengembangan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran keberadaan bank syariah memiliki prospek yang cukup baik pada masa yang akan datang. Selain itu, adanya peningkatan jumlah nasabah dari tahun ke tahun.
x
NURJANNAH HASANUDDIN. The Existence and Prospect of Bank Syariah from Islamic Economic Law Perspective (Supervised by Sukarno Aburaera and Arifin Hamid).
The aim of the study was to discover the existence and prospect of Bank Syariah in actualizing the values of Islamic economy.
The study was descriptive using primary and secondary data. The data were collected through interview, questionnaire, and documentation and analyzed qualitatively.
The discussion of the study was focused on three parts : implementation of Islamic economic values, supervisory system, and law enforcement. The constraints for its development are legal tools, service net work, human resources, understanding and community paradigm. The prospects of the bank in the empowerment of economy of the people are the role of conventional bank, improvement of socio economy, and method of development. The existence of Bank Syariah is good enough in the future since the customers increase from year to year.
xi
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv
PRAKATA ... v
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Ekonomi Islam (Syariah) ... 8
B. Azas dan Prinsip Hukum Ekonomi ... 13
C. Dasar-dasar Hukum Ekonomi Syariah ... 19
D. Aktualisasi Nilai-nilai dan Penjabaran Ke Prinsip Hukum Islam ... 23
xii
E. Asas dan Prinsip Ekonomi Syariah ... 34
F. Pengertian Bank Syariah ... 36
G. Tujuan, Karakteristik dan Keistimewaan Bank Islam ... 46
1. Tujuan Bank Syariah ... 46
2. Ciri-ciri Bank Islam ... 48
3. Keistimewaan Bank Islam ... 53
H. Kelemahan dan Permasalahan Bank Is lam di Dalam Operasionalnya ... 57
I. Kerangka Pemikiran ... 61
J. Skema Kerangka Pikir ... 63
K. Defenisi Operasional ... 64
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe dan Sifat Penelitian ... 67
B. Lokasi Penelitian ... 67
C. Populasi, Sampel dan Informan ... 67
D. Jenis dan Sumber Data ... 68
E. Teknik Pengumpulan Data ... 69
F. Teknik Analisis Data ... 69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Nilai-Nilai Ekonomi Syariah ... 71
1. Dasar Hukum ... 71
xiii
B. Prospektif Bank Syariah ... 90
1. Peran Ban Konvensional ... 90
2. Peningkatan Ekonomi Sosial Masyarakat ... 97
3. Kendala-Kendala Pengembangan Bank Syariah ... 105
C. Aktualisasi Nilai-Nilai Ekonomi Islam dalam Kegiatan Bank Syariah . ... 112
D. Kendala-Kendala Dalam Pengembangkan Perbankan Syariah ... 125
E. Perspektif Perbankan Syariah Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat ... 129
F. Perspektif Hukum Ekonomi Islam ... 139
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 143
B. Saran ... 144
DAFTAR PUSTAKA ... 145 LAMPIRAN
xiv
1. Aktualisasi Nilai-nilai dan Pembelajarannya ke Asas/ Prinsip
Hukum Islam ... 26 2. Aktualisasi Prinsip Takziyah dalam Makna Halalan Tayyibah
Halal dan Baik dalam Kegiatan Ekonomi ... 28 3. Deksripsi Kegiatan Ekonomi dari Perspektif Hukum Ekonomi
dan Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) ... 31 4. Perbedaan Bank Islam dengan Bank Konvensional ... 96 5. Alasan Responden Menabung Pada Bank Syariah di Makassar 117 6. Pendapat Responden Terhadap Bank Syariah Dilihat dari Segi
Rasa Aman Saat Menabung... 119 7. Tingkat Pemahaman Responden Terhadap Bank Syariah di
Makassar... 120 8. Responden Yang Menabung pada Bank Syariah di Makassar . 121 9. Pendapat Responden Mengenai Pelayanan pada Bank
Syariah Makassar ... 128 10.Perkembangan Jumlah Nasabah Bank Syariah di Makassar
periode 2000 – 2006 ... 133
xv
1. Skema Kerangka Pikir ... 63
xvi
1. PERKEMBANGAN NASABAH BANK NIAGA MADANI CABANG MAKASSAR
2. PERKEMBANGAN NASABAH BANK BNI SYARIAH CABANG MAKASSAR
3. LAPORAN DANA PIHAK KETIGA JUMLAH NASABAH DAN NOMINAL BULAN DESEMBER 2007
4. LAPORAN DANA PIHAK KETIGA JUMLAH NASABAH DAN NOMINAL BULAN DESEMBER 2008
5. SURAT BUKTI PENELITIAN PADA BANK NIAGA MADAN I 6. SURAT BUKTI PENELITIAN PADA BNI SYARIAH
A. Latar Belakang Masalah
Sekitar tahun 1970 dunia Muslim maupun non muslim telah berhembus angin membawa perubahan. Perubahan itu bernama
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan” (Islamization of Knowledge). Salah satu lembaga The International Institute of Islamic Though yang berpusat di Virginia, Amerika Serikat telah banyak memainkan peranannya membuka perkembangan ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam.
Gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan ini diilhami oleh dua persoalan yang sangat fundamental, yaitu terjadinya keprihatinan atas musibah yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan yang hampa dengan nilai-nilai keIslaman, dan krisis peradaban yang terjadi dikalangan umat Islam itu sendiri. Salah satu bidang ilmu yang ikut tercurahkan dalam gerakan Islamisasi pengetahuan ini adalah ilmu ekonomi Islam.
Disiplin ilmu diharapkan tampil secara optimal untuk menginginkan sistim perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi ummat. Akhirnya, muncul solusi dan alternatif baru dalam bingkai ekonomi Islam, diantaranya ”Bank Syariah”, dan insitusi-institusi yang relevan dengan bank syariah, seperti Takafful (Asuransi Islam) dan lain sebagainya. Sebenarnya ide dasar bank syariah ini adalah upaya untuk
1
menghindari praktek-praktek riba yang berlaku pada bank-bank konvensional dan sudah sangat populer dikalangan masyarakat.
Namun untuk mengubah perilaku dan pemikiran masyarakat agar beralih dari bank konvensional ke bank syariah memerlukan waktu yang cukup lama. Walaupun dalam perjalanannya disadari bahwa keberadaan bank-bank syariah merupakan sebuah alternatif bagi masyarakat agar masyarakat merasa lebih aman menyimpan uangnya pada bank syariah, karena dari sisi moral, telah bebas dari riba.
Dalam kenyataannya, kehadiran bank-bank syariah di tengah-tengah masyarakat, belum dapat direspon dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena selain masih baru, belum tersosialisasi dengan baik, juga karena sumber daya manusia yang masih terbatas, serta kendala-kendala lainnya.
Oleh karena itu, kehadiran bank-bank syariah saat ini (Bank Muamalat Indonesia, BNI Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bank BPRS) adalah suatu upaya dalam m embantu dan mengurangi problematika ekonomi umat. Selain upaya untuk memanfaatkan potensi ekonomi umat secara optimal dan efektif sesuai dengan prinsip syariah, juga untuk membebaskan diri umat dari jeratan hukum riba yang selama ini diterapkan oleh bank-bank konvensional, yang di dalam hukum ekonomi Islam riba adalah haram.
Meskipun cukup banyak persoalan ummat yang ingin dipecahkan melalui pendirian bank-bank syariah, tetapi yang jelas kehadiran bank
syariah tersebut, lebih melekat pada aspek keuangan dan permodalan yang oleh pemimpin ummat di nilai sebagai suatu faktor penentu dalam memberdayakan ekonomi u mmat tersebut.
Dengan demikian keberadaan bank-bank syariah dewasa ini sangat dilematis. Artinya, satu sisi masyarakat (nasabah) mengira bahwa ”bank syariah” telah melaksanakan ajaran Islam dalam pengelolaan bisnisnya, sehingga mereka berbondong-bondong mejadi nasabah. Padahal disisi lain, sesungguhnya bank syariah tersebut belum mampu memberikan pelayanan sebagaimana harapan masyarakat, yaitu membebaskan dari persoalan-persoalan ekonomi yang bebas dari riba.
Ini penting bagi masyarakat terutama para nasabah agar tidak tersihir dengan kampanye bank syari’ah yang dilakukan oleh pihak perbankan, paling tidak masyarakat pencinta bank syari’ah memiliki ikatan sosial untuk memberi dan menerima masukan soal bank syari’ah sehingga muncul daya seleksi bertanggungjawab terhadap pilihan sehingga mengenal bank syari’ah mana yang lebih Islami. Adapun pencerahan rohani yang dimaksud adalah bagaimana masyarakat menentukan pilihan terhadap bank syari’ah yang ada sesudah meminta fatwa pada hati nurani masing-masing.
Sudah tentu nurani yang terasah dengan dua pencerahan tersebut (pencerahan akal dan sosial) akan lebih tajam dan akurat menetapkan pendirian dengan berpihak kepada pilihan bank syari’ah yang benar, Sehingga, ada kebahagiaan hakiki yang diperoleh melalui pilihan nurani
tersebut yang pada gilirannya menabur berkah baru dalam kehidupan yang sakinah dalam soal pemenuhan kebutuhan hidup.
Mengenai jenis zat makanan serta cara-cara memperolehnya merupakan faktor yang sangat dominan mempengaruhi perilaku kehidupan seseorang. Oleh karena itu, Islam sangat peduli (concern) terhadap persoalan yang berhubungan dengan perolehan bagi hasil atau harta benda terlebih lagi dalam hal makanan. Bentuk keperdulian ini diwujudkan dalam beberapa pernyataan Allah di antaranya, perintah Allah kepada manusia untuk memperhatikan makanannya (QS. A’basa:24) Perintah Allah pada manusia untuk makan dan minum secara halal dan baik (halalan, thayyiban) (QS. Al-Maidah :88). Perintah Allah untuk manusia supaya memakan apa yang telah dirizkikan Allah kepada mereka, dilarang mengikuti jejak syaitan (QS. Al -An’am:142) dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, Nabi SAW pun dalam beberapa hadisnya juga sangat peduli terhadap hal tersebut di atas, katakanlah seperti hadis beliau tentang harta benda, dari mana memperolehnya dan kemana membelanjakannya (wa’an malihi min ainaktasabahu wa fima anfagahu).
Melihat polos alur harta benda pada level management maka perbankan merupakan salah satu alat yang memiliki otoritas utama terhadap proses pengelolaan harta benda tersebut. Sementara itu bank-bank konvensional hanya menjanjikan penghasilan yang bersifat ribawi maka solusi yang
paling tepat adalah Perbankan Islam atau dalam istilah umun disebut bank syari’ah.
Dalam perjalanan bank syari’ah operasional pelaksanaanya harus dilaksanakan secara Islami atau bank syari’ah dalam arti sebenar- benarnya. Artinya kehadiran bank syari’ah yang Islami itu menjadi satu keharusan yang tidak boleh ditawar lagi. Bank syari’ah seperti ini harus menjadi milik nasabah muslim dengan tidak mengesampingkan masyarakat non-muslim. Kehadiran bank syari’ah betul-betul diharapkan dapat menebar rahmat bagi semua (rahmatan lil alamin). Karena itu eksistensinya harus dipertahankan sehingga bank syari’ah tetap ada sebagai pengganti bank-bank konvensional.
Kehadiran bank-bank syariah saat ini merupakan suatu usaha yang nyata dalam mengembangkan sistem ekonomi Islam, karena selain merupakan upaya untuk memanfaatkan potensi ekonomi umat secara optimal dan efektif karena didasarkan atau sesuai dengan akidah dan syariah Islam. Tetapi dalam pengembangan bank-bank yang berbasis syariah bukan tidak mungkin juga menghadapi berbagai kendala dalam pengembangannya dan kendala-kendala tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk prospek bank syariah dalam pengembangannya.
Melihat fenomena di atas maka berdasarkan undang-undang perbankan Nomor 10 tahun 1998 bahwa penyelengaraan sistem perbankan Islam memang telah diakui oleh pemerintah dan masyarakat tetapi dalam pelaksanaanya masih menimbulkan keragu-raguan, dengan
kata lain, aturan-aturan yang mengatur tentang bank syariah masih banyak yang tidak dijalankan secara Islami atau berdasarkan sistem ekonomi Islam yang diinginkan dan penyelenggaraan kegiatan usahanya juga masih banyak menimbulkan masalah moralitas di masyarakat.
Berdasarkan pemikiran di atas maka penulis bermaksud melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauhmana eksistensi dan prospek bank syariah dari perspektif hukum ekonomi Islam serta menguraikan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan mas alah tersebut di atas.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Sejauhmanakah bank syariah mengaktualisasikan nilai-nilai ekonomi Islam dalam Kegiatannya.
2. Kendala-kendala apa yang menghambat upaya dalam pengembangan perbankan syariah.
3. Sejauhmanakah prospektif perbankan syariah dalam pemberdayaan ekonomi umat.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejauhmana bank syariah mengaktualisasikan nilai-nilai ekonomi Islam dalam Kegiatannya.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang menjadi penghambat dalam pengembangan perbankan syariah.
3. Untuk mengetahui sejauhmana prospektif bank syariah dalam pemberdayaan ekonomi ummat.
D. Kegunaan Penelitian
a. Memberikan konstribusi akademik, yaitu peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang perbankan syariah.
b. Memberikan konstribusi praktis bagi usaha pengembangan bank syariah dalam sistem perbankan nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah)
Perkataan ‘ekonomi’ dalam bahasa Arab berasal dari kata Iqtishad, yang berarti kesederhanaan, dan kehematan. Berdasarkan dari kata tersebut berkembang dan meluas sehingga mencakup pengertian ilmu al- iqtihad, yaitu ilmu yang berkaitan atau yang membahas ekonomi. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata ekonomi mengandung pengertian, (1) Ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan; (2) Pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dan sebagainya yang berharga (Muslimin, dalam Arfin Hamid. 2005:14).
Pengertian Ekonomi Islam, menurut Muhammad Nejatulla Shiddiq dari karyanya berjudul Resent Work On History of Economic Survey, bahwa tidak terlepas dari pemikiran ekonomi Islam yang telah berusia setua dengan Islam itu sendiri. Sepanjang 14 abad silam sejarah Islam menjelaskan penemuan studi yang berkelanjutan tentang isu ekonomi dalam pandangan syariah. Sebagian besar diskursus ini hanya terkubur dalam literatul tafsir al-Qur an, sarah hadis dasar-dasar hukum, ushul fiqh, dan hukum fiqh. Belum terdapat usaha-usaha sistematis untuk mengkaji lebih dala m lagi materi-materi itu agar menjadi aplikatif (Adi Marwa Karim, dalam Arfin Hamid. 2005:14). Pernyataan ini merupakan keprihatinan dari seorang pakar ekonomi Islam beberapa puluh tahun yang lalu, namun kini pernyataan tersebut sudah tidak relevan lagi dengan merebaknya kajian-
8
kajian ekonomi syariah dan pada tataran pra ktisnya pun bermunculan lembaga-lembaga ekonomi syariah di seantero dunia.
(Syed Nawab Haider dalam Arfin Hamid 2005 : 15) dalam bukunya berjudul Islam economi, and society , mengemukakan bahwa :
”Sistem ekonomi Islam merupakan sistem buatan manusia juga bagaimana sistem ekonomi lain dan keberhasilannya juga akan ditentukan oleh pengujian daya hidupnya yang bisa diterima secara univers al”.
Pandangan ini lebih menekankan pada aspek empiris dari ekonomi Islam yang dapat diuji baik secara teoritik apalagi sisi praktisnya. Dengan demikian ekonomi Islam selayaknya dikembangkan secara simultan dalam dua tingkat, yaitu (1) harus merefleksikan pemahaman pengetahuan yang jelas terhadap esensi nilai-etik-dasar-Islam sebagai implementasi hakikat Islam di dalamnya, (2) dengan menggunakan masyarakat muslim sebagai counter-part dunia riil ekonomi Islam , maka serangkaian representasi hipotetik perilaku muslim terlebih dahulu ditetapkan selanjutnya dilakukan pembuktian secara empirik.
Pengertian ekonomi Islam yang didasarkan pada ekonomi ilmu ekonomi konvensional sebagaimana diberikan oleh Umar Chappra dan Naqvi sesuai dengan prinsip muamalah dalam hukum Islam bahwa pada prinsipnya segala sesuatu boleh saja diterima sepanjang belum ada ketentuan/dalil yang tegas melarangnya. Ilmu ekonomi konvensional merupakan fenomena kehidupan bahkan telah menjadi bagian dari kehidupan. Jika fenomena itu mendatangkan manfaat mubah hukumnya untuk diterima, akan tetapi jika fenomena itu mendatangkan mudharat
maka harus ditinggalkan. Secara subs tantif, materi-materi yang tersaji dalam ilmu ekonomi konvensional dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan nilia-nilai ekonomi Islam.
Ekonomi Islam selayaknya berpijak pada landasan hukum. Sehingga hukum harus mampu menjawab segenap masalah manusia, baik masalah yang besar maupun sesuatu yang belum dianggap masalah. Hukum digunakan untuk mengelola kehidupan manusia dari berbagai sektor, ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang didasarkan atas kemaslahatan.
Dengan demikian ekonomi syariah memiliki landasan hukum yang bersumber dari al-Qura’an. Al-Hadits, Ijtihad, Qiyas, sumber-sumber hukum lainnya, seperti urf, istihsan, istishab, dan maslahah al-mussalah.
Sebagai bahan perbandingan perlu dikemukakan sebuah kajian yang cukup relevan dengan kajian hukum ekonomi Islam adalah hukum ekonomi (ekonomic law). Kajian ini menekankan pada peranan hukum dalam kegiatan ekonomi, dan bagaimana hukum difungsikan dalam proses ekonomi Sumantoro (1986): 14) yaitu :
“Hukum ekonomi sebagai seperangkat norma-norma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi dan secara substansial sangat dipengaruhi oleh sistem yang digunakan oleh Negara yang bersangkutan (liberalis, sosialis, atau campuran)”.
Sunaryati Hartono (1988 : 41) memberikan pengertian hukum ekonomi dengan mengelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial, yaitu :
1. Hukum ekonomi pembangunan menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan
pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional dan berencana.
2. Hukum ekonomi sosial menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata sesuai dengan martabat kemanusian (hak asasi manusia) manusia Indonesia (distribusi yang adil dan merata).
Memperhatikan pandangan Sunaryati tersebut, jika dihubungkan realitas hukum yang berkembang dewasa ini bahwa pembagian itu s eakan-akan terpisah antara hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial, menurut Rachmat Sumitro pembagian itu akan menyesatkan karena melahirkan implikasi pemahaman yang termasuk dalam kategori hukum pembangunan hanyalah yang disebutkan itu seolah-olah hukum ekonomi sosial tidak termasuk didalamnya .
Mengenal posisi hukum ekonomi, Elly Erawaty dalam Arfin Hamid 2005 :17) mengemukakan, letak hukum ekonomi Indonesia dalam tata hukum nasional ada pada bagian hukum pembangunan dan/atau hukum sektoral. Dikatakan sebagai bagian dari hukum pembangunan/
development law karena ia mencakup seluruh kaidah hukum yang harus menunjang pembangunan. Di sisi lain, hukum ekonomi dikelompokkan ke dalam bidang hukum sektoral. Karena ia mengatur berbagai kegiatan s ektor pembangunan sebagaimana dijabarkan di dalam GBHN dan REPELITA.
Pandangan Elly Ernawaty tersebut dikemukakan di masa orde baru berkuasa dengan menunjukkan bahwa kaidah-kaidah hukum ekonomi telah terimplementasikan dalam program nasional, di masa reformasi ini
tentu nya kaidah-kaidah tersebut juga terakomodasi dalam program pembangunan nasional (PROPENAS).
Masih dalam pandangan Elly Erawaty, tidak semua produk hukum yang sudah ada dan yang akan dibentuk dapat digolongkan ke dalam hukum pembangunan, hukum pemban gunan mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membedakan dengan bidang hukum lainnya. Ciri-ciri tersebut adalah:
1. merupakan bidang hukum yang bersifat lintas sektoral atau interdisipliner atau multidisipliner.
2. merupakan bidang hukum yang berorientasi ke masa depan dan didasarkan pada prakiraan pada ahli futurology.
3. merupakan sub s istem-sub sistem hukum yang sangat rinci (differentiated and diversified), karena harus memperh atikan kebutuhan-kebutuhan perkembangan/dinamika dan bentuk- bentuk ekonomi dalam tahap-tahap perkembangan masyarakat yang berbeda-beda.
Berlandaskan pada ciri-ciri dan fungsinya sebagai hukum pembangunan, dengan tidak mengabaikan ciri-cirinya sendiri sebagai hukum ekonomi, maka hukum ekonomi Indonesia pada pokoknya memiliki beberapa tugas utama (Arfin Hamid 2005 : 17), yaitu :
1. Membentuk dan menyediakan pranata hukum serta sarana bagi peningkatan dan pembangunan kehidupan ekonomi nasional.
2. Membentuk pranata dan sarana hukum bagi perlindungan kepentingan warga masyarakat yang secara ekonomis -politis-fisik dan intelektual berada pada posisi lemah.
3. Membentuk pranata dan sarana hukum bagi peningkatan kesejahteraan manusia/warga Negara Indonesia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
4. Membentuk dan menerapkan sanksi-sanksi terhadap pebuatan- perbuatan yang menghalang-halangi atau menghambat pembangunan sosial ekonomi.
5. Membentuk pranata dan sarana hukum untuk membantu terjuwudnya suatu tata ekonomi internasional baru yang lebih adil.
Dengan memperhatikan beberapa pengertian hukum ekonomi di atas, maka dapat pahami bahwa ekonomi syariah (hukum ekonomi Islam) mengandung pengertian, yaitu segala ketentuan hukum (ayat/dalil hukum) baik yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul maupun berasal dari sumber-umber hukum Islam lainnya yang berkaitan dengan kegiatan muamalah iqtishadiyyah (kegiatan ekonomi)
Sebagai sebuah ketentuan hukum yang menyeluruh, diharapkan dapat mengatur dan dapat pula menyelesaikan segala problema konseptual yang muncul dalam proses ekonomi sebagaimana layaknya sebagai sebuah sistem hukum. Sebagai sebuah sistem hukum paling tidak memiliki tiga tatanan yang saling berkait sehingga applicable pada tataran aplikasinya. Ketiga tataran tersebut, yaitu aspek filosofis (idealitas), aspek sosiologis, dan aspek yuridis. Hukum ekonomi Islam sebagai sebuah sistem masih memerlukan upaya pengkajian, penelitian, dan perumusan secara eksplisit sehingga ia dapat disandingkan di antara beberapa sistem ekonomi yang ada baik secara diktrinal maupun secara rasio nal-ilmiah (M. Arfin Hamid, 2005 : 18)
B. Asas dan Prinsip Hukum Ekonomi
Dalam konteks ekonomi syariah (hukum ekonomi Islam) sebagai bagian integral dari hukum Islam, khususnya bidang muamalat lebih khusus bagi yang menyangkut iqtishadiyyah (kegiatan ekonomi), juga
memiliki asas dan prinsip-prinsip dasar baik secara normatif konseptual maupun secara praktis.
Sebuah pernyataan yang sangat popular dan diyakini serta diterima oleh seluruh umat Islam bahwa Islam (dienul Islam) adalah agama universal. Islam dalam kerangka universalitas mengandung pengertian, Islam dapat diperlakukan bagi semua orang dan pada setiap tempat dan waktu. Universalitas Islam itu terlegitimasi dalam al-Qur’an bahwa Muhammad SAW. Diutus karena ajarannya merupakan rahmat atau anugrah bagi alam semesta dan segala isinya. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Anbiya’ : 107 (dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).
Islam sebagai agama universal yang intinya mengemban ajaran bidimensional, yaitu ajaran ketauhidan dan ajaran muamalah.
Bidimensionl adalah salah satu sifat hukum Islam yang melekat pada dirinya sebagai suatu fitrah (sifat asli).
Dan sebuah sunnah Rasulullah yaitu, terjemahannya :
“Bukanlah yang terbaik di anatara kamu yang meninggalkan dunianya untuk mengejar akhiratnya, bukan pula yang terbaik di antara kamu yang meninggalkan akhiratnya untuk mengejar urusan dunianya melainkan yang terbaik di antara kalian adalah menyeimbangkan antara keduanya. Dan sesungguhnya dunia adalah jalan menuju akhirat”. (HR. al-Hakim).
Secara intrinstik beragama adalah kemampuan memadukan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah (eksoteris) dan aspek batiniyah (esoteris) dan ajaran Islam , baik dalam bentuk ritual keagamaan maupun berupa pesan- pesan moral yang terdapat dalam ajaran Islam. Sedangkan aktualisasi nilai-nilai agama adalah menampilkan dan memerankan nilai-nilai ajaran agama dalam prilaku baik secara aktif maupun pasif dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Islam sebagai ajaran yang sistematis mengandung nilai sebagai implemantasi substansi ajarannya yang bersifat bidimensional. Nilai diartikan sebagai sesuatu khusus kepada pola pemikiran, keterikatan dan perilaku bagi individu, masyarakat maupun bangsa. Sumber nilai dan norma bagi muslim seutuhnya adalah (1), nilai ilahiyah yang bersumber dari al-Qur’an, dan Sunnah, (2) nilai yang didapat dari duniawiyah atau mondial, yakni pikiran (ra’yu). Adat istiadat yang shahih dan kenyataan alam. Sebagaimana dengan sistem hukum lainnya yang berkembang di dunia, hukum Islam juga memiliki sifat dan karakteristik sekaligus sebagai pembeda dengan sistem-sistem hukum tersebut menurut Hamka Haq (1998;10), yaitu :
1. Sempurna. Hukum Islam diturunkan bukan hanya untuk menyelesaikan persoalan atau untuk menjawab tantangan sesaat melainkan untuk memberikan kontribusi ke seluruh dimensi kehidupan dalam kurun waktu yang tidak terbatas di wilayah tanpa batas pula.
2. Elastis. Elastisitas dan dinamisasi hukum Islam dalam segala aspek kehidupan yang diaturnya merupakan ciri utamanya baik di bidang muamalah, ibadah, jinayah, dan lainnya. Islam tidak menetapkan hukum yang bersifat dogmatis secara kaku dan memaksa, melainkan hanya memberikan kaidah-kaidah umum (asas) yang selanjutnya dapat dijabarkan sesuai kemampuan dan kebutuhan tanpa menyalahi prinsip maqashid syariah.
3. Universal. Universalitas ajaran Islam meliputi seluruh alam semesta tanpa batasan dan berlaku untuk seluruh suku, etnis, dan bangsa, bahkan untuk komonitas yang pluralistic. Universalitas itu terlihat pesan-pesan al-Qur’an seperti ungkapan rahmatan lil alamin, perintah berbuat keadilan, bersikap toleran (tasamuh), seperti dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ketika pertama kali membangun komunitas Islam di Madinah.
4. Sistematis ajaran Islam yang sistematis memiliki korelasi yang harmonis dan teratur bahkan indah. Islam tidak mengajarkan
spiritual yang mandul, melainkan tetap mengakomodasi kepentingan manusiawi, mempertimbangkan asas hidup dalam keseimbangan antara kepentingan dunia dengan aturan logis dan sistematis. Setelah perintah shalat selalu diiringi untuk berzakat dan selanjutnya berusaha untuk mencari rizki Allah dan sterusnya.
5. Ta’abudi dan ta’aquli (dogmatis dan rasional)
Hukum Islam menetapkan aturan-aturan yang bersifat ta’abudi berhubungan dengan dogma irrasional yang wajib ditaati tanpa ada pintu ijtihad di dalamnya. Kewajiban untuk menjalankannya bukan karena rasionalitasnya, akan tetapi semata -mata karena eksistensi kebijakan yang terkandung di dalamnya. Aturan yang bersifat ta’abudi ini sangat minim jumlahnya, dengan maksud Allah menunjukkan pada manusia bahwa ada sisi keterbatasan manusia dalam berfikir dan berkehandak. Sementara hukum Islam yang bersifat ta’aquli, manusia dituntut untuk membumikan aturan yang bersifat rasional ini agar dicerna dengan akalnya untuk memudahkan pemahaman dan mengimplementasikannya.
Relevan dengan sifat karakteristik hukum Islam tersebut.
Hasbi As-shiddiqy dalam Arfin Hamid (2005:22) mengemukakan beberapa prinsip atau titik tolak hukum Islam yang disebutkannya dengan mabadi’
al-ahkam, yaitu :
1. Prinsip ketauhidan
2. Prinsip masing-masing hamba berhubungan langsung dengan Allah
3. Prinsip menghadapi khittab kepada akal 4. Prinsip memagari akidah dengan akhlak.
5. Prinsip menjadikan beban hukum untuk kebajikan jiwa dan kesuciannya
6. Prinsip agama dengan dunia dalam masalah hukum 7. Prinsip persamaan
8. Prinsip menyerahkan masalah ta’zir pada pertimbangan penguasa tahkim
9. Prinsip tahkim (penyelesaian perkara sesuai dengan prosedur hukum)
10. Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar 11. Prinsip tasamuh
12. Prinsip kemerdekaan
Azhar Basyir (2000 : 56) mengemukakan beberapa prinsip umum hukum Islam, sebagai berikut.
1. Prinsip akidah yang benar
2. Prinsip meniadakan perantara antara manusia dengan tuhan 3. Prinsip menengah dalam segala hal
4. Prinsip tolong menolong 5. Prinsip keadilan dan persatuan 6. Prinsip musyawarah
7. Prinsip toleransi 8. Solidaritas sosial
Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum di atas, Azhar Basyir (2000:56) juga mengemukakan beberapa ciri-ciri hukum Islam, yaitu sebagai berikut.
1. Hukum Islam berdasar atas wahyu Tuhan
2. Aturan hukum Islam dipersiapkan dengan penamaan akidah dan ahlak
3. Hukum Islam memberikan sanksi duniawi dan ukhrawi 4. Hukum Islam berkecendrungan jaaiah (kebersamaan)
5. Hukum Islam dinamis menghadapi perkembangan kehidupan sesuai tuntutan ruang dan waktu
6. Hukum Islam bertujuan mengatur kehidupan individu maupun masyarakat menuju kepada terciptanya kesejahteraan dunia secara menyeluruh.
Kebebasan individu dalam Islam bersentuhan langsung dengan kebebasan individu lainnya. Kebebasan individu dapat dijalankan dengan prinsip-prinsip, yaitu :
1. Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan individu.
2. Melapas kesulitan harus didahulukan dibandingkan memberi manfaat (dar’iul mafasidi muqadumun ala jalbil mashalih) meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan syariah.
3. Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang lebih kecil. Sebaliknya, bahaya yang lebih kecil harus dapat diterima/diambil untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar, sedang manfaat yang lebih kecil dapat
dikorbankan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar (Muhammad Antonio Syafie, 2001 : 17).
Upaya untuk mengedepankan ajaran ekonomi Islam, sebuah pendekatan yang dita warkan oleh Safwan Idris dengan menyebutnya sebagai gerakan zakat sebagai gerakan transformasi sistem ekonomi Islam didasarkan kepada sutu anggapan bahwa ajaran zakat merupakan sumber utama dari prinsip -prisip kehidupan ekonomi dalam Islam.
Menurutnya, ekonomi Islam adalah suatu sistem perekonomian yang tazkiyah, yang bersih dan suci dari keserakahan manusia dan nilai-nilai tersebut terdapat dalam ajaran zakat. Oleh karena itu, ekonomi Islam tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai tauhid dan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan (Safwan Idris, 1988 : 79).
Berdasarkan dari karakteristik ekonomi Islam tersebut, Ali Fikri selanjutnya menurunkan beberapa prinsip dasar ekonomi Islam, yaitu sebagai berikut :
1. Mengakui hak milik, baik secara individual maupun secara umum.
2. Kebebasan ekonomi bersyarat, yaitu :
a. Memperhatikan halal dan haramnya sesuatu objek dan tindakan.
b. Berkomitmen terhadap segala kewajiban yang ditetapkan oleh syariat Islam Sekaitan dengan harta benda, yaitu berzakat, kewajiban bernafkah, tanggung jawab fisabilillah, sedekah, dan tanggung jawab terhadap pengentasankemiskinan dan pengangguran.
c . Bersikap professional, tidak memberikan amanah pengelolaan harta benda kepada yang tidak amanah (Q.S. an-nisa : 5).
d. Kebebasan untuk bermitra (bersyarikat) dengan dasar saling membantu (ta’awun).
e. Tidak melakukan pengelolaan harta benda atau bertindak yang merugikan pihak lain, sesuai dengan kaidah hukum Islam.
3. Kebersamaan dalam menanggung kebaikan (at-takaful al- ijtima’i). dalam konteks prinsip kebersamaan ruang lingkupnya meliputi :
a. Guna mewujudkan kebahagian baik pribadi maupun masyarakat.
b. Kepentingan pribadi tidak boleh merugikan kepentingan kepentingan jama’ah dan sebaliknya.
c . Kebersamaan dalam rangka menjaga kesatuan (ukhuwah), keakraban, ta’awun dan saling amanah.
d. Berlaku objektif dan tidak deskriminatif.
C. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Syariah
Pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia selain didasarkan secara normatif pada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah serta sumber- sumber hukum Islam lainnnya, juga secara formal berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional. Secara konstitusional.
Secara konstitusional dasar hukum ekonomi syariah melalui pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 :
(1) Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Hazairin (1968 : 1970 : 18 -19) memberikan tafsiran terhadap pasal 29 (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu sebagai berikut :
1. Dalam Negara R.I tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaedah-kaedah Islam bagi ummat Islam …
2. Negara R.I. wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam ,….
sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.
3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya karena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
Secara operasional pelaksanaan perbankan dengan prinsip syariah juga memiliki landasan konstitusional melalui Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(4) Perekonomian nasional diselenggrakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional Selanjutnya secara teknis operasional dasar hukum ekonomi syariah khususnya perbankan syariah secara eksplisit diatur dalam undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, pasal 1 :
1. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
2. Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Secara tekhnis dijelaskan pula bahwa yang dimaksudkan dengan prinsip syariah juga dipaparkan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut melalui pasal 1 angka 13, yaitu :
“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilhan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)”.
Dalam Undang-Uundang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimaa diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang berkaitan dengan operasionalisasi perbankan syariah diatur dalam pasal 1 angka 7 dinyatakan sebagai berikut :
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank Indonesia dan bank yang mewajibkan bank yang dibiayai untuk mengembalikan yang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Sebagai bank sentral, selain melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap semua sistem pembiayaan, bank Indonesia juga bertanggung jawab atas tersedianya likuiditas terhadap setiap perbankan, termasuk perbankan syariah. Tanggung jawab likuiditas Bank Indonesia tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia melalui pasal 11 ayat 1 :
“Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan”.
Kedua undang-undang tersebut merupakan dasar formal mengenai pelaksanaan ekonomi syariah khususnya perbankan syariah di Indonesia.
Berdasarkan undang-undang tersebut Gubenur Bank Indonesia telah menerbitkan sejumlah peraturan-peraturan teknis (peraturan bank Indonesia) dalam rangka menjamin dan mengefektifkan operasionalisasi perbankan syariah.
Dalam pandangan Professor Sarbini Sumawinata pakar ekonomi kerakyatan dunia saat ini dipengaruhi oleh tiga sistem ekonomi besar, yaitu sistem liberalisme. Sosialisme dan walfare state, statement professor tersebut sertamerta tidak bisa dipersalahkan, kemungkinan ketika dilontarkan statement itu konteksnya memang tepat ketika itu, tetapi, kini sistem ekonomi dunia harus ditambahkn dengan satu sistm besar lagi, yaitu sistem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam secara historik memiliki asal usul kemunculan yang berbeda, sistem inipun terasa kurang objektif jika dipandang sebagai sebuah sistem baru yang muncul di akhir abad ke -20 dan di awal abad ke-21. Sementara sistem liberal yang muncul di abad ke- 18 dan sistem anti tesisnya Sosialisme dan sintesisme welfare state muncul di abad ke -19, sistem -sistem ekonomi besar yang merajai dunia saat ini baru berumur kurang lebih 2 abad dibandingkan dengan sistem ekonomi Islam sebagai derivasi ajaran Islam telah hadir memberikan
kontribusi makna dalam kehidupan manusia (minadz-dzulunati lla an-nur) sec ara menyeluruh di abad ke -7 Masehi. Beberapa abad berikutnya Islam telah menjadi kekuasaan besar yang disegani di seantero dunia ketika itu bukannya berbasis pada keunggulan keyakinan ilahiyah sebagai misi utama ke Islam an, melainkan menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai basisnya menuju implementasi visi rahmatan lilalamin.
Ajaran Islam (dienul Islam), sebagai risalah samawi terakhir melengkapi semua risalah sebelumnya karena itu ia tampil lebih komprehensif dibandingkan dengan muatan subtansial risalah yang mendahuluinya. Universalitas ajaran risalah ini lebih mengedepankan dibandingkan dengan sebelumnya termasuk komprehensifnya materi ajaran yang dicakupnya.
Hal yang mendasar perbedaannya adalah adanya kombinasi ajaran bidimensional yang diembannya agar diimplementasikan secara proporsional untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan keselamatan kelak di akherat. Ajaran ini sangat menentang segala bentuk sekularisme dalam dimensi manapun pada kehidupan ini tak terkecuali dalam kegiatan ekonomi.
D. Aktualisasi Nilai-Nilai dan Penjabarannya Ke Prinsip Hukum Islam 1. Nilai (an-nathijah) Ekonomi Islam
Sejumlah perbedaan yang mendasar dengan s istem ekonomi konvensional terletak pada nilai yang diusungnya, meskipun pada semua sistem ekonomi memiliki nilai-nilai yang menjadi sumber inspirasi dan
aspirasi baik pada tataran filosofi, teori dan operasionalnya. Nilai pembeda itu adalah terpusat pada nilai Ilahiyah sebagai nilai tertinggi yang mengilhami semua asas dan prinsip serta kaidah sebagai derivasinya.
Nilai ilahiyah (keutuhan/ketauhidan) sebagai sumber tertinggi yang harus mengilhami segala bentuk tindakan operasional yang berkaitan dengan semua kegiatan dan tindak tanduk manusia termasuk dalam kegiatan ekonomi. Pertanyaan mendasar pun berkaitan dengan nilai ini adalah, bagaimana mengimplementasikan nilai ilahiyah dalam praktek ekonomi? bukankah dalam ekonomi konvensional eksistensi nilai seperti itu merupakan sesuatu yang sia -sia adanya bukan saja tidak mampu memberikan kontribusi material tetapi juga merupakan sesuatu yang mubazir jika diperbincangkan.
Berbeda halnya dengan sistem ekonomi Islam, nilai yang bersifat transsedental itu justru menempati posisi yang tertinggi yang akan melahirkan derivasi yang bersifat implementatif. Segala sesuatunya akan terbangun dari nilai itu sehingga melahirkan sebuah sistem keutuhan yang sistematis dan komperehensif. Nilai ilahiyah sebagai nilai tertinggi dalam ekonomi Islam secara aplikatif diturunkan sejumlah asas dan prinsip yang selanjutnya dituangkan ke dalam kaidah dan norma operasional. Karenanya suatu aturan hukum merupakan abstraksi dari nilai yang bersifat pokok dan universal selain menjadi sumber, juga menjadi patokan pengujian keabsahan suatu aturan hukum secara hirarkhis.
Secara substansif, nilai ilahiayahnya ini terlahir dari sejumlah ayat dalam al-Quran yang menunjukkan eksitensi ketuhanan sebagai inti ajaran Islam, dan ayat yang terpenting itu diantaranya adalah melalui surat al-Ikhlas . Dalam bangunan teori pembentukan hukum berdasarkan hukum berdasarkan nilai ilahiyah.
Pola pembentukan hukum secara hirarkis ini penting bukan hanya dalam konteks hukum barat (civil law), sistem hukum common law, dan sistem hukum socialism, tetapi lebih kental lagi dalam hukum Islam. Pada posisi teratas ditempati nilai tertinggi yakni ilahiyah sebagai sumber pembentuk untuk derivasi di bawahnya sehingga ketiga tataran di atas akan menyatu secara hirarkis melahirkan ketentuan yang efektif, jika pola itu dituangkan ke dalam sistem ekonomi Islam, maka sistem ekonomi Islam akan tergambar bahwa ia juga terbangun secara hirarkis yang harus dipas tikan tidak ada kontradiktif didalamnya, karena prinsipnya pada tataran dibawahnya, yaitu pada biasanya terjadi, kontradiktif itu muncul pada tataran dibawahnya, yaitu pada penyusunan prinsip/asas dan pembuatan norma atau kaidahnya.
Nilai-nilai ekonomi Islam menurut Arfin Hamid, (1996:53) secara menyeluruh perlu diaktualisasikan agar lebih membumi sebagaimana tergambar dalam tabel berikut :
Tabel 1. Aktualisasi Nilai-nilai dan Pembelajarannya ke Asas/
Prinsip Hukum Islam No Nilai-nilai Aktualisasi nilai ke
asas/prinsip
Indikator Negatif 1. Ilahiyah
(ketuhanan/
ketauhidan)
Akidah Ibadah Syariah
Tazkiyah (halal-tayyib) Pemilik mutlak
Atheisme sekularisme
2. Khilaf
(kepemimpinan)
- nubuwwah,(amanah,
shiddieq,fathonah, dan;
tablieg )
- akhlakul karimah/etik - insaniyah (humanistik) - ukhuwah
- ta’awun - profesionalitas - pertanggungjawaban
Inddividualisme Free
Competition
3. Keseimbangan (al-tawazhun)
- kemitraan
- pertengahan (wustha) - syukur ( kesyukuran) - mudharabah
- musyarakah
Hedonisme Meteralisme Individualisme Komunisme 4. Keadilan
(al-adalah )
- keadilan - persamaan - pemerataan
Kedhaliman Diskriminasi Riba
Gharar, maisir, Tadlis
5. Kemaslahatan (al-maslahan)
- dururiyah - kemanfaatan - keselamatan
Hedonisme
Sumber Data : Arfin Hamid, 2005
Dari tabel aktualisasi nilai-nilai ekonomi Islam tersebut menunjukkan bahwa secara komprehensif ekonomi Islam harus dipandang sebagai sistem nilai atau mahzab ekonomi yang akan mem bentuk pola persepsi dan perilaku ekonomi, bukan hanya sebatas teori ekonomi yang setiap
saat dapat ditinjau dan dievaluasi jika daya responsifnya berkurang seperti pada sistem-sistem konvensional.
Sebagai sistem nilai yang komperehensif (nizham an-nathijah), maka nilai-nilai yang teraktualisasi dalam sejumlah prinsip/asas selanjutnya dijabarkan lagi dalam bentuk aturan normatif berupa fatwa- fatwa MUI dan peraturan perundang-undangan sebagai salah satu rangkaian utuh, selaras dan tidak ada kontradiksi di dalamnya.
Kesalahfahaman masih kadang tampak kepermukaan yang memandang ekonomi Islam sebagai sistem yang mandiri terlepas dari bingkai keIslaman seperti halnya dalam memandang sistem -sistem konvensional yang sekuler itu.
2. Teori Bisnis Tazkiyah
Hal lain yang masih perlu pendekatan yuridis adalah bagaimana menakar kesyariahan (halalan tayiban) sebuah kegiaan ekonomi yang berbasis syariah, diperlukan pola pemahaman yang sistematis dan komperehensif, agar terhindar dari statement-statement yang tidak utuh (parsial) yang dapat menimbulkan kesalahpahaman baik di kalangan umat Islam maupun bagi umat lain yang beraplikasi dengan ekonomi Islam (Arfin Hamid, 2007:97)
Berikut dideskripsikan dalam tabel tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk mendapatkan justifikasi sebagai kegiatan ekonomi yang sesuai syariah atau teori bisnis tazkiyah sebagai berikut ;
Tabel 2. Aktualisasi Prinsip Takziyah dalam Makna Halalan Tayyibah Halal dan Baik dalam Kegiatan Ekonomi
Masalah Dasar
Urainan
Kegiatan Kualifikasi Keabsahan Dasar
Hukum
I Objek ? Halal Halal Halal Haram Haram Q.S 4:2,
4: 135 83 :1-2, 11:84 -85, 26:182, 55:9.
II Proses ? Halal Haram Halal Halal Haram
III Hasil ? Halal Halal Haram Halal Haram
IV Pemanfaatan
Pengelolaan?
Halal Haram Halal Halal Halal
- Kesimpulan Halal Haram Haram Haram Haram
Sumber Data : Arfin Hamid, 2005
Mencermati beberapa ayat yang berkaitan dengan harta benda baik cara perolehannya maupun pengelolaan dan pemanfaatannya, seperti adanya perintah tuhan untuk memakan harta yang halal dan baik, perintah untuk tidak melakukan pengrusakan di bumi, perintah untuk menafkahkan (menggunakan) harta yang ke hal-hal yang baik dan diridhoi oleh Allah, larangan menumpuk-numpuk harta kemudian tidak mengeluarkan hak-hak Allah seperti infak, shadaqah, dan zakat, serta larangan untuk berbuat curang, berlaku aniaya dan tidak adil.
Secara konseptual, ajaran Islam mengenai muamalah Iqtishadiyyah (kegiatan bidang ekonomi) merupakan sebuah sistem yang utuh dan menyeluruh sebagaimana ajaran yang kaffah (menyeluruh), sebagaimana penegasan Allah, udkhulu fil-alsilmi kaffah (masukilah Islam secara total).
Logika berfikir sistematis juga terjabarkan dalam konsep Islam yang berkaitan dengan harta benda secara khusus, dan kegiatan ekonomi secara umum dan jika pola pikir yang sistematis ini dihubungkan dengan jawaban para responden penelitian yang menempatkan bahwa kriteria
keabsahan dan kehalalan harta benda sebagai tolak ukur utama, akan tergambar yaitu :
1. Kehalalan itu dimulai dari harta benda, jasa yang dijadikan sebagai objek dalam proses atau kegiatan ekonomi. Bentuk dan model usaha harus jelas sehubungan dengan objek usaha yang dimaksudkan, objek dan bentuk usaha yang halal diketahui melalui dalil/ayat al-Qur’an, yakni objek atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kategori yang terlarang, misalnya, khamr (usaha minuman keras), maysir (usaha untung-untung, tidak ada kepastian), yang usaha dari yang berkaitan binatang yang diharamkan, serta perbuatan syaitan lainnya (al-Ma’idah :3). Termasuk dalam kualifikasi objek yang terlarang adalah yang berkaitan dengan perzinahan, (al-Isra : 32) baik dilakukan secara tidak sah pula terhadap obat-obatan terlarang yang membahayakan kelangsungan hidup generasi di masa yang akan datang.
2. Proses untuk memperoleh harta benda, termasuk di dalam proses produksi jika hal ini berkaitan dengan industrialisasi, jika hal itu berkaitan dengan proses perolehan yang harus ddengan tindakan hukum, tidak mengandung eksploitasi sepihak seperti pemaksaan, melawan hak, riba, dan kezhaliman lainnya. Proses pengolahan dan perolehan harta tersebut harus sejalan dengan ketentuan syariah Islam. Hal ini sama dengan objek usaha selain ada yang diharamkan juga terdapat yang dibolehkan atau dihalalkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Demikian pula dalam proses juga ada yang tidak sesuai dengan syariat Islam, dan untuk mendapatkan status halal, maka proses yang dijalankan tidak mengandung unsur-unsur keharaman didalamnya, yaitu riba, gharar, tadlis, monopoli, penimbunan, persekongkolan, dan zhalim.
3. Setelah kedua hal tersebut dilalui akan menghasilkan sebuah produk atau hasil dari sebuah usaha, yaitu pemilikan. Hasil dari suatu usaha atau proses produksi melahirkan barang atau benda yang harus dimanfaatkan sesuai peruntukannya dan untuk kepentingan lainnya. Pada tataran output/hasil ini selain melahirkan dimensi kepemilikan sebagai hasil usaha yang telah dilakukan, dan hasil usaha itu pun merupakan miliknya. Ju ga akan memberikan nilai kegunaan dan kemanfaatan atas benda atau hasil dari usaha tersebut. Dalam konteks ekonomi syariah semua hasil/output yang diperoleh dari sebuah kegiatan bisnis harus dimanfaatkan atau dikelola lebih lanjut sesuai dengan syariah, yakni ke arah yang diridhoi oleh Allah SWT.
Pada sistem-sistem ekonomi konvensional tidaklah berbicara mengenai konsep halalan tayyiban, tetapi paling tidak hanya terkait
dengan keabsahan atau legitimasi sebuah perusahaan dan hasil usahanya, dan legitimasi itupun bukan didasarkan pada nilai ilahiyah melainkan hanya diberikan oleh negara atau pemerintah yang berkuasa, dan bukan dalam konteks halal dan haramnya sebuah proses ekonomi.
Dalam perspektif ekonomi konvensional legitimasi itu hanya sampai pada tata ran kedua, yakni pada proses usaha yang harus pula sah dan memberikan nilai kemanfaatan. Sementara hasil usaha berupa keuntungan atau barang merupakan hak milik yang penggunaan dan pengelolaannya menjadi hal pemilik sepenuhnya, karena itulah ia berkuasa penuh atas haknya. Inilah konsekuensi faham liberalism yang mendewakan individu dan hak-haknya di atas segala-galanya.
Berbeda halnya dalam pandangan ekonomi syariah, rentetan tahapan dalam proses bisnis seluruhnya mesti berada dalam koridor syar’iyyah, artinya prinsip halaman tayyiban tetap muncul pada setiap tahapan proses tersebut, yaitu mulai dari penentuan dan pemilihan jenis usaha/objek harus memenuhi standar kehalalan, kemudian berlanjut pada tataran proses atau pengelolaan usaha juga harus dalam koridor kehalalan, bahkan sampai pada tahapan akhir, yakni pemilikan dan penggunaan dari hasil usaha (keuntungan) juga harus dimanfaatkan dalam kerangka keridhaan Allah SWT. Sesuai ayat dalam surat al- Baqarah ayat 265, yaitu :
Artinya :
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.
Secara substantif terdapat sekitar 19 ayat dalam surat yang berbeda yang mengatur mengenai pencarian keridhaan Tuhan sebagai manifestasi pemanfaatan harta yang memiliki. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mekanisme pemanfaatan menjadi bagian tidak terpisahkan sistem ekonomi Islam, hanyalah dalam rangka keridhaan Allah. Jika mekanisme penggunaan harta tidak menjadi bagian sistem ekonomi syariah, maka beberapa ayat yang berkaitan dengan penggunaan harta itu tidak dilaksanakan, hal ini berarti bertentangan dengan kehadiran ekonomi syariah sebagai sebuah sistem yang utuh dan komprehensif.
Tabel 3. Deksripsi Kegiatan Ekonomi dari Perspektif Hukum Ekonomi dan Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah)
Ancangan Konsep
Ekonomi Hukum Ekonomi Hukum Ekonomi Islam Objek,
jenis usaha, dan jasa
Profit Prospektif Kesempatan
= Profit
= Prospektif
= Kesempatan Sah / legal
= Profit
= Prospektif
= Kesempatan
= Sah / legal Halal/Tazkiyah Proses dan
mekanisme usaha
Minimal Input Maksimal output
Profesionalitas Full Kompetisi
Legal Prosedural Keseimbangan UMR Persaingan sehat Keselamatan kerja Profesionalitas Etika Profesi
Legal Aman Prosedural Keseimbangan UMR
Persaingan sehat Keselamatan kerja Profesionalitas Kerjasama (ta’awun) Akhlak/Etika
Halal/tazkiyah Output/hasil Nilai dan
Kegunaan Target market.
Kemanfaatan dan perlindungan Konsumen
Kemanfaatan Keselamatan Kemaslahatan Limardhatillah Sumber : Arfin Hamid, 2005
Dalam kajian ekonomi dari perspektif hukum terlihat adanya hubungan yang erat, di mana kegiatan ekonomi terlebih dahulu harus dipastikan kelayakan objek usaha, keuntungannya, prospek pengembangannya, atau hanya untuk meraih sebuah peluang atau kesempatan usaha. Hal ini akan lebih aman dan efektif jika melibatkan peran hukum di dalamnya. Oleh karena itu, selain kriteria dari perspektif ekonomi tersebut, maka kegiatan ekonomi itu harus sah atau legal dan tidak menyalahi prosedur usaha, artinya bukan usaha yang terlarang.
Dengan keterlibatan hukum di dalamnya, maka sebuah kegiatan ekonomi akan semakin baik, aman, dan terjamin.
Kondisi demikian akan jauh lebih baik lagi jika dilihat dari perspektif hukum ekonomi Islam (ekonomi syariah). Karena selain memenuhi kriteria ilmu ekonomi dan hukum ekonomi dalam menentukan sebuah kegiatan ekonomi, juga ditambahkan dengan kriteria halal atau tazkiyah (suci).
Makna sah atau legal hanya mengacu kepada hukum positif sebuah negara. Oleh karena itu, tidak semua yang sudah sah atau legal itu juga halal atau tazkiyah. Contohnya, usaha minuman keras, usaha lokalisasi prostitusi, dan perjudian, walaupun diperkenankan dengan izin oleh pemerintah, tetap kegiatan seperti itu tidak akan pernah sah dan halal serta diharamkan walaupun sudah legal.
Demikian pula dalam proses ekonomi yang berpatokan pada prinsip minimal input maksimal output atau dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, tetap
diharamkan walaupun sudah legal. Prinsip ini tampaknya cenderung menghalalkan segala cara, di mana selalu memanfaatkan semaksimal mungkin peluang yang ada untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Dalam kondisi demikian, hukum perlu memberikan sumbangsih agar tidak terjadi tindakan anarkis dan eksploitatif. Oleh karena itu, dalam kegia tan ekonomi harus menjunjung tinggi keadilan sebagai inti ajaran hukum, melakukan persaingan usaha yang sehat, memperhatikan upah minimum regional, memperhatikan keselamatan kerja, melaksanakan kewajiban membayar pajak dan retribusi, dan proses lainnya yang mendukung usaha yang legal.
Ketimpangan yang baka l terjadi dalam setiap tahapan proses ekonomi hanya dapat diantisipasi dengan memfungsikan hukum didalamnya. Kondisi yang lebih baik dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi syariah, di mana indikator-indikator yuridis dalam proses ekonomi terdapat dalam ekonomi syariah, yakni dengan prinsip ta’awun (kerja sama) dan prinsip etis (akhlakul karimah). Dengan prinsip ini, bukan hanya hitungan materi yang terpenting, melainkan adanya unsur saling tolong- menolong dan untung secara bersama-sama.
Terhadap output atau hasil yang dicapai, tentu penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan hidup demi kemanfaatan dan kesejahteraan.
Dalam pandangan ekonomi syariah, selain meng-cover hal itu, juga masih berorientasi kepada kemaslahatan yang bermakna lebih luas dan lebih
hakiki yang berpuncak kearah sasaran untuk menggapai keridaan Allah (limardhatillah), dalam pemanfaatan harta benda yang dimiliki.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, dalam sejarah lebih dikenal dengan masyarakat nusantara yang memiliki sifat dan karakteristik selalu menjunjung tinggi nilai-nilai integralisme (keadilan, kegotong-royongan, persamaan, dan persatuan), juga menempatkan nilai magis-religius sebagai sumber aspirasi dan inspirasi dalam segala dimensi kehidupannya. Khusus mengenai nilai magis-religius, sejak awal telah ditempatkan dalam posisi yang tertinggi dengan mengakui adanya sosok Tuhan Yang Maha Kuasa yang senantiasa mengendalikan seluruh alur kehidupannya.
Benih-benih pengakuan adalah sosok yang memiliki kemahakuasaan sejak dini sudah melekat dalam jiwa masyarakat nusantara, meskipun yang dimaksudkan dengan sosok maha kuasa itu tidaklah sama. Namun, yang terpenting ialah telah terbentuk sebuah sistem keyakinan yang magis -religius dalam kehidupannya. Dengan demikian, secara sosiologis nilai ilahiah telah memiliki basis yang kuat karena masyarakat nusantara sejak awal telah mengakui dan memposisikan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang terintegrasi dalam semua dimensi kehidupannya.
E. Asas dan Prinsip Ekonomi Syariah
Dalam konteks ekonomi syariah (Hukum Ekonomi Islam) sebagai bagian integral dari Hukum Islam, khususnya bidang muamalat lebih
khusus lagi yang menyangkut iqtishadiyyah (kegiatan ekonomi), juga memiliki asas dan prinsip-prinsip dasar baik secara normatif konseptual maupun secara praktis.
Sebuah pernyataan yang sangat popular dan diyakini dan diterima oleh seluruh umat Islam bahwa Islam (dienul Islam) adalah agama universal, Islam dengan kerangka universalitas nya mengandung pengertian, Islam dapat diberlakukan bagi semua orang dan pada setiap tempat dan waktu. Universalitas Islam itu terlegitimasi dalam al-Quran bahwa Muhammad SAW, diutus bersama ajarannya merupakan rahmat atau anugrah bagi alam semesta dan segala isinya. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Anbiya : 107) yaitu :
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta alam”.
Islam sebagai agama universal yang intinya mengemban ajaran bidimensional, yaitu a jaran ketauhidan dan ajaran muamalah.
Bidimensional adalah salah satu sifat hukum Islam yang melekat pada dirinya sebagai sebuah fitrah (sifat asli). Penerapan ajaran Islam bidisioanal (ibadah-muamalah) secara kombinatif harus mewujud secara konvensional.
Islam sebagai ajaran sistematis mengandung nilai sebaimana implememntasi subtansi ajarannya yang bersifat bidimensional. Nilai diartikan sebagai suatu perangkat keyakinan, perasaan (sentiment) dan identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, keterikatan dan perilaku bagi individu, masyarakat maupun bangsa.
Sumber nilai dan norma bagi muslim seutuhnya adalah (1), nilai ilahiyah yang bersumber dari al-Quran, dan Sunnah, (2) nilai yang didapat duniawiyah atau mondial, yakni pikiran (ra’yu), adat istiadat yang shahih dan kenyataan alam.
Sebagaimana dengan sistem hukum lainnya yang berkembang di dunia, hukum Islam juga memiliki sifat dan katrateristik sekaligus sebagai pembeda dengan sistem-sistem hukum tersebut menurut Hamka Haq (1998 : 10) yaitu :
1. Sempurna. Hukum Islam diturunkan bukan hanya untuk menyelesaikan persoalan atau untuk menjawab tantangan sesaat melainkan untuk memberikan konstribusi keseluruh dimensi kehidupan dalam kurun waktu yangtidak terbatas di wilayah tanpa batas pula
2. Elastis. Elastisitas dan dinamisasi hukum Islam dalam segala aspek kehidupan yang dianutnya merupakan. Ciri utamanya baik di bidang muamalah, ibadah, jinayah, dan lainnya. Islam tidak menerapkan hukum yang bersifat dogmatis (asas) yang selanjutnya dapat dijabarkan sesuai kemampuan dan kebutuhan tanpa menyalahi prinsip maqashid syariah.
3. Universal. Universalitas ajaran Islam meliputi seluruh alam semesta tanpa batas dan berlaku untuk seluruh suku, etnis, dan bangsa, bahkan untuk komunitas yang pluralisti k. Universalitas itu terlihat pesan-pesan al-Quran seperti ungkapan rahmatan lil alamin, perintah berbuat keadilan, bersikap toleran (tasamuh).
F. Pengertian Bank Syariah
Dalam konsep Islam istilah bank secara literatur tidak dikenal.
Istilah bank diambil dari bahasa Italia, yakni banco yang berarti meja.
Penggunaan istilah ini dikarenakan dalam kenyataan bahwa proses kerja bank sejak dulu, sekarang, dan di masa yang akan datang secara administratif dilaksanakan di atas meja. Adapun dalam Bahasa Arab bank
bis aa disebut dengan mshrif, yang berarti tempat berlangsungnya saling tukar menukar harta, baik dengan cara mengambil ataupun menyimpan, atau selainnya untuk melakukan muamalah. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan jo. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ditegaskan bahwa:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan; dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Dari pengertian ini terlihat bahwa kegiatan utama atau pokok bank sebagai lembaga keuangan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya serta berfungsi untuk meningkatkan tingkat ekonomi masyarakat. Menurut Heri Sudarsono (2003:23) pada umumnya yang dimaksud bank syariah adalah:
“Lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah”.
Menurut Muhammad (2005:5 ) bank syariah adalah:
“Lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, atau dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa .jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah Islam”.
Menurut A. Djazuli dan Yadi Janwari ( 2002:34 ) bank syariah adalah:
“Bank yang beroperasi di atas dasar ajaran (syariah) Islam, yang memiliki prinsip operasional berbeda dengan prinsip operasional bank konvensional (conventional bank )”.