• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN PRINSIP BAGI HASIL BANK SYARIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERJANJIAN PRINSIP BAGI HASIL BANK SYARIAH"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

Karya Ilmiah

PERJANJIAN PRINSIP BAGI HASIL BANK SYARIAH

TERHADAP NASABAH

Oleh :

ROIDA NABABAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

FAKULTAS HUKUM

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul : PERJANJIAN PRINSIP BAGI HASIL BANK SYARIAH TERHADAP NASABAHNYA (BANK MANDIRI SYARIAH SIMPANG KAMPUS USU).

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI………... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………... 9

A. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian ... 9

1. Pengertian Perjanjian ... 9

2. Asas-Asas Dalam Perjanjian ... 10

3. Sahnya Suatu Perjanjian ... 12

4. Berakhirnya Perjanjian Menurut KUHPerdata ... 14

B. Tinjauan Terhadap Perbankan Secara Umum ... 14

1. Pengertian Bank ... 14

2. Jenis-jenis Bank ... 17

3. Sistem Bunga Dalam Bank Umum ... 19

4. Pengertian Bank Syariah ... 21

5. Pengertian Bagi Hasil ... 22

6. Perbedaan Bagi Hasil Dengan Bunga ... 23

7. Perhitungan Bagi Hasil ... 24

(4)

BAB III PEMBAHASAN………...... 31

A. Bentuk Perjanjian Prinsip Bagi Hasil Bank Syariah Terhadap Nasabahnya ... 31

B. Hambatan Yang Dihadapi oleh Bank Syariah Dalam Perjanjian Prinsip Bagi Hasil Terhadap Nasabahnya ... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….... 49

A. KESIMPULAN ... 49

(5)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi melalui jasa financial perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang strategis dimana kegiatan utama dari perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat.Saat ini perbankan nasional Indonesia mengalami suatu “depresi”

yang sangat berat untuk dipulihkan kembali sebagai sebuah lembaga yang sehat di dalam menunjang perekonomian suatu bangsa.

Pemulihan sistem perbankan terkait satu dengan lainnya sangat penting untuk menggerakkan kembali perekonomian nasional, karena bank berfungsi tidak hanya sebagai perantara pihak-pihak surplus of funds (kelebihan dana) dan pihak luck of funds(memerlukan dana), namun juga berfungsi sebagaiagent of development1yaitu sebagai alat pemerintah dalam membangun perekonomian bangsa melalui pembiayaan semua jenis usaha pembangunan yaitu berfungsi sebagai financial intermediary (perantara keuangan) yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara. Hal tersebut ditegaskan kembali di dalam Arah Kebijakan Ekonomi Makro dalam GBHN 1999-2004, bahwa :

1

(6)

Perekonomian nasional dituntut mampu memantapkan ketahanan ekonomi yang dapat mencegah terulangnya krisis dan mengamankan proses pemulihan ekonomi dimana langkah-langkah yang perlu ditempuh antara lain memulihkan fungsi intermediasi perbankan.

Sistem perbankan memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi yang menunjang perekonomian nasional. Untuk meningkatkan peran dan fungsi bank di dalam memulihkan perekonomian nasional, pengaturan perbankan terus disempurnakan dan melakukan berbagai upaya dalam rangka optimalisasi sistem perbankan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi sistem perbankan adalah pengembangan sistem perbankan Syariah.

Meski bank syariah terus berkembang setiap tahunnya, namun dikalangan masyarakat Indonesia masih belum mengenal apa dan bagaimana bank syariah menjalankan kegiatan bisnisnya. Dengan dikembangkannya perbankan yang dioperasikan berdasarkan prinsip syariah, diharapkan mobilisasi dana dan potensi ekonomi masyarakat muslim dapat dioptimalkan, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan peran sektor perbankan secara keseluruhan2.

Tingginya jumlah penduduk umat Islam di Indonesia merupakan peluang yang sangat besar bagi bank syariah dalam meraih nasabah Konsep perbankan syariah apabila dipandang dari ekonomi makro. Keberadaan Bank Syariah dalam sistem perbankan Indonesia merupakan bank umum yang berlandaskan pada prinsipsyariah

(hukum) Islam, sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992

2

(7)

tentang Perbankan yang telah di perbaharui dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 (Pasal 6 huruf m) yang selanjutnya diikuti dengan ditetapkannya ketentuan pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 yang telah diganti dengan PP No. 30 tahun 1999 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang RI No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan jasa perbankan masyarakat.

Dengan berlakunya kedua Undang-undang tersebut, perbankan nasional Indonesia mulai menerapkan sistem perbankan berganda atau dual banking system, yaitu adanya sistem perbankan konvensional dan syariah yang berlangsung dalam suatu negara. Penerapan dual banking system harus berlandaskan pada karakteristik dari masing-masing sistem, sehingga bank Indonesia sebagai bank sentral dalam menetapkan kebijakan harus tetap dalam kerangka kedua Undang-undang tersebut dan mengacu kepada prinsip-prinsip syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Perbedaan keduanya adalah Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dengan sistem bunga yang diyakini umat Islam sebagai diharamkan memiliki sifat inflatoir dan cenderung diskriminatif3. Sedangkan bank umum yang mendasarkan pada prinsip syariah lebih mengedepankan prinsip keadilan dan kebersamaan dalam berusaha, baik untuk memperoleh keuntungan maupun dalam menghadapi resiko. Dalam proses penghimpunan dana maupun penyaluran dana Bank Syariah menerapkan prinsip bagi hasil. Di dalam prinsip bagi hasil (profit 3

(8)

and loss sharing) secara otomatis risiko kesulitan usaha ditanggung bersama oleh pemilik dana dan pengguna dana. Ketertarikan lain yang menyebabkan prinsip bagi hasil ini semakin berkembang dan semakin diminati oleh masyarakat adalah bahwa prinsip bagi hasil lebih mendatangkan keuntungan yang lebih besar di banding dengan bank konvensional. Di dalam prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) secara otomatis resiko kesulitan usaha ditanggung bersama oleh pemilik dana dan pengguna dana.

Prinsip bagi hasil yang diterapkan Bank Syariah mengandung beberapa prinsip penerapan yang perlu dikaji untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul. Adapun permasalahan yang dihadapi oleh Bank Syariah dan nasabah Bank Syariah yaitu bagaimana perjanjian prinsip bagi hasil tersebut serta hambatan-hambatan dalam penerapan perjanjian prinsip bagi hasil tersebut. Dalam prakteknya, banyak

perbankan syariah yang menetapkan bagi hasil adalah dengan meminta setoran yang bersifat tetap pada nasabahnya. Besarnya bagi hasil yang sudah ditentukan di awal dan bersifat tetap itu hakikatnya sama dengan sifat dari sistem bunga dalam perbankan konvensional4.

Istilah bunga memang sudah dihilangkan, kemudian diganti dengan istilah bagi hasil, margin keuntungan dan upah. Namun dalam prakteknya, ternyata tidak jauh beda dengan apa yang dipraktekkan perbankan konvensional dalam memberikan

4

(9)

atau mengambil bunga kepada nasabahnya. Bank Syariah dibidang penyaluran dana kepada masyarakat mengintensifkan dua bidang yaitu perjanjian Mudharabah dan perjanjian Musyarakah. Hal ini ternyata menimbulkan persepsi dari masyarakat menganggap tidak ada bedanya antara margin keuntungan dalam Bank Syariah dengan bunga pada perbankan konvensional. Akibatnya masyarakat masih meragukan kemurnian Bank Syariah sehingga mereka tetap menggunakan jasa perbankan konvensional dan enggan beralih pada Bank Syariah.

Kondisi ini merupakan salah satu hambatan bagi perkembangan Perbankan Syariah pada umumnya. Berdasarkan perbedaan mendasar yang terjadi antara bank konvensional dan bank syariah ini terjadi hambatan-hambatan yaitu Persepsi Masyarakat tentang Sistem Bagi Hasil, operasional Bank Syariah dalam Praktek Perbankan Indonesia. Hal tersebut di atas terjadi karena Lembaga keuangan Sistem Bank Syariah mengacu pada UUPerbankan No 7/1992 dan Peraturan Pemerintah No 72/19925.

Dengan demikian lembaga keuangan Sistem Bank Syariah masuk dalam ukuran bank konvensional, sehingga dalam produk-produknya harus menyesuaikan dengan perundangan yang berlaku, jumlah bank-bank konvensional yang cukup banyak, yang beroperasi sampai pada tingkat-tingkat kecamatan bahkan sampai di desa-desa. Ini berarti persaingan cukup berat dihadapi oleh bank dengan sistem Bank Syariah, karena bank-bank syariah baru beroperasi pada tingkat kota-kota besar di

5

(10)

Indonesia. Akibatnya terdapat kesulitan dalam perjanjian sistem bagi hasil dalam pemberian kredit. Kredit yang disalurkan masih sangat minim bila dibandingkan dengan total dana masyarakat yang terhimpun, perkembangan produk bank konvensional yang sangat bervariasi dengan iming-iming hadiah yang sangat menggiurkan.

Sementara produk bank berdasarkan Sistem Bank Syariah belum banyak dikenal umat Islam, aplikasi teknologi canggih oleh bank-bank konvensional dalam rangka pelayanannya akan semakin menyulitkan keuangan dengan Sistem Bank Syariah untuk mengimbanginya.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut Bank Syariah melakukan cara dengan menunjukkan bahwa Bank syariah merupakan sistem Bank yang memiliki rasa keadilan daripada sistem Konvensional dan memperbaikan Operasional Bank Syariah di Indonesia dengan cara menambah kantor cabang di seluruh Indonesia

Dengan dikembangkannya perbankan yang dioperasikan berdasarkan prinsip syariah, diharapkan mobilisasi dana dan potensi ekonomi masyarakat muslim dapat dioptimalkan, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan peran sektor perbankan secara keseluruhan6. Oleh karena itu penulis tertarik meneliti lebih lanjut

dengan mengangkat judul “PERJANJIAN PRINSIP BAGI HASIL BANK

SYARIAH TERHADAP NASABAHNYA

7

(11)

B. PERMASALAHAN

Adapun permasalahan yang akan diteliti oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk perjanjian prinsip bagi hasil bank syariah terhadap nasabahnya?

2. Apa hambatan yang dihadapi bank syariah dalam perjanjian prinsip bagi hasil terhadap nasabahnya?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Untuk memahami, bagaimana bentuk perjanjian prinsip bagi hasil bank syariah terhadap nasabahnya.

3. Untuk memahami, apa hambatan yang dihadapi bank Syariah dalam perjanjian prinsip bagi hasil terhadap nasabahnya.

D. MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini dengan tujuan yang ingin dicapai, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi sebagai berikut :

1. Secara teoritis

(12)

2. Segi Praktis

(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Pasal-pasal yang mengatur perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ((KUH Perdata) terdapat dalam Buku Ketiga tentang perikatan pada Bab Kedua Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat. Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari hal ini, timbullah hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji kesanggupan yang diucapkan atau ditulis7.

Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata ini merupakan salah satu perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan: ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”.

7

(14)

Kata persetujuan dalam Pasal ini adalah perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua belah pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya8.

2. Asas-asas perjanjian

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak atau yang biasa disebut sistem terbuka dalam hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melaksanakan suatu perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar

ketertiban dan kesusilaan.

Sistem terbuka, yang mengandung suatu asas kebebasan, membuat perjanjian, dalam KUH Perdata dilihat dalam Pasal 1338 (1), yang berbunyi

”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagimereka yang membuatnya”.

Dengan menekankan pada perkataan semua, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjiian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-Undang. Atau dengan perkataan lain dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat Undang-Undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang

8

(15)

kita adakan itu9. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia adalah sebagai berikut10:

1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian;

2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; 3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausa dan perjanjian yang akan

dibuat;

4) Kebebasan untuk menentukan objek dan perjanjian; 5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

6) Kebebasan untuk menerima dan menyimpangi ketentuan Undnag-Undang yang bersifat opsional (aanvullend,optional).

b. Asas konsensualitas

Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualitas. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualitas bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak telah setuju atau bersepakat mengenai suatu hal.

Arti asas konsensualitas ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan11.

Asas konsensualitas ini didasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal ini menetapkan harus ada kesepakatan (konsensus) antara para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Pasal ini menyatakan bahwa untuk sahnya suatu

9

Ibid., hlm. 14.

10

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Indonesia,Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 47.

11

(16)

perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.

3. Syarat sahnya perjanjian

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa syarat-syarat sah perjanjian adalah: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal. a) Kesepakatan

Dengan sepakat atau juga yang dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dan perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, masing-masing pihak menghendaki sesuatu yang sarana timbal balik.

b) Kecakapan

(17)

tidak cakap. Persoalan cakap atau tidaknya seseorang berbuat hukum diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:

1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang dibawah pengampuan;

3) Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian. c) Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang ditentukan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya12.

d) Suatu sebab yang halal

Syarat keempat suatu perjanjian yang sah adanya sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belandaoorzaak, bahasa latincausa) dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian13. Terpenuhinya syarat sahnya perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat kedua belah pihak. Sejak tercapainya kesepakatan kedua belah pihak untuk saling mengikatkan diri maka sejak itulah lahir apa yang dinamakan perikatan dan dengan sendirinya kemudian timbul apa yang dinamakan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

12

Subekti, hlm. 19.

13

(18)

4. Berakhirnya perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Berakhirnya perjanjian menurut Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:

1) Karena pembayaran;

2) Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

3) Karena pembaharuan utang;

4) Karena perjumpaan utang atau kompensasi; 5) Karena percampuran utang;

6) Karena pembebasan utang;

7) Karena musnahnya barang yang terutang; 8) Karena kebatalan atau pembatalan; 9) Karena berlakunya suatu syarat batal; dan 10) Lewatnya waktu.

Dengan demikian, bila salah satu syarat yang dimaksud terjadi maka dengan sendirinya perjanjian akan menjadi batal, karena telah terpenuhinya unsur-unsur hapusnya atau berakhirnya sebuah perjanjian.

B. TINJAUAN TERHADAP PERBANKAN SECARA UMUM 1. Pengertian Bank

(19)

Bank adalah Badan Usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Menurut A. Abdurrahman, Bank adalah suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang beraneka ragam, seperti memberi pinjaman, mengedarkan mata uang, bertindak sebagai penyimpanan untuk benda-benda berharga, membiayai usahausaha perusahaan. Sedangkan menurut Henry Cambell dalam Blacks Low Dictionariy (1968).

Bank adalah suatu institusi yang mempunyai peran besar dalam dunia komersil, yang mempunyai wewenang untuk menerima deposito, memberikan pinjaman dan menerbitkanpromissory notes yang sering disebut dengan Bank Belles

atau Bank Notes. Namun demikian fungsi bank yang orisinil hanya menerima deposito berupa uang logam, plate, mas dan lain-lain14.

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan bank adalah lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga.

Dalam perkembangan dewasa ini, istilah bank yang dimaksudkan sebagai suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka ragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang,

14

(20)

bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk benda-benda berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan15.

Noah Webster16 menyatakan bahwa dalam suatu kamus, kata “bank” diartikan sebagai berikut :

1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang, untuk memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fund-fund tertentu dengan cek, notes dan lain-lain dan juga bank memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan memungut bunga.

2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut.

3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat beroperasinya perusahaan perbankan.

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 10 tahun 1998, dijelaskan pengertian perbankan adalah sebagai berikut :

“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan

kegiatan usahanya.”

Menurut Abdurrahman Perbankan (banking) ialah kegiatan dalam menjual-belikan mata uang, serta efek dan instrumen-instrumen yang dapat diperdagangkan. Sedangkan Sentosa Sembiring menyatakan17 bahwa bank adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum yang bergerak di bidang jasa keuangan. Bank sebagai Badan Hukum secara yuridis adalah merupakan subyek hukum yang berarti dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga.

15

M. Syafi’i Antonio,Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Tazkia Institute dengan Bank Indonesia, Jakarta, 1999, hlm 95-96.

16

Noah Webster, Dalam Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.13.

17

(21)

Menurut O.P Simorangkir pengertian Bank diartikan sebagai : “Salah satu

badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa. Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dana-dana yang dipercaya oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baruberupa uang giral.”

2. Jenis-jenis Bank

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, jenis bank dibagi menjadi 2 jenis yaitu18:

1. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/ atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Lembaga Perbankan di Indonesia, dapat dibagi dan digolongkan menjadi sebagai berikut19:

2.1. Dilihat dari Bidang Usahanya Bank ditinjau dari jenisnya ada 2 macam, yaitu : a. Bank Umum

Bank Umum mempunyai 2 bentuk yaitu Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah. Pasal 1 angka 3 UU No. 10 Tahun 1998 :

“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan / atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintaspembayaran.”

b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 18

Baca, Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 19

(22)

BPR mempunyai 2 bentuk yaitu BPR dan BPR Syariah. Pasal 1 angka 4 UU No. 10 Tahun 1998 :

“Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalamlalu lintas pembayaran.”

2.2. Dilihat dari Kepemilikannya

Dilihat dari kepemilikannya bank dapat dibagi dalam 2 golongan yakni20:

1. Bank Milik Pemerintah (Negara) artinya modal bank yang bersangkutan berasal dari pemerintah. Seperti BNI, BRI, BPD dan lain-lain.

2. Bank milik Swasta :

1) Swasta Nasional, artinya modal bank ini dimiliki oleh orang ataupun badan hukum Indonesia ;

2) Swasta Asing, artinya modal tersebut dimiliki oleh Warga Negara Asing (WNA) Badan Hukum Asing. Dalam hal ini ada kemungkinan bank ini merupakan kantor cabang dari negara asal bank yang bersangkutan ;

3) Disamping kedua jenis bank ini, dalam dunia Perbankan dikenal pula apa yang disebut dengan Bank Campuran.

Bank Campuran adalah bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan / atau Badan Hukum yang usahanya dikenal empat bentuk jenis bank, yaitu21:

1. Bank Sentral (Central Bank), adalah bank yang dapat bertindak sebagai bankers bank pimpinan, pengusaha moneter, mendorong dan mengarahkan semua jenis bank yang ada ;

1. Bank Sentral (Central Bank), adalah bank yang dapat bertindak sebagai bankers bank pimpinan, pengusaha moneter, mendorong dan mengarahkan semua jenis bank yang ada ;

2. Bank Umum (Commercial Bank), yaitu bank baik milik negara, swasta maupun koperasi, yang dalam pengumpulan dananya, terutama menerima simpanan dalam bentuk giro, deposito, serta tabungan dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek.

20

Sentosa Sembiring, Op.Cit, hlm 3-7.

21

(23)

Dikatakan bank umum karena bank tersebut mendapatkan keuntungannya dari selisih bunga yang diterima dari peminjam dengan yang dibayarkan oleh bank kepada depositor (disebut spread).

3. Bank Tabungan (Saving Bank), yaitu bank negara, swasta, koperasi, yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk tabungan, sedangkan usahanya terutama memperbungakan dananya dalam kertas berharga.

4. Bank Pembangunan (Development Bank), yaitu bank negara, swasta maupun koperasi baik pusat ataupun daerah, yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito dan / atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang, sedangkan usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang di bidang pembangunan. 2.4. Dilihat dari operasionalnya

Dilihat dari ruang lingkup operasional bidang usahanya, maka bank dapat dibagi dalam 2 golongan, yakni22:

1. Bank Devisa adalah bank yang memperoleh surat penunjukkan dari Bank Indonesia untuk melakukan usaha perbankan dalam valuta asing.

2. Bank Non Devisa, artinya bank tidak dapat melakukan usaha di bidang transaksi valuta asing.

3. Sistem Bunga dalam Bank Umum a. Pengertian Bunga

Pengertian bunga sebagaimana dinyatakan oleh Eri Sudewo23, bahwa bunga adalah pertumbuhan atau pertambahan nilai. Bunga merupakan perbuatan mengambil sejumlah uang yang berasal dari seseorang yang berutang secara berlebihan. Laba berbeda dengan bunga. Sebagai misal bunga deposito dalam sistem bank konvensional akan berbeda pada bank syariah yang berdasar prinsip bagi hasil. Pada bank konvensional, besar kecilnya bunga diperoleh deposan tergantung pada tingkat

22

Sentosa Sembiring, Op.Cit, hlm 7.

23

(24)

suku bunga yang berlaku, nominal deposito, jangka waktu deposito. Sedang pada bank syariah, besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan tergantung pada pendapatan bank, nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank, nominal deposito nasabah, rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu yang ada pada bank dan jangka waktu deposito karena berpengaruh pada lamanya investasi.

Dalam pandangan bank konvensional, imbalan selalu dihitung dalam bentuk bunga (dengan suatu prosentasi tertentu per tahun). Tingkat bunga yang dinyatakan dalam prosentase tertentu tersebut merupakan aspek penting dalam kegiatan usaha bank konvensional. Bunga bank dalam bahasaFiqihdiidentikkan dengan riba, sedang menurut bahasa (etimologis) bermaknaziyadah(tambahan).

b. Hukum Bunga Bank

Didalam Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 bahwa :

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

(25)

4. Pengertian Bank Syariah

Di dalam Pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 10 Tahun 1998, bahwa Bank Syariah adalah bank umum maupun bank perkreditan rakyat di dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah atau sesuai aturan dalam hukum Islam yang berdasarkan pada ALQUR’AN, Hadits, Ijma para sahabat dan Qiyas Ulama.

Di dalam Pasal 1 angka 13 UU No. 10 Tahun 1998 dijelaskan Pengertian prinsip syariah :

Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). (Pasal 1 ayat 13).

Istilah bank syariah terdiri dari dua kata, yaitu Bank dan Syariah, yang secara internasional terkenal dengan istilah Islamic Banking atau juga disebut juga dengan interest-free Banking24. Secara etimologis, kata “banco” dalam bahasa Italia, yang berarti peti atau lemari atau bangku. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya. Oleh karena itu usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan alat pelancar terjadinya perdagangan yang utama25.

24

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi, unit penerbit dan percetakan (UPP) AMPYKPN, Yogyakarta, 2005, hlm 13

25

(26)

Kelahiran Bank Syariah (Bank Islam) dilandasi bahwa segala sesuatu aktivitas seorang muslim harus didasarkan kepada syariat Islam. Islam tidak hanya mengatur mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadat), tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia (muamalat). Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk memunut maupun meminjami dengan perhitungan bunga (riba) dan larangan berinvestasi di dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak Islami (haram).

Dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI), Bank Indonesia mendefinisikan perbankan syariah sebagai berikut26: “ Bank syariah ialah

bank yang berasaskan antara lain pada asas kemitraan, keadilan, transportasi dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsipSyariah”.

5. Pengertian Bagi Hasil

Bagi hasil menurut terminologi asing (bahasa Inggris) dikenal dengan profit sharing.Profit dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definisiprofit sharing diartikan "distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu Perusahaan. Menurut Antonio, bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maa/) dan pengelola (Mudharib). Dengan demikian dari kedua pendapat tersebut

26

(27)

dapat diambil kesimpulan bahwa bagi hasil adalah suatu sistem pengelolaan dana dalam pembagian hasil usaha dapat terjadi antara bank dan penyimpan dana.

6. Perbedaan Bagi Hasil dengan Bunga

Bank syari'ah berdasarkan pada prinsip profit and loss sharing (bagi untung dan bagi rugi). Bank syari'ah tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai. Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Sistem ini berbeda dengan bank konvensional yang pada intinya meminjam dana dengan membayar bunga pada satu sisi neraca dan member pinjaman dana dengan menarik bunga pada sisi lain.

Kompleksitas perbankan Islam tampak dari keragaman dan penamaan instrumen-instrumen yang digunakan serta pemahaman dalil-dalil hukum Islamnya. Perbankan Syariah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya, pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Perbedaan yang mendasar antara sistem keuangan konvensional dengan Syari'ah terletak pada mekanisme memperoleh pendapatan, yakni bunga dan bagi hasil.

Dalam hukum Islam lama (fiqh), bagi-hasil terdapat dalam mudharabah dan

(28)

Perbedaan itu dapat dilihat dari tabel berikut ini.

No Bunga Bagi Hasil

1 Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.

Pcnentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.

2 Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan

Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

3 Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi

Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

4 Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan

ekonomi sedang “booming”.

Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan

5 Eksistensi bunga diragukan ( kalau tidak dikecam) oleh semua

agama, termasuk islam

Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

7. Perhitungan Bagi Hasil

(29)

bahwa Bank Syariah harus mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana, minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di bank-bank konvensional dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah daripada bunga yang berlaku di bank konvensional.

Bagi hasil Anda = ((nominal simpanan Anda / nominal seluruh simpanan nasabah) x porsi bagi hasil x Return bank pada bulan tersebut)

Misalnya seluruh simpanan nasabah adalah 100 milyar, simpanan Anda 100 juta. Porsi bagi hasil Anda 60 persen, dan keuntungan bank adalah 10 milyar. Maka bagi hasil Anda adalah :

Bagi hasil Anda = ((100 juta / 100 milyar ) x 60% x 10 milyar) = Rp. 600.000,-Bagi hasil yang akan Anda peroleh adalah 600 ribu rupiah. Dipotong pajak 20%, net adalah Rp. 480.000,-.

8. Prinsip-prinsip Bank Syariah

(30)

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaks jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an

tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap27:

1) Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada lahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atautaqarrubkepada Allah SWT.

2) Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT. mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.

3) Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman:

4) Tahap terakhir, Allah SWT. dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.

Prinsip larangan riba ini tidak hanya terdapat pada ajaran Islam, namun juga dapat dilihat pada agama lain. Perjanjian Baru memiliki tiga rujukan mengenai riba, dan Perjanjian Lama empat rujukan. Tiga rujukan tentang riba dalam Perjanjian Baru (Matius 25: 14-30, Lukman 19: 12-27, dan Matius 25: 27). Empat rujukan riba dari kitab Perjanjian Lama (Eksodus 22: 25, Levitikus 25: 35-7, Ulangan 23: 19-20, dan Mazmur 15: 1,5). Di India kuno, hukum yang berdasarkan Weda, kitab suci tertua agama Hindu, mengutuk riba sebagai sebuah dosa besar dan melarang operasi bunga.

27

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta,

(31)

Dalam agama Yahudi, kitab Taurat (bahasa Yahudi untuk Hukum Musa atau

Pantateuch, lima kitab Perjanjian Lama) melarang riba dikalangan bangsa Yahudi. Sebagai pengganti sistem bunga, maka bank syariah menerapkan berbagai cara yang bersih dan bebas dari unsur riba yaitu melalui prinsip-prinsip :

1. Wadiah ( titipan uang, barang dan surat berharga atau deposito). Wadiah ini biasa diterapkan oleh bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (rente/bunga), tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktudepositormemerlukannnya.

2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjianprofit and loss sharing). Denganmudharabahini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian. 3. Musyarakah/Syirkah (persekutuan). Di bawah kerjasama musrakah/syirkah

ini bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai andil (modal) pada usaha patungan (joint venture). Karena itu kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjianprofit and loss sharing.

(32)

5. Qiradh hasan ( pinjaman yang baik atau benevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjamannya tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.

6. Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yangprofitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara langsung, berbeda dengan investasi patungan maka menejemennya dilakukan oleh bank bersama patner usahanya dengan perjanjianprofit and loss sharing28:

Dari prinsip-prinsip diatas yang menjadi focus penelitian adalah Pembiayaan

musyarakahdanmudharabah. Sehubungan dengan prinsip syariah pada bank syariah seperti diuraikan diatas, maka terlihat suatu kemajuan yang sangat berarti dari segi peraturan perundang-undangan di sektor perbankan yang berprinsip syariah.

Undang Undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam ketentuan umum pasal 1 angka 12 disebutkan: Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

28

(33)

9. Pengaturan Hukum Positif Bank Umum Syariah

Sejak tahun 1992 dengan diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi tonggak lahirnya bank berdasarkan syariah. Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 6 huruf (m) UU No. 7 Tahun 1992 juncto Pasal 13 huruf (c) UU No. 10 Tahun 1998 dengan tegas membuka kemungkinan bagi bank untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya baik untuk Bank Umum maupun BPR (Bank Perkreditan Rakyat).

Kegiatan pembiayaan bagi hasil tersebut kemudian oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, diperluas menjadi kegiatan apapun dari bank berdasarkan prinsip syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kemudian di dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, telah memberikan landasan hukum kepada Bank Indonesia untuk menerapkan kebijakan moneter berdasar prinsip syariah, melakukan pengaturan serta pengawasan terhadap perbankan berdasar prinsipsyariah.

(34)
(35)

BAB III PEMBAHASAN

A. Bentuk Perjanjian Prinsip Bagi Hasil Bank Syariah Terhadap Nasabahnya. Bank dalam menjalankan usahanya selalu akan berusaha merekrut sebanyak-banyaknya nasabah yang pada prinsipnya setiap bank memberi harapan akan keuntungan-keuntungan yang diperoleh nasabahnya, sehingga ketika ada tawaran, nasabah menjadi tertarik dan pada akhirnya akan menabung atau meminjam. Bank sebagai perantara antar nasabah untuk menarik dan kemudian menyalurkan dana kepada kepada nasabah peminjam dilakukan dengan perhitungan keuntungan bunga.

Salah satu bank yang kini beroperasi di Indonesia adalah bank syariah yang memberi harapan kepada nasabahnya untuk memperoleh keuntungan dari setiap transaksi perbankan. Jika bank-bank umum lainnya memberikan keuntungan kepada nasabah berupa bunga, tetapi bank syariah memberikan keuntungan kepada nasabahnya dalam bentuk perjanjian bagi hasil. Adapun bentuk perjanjian bagi hasil tersebut antara lain perjanjian pembiayaan Al-Mudharabah dan perjanjian pembiayaan Al-Musyarakah29:

1. Perjanjian Pembiayaan Al-Mudharabah

Perjanjian Al-Mudharabah yaitu suatu perjanjian pembiayaan antara Bank dengan nasabah, di mana bank menyediakan 100% pembiayaan bagi usaha tertentu

29

(36)

(meliputi bidang pertanian, perikanan, industry kecil dan industri rumah tangga) dari nasabah. Nasabah mengelola usaha tersebut tanpa campur tangan dari Bank Syariah. Bank mempunyai hak untuk mengajukan usul dan melakukan pengawasan. Atas penyediaan dana pembiayaan tersebut Bank Syariah mendapat imbalan atau keuntungan yang besarnya ditetapkan atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Apabila terjadi kerugian atas usaha yang dibiayai tersebut, maka kerugian tersebut sepenuhnya ditanggung oleh Bank Syariah, kecuali apabila kerugian akibat dari kelalaian nasabah pengelola usaha.

Pada perjanjian mudharabah (yang selanjutnya disebut sebagai perjanjian) yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak yang menjalankan usaha (untuk selanjutnya disebut mudharib) dengan PT. Bank Syariah sebagai pihak yang menyediakan dana (untuk selanjutnya disebutshahibul maal), bahwa mudharib dalam rangka menjalankan kegiatan dan memperluas usahanya memerlukan sejumlah dana dan untuk memenuhi hal ini telah meminta Bank Syariah untuk memberikan pembiayaan yang keuntungannya akan dibagi secara bagi hasil (mudharabah) dan Bank Syariah menyetujui untuk menyediakan pembiayaan tersebut kepadaMudharib

sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Mudharabah. Sebagaimana dinyatakan oleh Mariam Darusbadrulzaman30.

Bahwa perjanjian bagi hasil di terapkan antara bank dengan nasabah tanpa

perhitungan bunga, perjanjian ini dalam system hukum perdata termasuk

30

(37)

lingkup perjanjian pembiayaan yang merupakan perjanjian bersama di luar

KUH Perdata.

Kedua belah pihak (Bank Mandiri Syariah danMudharib) telah sepakat bahwa untuk maksud tersebut kedua belah pihak menandatangani dan melaksanakan suatu perjanjian berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan bagi hasil.

a. Ketentuan Bagi Hasil dalam Perjanjian Pembiayaan Al-Mudharabah Ketentuan bagi hasil adalah sebagai berikut :

a. Kesepakatan bagi hasil antara Bank Syariah dan Mudharib yang di bagikan sesuai dengan nisbah yang disepakati bersama yakni pendapatan dari hasil penjualan sebelum dikurangi biaya.

(38)

Syariah akan dihitung kembali pada setiap kuartal setelah diterimanya laporan akuntan public yang disebut pada setiap bulan. Dalam hal tidak ada pendapatan atau bahkan merugi, maka penutupan kerugian tersebut diambil dari jumlah pokok pembiayaan yang di atur sebagai berikut sebagaimana tersebut dibawah ini.

c. Dalam hal terjadi kerugian :

Bank Syariah hanya menanggung kerugian yang timbul disebabkan hal-hal di luar batas kemampuan Mudharib (Force Majeure). Dengan tidak mengurangi dalam ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata : Pasal 1244 KUH Perdata :

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan bunga, bila tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada ikatan buruk padanya.

Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata:

Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur berhalangan untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melakukan suatu yang diwajibkan atau melakukan sesuatu yang terlarang olehnya.

(39)

yang menyebabkan Mudharib untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga yaitu :

a) Perang, pengambil-alihan (baik yang diumumkan atau tidak), pendudukan, tindakan negara atas musuh, kerusuhan masal dan sabotase;

b) Bencana alam, termasuk tapi tidak terbatas pada gempa bumi, banjir, halilintar, pergerakan tanah, dan keadaan cuaca yang sangat buruk.

c) Pemogokan buruh yang menyebabkan terganggunya usaha yang timbul bukan karena kesalahan Mudharib atau kontraktornya atau sub kontraktornya.

Dalam hal terjadi force majeure sebagaimana tersebut di atas, maka Bank Syariah akan menerima dan mengakui kerugian tersebut setelah menerima, menilai kembali dan menyampaikan hasil penilaiannya secara tertulis kepadaMudharibyang berisi laporan keuangan dari konsultan yang telah diaudit oleh akuntan publik, pernyataan dari pengurus perusahaan-perusahaan secara tertulis yang disampaikan oleh Bank Syariah mengenai kerugian tersebut dan dokumen-dokumen yang sah yang berkaitan dengan usaha yang dibiayai oleh Bank Mandiri Syariah.

(40)

seperdua, sepertiga, atau seperempat31. Dengan tidak mengurangi kebutuhan dalam perjanjian Bank Mandiri Syariah baru berkewajiban memberikan perjanjian pembiayaan kepada Mudharib, jika telah dipenuhi semua persyaratan sebagai berikut32:

a) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal penggunaan pembiayaan, Bank Mandiri Syariah telah menerima sebuah dokumen yang diuraikan dalam lampiran yang di tunjukkan (dilampirkan) pada minit akte perjanjian (semua dalam bentuk dan isi yang disetujui Bank Mandiri Syariah). b) Telah dibuat perjanjian dan telah ditandatangani sebagaimana mestinya baik

asli atau salinan resminya telah diserahkan kepada Bank Mandiri Syariah. c) Surat pernyataan dan kesanggupan telah dibuat dan ditandatangani dengan

sebagaimana mestinya dan asli atau salinan resminya telah diserahkan kepada Bank Mandiri Syariah.

d) Bank Mandiri Syariah telah menerima dokumen, pernyataan, pendapat dari segi hukum atau akta lain yang secara wajar diminta oleh Bank Mandiri Syariah.

Syarat perjanjian pembiayaan bagi hasil (Al-Mudharabah) yang menjadi pertimbangan bagi operasionalisasi Bank Mandiri Syariah dalam memberikan pembiayaan Mudharabahadalah33:

a. Modal Mudharabah harus merupakan mata uang penuh yang ditentukan sewaktu akad dan diserahkan kepada pihak pengusaha setelah selesai ijab qabul, sesuai dengan cara-cara yang telah disepakati.

b. Persentase pembagian keuntungan yang ditentukan hanya untuk satu pihak saja atau menetapkan sejumlah uang dari keuntungan yang akan didapat bagi salah satu pihak adalah tidak sah.

c. Dasar bagi pembiayaanMudharabah ialah modal berasal dari pihak pemodal (Bank Mandiri Syariah) sedang kerja dilakukan pihak perusahaan. Oleh

31

M. Nejatunlah Siddiqi, terjemah, Fahriyah, Kemitraan Usaha dan bagi hasil dalam hukum Islam, Yogyakarta, 1996, hlm. 19

32

. Hasil wawancara dengan Ibu Nur Aini Selaku Sekretaris Bank Mandiri Syariah Medan Simpang Kampus USU tanggal 2 Juli 2013

33

(41)

karena itu adalah tidak sah apabila penetapan kerja dilakukan oleh pihak pemodal.

d. Bila perjanjian pembiayaan mudharabah mengalami kerugian maka kerugian tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pemodal, pihak pengusaha menanggung kerugian karena tidak mendapatkan manfaat dari jerih payahnya. Jika usaha tersebut hanya kembali modal, maka modal tersebut sepenuhnya untuk pihak pemodal, sedangkan pihak pengusaha tidak mendapatkan bagian.

e. Mudharabah dapat dibubarkan oleh pemilik modal pada waktu kapanpun sebelum usaha tersebut dimulai oleh pihak pengusaha.

f. Proyek atau usaha yang dilakukan haruslah usaha halal.

g. Kedua belah pihak yang akan mengadakan mudharabah haruslah cakap dan sah secara hukum untuk melakukan perikatan.

h. Pengusaha petidak boleh mencampurkan hartaMudharabahdengan harta lain atau harta milik pribadi kecuali hal seperti itu sudah menjadi adat kebiasaan setempat.

i. Apabila pengusaha hendak menjalankan Mudharabah dengan pihak ketiga, di mana pengusaha di sini berperan sebagai pemilik modal pada akad dengan pihak ketiga tersebut, maka pihak pengusaha diwajibkan untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pemilik modal dengan syarat pengeluaran tersebut berada dalam batas kewajaran.

j. Apabila pihak pengusaha dalam menjalankan proyek melanggar perjanjian yang telah disepakati, maka pihak pengusaha bertanggung jawab terhadap semua risiko kerugian dari proyek atau usaha yang tengah dijalankannya dan wajib membayar sepenuhnya modal yang telah diberikan oleh pihak pemodal. k. Perjanjian Mudharabah selesai dengan habisnya jangka waktu yang telah

ditentukan dalam perjanjian.

l. Pihak pemodal karena sesuatu hal yang membahayakan berhak memecat pengusaha dengan diberikan peringatan terlebih dahulu.

m. Apabila terjadi aksi pembatalanMudharabah maka semua modal dan untung adalah menjadi hak pemodal dan pengusaha berhak menuntut upah yang setimpal dengan perhitungan yang telah dijalankannya.

n. Apabila terjadi suatu kerusakan atau kerugian dalam Mudharabah, maka penggantian kerusakan tersebut haruslah diambil dari keuntungan bila ada, kalau tidak mencukupi baru diambil dari modal. Pihak pengusaha tidak diwajibkan mengganti kerusakan atau kerugian ini kecuali hal tersebut terjadi karena kesengajaan atau kelalaian.

o. PerjanjianMudharabahberakhir dengan matinya salah satu pihak.

p. Pemindahan hendaknya merencanakan terlebih dahulu secara matang tentang usaha, tempat/ lokasi, pasar dan jumlah biaya yang dibutuhkan.

(42)

r. Peminjam dalam mencicil pinjaman dan bagi hasil harus tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

b. Berakhirnya Perjanjian PembiayaanAl-Mudharabah.

Berakhirnya perjanjian Pembiayaan Al-Mudharabah dalam praktek Bank Syariah, adalah sebagai berikut:

1. Mudharibtelah membayar lunas pembiayaan yang telah diterimanya.

2. Bank (Shahibul Maal) membatalkan perjanjian Mudharabah karena

Mudharib terbukti melakukan wanprestansi yang diikuti dengan adanya tuntutan dari bank terhadap pembiayaan mudharabah yang telah diterima dari bank (Shahibul Maal).

3. Objek dari pembiayaan musnah yang bukan disebabkan oleh kesalahan

mudharib atau disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeure), seperti objek pembiayaannya musnah karena bencana alam.

4. Proyek usaha Mudharib yang dibiayai oleh bank (Shahibul Maal) mengalami kerugian total (total loss), sehingga mudharib tidak mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk mengembalikan pembiayaannya kepada bank (shahibul Maal). Hal ini terjadi karena keadaan memaksa (force majeure), seperti proyek usaha mudharib tertimpa bencana alam.

5. Bank (Shahibul Maal) mengakhiri pembiayaan apabila usaha mudharib terus-menerus mengalami kerugian. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh adanya kesalahan dalam analisis pembiayaan, produk yang dihasilkanmudharibtidak

(43)

deregulasiatau peraturan pemerintah yang menghambat pemasaran dari usaha

mudharib atau menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi tidak sesuai dengan daya beli masyarakat.

Resiko yang terdapat dalam perjanjian pembiayaan Al-Mudharabah relatif tinggi, yaitu :

a) Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang tersebut dalam kontrak;

b) Lalai dan kesalahan yang disengaja;

c) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.

2. Perjanjiann PembiayaanAl-Musyarakah.

Perjanjian Pembiayaan Al-Musyarakah yaitu satu perjanjian pembiayaan antara Bank Syariah dengan nasabah, di mana Bank Syariah menyediakan sebagian dari pembiayaan bagi usaha atau kegiatan tertentu, sebagian lainnya disediakan oleh mitra usaha (mudharib). Dalam hal ini, Bank Syariah dapat ikut serta dalam manajemen usaha tersebut.

(44)

Dalam perjanjian perjanjian pembiayaan Al-Musyarakah (yang selanjutnya disebut perjanjian) yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak Bank Syariah dan nasabah (Mudharib), bahwa mereka masing-masih telah setuju untuk membuat perjanjian pembiayaanmusyarakahdengan memakai syarat dan ketentuan bagi hasil.

a. Syarat dan Ketentuan bagi hasil pada perjanjian pembiayaanAl-Musyarakahadalah sebagai berikut :

1. Bank Syariah bersepakat kepadamudharibbahwa bank akan :

a) Menyediakan seluruh pembiayaan modal asset dan pembiayaan modal kerja berdasarkan perjanjian pembiayaan Al-Musyarakah ke rekening giro

mudharibpada tanggal pencairan.

b) Setiap hal yang berkaitan dengan penetapan kebijaksanaan yang menyangkut proyek akan dikonsultasikan kepada nasabah pada setiap kondisi yang dibutuhkan, agar jaminan penerapan dari perjanjian pembiayaan

Al-Musyarakah adalah benar, tetapi tidak ada keharusan bagi Bank Mandiri Syariah untuk bermusyawarah bagi sesuatu yang menyangkut hak bank. 2. Kompensasi bagiMudharib, adalah :

(45)

b) Mudharibakan menyediakan jasa operasi dan pengeluaran seperti yang tertera pada lampiran, khususnya dalam perubahan kompensasi yang tertera pada lampiran sebagai pengeluaran proyek dan diberikan hak kepadanya selain jumlah yang berkaitan dengan pelayanan jasa operasi atau pengeluaran yang telah disebutkan.

3. Partisipasi masing-masing pihak (Bank Syariah dan Mudharib dalam pembagian pendapatan) adalah :

a) Pendapatan yang didapat dibagi yang diridhlohi Allah SWT jika ada pertama kali akan dialokasikan secara kuwartalan, ketika pendapatan yang dapat dibagi positif sebagaimana tertera pada buku proyek (alokasi untuk pembiayaan modal kerja 65% dan alokasi untuk pembiayaan modal asset 35%).

b) Selanjutnya alokasi pebiayaan modal kerja dan modal asset akan dikredit pada akhir kwartal secara terpisah kerekening Mudharib dan rekening bank dalam proporsi seperti kontribusi yang dijanjikan pada masing-masing pembiayaan modal kerja dan pembiayaan modal asset sebagaimana yang disepakati. 4. Partisipasi kerugian, jika ada, akan dipikul oleh Mudharib dan Bank Syariah

(46)

dan untuk melaksanakan pembayaran pada saat tanggal pencairan Mudharib akan menyimpan dana sebagai jaminan rekening deposito.

b. Manfaat dan resiko perjanjian pembiayaan secara Musyarakah diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

b) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan / hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalaminegative spread.

c) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow / arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

d) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan karena keuntungan yang benar-benar-benar-benar terjadi itu yang akan dibagikan.

e) Perjanjiann prinsip bagi hasil Mudharabah maupun Musyarakah berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagihi penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Risiko yang terdapat dalam Al-Musyarakah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi, yaitu :

(47)

2. Lalai dari kesalahan yang disengaja.

3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah itu bila nasabahnya tidak jujur.

Skema Perjanjian Bank Syariah dengan Nasabahnya

Perjanjian Antara Bank dan Nasabah

1. Pertanian 2. Perikanan 3. Industri kecil

4. Industri rumah tangga

B. Hambatan yang dihadapi oleh Bank Syariah dalam perjanjian prinsip bagi hasil terhadap nasabahnya.

Sebagai institusi bisnis yang masih berada pada tahap awal perkembangan, Bank Syariah di tanah air sampai saat ini masih menghadapi berbagai hambatan, antara lain masih adanya sebagian masyarakat kita yang salah persepsi tentang bank syariah dan kurang memahami konsep bunga dari Bank Syariah sehingga menganggap sistem bagi hasil bank syariah lebih merugikan bila dibandingkan sistem

Bank Syariah

Perjanjian Al-M usyarakah Perjanjian Pembiayaa

Al-M udharabah

(48)

bunga bank Konvensional. Memperhatikan laju ekspansi di Bank Syariah dalam tahun-tahun terakhir ini telah menunjukkan kelangsungan dan kelayakan sistem operasi tanpa berdasarkan bunga. Hal ini tentu mengejutkan siapa saja yang percaya bahwa bank dan sistem keuangan tidak akan dapat beroperasi dalam suatu ekonomi modern tanpa bergantung pada mekanisme tingkat bunga.

Pengalaman selama enam tahun Bank Syariah beroperasi melalui empat sistem produk pembiayaan yaitu, bagi hasil atas kontrak Mudharabah dan kontrak

Musyarakah, keuntungan atas kontrak jual beli (al- bai), hasil sewa atas kontrak

IjarahdanIjarah Wa IqtinadanFeedan biaya administrasi atas jas-jasa Syariah lain. Bank Syariah dibidang penyaluran dana kepada masyarakat mengintensifkan dua bidang yaitu perjanjian pembiayaan Mudharabah dan perjanjian pembiayaan

Musyarakah.

Hal ini ternyata menimbulkan persepsi dari masyarakat menganggap tidak ada bedanya antara margin keuntungan dalam Bank Syariah dengan bunga pada perbankan konvensional. Akibatnya masyarakat masih meragukan kemurnian Bank Syariah sehingga mereka tetap menggunakan jasa perbankan konvensional dan enggan beralih pada Bank Syariah. Kondisi ini merupakan salah satu hambatan bagi perkembangan Bank dan Perbankan Syariah pada umumnya.

(49)

belah pihak baik peminjam ataupun pihak bank. Berdasarkan perbedaan mendasar yang terjadi antara bank konvensional dan bank syariah ini terjadi hambatan-hambatan yaitu34:

1. Persepsi Masyarakat tentang Sistem Bagi Hasil

Persepsi masyarakat yang menganggap bahwa keuntungan nasabah yang melakukan akad kredit untuk usaha/investasinya yang didapat dari bank syariah pada akhirnya saat pengembalian kredit bila dihitung-hitung ternyata lebih banyak jumlahnya bila dibandingkan dari sistem bunga pada bank konvensional, sehingga nasabah merasa rugi, dan akhirnya memilih bank konvensional sebagai tempat kredit. Hal ini dapat dipahami karena sistem bagi hasil dihitung berdasarkan jumlah laba yang diperoleh berdasarkan dari modal yang dipinjamkan. Sedangkan pada bank konvensional, bunga sudah ditetapkan pada saat akad kredit sehingga laba yang besar yang diperoleh oleh nasabah akan dapat dinikmatinya sendiri.

Ditambah lagi dengan masih adanya silang pendapat diantara umat Islam tentang suku bunga dilihat dari hukum Islam. Ada ulama yang mengharamkan bunga bank (riba), sementara ada juga ulama yang membolehkan rente dalam transaksi pinjam-meminjam asalkan tidak untuk tujuan konsumsi. Ketidakpastian pendapat ulama ini akhirnya berpengaruh pada umat Islam untuk mengambil bank konvensional dalam memperoleh kredit.

34

(50)

2. Standar Fatwa Dewan Syariah Nasional

Dewan Syariah Nasional berfungsi mengeluarkan fatwafatwa yang diperlukan sebagai referensi bagi kegiatan operasional dan transaksi. Transaksi serta piranti-piranti yang digunakan dalam system perbankan dan keuangan syariah yang diperlukan untuk menjamin agar undang-undang perbankan dan peraturan pelaksanaannya benar-benar dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Lembaga ini juga melakukan audit kesyariahan terhadap perbankan dan lembaga keuangan syariah. Namun demikian dalam prakteknya ternyata keseragaman fatwa tentang beberapa produk perbankan syariah. Hal ini disebabkan setiap Dewan Pengawas Syariah di setiap institusi dapat mengeluarkan fatwanya sendiri yang memiliki kemungkinan berbeda dengan yang lain. Kondisi yang demikian ini yang dapat membingungkan umat dan menyulitkan pelaksanaan di lapangan.

3. Operasional Bank Syariah dalam Praktek Perbankan Indonesia

Sebagai suatu institusi yang baru di Indonesia, lembaga keuangan yang menganut sistem bank syariah antara lain menemui hambatan/permasalahan sebagai berikut :

(51)

2. Jumlah bank-bank konvensional yang cukup banyak, yang beroperasi sampai pada tingkat-tingkat kecamatan bahkan sampai di desa-desa. Ini berarti persaingan cukup berat dihadapi oleh bank dengan Sistem Bank Syariah, karena bank-bank syariah baru beroperasi pada tingkat kota-kota besar di Indonesia.

3. Umat Islam di Indonesia telah mengenal dunia perbankan sejak lama, tetapi dengan lembaga keuangan Sistem Bank Syariah belum begitu akrab. Akibatnya terdapat kesulitan dalam menerapkan sistem bagi hasil dalam pemberian kredit. Kredit yang disalurkan masih sangat minim bila dibandingkan dengan total dana masyarakat yang terhimpun.

4. Perkembangan produk bank konvensional yang sangat bervariasi dengan iming-iming hadiah yang sangat menggiurkan. Sementara produk bank berdasarkan Sistem Bank Syariah belum banyak dikenal umat Islam.

5. Aplikasi teknologi canggih oleh bank-bank konvensional dalam rangka pelayanannya akan semakin menyulitkan keuangan dengan Sistem Bank Syariah untuk mengimbanginya.

Hambatan yang lain adalah:

1. Belum adanya kesiapan nasabah menerima bagi hasil yang rendah atau tanpa imbalan sama sekali.

(52)

3. Belum dipahami nasabah bahwa pada tahap awal, khususnya pada masa 3 bulan pertama kondisi masih zero. Sebab pada tahap ini Bank memulai dengan modal saja, tanpa tabungan. Dan mungkin baru kira-kira enam bulan, Bank baru mendapatkan tabungan.

4. belum ada standar yang cocok bagi bank syariah dalam format pelaporan keuangan secara internasional.

5. Berhubungan erat dengan fondasi filasafat dan peran/fungsi transaksi dalam masyarakat.

6. Pemisahan agama dari aktifitas ekonomi.

Dalam rangka untuk mengatasi hambatan tersebut di atas, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yang handal dan professional, suatu bank termasuk perbankan syariah dapat melakukan usaha/ kegiatan dengan baik, sehingga dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat sebagai nasabahnya.

(53)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Bentuk perjanjian Prinsip bagi hasil pada Bank Syariah terdiri dari perjanjian pembiayaan Al-mudharabah dan Perjanjian pembiayaan Al-musyarakah. Bank Syariah yang didasarkan pada kepercayaan terhadap nasabah dan apabila terjadi kerugian maupun mendapat keuntungan dalam pembiayaan terhadap nasabah, maka resiko akan ditanggung bersama antara pihak Bank Syariah dengan nasabah. Konsep Bank Syariah berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi Islam.

2. Hambatan yang dihadapi Bank Syariah dalam perjanjian pembiayaan prinsip bagi hasil adalah belum adanya Sumber Daya Manusia Insani yang menguasai mengenai perbankan syariah, sehingga nasabah yang mendapatkan perjanjian pembiayaan dari Bank Syariah, apabila terjadi kemacetan dalam pengembalian dana masih mendasarkan pada peraturan bank konvensional serta mengenai persepsi masyarakat tentang sistem bagi hasil yang mengatakan tidak ada bedanya dengan sistem konvensional.

B. Saran

(54)

berdasar prinsip bagi hasil dan juga harus didukung dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Abdurrahman, Hukum Perbankan Modern berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Adiwarman A Karim,Analisis Fiqh dan Keuangan, edisi ke 3, Elip, Jakarta 2008. Bank Indonesia,Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia, Jakarta 2005

Antonio M. Syafi’i, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Tazkia Institute dengan Bank Indonesia, Jakarta, 1999.

Djumhana Muhammad, Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Eri Sudewo, Ekonomi Bebas Bunga, Dalam kata pengantar Buku PAS (Pedoman Akuntansi Syariah) Panduan Praktis Operasional Baitul Mal Wat Tamwil, Bandung 1999.

Fuadi Munir,Hukum Perbankan Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung 1999. Mariam Darus badrulzaman, Kerangka Dasar Hukum Perjanjian /Kontrak, elip,

Jakarta, 1998.

Margono Slamet, Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syariah, Tiara Wacana, Semarang, 2008.

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi, unit penerbit dan percetakan (UPP) AMPYKPN, Yogyakarta 2005.

M. Nejatunlah Siddiqi, terjemah, Fahriyah,Kemitraan Usaha dan bagi hasil dalam hukum Islam, Yogyakarta, 1996.

Rastono, Penerapan Prinsip Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Terhadap Nasabah Bank Syariah, Tesis UNDIP, 2008.

(56)

Sjahdeini,Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia Jakarta, 1993.

Subekti,Hukum Perjanjiancetakan kesepuluh, Intermasa, Jakarta, 1985. Tulus Siambaton,Hukum Perbankan,Nommensen Press, Medan, 2012.

Umar Chopra dan Tariqullah Khan, Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah, Kencana, Jakarta, 2008.

Yusuf al-Qardhawi,Bunga Bank Haram, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dari buku Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, Akbar Media Eka Sarana Jakarta, 2003.

Zulkarnain, Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syariah, Gema Insani Press Jakarta, 2000.

II. Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Nomor 6 tahun 2009 tentang Bank Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bagi Hasil yang dirubah dengan PP Nomor 30 tahun 1999.

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah.

III. Internet

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian memberikan bahwa varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter Tinggi Tanaman dan pemberian pupuk NPKMg memberikan pengaruh yang

Berdasarkan data yang didapat di lapangan tugas wakil kepala bidang kurikulum di MTs Tarbiyatul Islamiyah Salak Klakahkasihan Gembong Pati adalah bertugas membantu

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan..

karya mural yang dikerjakan para perupa bersama masyarakat yang merupakan proyek mural Jogja Mural Forum (JMF), baik pelaku seni tradisi (proyek mural “Tanda Mata dari Jogja” tahun

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan, maka didapat identifikasi masalah yaitu : Bagaimana perkembangan produktivitas bawang merah di

Paneso yakni daerah yang paling sentral dari Sakai pada tahun

Tahun 1934: Arsip Nasional Amerika Serikat didirikan oleh Kongres Amerika Serikat sesuai amanat Undang-undang Arsip Nasional sebagai lembaga federal independen yang

Adanya hasil yang beragam dan terjadinya research gap dari penelitian terdahulu pada perusahaan Go Public yang mengalami underpricing, maka penulis tertarik untuk