• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Human-Computer Interaction (HCI)

1. Pengertian Technology Acceptance Model (TAM)

Technology Acceptance Model (TAM) merupakan suatu teori yang menjelaskan penerimaan individu terhadap penggunaan sistem teknologi informasi. Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Davis (1989). Teori ini merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned Action atau TRA oleh Ajzen dan Fishbein (1980). Model TRA dapat diterapkan karena keputusan yang dilakukan individu untuk menerima suatu teknologi sistem informasi merupakan tindakan sadar yang dapat dijelaskan dan diprediksi oleh minat perilaku. TAM menambahkan dua konstruk utama ke dalam model TRA yaitu perceived usefulness dan perceived ease of use. TAM berargumentasi bahwa penerimaan individu terhadap

teknologi didasarkan pada kedua konstruk tersebut (Jogiyanto, 2007: 111-112).

Gambar 3: Technology Acceptance Model (TAM) Sumber: Jogiyanto (2007)

Lima konstruk utama dalam Technology Acceptance Model (TAM) (Jogiyanto, 2007) adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Persepsian (Perceived Usefulness)

Davis (1989) mendefinisikan kegunaan persepsian sebagai “the degree to which a person believes that using a particular system would enhance his or her job performance”, yang artinya sejauh mana seseorang percaya bahwa penggunaan suatu sistem dapat meningkatkan kinerja kerjanya.

Jogiyanto (2007:114) mengemukakan bahwa kegunaan persepsian (perceived usefulness) merupakan suatu kepercayaan (belief) tentang pengambilan keputusan. Dengan demikian jika seseorang merasa percaya bahwa sistem informasi berguna maka dia akan menggunakannya. Sebaliknya jika seseorang merasa percaya bahwa

sistem informasi kurang berguna maka dia tidak akan menggunakannya.

Kegunaan persepsian (perceived usefulness) jika dikaitkan dengan e-commerce berkaitan dengan seberapa besar konsumen merasa bahwa dalam menggunakan website maupun aplikasi e-commerce dapat meningkatkan efektivitas pekerjaannya. Selain itu jika seorang konsumen mengetahui manfaat apa saja yang didapat dalam menggunakan e-commerce maka konsumen tersebut akan menggunakannya. Davis (1989) mengemukakan bahwa terdapat enam indikator untuk mengukur konstruk kegunaan persepsian (perceived usefulness) yaitu pekerjaan lebih cepat selesai (work more quickly), meningkatkan kinerja (job performance), meningkatkan produktivitas (increase productivity), meningkatkan efektivitas kerja (effectiveness), memudahkan pekerjaan (makes job easier), dan berguna (Useful) (dalam Jogiyanto, 2007: 152).

b. Kemudahan Penggunaan Persepsian (Perceived Ease of Use)

Davis (1989) mendefinisikan kemudahan penggunaan (perceived ease of use) sebagai "the degree to which a person believes that using a particular system would be free of effort". Artinya sejauh mana seseorang percaya bahwa menggunakan suatu teknologi akan bebas dari usaha. Saat sebuah sistem informasi atau sebuah aplikasi dianggap lebih mudah digunakan mungkin sistem tersebut akan lebih diterima oleh pengguna.

Jogiyanto (2007:115) menyimpulkan bahwa jika seseorang merasa percaya bahwa sistem informasi mudah digunakan maka dia akan menggunakan. Sebaliknya jika seseorang merasa percaya bahwa sistem informasi tidak mudah digunakan maka dia tidak akan menggunakannya.

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kemudahan penggunaan persepsian (perceived ease of use) jika dikaitkan dengan e-commerce berkaitan dengan seberapa mudah e-e-commerce tersebut digunakan, seperti mudah dioperasikan, mudah dipahami, dan mudah diakses. Maka ketika pengguna merasa e-commerce tersebut mudah digunakan kemungkinan besar pengguna teknologi akan menggunakan website atau aplikasi e-commerce tersebut. Davis (1989) mengemukakan bahwa terdapat enam indikator untuk mengukur konstruk kemudahan penggunaan persepsian (perceived ease of use) yaitu kemudahan sistem untuk dipelajari (easy of learn), kemudahan sistem untuk dikendalikan (controllable), interaksi dengan sistem yang jelas dan mudah dimengerti (clear and usderstandable), fleksibilitas interaksi antara pengguna (user) dengan sistem (flexibility), mudah untuk terampil menggunakan sistem (easy to become skillful) dan mudah untuk digunakan (easy to use) (dalam Jogiyanto, 2007: 152). c. Sikap Terhadap Perilaku (Attitude Toward Behavior)

Sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) didefinisikan oleh Davis et al. (1989) sebagai “an individual’s positive or negative

feelings about performing the target behavior”. Artinya perasaan positif atau negatif dari seseorang jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan. Menurut Mathieson (1991) sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) sebagai “the users’s evaluation of the desirability of his or her using the system”, yang diterjemahkan sebagai evaluasi pemakai tentang ketertarikannya menggunakan sistem (dalam Jogiyanto, 2007:116).

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa perasaan positif dan negatif merupakan sesuatu yang muncul dari pribadi seseorang sebagai pertimbangan untuk berperilaku baik maupun buruk. Seseorang yang memiliki perasaan positif atau negatif terhadap suatu teknologi dapat memengaruhi perilakunya dalam melakukan sesuatu yang berkaitan dengan sistem serta dapat memengaruhi ketertarikannya dalam menggunakan teknologi. Seseorang akan berperilaku sesuai yang dirasakannya. Jika seseorang memiliki sikap positif terhadap teknologi maka perilaku seseorang dalam menilai sistem akan semakin baik dan tertarik untuk menggunakan sistem tersebut. Sebaliknya jika seseorang memiliki sikap negatif terhadap suatu sistem maka perilaku seseorang dalam menggunakan sistem akan buruk dan tidak tertarik untuk menggunakan sistem tersebut

d. Minat Perilaku (Behavior Intention) atau Minat Perilaku Menggunakan Teknologi (Behavior Intention to Use)

Minat perilaku (behavior intention) atau minat perilaku menggunakan teknologi (behavior intention to use) adalah suatu keinginan (minat) seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Minat tidak selalu statis. Minat dapat berubah dengan berjalannya waktu (Jogiyanto, 2007).

Minat perilaku yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keinginan yang ditunjukkan oleh konsumen dalam melakukan pembelian menggunakan aplikasi maupun website. Konsumen memiliki keinginan dari dalam dirinya untuk melakukan suatu transaksi pembelian terhadap suatu produk saat menggunakan suatu teknologi. Minat perilaku ini dapat dikatakan sebagai suatu perencanaan yang akan menentukan seseorang dalam melakukan tindakannya atau berperilaku dalam menggunakan teknologi dan dapat berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu.

e. Perilaku (Behavior)

Perilaku (behavior) adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Dalam konteks penggunaan sistem teknologi informasi, perilaku (behavior) adalah penggunaan sesungguhnya (actual use) dari teknologi (Jogiyanto, 2007).

Perilaku ini merupakan tanggapan dari diri seseorang untuk melakukan tindakan yang berasal dari minat atau keinginan yang

dimilikinya. Seseorang yang memiliki minat yang besar dalam hal ini menggunakan suatu teknologi, kemungkinan akan melakukan tindakan atau perilaku untuk memenuhi keinginannya, sehingga minat yang dimiliki akan terwujud.

Pengukuran yang digunakan untuk mengukur perilaku seseorang pada penggunaan sesungguhnya (actual usage) banyak diganti dengan pemakaian persepsian (perceived usage) karena tidak dapat diobservasi oleh peneliti menggunakan daftar pertanyaan. Davis (1989) menggunakan pengukuran pemakaian sesungguhnya (actual usage), dan Igbaria et al. (1995) menggunakan pengukuran pemakaian persepsian (perceived usage) yang diukur sebagai jumlah waktu yang digunakan untuk berinteraksi dengan suatu teknologi dan frekuensi penggunaannya (dalam Jogiyanto, 2007:117). Oleh karena itu, semakin banyak waktu yang digunakan seseorang untuk melakukan interaksi dengan teknologi, maka perilaku yang ditunjukkan dalam melakukan penggunaan sesungguhnya (actual usage) dari teknologi tersebut akan semakin beragam.

Technology Acceptance Model (TAM) pertama kali dikemukakan oleh Davis (1989) telah mengalami perkembangan. Perkembangan pada TAM yang kedua dikemukakan oleh Venkatesh dan Davis (2000) yang disebut Technology Acceptance Model 2 (TAM2) dengan mengidentifikasi dan berteori tentang faktor umum pada penggunaan persepsian (perceived usefulness) yaitu norma-norma subjektif (subjective norms), citra (image),

relevansi pekerjaan (job relevance), kualitas keluaran (output quality), ketampakan hasil (result demonstrability), dan kemudahan penggunaan persepsian (perceived ease of use), serta dua variabel moderator yaitu pengalaman (experience) dan kesukarelaan (voluntariness). TAM2 memperkenalkan dua teoritikal proses yaitu social influence yang diwakili oleh subjective norm dan image yang merupakan dua determinan dari kegunaan persepsian (perceived usefulness), dan cognitive instrument processes yang diwakili empat konstruk yaitu relevansi pekerjaan (job relevance), kualitas keluaran (output quality), ketampakan hasil (result demostrability), dan kemudahan penggunaan persepsian (perceived ease of use) (Venkatesh dan Bala, 2008), yang tampak pada gambar berikut ini.

Gambar 4: Technology Acceptance Model 2 (TAM2) Sumber: Jogiyanto (2007)

Kemudian, Venkatesh (2000) membangun anchoring dan penyesuaian (adjustment) sebagai kerangka pengambilan keputusan oleh

seseorang. Venkatesh (2000) mengembangkan model determinan kemudahan penggunaan persepsian (perceived ease of use). Ia berpendapat bahwa individu akan mudah membentuk persepsi awal mengenai kemudahan penggunaan persepsian (perceived ease of use) sistem berdasarkan beberapa anchors yang terkait dengan keyakinan umum individu mengenai komputer dan penggunaan komputer. Anchors yang disarankan oleh Venkatesh (2000) yaitu keyakinan-sendiri komputer (computer self-efficacy), kecemasan komputer (computer anxiety), kepermainan komputer (computer playfulness), dan pengendalian eksternal persepsian (perceptions of external control) (atau kondisi-kondisi pemfasilitas (faciliting conditions)). Venkatesh (2000) juga menyarankan bahwa selama anchors mengendalikan pendapat awal mengenai kemudahan penggunaan persepsian (perceived ease of use), individu akan menyesuaikan pendapat mereka setelah mereka mendapatkan pengalaman dari penggunaan sistem baru. Selain itu ia juga menyarankan dua karakteristik sistem yang berpengaruh pada pendapat individu yaitu kesukaan persepsian (perceived enjoyment) dan kegunaan objektif (objective usability) (Venkatesh dan Bala, 2008). Berikut gambar dari penelitian yang dilakukan Venkatesh (2000) mengenai teori model determinan persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use).

Gambar 5: Teori model determinan perceived ease of use Sumber: Venkatesh (2000)

Perkembangan yang terakhir dari teori TAM ini adalah TAM3 yang dikemukakan oleh Venkatesh dan Bala (2008) dalam jurnalnya yang berjudul “Technology Acceptance Model 3 and a Research Agenda on Interventions”. Dalam jurnal ini Venkatesh dan Bala (2008) mengkombinasikan TAM2 (Venkatesh dan Davis, 2000) dan model determinan kemudahan penggunaan (perceived ease of use) (Venkatesh,

2000) dan perkembangan model terintegrasi pada penerimaan teknologi, yang dapat dilihat dalam gambar berikut ini:

Gambar 6: Technology Acceptance Model 3 (TAM3) Sumber: Venkatesh dan Bala (2008)

Variabel-variabel yang ada dalam Technology Acceptance Model 3 (TAM3) adalah sebagai berikut:

a. Norma-norma Subjektif (Subjective Norm)

Fishbein & Ajzen (1975); Venkatesh & Davis (2000) mendefinisikan norma-norma subjektif (subjective norm) sebagai sejauh mana individu merasa bahwa sebagian orang berpikir ia harus atau tidak seharusnya menggunakan sistem (dalam Venkatesh dan Bala, 2008). Jogiyanto (2007) mendefinisikan norma-norma subjektif (subjective norms) sebagai persepsi atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang memengaruhi minat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa norma–norma subjektif memengaruhi minat berperilaku apabila individu merasa bahwa pendapat orang lain itu dapat dipercaya dan sesuai dengan kepentingan individu tersebut maka ia akan memiliki minat perilaku untuk melakukan perilaku. Sebaliknya jika pandangan orang lain dirasa tidak sesuai dengan kepentingan, maka ia tidak akan memiliki minat untuk melakukan perilaku.

b. Citra (Image)

Moore dan Benbasat (1991) mendefinisikan citra (image) sebagai sejauh mana penggunaan suatu inovasi dianggap meningkatkan citra atau status seseorang dalam sistem sosialnya (dalam Venkatesh dan Bala, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mampu

menggunakan inovasi sistem yang baru ia merasa bahwa status sosialnya akan meningkat daripada orang lain yang tidak menggunakan inovasi sistem.

c. Relevansi Pekerjaan (Job Relevance)

Venkatesh et al (2000) mendefinisikan relevansi pekerjaan (job relevance) sebagai sejauh mana seseorang percaya bahwa sistem target dapat diterapkan dalam pekerjaannya. Dengan kata lain, relevansi pekerjaan adalah fungsi dari kepentingan dalam pekerjaan seseorang dari serangkaian tugas yang mampu didukung oleh sistem. Thomson et al (1991) mendefinisikan relevansi pekerjaan sebagai kemampuan sistem untuk meningkatkan kinerja pekerjaan individu (dalam Jogiyanto, 2007). Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang akan menyadari hubungan antara pekerjaan dengan sistem ketika adanya peningkatan atas kinerja dalam meyelesaikan tugasnya yang didukung oleh sistem.

d. Kualitas Keluaran (Output Quality)

Pada TAM2, kualitas keluaran (output quality) didefinisikan sebagai “over and above considerations of what tasks a system is capable of performing and the degree to which those tasks match their job goals (job relevance), people will take into consideration how well the system performs those tasks”. Artinya pertimbangan atas apakah sistem

mampu melakukan tugasnya dan sejauh mana tugas-tugas tersebut sesuai dengan tujuan pekerjaan (relevansi pekerjaan), sehingga

seseorang akan mempertimbangkan seberapa baik sistem dapat melakukan tugas-tugas tersebut (Venkatesh dan Davis, 2000). Dari definisi tesebut dapat disimpulkan bahwa suatu sistem yang memiliki kualitas keluaran (output quality) tinggi dalam hal ini dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan tujuan pekerjaan, akan lebih dipilih oleh individu untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya.

e. Ketampakan Hasil (Result Demonstability)

Rogers (1983) mendefinisikan ketampakan hasil (result demostrability) sebagai sejauh mana hasil mengadopsi/menggunakan inovasi sistem informasi yang dapat diamati dan dapat berkomunikasi dengan yang lain (dalam Jogiyanto, 2007). Moore dan Benbasat (1991) mendefinisikan ketampakan hasil (result demonstrability) sebagai sejauh mana seseorang percaya bahwa hasil dari penggunaan sistem adalah nyata, dapat diamati, dan dapat dikomunikasikan (dalam Venkatesh dan Bala, 2008). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ketampakan hasil (result demonstrability) merupakan hasil dari penggunaan sistem yang dapat dilihat dan diamati. Jika dikaitkan dengan e-commerce maka ketampakan hasil ini akan terlihat pada hasil dari pencarian atas barang yang dicari dan akan dibeli, kemudian hasil pencarian tersebut akan dikomunikasikan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan fitut chat yang ada dalam website maupun aplikasi Shopee.

f. Keyakinan-Sendiri Komputer (Computer Self-efficacy)

Banduran (1977) mendefinisikan keyakinan-sendiri komputer (Computer Self-efficacy) sebagai keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan perilaku tertentu (dalam Jogiyanto, 2007). Menurut Jogiyanto (2007), “keyakinan-sendiri (self-efficacy) adalah kepercayaan-kepercayaan tentang kemampuan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Keyakinan sendiri (selft-efficacy) memengaruhi pilihan-pilihan tentang melakukan perilaku, usaha dan persistensi untuk menghadapi halangan-halangan mencapai kinerja dari perilaku”. Jogiyanto (2007) melanjutkan bahwa keyakinan-sendiri komputer (self-efficacy computer) dihubungkan dengan suatu pertimbangan (judgments) kemampuan seseorang untuk menggunakan suatu komputer. Ini tidak berhubungan dengan apa yang sudah dilakukan seseorang dimasa lalunya, tetapi lebih ke pertimbangan-pertimbangan (judgments) tentang apa yang dapat dilakukan dimasa depan.

Hal ini mengindikasikan bahwa pengguna yang memiliki keyakinan dan pertimbangan (judgment) sehubungan dengan penggunaan komputer akan memiliki perilaku berorientasi ke depan untuk dirinya sendiri tanpa memperdulikan pengalaman orang lain.

g. Persepsi Pengendalian Eksternal (Perception of External Control) Venkatesh et al (2003) mendefinisikan persepsi pengendalian eksternal (perception of external control) sebagai sejauh mana

seseorang percaya bahwa sumberdaya organisasi dan teknis ada untuk mendukung penggunaan sistem (dalam Venkatesh dan Bala, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa suatu organisasi akan memberikan seseorang suatu sumber daya dan kesempatan agar ia bisa menggunakan sistem dan mengendalikan sistem tersebut sesuai dengan tujuan organisasi. h. Kecemasan Komputer (Computer Anxiety)

Simonson et al (1987) mendefinisikan kecemasan komputer (computer anxiety) sebagai ketakutan seseorang individu, ketika ia dihadapkan dengan kemungkinan menggunakan komputer (dalam Jogiyanto, 2007). Menurut Jogiyanto (2007), kecemasan (anxiety) mengenai lingkungan komputer-komputer diekspetasikan berhubungan negatif dengan penggunaan komputer. Tidak mengherankan, karena orang-orang diharapkan menghindari perilaku yang menimbulkan perasaan cemas. Venkatesh (2003) mendefinisikan kecemasan komputer (computer anxiety) sebagai membangkitkan reaksi cemas atau emosional saat harus melakukan perilaku (misalnya menggunakan komputer). Dapat disimpulkan bahwa kecemasan komputer (computer anxiety) merupakan suatu perasaan takut, cemas dan tidak nyaman yang muncul dalam diri seseorang saat menggunakan komputer.

i. Kepermainan Komputer (Computer Playfulness)

Webster dan Martocchio (1992) mendefinisikan kepermainan komputer (computer playfulness) sebagai tingkat spontanitas kognitif dalam interaksi mikrokomputer (dalam Jogiyanto, 2007).

Venkatesh (2000) mengemukakan bahwa kepermainan komputer adalah variabel pembeda antar individual yang bebas dalam menggunakan sistem. Mereka yang lebih "suka bermain" dengan teknologi komputer pada umumnya diharapkan untuk menikmati menggunakan sistem baru, bukan hanya peduli pada hasil positif spesifik yang terkait dengan penggunaan. Individu yang ‘suka bermain’ mungkin cenderung "meremehkan" kesulitan atau proses menggunakan sistem baru karena mereka cukup menikmati prosesnya dan tidak menganggapnya sebagai suatu upaya dibandingkan dengan mereka yang “kurang suka bermain”.

Dapat disimpulkan bahwa kepermainan komputer (playfulness computer) merupakan suatu spontanitas perilaku seseorang saat menggunakan sistem yang disebabkan karena mereka “suka bermain” dengan suatu sistem baru dan menyukai proses dalam penggunaan sistem, bukan karena mereka memiliki tujuan.

j. Kesukaan Persepsian (Perceived Enjoyment)

Davis et al (1992) mendefinisikan kesukaan persepsian (perceived enjoyment) sebagai sejauh mana aktivitas menggunakan sistem tertentu dianggap menyenangkan dalam dirinya sendiri, terlepas dari konsekuensi kinerja yang dihasilkan dari penggunaan sistem. Menurut Webster et al (2003) variabel kesukaan persepsian (perceived enjoyment) merupakan sesuatu yang menyenangkan dan ekploratori sebagai pengalaman psikologis subjektif dalam konteks teknologi

infomasi dan lingkungan yang termediasi oleh komputer (dalam Putranto, 2017). Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kesukaan persepsian merupakan suatu kesukaan yang dirasakan seseorang dalam menggunakan sistem untuk memperoleh pengalaman tanpa memperdulikan hasil yang didapat dari penggunaan sistem. k. Kegunaan Objektif (Objective Usability)

Venkatesh (2000) mendefinisikan kegunaan objektif sebagai konstruk yang memungkinkan perbandingan sistem berdasarkan tingkat aktual (bukan persepsi) usaha yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Venkatesh (2000) juga menyebutkan dengan meningkatnya pengalaman penggunaan sistem, penyesuaian pengetahuan dan kecemasan yang terkait maka diharapkan menjadi kegunaan objektif. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kegunaan objektif merupakan tingkat dimana seseorang membandingkan suatu sistem dengan sistem yang lain berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan kecemasan pada tingkat penggunaan sesungguhnya.

l. Pengalaman (Experience)

Pengalaman (experience) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang pernah dialami (dirasai, dijalani, ditanggung dan sebagainya). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pengalaman sebelumnya adalah penentu perilaku (Ajzen & Fishbein, 1980). Ditemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara

pengguna berpengalaman dan pengguna yang tidak berpengalaman dalam pengaruhnya penentu penggunaan. Taylor dan Todd (1995) sebelumnya ditemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pengguna berpengalaman dan pengguna yang tidak berpengalaman dalam menentukan untuk menggunakan sistem (dalam Jogiyanto, 2007:176).

Seseorang yang memiliki pengalaman mungkin akan lebih berminat dan yakin dalam melakukan perilaku karena sebelumnya ia pernah merasakan atau mengalami hal pada saat menggunakan sistem yang akan memengaruhi pendapatnya mengenai sistem yang digunakan, dibandingkan dengan seseorang yang belum memiliki pengalaman ia akan ragu dan berpikir ulang untuk menggunakan sistem.

m. Kesukarelaan (Voluntariness)

Moore dan Benbasat (1991) mendefinisikan kesukarelaan (voluntariness) sebagai sejauh mana penggunaan inovasi dianggap sebagai sukarela atau kehendak bebas (dalam Jogiyanto, 2007). Agarwal and Prasad (1997), Hartwick and Barki (1994), Moore and Benbasat (1991), mendefinisikan kesukarelaan (voluntariness) sebagai sejauh mana pengadopsian potensial mempersepsikan keputusan adopsi sebagai sesuatu yang tidak wajib (dalam Venkatesh dan Davis, 2000). Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa kesukarelaan merupakan suatu keputusan untuk menggunakan sistem yang di anggap tidak wajib

dan dilakukan atas kehendak individu sendiri tanpa paksaan dari orang lain.

Dokumen terkait