• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Wikipedia dan Informas

2.2 Pengertian Terjemahan

Istilah terjemahan memiliki beberapa arti yakni yang pertama adalah subjek dari suatu kajian, kedua adalah produk dalam bentuk teks yang sudah diterjemahkan dan yang ketiga adalah kegiatan menghasilkan suatu terjemahan. Oleh Jakobson (1971:261), terjemahan itu dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu:

A. Intra lingual translation (terjemahan dalam bahasa yang sama), yaitu

menerjemahkan teks sumber ke teks target dalam bahasa yang sama. Terjemahan seperti ini sering disebut dengan parafrase atau menggunakan kata-kata lain untuk menyatakan pesan yang sama.

B. Inter lingual translation (terjemahan antar bahasa), yaitu menerjemahkan teks sumber ke teks target dalam bahasa yang berbeda. Misalnya teks sumbernya dalam bahasa Inggris, teks targetnya dalam bahasa Indonesia.

C. Inter semiotik translation (terjemahan sistem lambang/non-verbal) yaitu

menerjemahkan suatu lambang/ tanda /gambar yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan, dengan kata-kata atau secara verbal. Misalnya huruf “P” yang dicoret sebagai tanda-tanda lalu lintas yang dipasang di pinggir jalan diterjemahkan dengan tidak boleh memarkirkan kendaraan di area itu.

Dalam praktek, terjemahan itu diartikan dengan menerjemahkan suatu bahasa ke bahasa lainnya. Hal ini didukung oleh pendapat dari Catford yang dikutip dari buku Mary Snell-Hornby (1965:20) “Translating is the replacement of tekstual material in one language (source language) by equivalent textual material in another language (target language).” dalam bahasa Indonesianya berbunyi “terjemahan adalah penggantian dari

bahan tekstual dalam suatu bahasa (bahasa sumber) ke bahan tekstual yang ekuivalen dalam bahasa lainnya (bahasa target)”.

Menurut Nida dan Taber (1969:12) “Translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.” dalam bahasa Indonesia berbunyi “terjemah an itu melibatkan usaha menghasilkan kembali ke dalam bahasa si penerima, pesan dari bahasa sumber yang ekuivalen, se-alami, se-dekat mungkin dengan bahasa sumbernya, dari segi arti dan style.”

Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa fenomena terjemahan itu pada dasarnya adalah pengalihan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan memperhatikan ekuivalensinya.

2.2.1 Tahap-tahapan Terjemahan.

Dalam proses pengalihan atau menerjemahkan dari bahasa sumber ke bahasa target terdapat tahap-tahapan seperti yang dikemukakan oleh Nida dan Taber (1969:33) bahwa ada tiga tahapan: tahap pertama yaitu menganalisis (analysis) teks bahasa sumber, tahap kedua yaitu mengalihkan (transfer) teks bahasa sumber ke bahasa sasaran dan tahap ketiga yaitu menyusun atau menyempurnakan kembali (restructuring) apa yang sudah dialihkan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Berikut adalah skemanya:

A (source language) B (target language)

(analysis) (restructuring)

X (transfer) Y

Tahap-tahapan yang dikemukakan Larson dalam bukunya yang berjudul “Meaning Based Translation, A Guide to Cross-language Equivalence” yang diterjemahkan oleh Kencanawati Taniran ke bahasa Indonesia dengan judul “Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman untuk pemadanan Antarbahasa” (1998:3) yaitu:

(1) mempelajari leksikon, sruktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber,

(2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya, (3) mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan

leksikon dan sruktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya.

Berikut adalah skema tahap-tahapannya:

Gambar 2. Skema tahap-tahapan terjemahan Larson

Dari skema Larson dapat dilihat bahwa pada umumnya tahapannya sama dengan yang dikemukakan oleh Nida dan Taber yakni menganalisis termasuk memahami teks bahasa sumber, kemudian mentranfernya ke bahasa target, dan tahap terakhir adalah memyempurnakan bahasa target dengan menyusun/mengungkapkannya kembali agar

BAHASA SUMBER Teks yang akan

diterjemahkan BAHASA SASARAN Terjemahan MAKNA Penafsiran makna Pengungkapan kembali maknanya

mencapai ekuivalensi dari terjemahannya. Tetapi dalam hal ini Larson lebih menekankan pada penerjemahan/ekuivalensi makna.

2.2.2 Metodologi Penganalisaan Terjemahan

Terjemahan melibatkan teks, baik teks sumber maupun teks target yang mesti dianalisis dalam tahap menerjemahkan (lihat skema terjemahan Nida dan Taber serta Larson) untuk mendapatkan hasil terjemahan yang diinginkan. Demikian pula dalam menganalisis suatu terjemahan baik teks sumber maupun teks target mesti dianalisis, untuk itu metode pendekatan dalam penganalisaan itu adalah mutlak. Metode pendekatan dalam penganalisaan teks terjemahan itu adalah :

A. Pendekatan top-down (teks – kalimat – klausa/frasa - kata) yaitu penganalisaan teks yang diawali dengan pemahaman teks secara keseluruhan kemudian bergerak ke unit yang lebih kecil.

B. Pendekatan bottom-up (kata – frasa/klausa – kalimat - teks) yaitu penganalisaan teks yang diawali dengan pemahaman dari unit yang kecil (kata) kemudian bergerak ke unit yang lebih besar.

Snell-Hornby (1988:69) menyarankan pendekatan top-down dalam analisis teks atau disebutnya dengan istilah the macro to the micro level, dari text to sign, demikian juga dalam model dari proses penerjemahan Hatim dan Mason (ibid, Baker 1992:6) yang mengadopsi pendekatan sama dengan tipe teks dan konteks sebagai awal dari pembahasan permasalahan-permasalahan dan strategi-strategi dalam terjemahan. Tetapi Baker (1992:6) menyarankan pendekatan bottom-up dengan argumentasi bahwa walaupun teks itu adalah unit yang memiliki arti, bukannya unit bentuk, tetapi arti itu dipahami melalui bentuk dan tanpa memahami arti dari bentuk-bentuk individunya, seseorang tidak dapat menginterpretasikan arti dari keseluruhan teks. Namun demikian

beliau mengakui bahwa menerjemahkan kata-kata dan frasa-frasa di luar dari konteks itu merupakan latihan yang tidak menjanjikan keberhasilan, sama halnya dengan memaksakan pemahaman keseluruhan teks tanpa pemahaman bagaimana sebenarnya masing-masing kata, frasa, dan struktur gramatikal mempengaruhi dan membentuk keseluruhan arti dari teks.

Dengan demikian baik pendekatan top-down maupun bottom-up memilki kekuatannya masing-masing dalam upaya menganalisa dan memahami teks. Tetapi dapat disimpulkan bahwa ada baiknya menerapkan yang pertama bagi penerjemah awal yang bukan linguis terlatih atau untuk tujuan pengajaran ataupun penganalisaan teks terjemahan sehingga tahap-tahapannya lebih mudah diikuti.

2.3 Ekuivalensi dalam Terjemahan

Terjemahan sebagai hasil dari proses menerjemah memilki target yang harus dicapai, target itu lazim dikenal dengan istilah ekuivalensi. Istilah ini digunakan oleh Catford juga Nida dan Taber dalam mendefinisikan terjemahan. Menurut Catford (ibid, Hornby (1965:20) “terjemahan adalah penggantian dari bahan tekstual dalam suatu bahasa (bahasa sumber) ke bahan tekstual yang ekuivalen dalam bahasa lainnya (bahasa target)” , menurut Nida dan Taber (1969:12) “terjemahan itu melibatkan usaha menghasilkan kembali ke dalam bahasa si penerima, pesan dari bahasa sumber yang

ekuivalen se-alami mungkin dan se-dekat mungkin dengan bahasa sumbernya, dari segi arti dan style.”

Dalam bahasa Indonesia istilah ini juga dikenal dengan ‘padanan’. Para penerjemah menggunakan istilah ekuivalensi sebagai parameter untuk menilai terjemahannya. Begitu pentingnya pencapaian ekuivalensi ini dalam terjemahan, sehingga sejak tahun 1959 istilah ini sudah didiskusikan oleh Jacobson dalam paper-nya “On Linguistic

Aspect of translation” (1959/2000) melalui pembahasan linguistic meaning and equivalence. Menurutnya, secara umum tidak ada ekuivalensi penuh antar kode unit- unit, dengan memberi contoh kata cheese yang merupakan kode unit dalam bahasa Inggris tidak sama dengan syr dalam bahasa Rusia. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa penerjemah mengkodekan dan mengalihkan pesan yang diterimanya dari sumber lain. Maka terjemahan itu melibatkan dua pesan yang ekuivalen dalam dua kode yang berbeda.

Catford (1965:27) mengemukakan konsep ekuivalensi yang lebih umum dan lebih abstrak dibanding yang dikemukakan oleh Jacobson dengan “textual equivalence” yang didefinisikannya dengan segala target teks atau bagian teks yang diteliti dengan metode pencapaian ekuivalensi berdasarkan otoritas dari narasumber atau penerjemah bilingual yang berkompetensi, untuk mendapatkan ekuivalensi dari teks sumber yang diberikan atau bagian dari teks. Sedemikian besar perhatian dan pentingnya konsep ekuivalensi dalam terjemahan ini bagi para ahli penerjemah, tersirat dalam kutipan yang ditegaskan Snell-Hornby (1988: 15) “What all linguistically oriented schools of translation theory have in common however, is the central concept of translation equivalence …”. Yang dapat diartikan dengan ‘namun demikian, yang secara umum diakui sekolah-sekolah yang berorientasi pada linguistik mengenai teori terjemahan adalah konsep utama tentang ekuivalensi terjemahan’.

Berikut adalah ekuivalensi yang dikemukakan oleh beberapa ahli (Wikipedia, diakses Febuari 2010) diantaranya:

A. Eugene Nida mengemukakan dua jenis ekuivalensi yakni:

(1) Formal equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada pesan yang sedekat mungkin dengan bahasa

sumbernya. Terjemahan ini memperhatikan bentuk gramatikal dan fungsi/pesan yang disampaikan teks sumber.

(2) Dynamic equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada kesamaan pesan yang disampaikan teks sumber dengan pesan yang diterima dari teks target. Terjemahan ini lebih

mengutamakan keluwesan bahasa dan fungsi/pesan dari pada bentuk gramatika teks.

B. Koller yang dikutip dari Munday (2001: 47) mengemukakan lima jenis ekuivalensi yakni:

(1) Denotative equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada extralinguistic content atau ada yang

menyebutnya dengan ‘content invariance’ dari suatu teks.

(2) Connotative equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada pilihan-pilihan leksikal yang berdekatan sinonimnya atau ada yang menyebutnya dengan ‘stylistic equivalence’.

(3) Text-normativeequivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada tipe teks yang memilki penyajian yang berbeda.

(4) Pragmaticequivalence / communicative equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada penerima dari teks atau penerima pesan. Istilah ini dikenal dengan dynamic equivalen-nya Nida. (5) Formalequivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada bentuk dan estetika teks, termasuk permainan kata dan

ciri stilistik individu dari teks sumber. Ada yang menyebutnya dengan “expressive equivalence”.

C. Venuti (Wikipedia, diakses Febuari 2010)mengemukakan dua jenis ekuivalensi yakni:

(1) Ekuivalen yang memihak pada bahasa sumber, foreignizing yaitu menerjemahan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dengan lebih memperhatikan/ mempertahankan keaslian dari gramatika dan pesan teks sumber daripada teks target. Terjemahan ini lebih mengutamakan style bahasa sumbernya.

(2) Ekuivalen yang memihak pada bahasa target, domesticating yaitu menerjemahan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dengan lebih memperhatikan gramatika, style dan penyampaian pada teks targetnya daripada teks sumbernya. Terjemahan ini lebih mengutamakan keterbacaan dari pembaca teks target.

D. Mona Baker (1992) mengemukakan jenis ekuivalensi berdasarkan tingkatan- tingkatannya yakni:

(1) Equivalence in word level yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk mendapatkan ekuivalensi kata melalui kajian makna dari kata-kata dalam teks. (2) Equivalence above word level yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk

mendapatkan ekuivalensi melalui kajian kombinasi kata-kata dan frasa-frasa. (3) Grammatical equivalence yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk

(4) Textual equivalence yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk mendapatkan ekuivalensi tekstual melalui kajian dari peran susunan kata dalam menyampaikan pesan–pesan di tingkat teks.

(5) Pragmatic equivalence yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk mendapatkan ekuivalensi melalui kajian yang memperhatikan bagaimana teks- teks itu digunakan dalam situasi komunikasi yang melibatkan penulis, pembaca, dan konteks budaya.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya keseragaman dalam pengunaan istilah ekuivalensi dalam terjemahan tetapi criteria ekuivalensi itu sangat tergantung kepada fokus dari kajian yang ditargetkan. Bell (1991: 6) mengatakan bahwa untuk mendapatkan ekuivalensi ideal yang murni itu merupakan impian belaka. Terdapat perbedaan antar bahasa dalam bentuk kode-kode unit, bentuk aturan dalam menyusun struktur gramatika ungkapan-ungkapan bahasa dan bentuk-bentuk ini memiliki arti yang berbeda.

2.4 Aspek Semantik dalam Terjemahan

Semantik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang makna kata dan kalimat. Menurut Kambartel dan George yang dikutip dari Pateda (2001:7), semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman manusia, sedangkan Verhaar (1983: 124) mengatakan semantik berarti teori makna atau teori arti.

Secara alamiah, seseorang yang melihat/membaca suatu ‘teks‘, akan secara otomatis berusaha untuk memahaminya dan mencari arti dari teks itu sehingga dapat menyampaikan kembali apa sebenarnya ‘teks‘ yang dilihat/dibacanya itu dan

dapat menerjemahkannya. “Arti“ inilah yang dilibatkan baik penerjemah maupun pembaca terjemahan dalam memaknai dan menilai suatu terjemahan.

Berikut adalah 4 tipe arti yang dikemukakan oleh Cruise (ibid, Baker 1992:13) (1) Propositional meaning yaitu arti yang muncul dari hubungan antara

kata/ujaran dan rujukannya dalam dunia nyata atau khayal. (contoh: kemeja memiliki arti ‘pakaian yang dikenakan pada bagian atas tubuh’, kaus kaki memiliki arti ‘pakaian yang dikenakan pada bagian bawah tubuh ); kedua kata ini tidak sama dalam arti proposisional sehingga kata ‘kaus kaki‘ tidak tepat digunakan untuk merujuk ke kata ‘kemeja‘ dalam situasi biasa, tetapi ‘baju kaus‘ dapat digunakan untuk merujuk ke kata ‘kemeja‘ karena kedua kata ini merupakan pakaian yang dikenakan pada bagian atas tubuh.

(2) Expressive meaning yaitu arti yang dihubungkan dengan perasaan atau sikap pembicara dari pada dengan kata apa atau ucapan apa rujukannya. (contoh: ‘Jangan emosi’ dan ‘Jangan marah’ artinya tidak terdapat pada arti proposisionalnya (perasaan tidak senang) tapi pada ungkapan ‘ marah’ yang menyatakan adanya tindakan pembicaranya.

(3) Presupposed meaning yaitu arti yang muncul dari batasan-batasan yang ada. (contoh: ‘rajin’ menyatakan akan rujukan pada manusia , ‘rusak’ menyatakan akan rujukan pada benda ).

(4) Evoked meaning yaitu arti yang muncul dari variasi dialek dan variasi bahasa yang dianggap sesuai untuk situasi tertentu. Contoh: ‘lift’ digunakan masyarakat Amerika, ‘elevator’ digunakan masyarakat Inggris.

Di antara semua tipe arti yang dijelaskan di atas, hanya arti proposisional yang selalu ditantang oleh pembaca, pendengar atau penerjemah dalam menilai suatu

ucapan atau teks karena hanya arti proposisional inilah yang dapat dikaitkan dengan benar atau salahnya suatu ucapan atau teks. Sedangkan yang lainnya memberikan kontribusi yang begitu tepatnya pada suatu ucapan ataupun teks dan biasanya sulit untuk dianalisis. ( Baker 1992:17).

Bell dalam bukunya “Translation and Translating: Theory and Practice” menyatakan bahwa proposisi adalah “the unit of meaning which constitutes the subject matter of a sentence” (Bell 1991:107); yang di-indonesiakan sebagai suatu unit dari arti yang merupakan pokok (subject matter) dari kalimat yang terkandung dalam suatu kalimat. Bell juga mengatakan bahwa arti dari suatu ujaran yang disampaikan dalam bentuk pernyataan pasti ada proposisi yang dimasukkan pembicara dalam menjelaskan suatu kejadian.

Dokumen terkait