• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Kepustakaan

2. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda yaitu “Strafbaar feit” atau “delict”. Didalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari strafbaar feit atau delict terdapat beberapa istilah seperti: Tindak

20 M. Hamdan, Op. Cit, hlm. 45

Pidana, Perbuatan Pidana, Peristiwa Pidana, Pelanggaran Pidana, Perbuatan yang boleh dihukum, Perbuatan yang dapat dihukum.21

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, secara literijk terdiri dari 3 (tiga) kata, yakni straf, baar, dan feit. Straf dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “pidana” dan “hukum”. Sedangkan baar memiliki arti

“dapat” atau “boleh”. Untuk kata yang terakhir, yakni feit diartikan sebagai

“tindak”, “peristiwa”, “pelanggaran” dan “perbuatan”. Kata tindak meskipun telah lazim digunakan dalam perundang-undangan, tetapi masih sering diperdebatkan perihal ketepatannya. Karena kata tersebut tidak menunjuk pada kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan juga tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nelaten).22

a. Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.23 Beberapa ahli hukum telah memberikan beberapa perumusan dan/atau pendapat mereka mengenai tindak pidana, adapun pengertian tindak pidana menurut para ahli hukum, yaitu:

a) Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.24 b) Muljatno berpendapat, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman

21 H. Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI), (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 136

22 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm. 70

23 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 164

24 H. Ishaq, Loc. Cit

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.25

c) R. Tresna mengemukakan bahwa peristiwa pidana ialah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undangatau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan penghukuman.26

d) Simons merumuskan, bahwa Strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawakan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.27

e) J. Baumann merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.28

b. Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana terjadi akibat adanya sifat melawan hukum dalam melakukan suatu perbuatan. Ada beberapa unsurnya, yaitu:29

1) Unsur kesalahan, merupakan suatu anasir institutive dari tiap tindak pidana. Melawan hukum dan kesalahan adalah dua anasir tindak pidana yang saling berhubungan, apabila perbuatan yang bersangkutan

25 Ibid.

26 Ibid., hlm. 137

27 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010), hlm.

83

28 Ibid., hlm. 85

29 Edi Setiadi dan Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 67-69

tidak melawan hukum, maka menurut hukum pidana, perbuatan tesebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak mungkin ada kesalahan tanpa melawan hukum. Bentuk kesalahan ada dua yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).

2) Kemampuan bertanggung jawab, seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, apabila:

a) Ia mampu untuk mengetahui atau meyadari bahwa perbuataanya bertentangan dengan hukum;

b) Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

3) Kesengajaan, dalam mengemukakan sifat sengaja ada dua teori, yaitu:

a) Teori kehendak, Van Heppel mengemukakan sengaja adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat.

b) Teori membayangkan, Frank mengemukakan sengaja adalah apabila suatu akibat dibayangkan sebagai maksud dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan terlebih dulu telah tersirat.

c. Cara Merumuskan Tindak Pidana

Undang-undang pidana dalam suatu negara disusun secara sistematis dalam kitab undang-undang atau dalam suatu peraturan yang biasanya menggunakan bahasa yang sulit dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga mereka tidak dapat memahami isi dan maksudnya, maka untuk mengerti isi dan

maksud tersebut diperlukannlah suatu perumusan agar masyarakat dapat mengetahui isi dan maksud dari peraturan tersebut.

Menurut Prof. Moeljatno, S.H, cara merumuskan tindak pidana yang terdapat dalam perundang-undangan ada 3 (tiga), yaitu:30

1) Cara I: Menentukan Unsur

Rumusan tindak pidana dalam KUHP khususnya dalam Buku II adalah mengandung maksud agar diketahui dengan jelas bentuk perbuatan tindak pidana apa yang dilarang. Untuk mengetahui maksud rumusan tersebut perlu menentukan unsur-unsur atau syarat yang terdapat dalam rumusan tindak pidana itu.

2) Cara II: Menurut Ilmu Pengetahuan dan Praktek Peradilan

Apabila rumusan Pasal tindak pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya, maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan.

3) Cara III: Menentukan Kualifikasi

Untuk menentukan tindak pidana yang digunakan, selain menentukan dengan unsur-unsur tindak pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari tindak pidana tersebut.

d. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Menurut M. Sudradjat Bassar, menyebutkan jenis-jenis tindak pidana, sebagai berikut:31

1) Tindak Pidana Materiil (Materieel Delict)

30 Suharto RM, Hukum Pidana Materil (Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan), (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 33-34

31 I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana (Buku Panduan Mahasiswa), (Jakarta:

PT. Fikahati Aneska, 2010), hlm. 39-41

Adalah apabila tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum pidana disitu dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu.

2) Tindak Pidana Formal (Formeel Delict)

Adalah apabila tindak pidana yang dimaksudkan dirumuskan sebagai wujud perbuatannya, tanpa mempersoalkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.

3) Commissie Delict

Adalah tindak pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan positif, umpamanya membunuh, mencuri dan lain-lain. Jadi hampir meliputi semua tindak pidana.

4) Ommissie Delict

Adalah melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu, umpamanya tidak melakukan pemberitahuan dalam 10 hari hal kelahiran atau kematian kepada Pegawai Jawatan Catatan Sipil (Pasal 529 KUHP).

5) Gequalificeerd Delict

Istilah ini digunakan untuk suatu tindak pidana tertentu yang bersifat istimewa, umpamanya pencurian yang gequalificeerd (Pasal 363 KUHP), apabila pencurian dilakukan dengan diikuti perbuatan lain, misalnya dengan merusak pintu.

6) Voortdurend Delict

Adalah tindak pidana yang tidak ada hentinya. Umpamanya dalam Pasal 169 KUHP yang melarang turut serta dalam suatu perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau dalam suatu perkumpulan yang oleh undang-undang

atau oleh pemerintah berdasarkan undang-undang dilarang. Jadi tindak pidana itu mulai dilakukan pada waktu orang menjadi anggota dari perkumpulan yang bersangkutan dan akan terus-menerus berlangsung selama ia belum keluar dari perkumpulan itu.

Dokumen terkait