• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pengertian usaha kecil dan Pedagang kecil

Di Indonesia tidak ada defenisi yang jelas mengenai apa itu defenisi industri kecil, klasifikasi industri pengelompokannya sebagai berikut :

1. Industri sekala besar dan menengah 2. Industri sekala kecil

3. Industri rumah tangga

Pengelompokan ini menjadi lebih rumit lagi dengan kenyataan bahwa kategori-kategori akan berbeda menurut defenisinya tergantung perusahaan-perusahaan itu berada dalam sector pertanian, industry, perdagangan atau jasa. Dengan adanya keanekaragaman defenisi tersebut maka, kajian merupakan konversi yang paling dekat mewakili konsep adalah “usaha kecil”

Bagaimana diartikan pada kajian-kajian negara lainnya yaitu sebagai berikut :

a. Dalam hubungan dengan data sekunder “industri-industri kecil” akan dimasukan dengan usaha kecil dan menengah (UKM)

b. Dalam survei primer usaha kecil dan menengah akan memperoleh gambaran yang lebih lengkap.

1. Suatu perusahaan kecil mempekerjakan 1-10 pekerja

2. Suatu perusahaan skala menengah mempekerjakan 10-50 pekerja 3. Suatu perusahaan skala besar mempekerjakan 50 atau lebih pekerja

Menurut Undang-undang usaha kecil Nomor 9 Tahun 1995, usaha kecil didefenisikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria-kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagai berikut :

a. Memiliki kekayaan (asset) bersih paling banyak Rp. 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan, tempat usaha.

b. Memiliki hasil penjualan tahunan (omset) paling banyak Rp. 1 Milyar c. Milik warga Negara Indonesia

d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau terafiliasi baik langsung ataupun tidak langsung oleh usaha besar atau usaha menengah, berbentuk usaha perorangan, badan usaha tidak berbadan hokum, atau usaha berbadan hukum, termasuk koperasi. Harus diakui bahwa cakupan usaha kecil menurut undang-undang ini sangat luas (Wantono, 2002 :4)

Berdasarkan Menteri keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil di defenisikan sebagai usaha perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/ usaha yang mempunyai penjualan/omset pertahun setinggi-tingginya Rp. 600.000.000 atau aset/aktiva setingginya Rp. 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati terdiri dari:

b. Perorangan (Pengrajin/industry rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa dan sebagainya).

Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/4/KEP/Dir tanggal 4 April 1997 tentang pemberian kredit usaha kecil, usaha kecil di defenisikan sebagai usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Memilki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000;

b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar) c. Milik warga Negara Indonesia

d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.

e. Bentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang tidak berbadan hukum, termasuk koperasi.

2.4.1 Masalah-masalah yang di Hadapi Usaha Pedagang Kecil

A. Permodalan

Hampir semua pelaku usaha kecil dan menengah mengakui bahwa permodalan merupakan masalah klasik yang selalu dialami dalam usaha mengembangkan usaha kecil yang mereka kelola, mereka mengeluhkan terbatasnya modal yang mereka miliki sehingga tersendatnya usaha mereka.

Pengelolaan usaha kecil biasanya hanya bertumpu pada seorang saja, selain pemilik modal, pelaku usaha biasa juga merangkap sebagai pekerja, tenaga administrasi dan sekaligus pemasaran, kalaupun pelaku usaha ini memiliki karyawan, tanpa adanya pembagian kerja (Job Description) yang jelas.

C. Kondisi Usaha

Pasca Otonomi Daerah di 134 kabupaten/kota di Indonesia telah menerbitkan 709 Perda atau SK (Surat Keputusan) tentang retribusi yang dibebankan kepada dunia usaha. Di Sumatera Utara sendiri tercatat ada 68 Perda, selanjutnya berdasrkan KPPOD (Komisi Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah) perda-perda ini dinilai akan memperburuk iklim usaha sekaligus berdampak enggannya investor menanam modalnya ke daerah ini.

Di daerah ini, Deli Serdang, Simalungun dan Medan ada tiga kabupaten/kota dengan produk perda retribusi terbanyak masing-masing 16, 11, 15 perda bermasalah yang memberatkan kalangan dunia usaha kecil, di Medan diantaranya yaitu penggantian biaya cetak, pajak hiburan, pajak reklame, retribusi bunga hias, retribusi izin trayek, retribusi izin usaha penggilingan padi huller dan selain itu pada waktu lalu, warga Medan dikejutkan dengan dikeluarkan perda retribusi parkir, pada ruas jalan strategis yang notabenenya adalah tempat usaha kecil dan menengah, dimana setiap kendaraan berbagai jenis dikenakan biaya parker sebesar Rp. 7.500/jam. Retribusi ini bahkan dinilai sebagai retribusi parker termahal di Indonesia. Oleh kalangan masyarakat seperti Ir. Soekirman dari BITRA Indonesia, namun karena protes yang cukup keras dan asosiasi usaha dan masyarakat akhirnya pemberlakuannya di tunda.

Ketentuan tentang pengurusan perizinan usaha industry dan perdagangan telah diatur dalam keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 408/MPP/KEP/10/1997 tentang ketentuan dan tata cara pemberian tanda daftar usaha perdagangan (TDUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang berlaku selama perubahan yang bersangkutan menjalankan kegiatan usaha perdagangannya.

Selain itu ada juga keputusan Menteri Perindag No. 255/MPP/KEP/7/1997 tentang pelimpihan wewenang dan pemberian izin di bidang industry dan perdagangan sesuai dengan surat edaran sekjen No. 771/SJ/9/1997 ditetapkan bahwa setiap perusahaan yang mengurus SIUP baik kecil, menengah dan besar berkewajiban membayar biaya administrasi 0 rupiah (nihil) artinya disini bahwa perizinan tidak dikenai biaya.

Persoalannya pasca otonomi daerah berbagai kewenangan telah dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kota/kabupaten. Biaya-biaya pengurusan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Bertolak dengan ketentuan tersebut, Pemerintah kabupaten/pemerintah kota melihat bahwa perizinan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), sehingga perizinan dibuat dengan tarif tertentu disesuaikan dengan nilai investasi. Selama jangka waktu tertentu, pelaku usaha kecil dan menengah ini harus memperbarui kembali, artinya mengeluarkan biaya kembali untuk perizinan, ini bertentangan dengan SK Memperindag di atas yang menyebutkan izin usaha yang berlaku selama kegiatan yang berlangsung.

E. Jaringan Usaha dan Akses Pasar

Akses permasalahan yang tidak tertembus usaha kecil dan menengah ini sangat dipengaruhi lemahnya penguasaan teknologi dan Informasi (IT) oleh pelaku UKM.

F. Perlindungan Hukum

Perlindungan hokum juga menyentuh jaminan keamanan bagi pelaku usaha kecil dan menengah untuk melakukan kegiatan usahanya. Pelaku usaha kecil dan menengah kerap berhadapan dengan pihak-pihak yang mengaku dapat menjamin “keamanan” kalau si pelaku usaha ini menyerahkan uang dengan besaran tertentu. Pihak ini biasanya menanamkan diri dari aparat sendiri atau pemuda setempat atau organisasi kemasyarakatan Pemuda (OKP) (Abdullah, 2005 : 77)

G. Sumber Daya Manusia yang Rendah

Karena pengembangan potensi sumber daya manusia masih rendah, hal ini berakibat pada kemampuan produktifitas menjadi rendah, kemampuan melihat peluang bisnis menjadi terbatas. Etos kerja dan disiplin rendah, nilai tambah yang diperoleh setiap tenga kerja juga menjadi rendah, manajement keuangan masih buruk bahkan tak tersentuh oleh pembukuan sama sekali.

Dokumen terkait