• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN

B. Pengertian Wali dan Macam-macam Wali dalam

Wali nikah dalam suatu perkawinan merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Menurut Abdullah

52Yani Trizakia,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29. 53Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Radja

Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 27.

54Ibid.

55Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang tentang Perkawinan serta Peraturaan Pelaksanaannya, Tarsito, Bandung , 1992, hal. 16.

Kelib, wali di dalam perkawinan adalah orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya, sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.56

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijab di dalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata. Sehingga karena peranan wali yang mempunyai arti penting akan tetap dipertahankan apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab bisa digantikan kedudukannya oleh wali hakim.

Mengenai masalah wali menurut hukum Islam hanya pihak wanita sajalah yang memerlukan wali dalam melakukan perkawinan dimana wali itu selalu laki-laki orangnya. Adapun berbagai macam wali itu antara lain disebutkan dalam Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan bahwa :

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari 2 : a. Wali nasab

b. Wali hakim

Wali nasab adalah pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah. Adapun yang termasuk ke dalam wali nasab ini, menurut Mazhab Syafi`i memberikan urutan :

1. Bapak, kakek (orang tua bapak) dan seterusnya ke atas 2. Saudara laki-laki kandung sebapak seibu

3. Saudara laki-laki sebapak lain ibu

4. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung

5. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya 6. Paman, yaitu saudara dari bapak sekandung

7. Paman sebapak, yaitu saudara dari bapak sebapak lain ibu

8. Anak-anak paman kandung (saudara sepupu) 9. Anak laki-laki paman sebapak

Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Pejabat yang dimaksud adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apablia ternyata ka KUA berhalangan atau tidak ada dan pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.57

Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 macam: 1. Wali Nasab

2. Wali Hakim 3. Wali Tahkim

Wali tahkim yaitu wali yang diminta oleh perempuan untuk menjadi wali/menikahkannya. Wali tahkim terjadi ketika wali nasab dan wali hakim tidak ada. Macam-macam wali termasuk dalam hal ini untuk melakukan perkawinan dapat digolongkan berdasarkan sudut pandang yang dipakai untuk itu, antara lain: a. Dilihat Objek Perwaliannya

Para ulama fiqih sependapat bahawa wali dalam perkawinan (wilayah Tazwij) ditinjau dari segi objek perwaliannya dapat digolongkan menjadi wali mujbir dan

wali ghairu mujbir. Adapun wali mujbir ialah seorang wali berhak mengakadnikahkan orang yang diwalikannya tanpa persetujuan yang bersangkutan,58 Sedangkan wali ghairu mujbir sebaliknya, yaitu wali tidak memiliki hak untuk mengawinkan tanpa persetujuan yang diwalikannya.

Menurut Mahmud Yunus "wali mujbirartinya, wali yang boleh memaksakan perkawinan kepada anaknya sehingga ia boleh mengawinkan anak perempuannya dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepada anaknya".59 Agama memang mengakui wali mujbir memiliki kewenangan memaksakan ijab akad nikah anak perempuannya yang belum dewasa selagi masih gadis. Dalam hal ini para fuqaha

sependapat.

b. Dilihat Jauh Dekatnya Hubungan Kekerabatan

Memandang kepada jauh-dekatnya hubungan pertalian darah antara yang diwalikan dengan walinya, wali dapat dibagi menjadi wali aqrab dan wali ab`ad

.

Misalnya kakek dengan ayah dan anak dengan cucu. Maka dalam hal ini ayah sebagai

wali aqrab dan kakek menjadi wali ab`ad, dan anak sebagai wali aqrab sedangkan cucu menjadiwali ab`ad.

c. Dilihat Kedudukan Pemangku Perwalian

Mereka para wali kerabat calon mempelai yang disebut sebagai wali nasab, mempunyai kewenangan dalam perwalian, sesuai urutan kedudukanya yang tererat

58Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Terj Mahyuddin Shf., PT. Al-Maarif, Bandung, 1998,

hal. 21.

59Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hidakarya Agung, Jakarta. 1981,

dengan calon mempelai. Kewenangan yang mereka peroleh karena kedudukan mereka sebagi keluarga terdekat. Namun apabila mereka tidak ada, atau mereka tidak memenuhi syarat menjadi wali, atau mereka adhal, perwalian yang seharusnya menjadi hak mereka berpindah kepada sulthan/hakim. Kewenangan yang ia miliki ialah berdasarkan kekuasaan yang ada padanya yaitu kedudukannya sebagai penguasa yang disebut denganWilayah `Ammah.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa wali nasab yang merupakan kerabat dekat calon mempelai perempuan mempunyai wewenang menikahkan sepanjang tidak terdapat hal-hal yang mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut peraturan perUndang-undangan.

Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah `Ammah, sebagaimana wilayahnya yang berkaitan dengan pengurusan harta kekayaan orang yang tidak menjadi wali, demikian pula dengan wilayahnya yang berhubungan dengan pernikahan.

Adapun alasan bahwa sulthan boleh memangku sebagi wali nikah (wilayah tazwij) yaitu hadits Nabi SAW, dari Aisyah ra yang artinya :

Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.60

Sulthan merupakan Imam (pemimpin, kepala Negara) atau hakim atau yang ditugaskan untuk itu.61 Hadits di atas merupakan dalil bahwa ijab akad nikah tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini juga sebagai alasan menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya mengharuskan pembayaran mahar. Selanjutnya menurut beliau, yang dimaksud dengan 'pertengkaran disini adalah yang disebabkan oleh larangan menikah dan bukan pertengkaran karena saling mendahului antar wali.

Jadi, apabila si wali melarang menikah perempuan yang berada di bawah perwaliannya, maka pernikahannya diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada waliab`ad. Demikian juga apabila waliaqrabghaib (tidak ada di tempat) atau sedang ihram, atau si calon mempelai sama sekali tidak mempunyai wali, hakim boleh menikahkannya.62

Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan wali itu terbagi kepada 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Wali Nasab, 2. Wali Hakim, dan 3. Wali Tahkim, maka dari tiga macam wali tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

ad.1. Wali Nasab, secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang terdekat dengan seorang perempuan, menurut Muhammad bin Ismail dalam kitabnya yang diartikan bahwa yaitu saudara yang terdekat dengan si perempuan tentang ashabahnya bukan zawil arhâm atau orang yang berhak

61Ibn Qudamah, Al-Mughni, Daar al-Manar, Juz VI, 1367 H, Mesir:, hal. 461. 62Mahmud Yunus,Op. Cit., hal. 57.

menikahkanya, karena suatu pernikahan tidak bisa dilakukan tanpa ada walinya.63

Wali-wali ini jika dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi 2 (dua), yaitu: 1. Wali Mujbir: yaitu wali yang terdiri dari ayah, kakek hingga ke atas. 2. Wali Ghairu Mujbir: yaitu wali yang terdiri dari selain yang disebutkan di

atas.

a. Saudara laki-laki seibu dan sebapak,

b. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan sebapak, c. Saudara laki-laki sebapak,

d. Anak laki-laki dari saudara sebapak, e. Paman,

f. Anak Paman.64

Pasal 21 ayat (1) KHI wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, yaitu saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Pasal 21 ayat (2) KHI menentukan bahwa “apabila dalam suatu kelompok wali nikah terdapat terdapat beberapa orang yang sama berhak menjadi wali, maka

63Muhammad bin Ismail al-Kahlani,Op.Cit., hal. 117.

yang paling berhak menjadi wali ialah lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita”.

Pasal 21 ayat (3) KHI menentukan bahwa “apabila dalam suatu kelompok, derajat kekerabatannya sama yaitu sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat seayahnya, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali”.

ad.2. Wali hakim, yaitu Kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjuk olehnya, dan wali hakim ini biasanya bertindak sebagai wali nikah apabila betul-betul tidak ada wali nasabnya, sesuai dengan hadits Nabi SAW yang artinya “Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan hakim menjadi wali, apabila tidak ada wali untuknya”. (HR. Thabrani)

Menurut Zakaria al-Bari dalam kitabnya yang dapat diartikan sebagai berikut: Apabila tidak ada wali yang dekat semata-mata juga tidak ada dari

ashabahnya dan tidak ada pihak lainnya, maka berpindah hak wali untuk menikahkannya ialah hakim, sesuai menurut sabda Rasulullah SAW, hakim menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali dan berpindahlah wali tersebut kepada hakim (Qadhi) dan juga hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa setiap orang yang hendak menikah dengan seorang perempuan yang tidak ada walinya berarti tidak sah.65

Tetapi ada juga perbedaan pendapat para ulama tentang syarat-syarat adanya wali pada pernikahan atau juga dengan seizinnya yang antara lain ialah:

Jumhur Ulama berpendapat bahwa harus adanya wali juga si perempuan itu mau nikah dengan seorang laki-laki, mereka ini mengikutkan sesuai dengan

hadits Rasulullah SAW yang maksudnya, tidak seorang perempuan mengawinkan dirinya sendiri. Pendapat ini didukung pula oleh ibn Mundzir. Dia tidak pernah melihat seorang sahabatpun yang menentang pendapat ini juga diambil dari hadits-hadits Rasulullah SAW untuk memahaminya.

Malik berpendapat seorang wali harus mempunyai sifat-sifat mulia, adil dan jangan ada padanya sifat-sifat fasik yaitu tidak melaksanakan shalat dan berbuat yang tidak baik ketika dilihat oleh masyarakat lainnya. Andaikata sudah terdapat yang demikian itu, maka dibenarkan bagi si perempuan itu untuk mengawinkan dirinya sendiri dan disini tidak berpindah kepada wali hakim hanya terus kepada dirinya sendiri untuk menjadi wali terhadap perempuan itu.66

Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang perempuan yang berhak kawin dengan seorang laki-laki harus memiliki wali, dan wali disini tidak memandang syarat-syaratnya baik ia mulia maupun hina, tetap sahnya perkawinan itu dengan adanya wali, mereka ini mengkiaskan dengan seorang penjual barang, disini tidak memandang kepada si penjual baik dia bodoh maupun itu pandai, yang lebih penting adalah bahwa perbuatan menjual itu terlaksana.67

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, penulisan lebih cenderung kepada pendapat jumhur ulama, karena mereka ini banyak pengikut-pengikutnya yang menguatkannya serta lebih jelas argumennya dari yang lain.

Menurut Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam (KHI):

66Marahalim Harahap,Op.Cit. Hal. 24 67Marahalim Harahap,Op.Cit. Hal. 25

(1)Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau `adhalatau enggan.

(2)Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

ad.3. Wali Tahkim: yaitu wali yang diminta oleh perempuan untuk menjadi wali/menikahkannya. Wali Tahkim terjadi ketika wali nasab dan wali hakim tidak ada.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, jelaslah bahwa terdahulu dapat disimpulkan wali dalam suatu pernikahan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu Wali Nasab yang berasal dari kerabat yang memiliki hubungan darah terdekat, Wali Hakim yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang, dan Wali Tahkim yang merupakan wali yang dimintakan oleh pemohon.

Dokumen terkait