SEKITAR KAWASAN
DAFTAR LAMPIRAN
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata
2.5 Pengertian Wisata yang Berkelanjutan
Wisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) adalah perluasan dari paradigma baru akan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) sehingga dapat diaplikasikan pada peningkatan taraf ekonomi dan sosial masyarakat (Fennel, 1999). Beberapa peneliti telah mengidentifikasi pasaran untuk wisata alam berkelanjutan yang mengedepankan penggunaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang memiliki keuntungan jangka panjang, melindungi kelestarian lingkungan hidup dan menstimulasikan pembangunan komunitas lokal.
Menurut Epler (1996) ekowisata sebagai adanya tanggung jawab dalam kunjungan ke tempat-tempat yang masih alami dimana dapat menjaga, melindungi, dan melestarikan lingkungan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Hall (2000) menyatakan bahwa wisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) adalah salah satu kegiatan wisata yang mengusahakan agar kegiatannya itu seminimal mungkin tidak memberikan dampak yang negatif bagi lingkungan dan budaya lokal. Selain itu, dapat membantu meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat sekitar dan juga dapat menjaga kelestarian ekosistem. Wisatawan juga dituntut untuk bisa menjaga lingkungan dan kebudayaan lokal. Wisata yang berkelanjutan juga mengarah kepada periode jangka panjang dengan adanya potensi wisata alam yang lestari namun belum terciptanya potensi jangka panjang bagi aktivitas manusia. Sementara itu, perkembangan infrastruktur pada industri wisata juga belum bisa dikembangkan kedalam perencanaan jangka panjang. Rasa tanggung jawab dan bersikap adaptif adalah salah satu kunci yang dapat mengembangkan sektor wisata yang berkelanjutan.
Adapun prinsip-prinsip wisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) adalah (Hall, 2000) :
1. Menyediakan informasi dan pendidikan lingkungan tentang kehidupan satwa liar, habitat alami dan keadaan alam kepada wisatawan.
2. Melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan interpretasi lingkungan dan kegiatan teknis di lapangan, serta mengenalkan kebudayaan lokal dan nilai- nilai tradisional.
4. Mengadakan penelitian dalam kegiatan ekowisata agar dapat mengurangi dampak wisatawan yang ditimbulkan terhadap kelestarian lingkungan.
5. Memfasilitasi dalam kegiatan spiritual dan penyembuhan emosional. 6. Memfasilitasi kegiatan rekreasi dan relaksasi.
7. Memberikan pengetahuan kepada wisatawan tentang kearifan lokal dan nilai- nilai lingkungan yang baik untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.
8. Kegiatan wisata diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pekerjaan berhubungan dengan masyarakat lokal.
9. Program pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk mengelola warisan budaya dan menjaga kelestarian lingkungan serta sumberdaya alam agar tetap terjaga.
Wisata berkelanjutan (Sustainable Tourism) meliputi segala segmen dalam industri pariwisata dengan adanya panduan dan kriteria dalam mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Dalam hal ini adalah mengurai pemakaian sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, meningkatkan peran serta wisatawan dalam menjaga dan melestarikan alam serta lingkungan.
Pariwisata berkelanjutan berdasarkan pengertian dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan wisata dengan tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang. Pembangunan pariwisata berkelanjutan dicitrakan menjadi patokan dalam pengaturan sumberdaya sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika tercapai dengan tetap menjaga integritas budaya, proses-proses dan keanekaragaman hayati.
2.6 Pengembangan Pariwisata Alam
Pengembangan pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut dengan memperhatikan prinsip-prinsip pariwisata alam, unsur-unsur pengembangan dan tahapan pengembangan (Direkotrat Wisata Alam dan Jasa Lingkungan, 2001). Pengembangan ODTWA merupakan sub-sistem dari pengembangan pariwisata daerah dan pengembangan wilayah pada umumnya yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat bagi masyarakat setempat.
Direktorat Wisata Alam dan Jasa Lingkungan (2001) menjelaskan bahwa kegiatan pengembangan suatu kawasan hutan sebagai suatu kawasan wisata alam seyogyanya mencakup paling tidak lima prinsip pengembangan wisata alam : 1. Konservasi, keberhasilan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai tujuan
kegiatan wisata alam akan bergantung pada sejauh mana upaya-upaya konservasi kawasan tersebut dapat secara praktis dilaksanakan.
2. Ekonomi, aspek ini akan berdampak langsung maupun tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan khususnya, dan pada pembangunan ekonomi regional secara umum. Kontribusi ekonomi sektor wisata alam yang cukup signifikan dirasakan langsung terutama oleh masyarakat setempat akan mampu mendorong dan menumbuhkan timbulnya rasa memiliki masyarakat tersebut untuk secara bersama-sama menjaga pelestarian kawasan yang selama ini sebagian dari sumber penghasilannya sehari-hari.
3. Pendidikan dan Penelitian
Aspek ini mengarah pada upaya-upaya apa yang seharusnya dilakukan dalam rangka mendidik masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian kawasan dan mampu menunjukkan sikap menerima terhadap setiap wisatawan yang datang.
4. Partisipasi, setiap tahapan kegiatan perencanaan pengembangan harus dilakukan melalui proses dialog yang kreatif antara pengelola dan masyarakat setempat. Pengembangan pariwisata alam di hutan produksi agar memperhatikan hal-hal seperti berikut : masyarakat dilibatkan sejak tahap perencanaan sampai tahap monitoring dan evaluasi, meningkatkan keterampilan masyarakat dalam pengembangan pariwisata alam di hutan. 5. Produksi melalui pelatihan dan pendidikan, memperhatikan budaya setempat,
hak-hak masyarakat terasing, agama dan kepercayaan.
6. Rekreasi, adanya pengembangan dan perubahan trend pariwisata pada dewasa ini lebih mengarah kepada resource-based recreation, keberadaan tour operator, agen dan para peduli pelestarian alam diharapkan mampu mempertemukan diri ke dalam satu wadah atau kepentingan, yaitu rekreasi dan konservasi dimana kedua aspek tersebut harus berjalan secara sinergik dan memberikan kontribusi yang positif antara yang satu dengan yang lainnya.
2.7 Pengembangan Pariwisata dan Dampaknya terhadap Sosial Ekonomi Menurut Spillane (1994) ada beberapa dampak positif yang ditimbulkan dengan adanya jasa pariwisata:
1. Perubahan pada jangka panjang dalam struktur penerimaan yang dapat mendorong perluasan dari sektor jasa dalam perekonomian, khususnya jasa-
jasa pariwisata. Semakin meningkat tingkat pendapatan nyata dan semakin banyak waktu yang disediakan untuk liburan, maka semakin besar permintaan akan rekreasi dan hiburan serta manfaat lain dari pariwisata.
2. Pariwisata merupakan industri yang padat karya, karena tenaga kerja sulit digantikan dengan modal atau peralatan. Oleh karena itu, pariwisata merupakan sumber pokok dari pekerjaan pada tingkat regional. Terciptanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat sebagai tenaga keamanan, kebersihan, tenaga dapur (koki), tenaga cuci dan sebagainya.
3. Pariwisata sebagai sumber dalam neraca pembayaran.
4. Pariwisata mendistribusikan pembangunan dari pusat industri kearah wilayah desa yang belum berkembang. Jadi, pariwisata dapat menjadi dasar pembangunan regional.
Dalam pengembangan usaha jasa dan akomodasi juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pembangunan ekonomi antara lain (Spillane, 1994): 1. Pariwisata sering dianggap tergantung pada pasar dan impor.
2. Terjadinya kebocoran pendapatan industri pariwisata.
3. Perkembangan fasilitas pariwisata cenderung berpolarisasi secara spasial yaitu berkaitan dengan tempat.
4. Sifat dari pekerjaan dalam sektor pariwisata cenderung menerima gaji yang rendah, menjadi pekerja musiman, tidak ada serikat buruh, hanya bekerja pada sebagian waktu (part time) dan khusus untuk anggota keluarga.
5. Permintaan akan pariwisata dapat menaikkan harga tanah sehingga menyebabkan kesulitan bagi penghuni tersebut yang tidak bekerja dalam sektor pariwisata dan ingin membangun rumah atau mendirikan bisnis disana.
6. Perkembangan pariwisata dapat menimbulkan masalah besar terhadap lingkungan misalnya : polusi udara dan air, keramaian lalu lintas dan kerusakan dari pemandangan alam yang tradisional.
2.8 Pengembangan Pariwisata dan Dampak Lingkungan
Pengusahaan obyek wisata alam diijinkan untuk dilaksanakan dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Pengusahaan obyek wisata alam ini mempunyai sasaran antara lain sebagai berikut (Irwanto, 2006) :
• Terbukanya bidang usaha dalam bentuk industri wisata alam;
• Masuknya modal (BUMN, Swasta, Koperasi) di bidang wisata alam;
• Membuka kesempatan masyarakat di sekitar obyek wisata alam dalam usaha jasa pariwisata.
Kegiatan pengelolaan obyek wisata alam dilaksanakan dengan prinsip- prinsip antara lain sebagai berikut :
• Pemanfaatan kawasan sesuai dengan fungsinya;
• Dipertahankannya lingkungan obyek wisata sealami mungkin;
• Pengaturan dan pengendalian dampak negatif akibat aktivitas pengunjung.
Dengan demikian, pada umumnya dampak lingkungan kegiatan pengusahaan obyek wisata alam bersifat positif, yaitu terhadap komponen sosial ekonomi dan budaya. Dampak positif yang timbul antara lain : (a) penyerapan tenaga kerja, (b) peningkatan pendapatan, (c) diversifikasi kesempatan berusaha, (d) perkembangan ekonomi wilayah, (e) peningkatan pendidikan dan kesehatan
masyarakat, (f) perhubungan dan komunikasi, (g) perubahan orientasi nilai budaya, dan (h) persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi.
Pengembangan pariwisata menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, mempertahankan dan meningkatakan lingkungan, serta meningkatakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Akan tetapi pengembangan pariwisata juga dapat menjadi hal yang sangat merugikan, terutama jika berhubungan degan penurunan nilai kelestarian lingkungan. Berikut dipaparkan dampak negatif yang dihasilkan pariwisata terhadap lingkungan fisik alami (Hartanto, dalam Seminar Planning Sustainable Tourism, 1996).
1. Flora dan fauna
• Adanya ganguan terhadap perkembangbiakan spesies tertentu yang diakibatkan oleh aktivitas dan kegiatan para wisatawan.
• Lenyapnya populasi spesies tertentu.
• Perusakan vegetasi yang disebabkan oleh pembangunan. 2. Masyarakat setempat
Masyarakat lokal adalah pihak yang paling akan menerima dampak dari kegiatan wisata yang dikembangkan di daerahnya. Oleh karena itu aspirasi masyarakat sangat dibutuhkan dan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata.
3. Polusi
• Timbulnya polusi air karena kegiatan-kegiatan para wisatawan. • Polusi udara yang disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor.
• Polusi suara yang disebabkan oleh sesaknya kegiatan manusia dan kemacetan lalu lintas serta tidak terkontrolnya kehidupan malam.
4. Erosi
• Timbulnya landslide yang diakibatkan oleh terkontrolnya daerah terbangun dan penggundulan hutan.
• Kerusakan tepi sungai diakibatkan oleh tak terawasinya aktivitas pelayaran sungai.
5. Sumber daya alam
• Surutnya sumber daya air tanah dan penipisan tanah dikarenakan terlalu padatnya daerah terbangun dan rusaknya sumber daya mata air.
• Bahaya kebakaran disebabkan oleh wisatawan yang tidak bertanggung jawab.
6. Dampak visual
• Daerah terbangun yang tidak asri disebabkan oleh kurangnya perencanan dan pengawasan.
• Pemandangan kumuh yang disebabkan oleh sampah dan kurangnya kesadaran akan kebersihan.
2.9 Regresi Linier Berganda
Lind et al. (2008) menyatakan regresi digunakan untuk menunjukkan hubungan antara 2 variabel yang menunjukkan pola keseluruhan dari variabel terikat (Y) terhadap suatu variabel bebas/variabel penjelas (X). Gurajati (1998) mendefinisikan analisis regresi sebagai kajian terhadap hubungan satu variabel yang disebut sebagai variabel yang diterangkan (the explained variable) dengan satu atau dua variabel yang menerangkan (the explanatory).
Pada regresi terdapat hubungan sebab akibat antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen merupakan variabel penjelas sedangkan variabel dependen merupakan variabel yang terikat
yang nilainya dipengaruhi oleh variabel independen. Jika variabel bebas hanya satu, maka analisis regresi tersebut disebut regresi sederhana. Jika variabel bebas lebih dari satu, maka analisis tersebut disebut regresi linier berganda.
Persamaan model regresi linier berganda secara umum dituliskan sebagai berikut (Lind et al, 2008) :
Y β X β X β X … β X ε
dimana :
Y = fungsi linier dari beberapa peubah bebas X1, X2, …, Xk, dan komponen sisaan ε (error)
i = nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data populasi, atau sampai n untuk data contoh (sample).
Xki = pengamatan ke-i untuk peubah bebas Xk. Βk = intersep model regresi.
Menurut Juanda (2009), model regresi linier berganda didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut :
a. Spesifikasi model ditetapkan seperti dalam persamaan umum regresi linier berganda.
b. Peubah Xk merupakan peubah non-statistik (fixed), artinya sudah ditentukan, bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linier sempurna antar peubah bebas Xk.
c. Komponen sisaan εi mempunyai nilai harapan sama dengan nol, dan ragam konstanta untuk semua pengamatan i. E(εi) = 0 dan Var(εi) = σ2.
d. Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan sehingga Cov(εi,εj) = 0, untuk i ≠ j.
2.10 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai dampak ekonomi wisata terhadap masyarakat telah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun penelitian mengenai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pengembangan taman wisata masih sedikit dilakukan karena hasilnya akan berbeda untuk tempat dan waktu yang berbeda.
Penelitian Wijaya (2007) mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dari adanya perkembangan pariwisata. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat pesisir Desa Gili Indah, Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian ini kesempatan kerja yang mampu diserap dari adanya kegiatan pariwisata di Gili Indah sebanyak 4.320 orang di tahun 2005 dan proyeksi pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebanyak 4.427 dan 4.533 orang. Nilai multiplier tenaga kerja tahun 2005 adalah sebesar 75,28 sehingga pertumbuhan tenaga kerja pada tahun 2005, yaitu sebesar 104 orang telah memberikan kesempatan kerja pada sektor lainnya sebesar 7.800 orang. Analisis aspek mikroekonomi masyarakat memperoleh hasil yaitu pariwisata mempengaruhi pendapatan masyarakat pesisir Desa Gili Indah (Z=-6,401), akan tetapi tidak mempengaruhi pendapatan riil masyarakat (Z=-0,361). Secara sosial budaya, masyarakat pesisir Desa Gili Indah berada pada tingkat sikap apathy, yaitu sikap masyarakat yang menerima wisatawan sebagai suatu yang lumrah dan hubungan antara masyarakat dengan wisatawan didominasi oleh hubungan komersil.
Penelitian Rischa (2010). Penelitian tersebut mengenai analisis faktor- faktor yang mempengaruhi permintaan wisata dan dampak ekonomi kawasan wisata galunggung Tasikmalaya. Hasil penelitian mengenai dampak ekonomi kawasan wisata terhadap masyarakat menunjukkan perubahan pendapatan terbesar sebagai dampak ekonomi langsung kawasan wisata galunggung dirasakan oleh
tukang ojek dengan peningkatan pendapatan Rp 1.076.000,00 per bulan. Penyerapan tenaga kerja tertinggi terdapat pada kelompok pekerjaan pemilik warung di kawasan gunung galunggung yaitu sebesar 39,91% dari total tenaga kerja.
Penelitian-penelitian terdahulu pada intinya membahas hal yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Adapun penelitian yang dimaksud adalah mengenai dampak pengembangan wisata terhadap masyarakat. Hal yang membedakan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian pada kawasan ini merupakan penelitian yang mengkaji wisata alam yang dikembangkan di kawasan lindung dengan konsep perpaduan keindahan alam dan sumber air panas alami yang dimanfaatkan untuk pengobatan dimana kawasan ini merupakan salah satu kawasan yang selain berfungsi sebagai tempat wisata juga berfungsi sebagai kawasan lindung.
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis yang dikaji dalam penelitian ini ditekankan pada kawasan yang dilindungi, pengembangan pariwisata pada kawasan yang dilindungi dan peran serta masyarakat terhadap pengembangan wisata.
3.1.1 Kawasan yang Dilindungi
Kawasan lindung adalah kawasan yang memiliki fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan (BKTRN, 1996). Kawasan ini antara lain kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan di bawahnya seperti hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air. Kawasan lindung termasuk pula antara lain adalah kawasan suaka alam, kawasan pelestarian dalam dan cagar budaya.
Secara umum, pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup, dengan sasaran mempertahankan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa, nilai sejarah dan budaya serta untuk mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam (BKTRN, 1996). Adapun penetapan sebuah kawasan yang dilindungi memiliki tujuan sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang Nomor 5 pasal 3 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yakni untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Sementara itu, tujuan perlindungan hutan dan konservasi alam adalah untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi
lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari (UU No.41 tahun 1999). Bagi pembangunan, pengelolaan kawasan lindung memberikan kontribusi sebagai dasar dan petunjuk cara pembangunan yang baik agar manfaat pembangunan dapat dirasakan secara terus-menerus (Soemarwoto, 2001).
Mac Kinnon et al., (1993), mengkategorikan kawasan yang dilindungi menjadi enam macam, yaitu : taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman buru dan hutan lindung. Agar dapat dikelola secara efektif, kawasan tersebut harus memiliki dasar hukum yang pasti (Mac Kinnon et al, 1993). Mengacu pada Undang-undang Nomor 5 pasal 14 tahun 1990, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diwujudkan dalam pengelolaan pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa, sementara kawasan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Tiap-tiap jenis kawasan memiliki batasan kriteria dan tujuan pengelolaan yang berbeda.
3.1.2 Pengembangan Pariwisata pada Kawasan yang Dilindungi
Sebagai suatu sistem, pariwisata kadang menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitar, baik terhadap keberadaan sumber daya, keberlangsungan habitat flora dan fauna serta kadang dapat menimbulkan potensi konflik dengan masyarakat sekitar (Hammit et al, 1987). Selain itu, Hammit et al., (1987) juga mengemukakan bahwa kegiatan wisata alam dapat menimbulkan dampak penurunan kualitas tanah, tumbuhan, kehidupan liar dan sumber air di kawasan tersebut. Di samping dampak terhadap lingkungan, pariwisata yang menghasilkan wisata massal dapat pula berdampak negatif terhadap sosial budaya (Fandeli,
2002). Selain itu, untuk mengurangi/menekan terjadinya dampak terhadap kawasan yang dilindungi tersebut, Dirjen Pariwisata dalam (Yoeti, 2000) telah menetapkan dasar-dasar pengembangan wisata alam, yang secara umum sebagai berikut: (1) bersifat ramah lingkungan, termasuk lingkungan sosial-budaya, (2) tetap terjaganya fungsi dan daya dukung lingkungan, (3) ada tindakan untuk mengantisipasi dampak, (4) merupakan tanggung jawab semua pihak terkait, (5) ada pendidikan dan pelatihan bagi pekerja kepariwisataan dan (6) adanya akses informasi ke masyarakat tentang konservasi alam.
3.1.3 Peran serta Masyarakat terhadap Pengembangan Wisata
Secara normatif konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat (UU No. 5 tahun 1990 pasal 4), namun dalam implementasinya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan taman wisata alam belum cukup jauh dijalankan. Berkaitan dengan keberadaan masyarakat di kawasan pelestarian alam, Mac Kinnon et al., (1993) menyatakan beberapa hal penting dalam pengelolaan kawasan tersebut, yakni sebagai berikut: (1) dalam penetapan kawasan, pemukiman kembali penduduk asli sedapat mungkin dihindari, karena budaya asli akan tetap utuh hanya di wilayahnya sendiri, di mana kapasitas produksi lingkungan telah benar- benar dipahami, (2) kawasan harus cukup luas untuk berfungsi sebagai cagar alam dan cagar bagi penduduk setempat, (3) perencanaan kawasan harus dapat mengantisipasi pertambahan penduduk dan perubahan budaya, (4) pegawai penjaga kawasan harus diambil dari penduduk setempat.
Berkaitan dengan itu perlu dilakukan upaya menghubungkan kembali masyarakat dengan lingkungannya sebagai langkah strategis untuk membangun dukungan terhadap pelestarian kawasan (Indriyastuti et al, 2001), di samping itu
tingkat peran serta masyarakat yang tinggi dapat menjamin dukungan sosial dan politik yang sebesar-besarnya (Mac Kinnon et al, 1993). Berdasarkan kondisi ini maka paradigma pengelolaan saat ini perlu diubah dari mengeluarkan manusia dari alam menjadi mengintegrasikan kembali manusia ke dalam alam, dan peran masyarakat harus dikembangkan tidak hanya sekedar pemberi informasi, namun terlibat langsung dalam proses perencanaan.
Peran serta masyarakat dalam kegiatan kepariwisataan dan rekreasi dalam kawasan yang dilindungi juga telah tercantum dalam UU No. 5 tahun 1990 pasal 32 yang menyatakan bahwa untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan rakyat.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Taman Wisata Alam Gunung Pancar merupakan salah satu kawasan pelestarian alam atau konservasi yang berada di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selain menjadi kawasan pelestarian alam atau konservasi, kawasan ini juga merupakan kawasan wisata yang saat ini diminati oleh berbagai wisatawan khususnya wisatawan yang berasal dari Jakarta.
Potensi sumberdaya alam di Taman Wisata Alam Gunung Pancar, baik ekosistem alam maupun buatan, yang kaya akan keanekaragaman hayati, air dan mineral, menunjukkan potensi sumberdaya alam yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sumberdaya alam yang terdapat di taman wisata alam ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik dan berkelanjutan.
Taman Wisata Alam Gunung Pancar memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perkembangan kondisi masyarakat sekitar kawasan. Perubahan
status hutan produksi menjadi taman wisata menimbulkan perubahan pola kehidupan masyarakat yang menuntut kebutuhan hidup yang semakin beragam.
Pemerintah, pengelola dan masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam pelestarian sumberdaya alam sebagai kawasan wisata. Hal ini mengacu pada Undang- Undang No.5 Tahun 1990 pasal 4, yaitu konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan wisata ini diperlukan kerjasama antara pemerintah maupun masyarakat.
Pengembangan yang terjadi di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Pancar merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan banyaknya bermunculan warung-warung baik warung makanan maupun warung minuman sehingga hal ini berdampak positif terhadap perputaran uang dari daerah lain ke masyarakat yang ada disekitar kawasan wisata. Selain itu, juga memberikan peluang usaha bagi masyarakat untuk bekerja. Hal ini terlihat dari bergesernya pola hidup masyarakat yang dahulu petani menjadi pekerja wisata. Masyarakat menjadikan kawasan ini sebagai sumber mencari nafkah.
Perubahan pendapatan masyarakat sekitar yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan Taman Wisata Alam dilihat dengan mengestimasi pendapatan masyarakat tanpa adanya kawasan dan dari adanya kawasan. Setelah perubahan pendapatan masyarakat diperoleh, dapat diduga faktor-faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi pendapatan masyarakat. Faktor-faktor sosial ekonomi yang diduga mempengaruhi pendapatan masyarakat yaitu jumlah tanggungan, umur, lama bekerja di TWA, pendidikan akhir, jarak rumah ke TWA dan jenis kelamin.
Pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut berguna untuk melihat pengaruh perubahan pendapatan masyarakat akibat adanya pengembangan wisata. Dengan demikian, kawasan wisata ini dapat dijadikan alternatif sumber mata pencaharian oleh masyarakat.
Dampak sosial dan lingkungan dianalisis secara deskriptif untuk menilai dampak sosial dan lingkungan pengembangan wisata yang terjadi di kawasan