• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Profil Perilaku Pengobatan Mandiri Mencakup Pengetahuan, Sikap

2. Pengetahuan responden tentang obat tradisional

2. Pengetahuan responden tentang obat tradisional

Pengetahuan (knowledge) dalam penelitian ini adalah hasil tahu responden mengenai obat tradisional yang meliputi: pengertian obat tradisional, bentuk-bentuk sediaan, jenis-jenis obat tradisional, lambang atau logo pada jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka, efek samping obat tradisional, contoh, manfaat dan cara penggunaan obat tradisional. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

a. Pengertian obat tradisional menurut jawaban responden

Berdasarkan pertanyaan pada panduan wawancara “Apakah yang

dimaksud dengan obat tradisional menurut Anda?”, didapat hasil penelitian dari 31 responden yang mengenal obat tradisional sebagai berikut.

Tabel III. Pengertian mengenai obat tradisional menurut jawaban responden, n=31

Pengertian obat tradisional menurut jawaban responden Persentase

(%)

Tidak ada efek samping 16

Seperti jamu 36

Tidak ada bahan kimia dan berasal dari bahan alami, seperti: beras kencur, kunyit asam/ kunir asam

Tabel III. Lanjutan Obat herbal atau tanaman obat dari lingkungan sekitar, contohnya: purwoceng untuk mengatasi masuk angin, menghangatkan dan menyehatkan badan, sirih, jahe dan kemukus untuk melegakan tenggorokan

16

Obat tradisional buatan atau racikan sendiri 10

Seperti Tolak Angin® 3

Keterangan: jawaban responden dapat mengandung lebih dari satu pengertian mengenai obat tradisional

Hasil penelitian (Tabel III) menunjukkan pengertian mengenai obat tradisional yang diketahui responden sebagian besar adalah obat tradisional seperti jamu (36%). Namun dalam hal ini, responden tidak menjelaskan apakah jamu yang dimaksud adalah jamu gendong atau jamu yang dijual dalam kemasan atau dari pabrik jamu. Responden mengatakan obat tradisional seperti jamu dikarenakan jamu telah digunakan secara turun-temurun dan merupakan warisan budaya bangsa dengan khasiat yang didasarkan pada pengalaman empirik yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama (Wasito, 2011). Di Desa Dieng, jamu gendong merupakan jamu yang paling digemari, seperti jamu beras kencur dan kunyit asam, sehingga tidak dapat dipungkiri pendapat responden mengenai obat tradisional adalah seperti jamu.

Sebagian besar responden (32%) juga mengungkapkan bahwa obat tradisional merupakan obat yang tidak mengandung bahan kimia dan berasal dari bahan alami. Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Noviana (2011) bahwa respondennya yaitu pasien geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta telah paham bahwa obat tradisional adalah obat yang berasal dari bagian tanaman atau berbahan alami.

Pengertian-pengertian yang diungkapkan oleh responden tersebut (Tabel III) juga serupa dengan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa “obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah dipergunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat”. Pemahaman responden mengenai obat tradisional sudah sesuai dengan Undang-Undang yang tertera.

b. Bentuk-bentuk sediaan obat tradisional yang dikenal oleh responden Tabel IV. Bentuk-bentuk obat tradisional yang dikenal oleh responden,

n=31

Bentuk-bentuk sediaan obat tradisional Persentase (%) Cairan 87,1 Kapsul 25,8 Pil 6,5 Serbuk/ bubuk 32,3 Tablet 12,9

Tumbuhan obat kering 6,5

Keterangan: responden boleh menjawab lebih dari satu jawaban

Bentuk sediaan obat tradisional dapat berupa bentuk sediaan padat, cair, maupun semi padat. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel IV), sebagian besar responden mengetahui bentuk sediaan cair (87,1%) dan serbuk/ bubuk (32,3%). Hal ini dikarenakan di Desa Dieng terdapat jamu gendong yang merupakan salah satu bentuk sediaan cair obat tradisional yang banyak diminati oleh masyarakat Desa Dieng, seperti beras kencur dan kunyit asam atau kunir asam. Selain itu, sebagian besar masyarakat Desa Dieng yang juga mengonsumsi Tolak Angin® yang berbentuk cair. Responden juga mengenal

bentuk sediaan berupa serbuk atau bubuk yang termasuk dalam sediaan padat atau kering. Cara penyajiannya dilakukan dengan pendidihan atau penyeduhan menggunakan air panas.

Salah satu tanaman obat yang populer di dataran tinggi Dieng adalah Purwoceng. Tanaman Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) ini termasuk tanaman langka karena habitat endemiknya di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah (Abdiyani, 2008). Tanaman ini banyak diperjualbelikan dalam bentuk simplisia kering, serbuk maupun cairan. Sediaan ini banyak digunakan oleh masyarakat Desa Dieng, khususnya laki-laki karena tanaman ini potensial untuk afrodisiaka (Darwati dkk., 2006).

Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk obat tradisional yang dikenal oleh responden sesuai menurut Wasito (2011) bahwa ada yang berbentuk sediaan padat atau kering yang beredar di masyarakat, yaitu bentuk rajangan yang berupa potongan simplisia, campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan sediaan galenik. Selain itu, terdapat juga dalam bentuk serbuk, kapsul, tablet dan pil, sedangkan sediaan cair, yaitu jamu cair dan bentuk cairan lainnya. c. Pengenalan tentang jenis-jenis obat tradisional, yaitu jamu, obat herbal

terstandar dan fitofarmaka

Pada penelitian ini hanya mengacu pada pengenalan responden mengenai jenis-jenis obat tradisional, sehingga perlu adanya penggalian lebih lanjut mengenai apakah benar yang dikenal oleh responden adalah jamu, OHT dan fitofarmaka. Pada Keputusan BPOM RI nomor HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia tercantum berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan

tingkat pembuktian khasiat, obat tradisional di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka.

Gambar 7. Pengenalan responden tentang jenis-jenis obat tradisional, yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka, n=31

Berdasarkan pertanyaan, “Apakah Anda mengenal jenis-jenis obat tradisional, yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka?”, didapatkan

hasil penelitian (Gambar 7) yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengenal jamu dibandingkan dengan OHT dan fitofarmaka. Sebagian besar responden juga tidak mengenal OHT dan fitofarmaka. Hal ini menunjukkan jamu lebih banyak dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat dalam menjaga kesehatan dan mengobati penyakit yang diderita daripada OHT dan fitofarmaka. Jamu telah digunakan secara turun-temurun selama berpuluh-puluh bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu dan telah membuktikan

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Mengenal Tidak mengenal Mengenal Tidak mengenal Mengenal Tidak mengenal

Jamu Obat Herbal Terstandar

(OHT) Fitofarmaka 97% 3% 19% 81% 3% 97%

keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan pengobatan atau menjaga kesehatan (Wasito, 2011).

Selain itu, hasil penelitian di atas (Gambar 7) didukung juga dengan pengertian obat tradisional yang paling banyak diketahui oleh responden. Sebagian besar responden mengatakan bahwa obat tradisional seperti jamu, sehingga hal tersebut dapat berhubungan langsung dengan jenis obat tradisional yang paling banyak dikenal oleh responden, yaitu jamu.

Jamu yang beredar di masyarakat bermacam-macam, antara lain jamu buatan sendiri, jamu yang berasal dari pembuat jamu/ herbalist atau jamu gendong dan jamu buatan industri (Handayani, 2002). Jamu gendong merupakan salah satu obat tradisional dalam bentuk cairan yang sangat digemari masyarakat dan sangat populer. Sama halnya di Desa Dieng, kunyit asam dan beras kencur merupakan jamu gendong yang banyak dikonsumsi, khususnya untuk perempuan.

Tolak Angin® merupakan obat herbal terstandar yang juga banyak digunakan oleh masyarakat Desa Dieng berkhasiat untuk menghilangkan gejala masuk angin. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden tidak mengenal OHT. Hal ini kemungkinan terkait dengan responden yang tidak memperhatikan dan tidak mengetahui jika Tolak Angin® merupakan OHT. Begitu juga halnya dengan fitofarmaka, kemungkinan responden memang tidak mengetahui jenis obat tradisional tersebut. Menurut Pramono (2012), produk yang telah terdaftar pada BPOM lebih dari 13.000 jamu, sekitar 38 OHT dan 6

fitofarmaka, sehingga hal ini dapat menjadi dasar bahwa jamu lebih dikenal dibandingkan OHT dan fitofarmaka.

d. Pengenalan responden mengenai lambang atau logo pada jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengenalan responden terhadap lambang atau logo jenis-jenis obat tradisional dapat digambarkan pada grafik sebagai berikut:

Gambar 8. Pengenalan responden mengenai lambang atau logo pada jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka, n=31

Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 8) menunjukkan bahwa pengenalan responden terhadap lambang atau logo, baik jamu, OHT dan fitofarmaka tergolong rendah. Bahkan, logo pada fitofarmaka tidak ada yang mengenal dan logo pada OHT yang mengenal hanya 3%. Hal ini kemungkinan dikarenakan responden tidak mengetahui istilah fitofarmaka dan OHT,

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Mengenal Tidak mengenal Mengenal Tidak mengenal Mengenal Tidak mengenal

Lambang Jamu Lambang Obat Herbal

Terstandar (OHT) Lambang Fitofarmaka 39% 61% 3% 97% 0 100%

sedangkan persentase yang menyatakan mengenal logo jamu jauh lebih tinggi karena memang istilah jamu lebih dikenal. Dari Gambar 7 menunjukkan bahwa responden yang menyatakan mengenal jenis obat tradisional berupa jamu lebih tinggi yaitu sebanyak 97% dibandingkan dengan OHT dan fitofarmaka, sehingga sangat wajar apabila responden lebih mengenal logo pada jamu. Hasil penelitian juga menunjukkan semua responden tidak mengenal logo pada fitofarmaka. Hal ini kemungkinan dikarenakan responden yang tidak mengenal istilah fitofarmaka. Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 7, responden yang mengenal istilah fitofarmaka hanya sedikit yaitu 3%, sehingga ada kemungkinan lain responden tersebut tidak memperhatikan logo pada kemasan.

Namun demikian, bukan berarti bahwa pernyataan mengenai apakah responden mengenal logo jamu adalah benar bahwa hal tersebut adalah logo jamu yang dimaksud berdasarkan Keputusan BPOM RI nomor HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Berdasarkan hasil wawancara, dapat diidentifikasikan bahwa pengenalan terhadap logo jamu adalah logo perusahaan pada kemasan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan wawancara sebagai berikut:

Lambangnya yang saya kenal yang air mancur dan sidomuncul, yang ada cangkir dan tumbukannya” (S).

“Saya tahunya jamu. Kalau yang jamu sawanan itu lambangnya ibu lagi menyusui anak” (F).

“Gambar orang Nyonya Meneer, Jamu Jago gambar jago, Jamu Caspleng gambar binaraga, gambar anak kecil itu jamu sariawan”

(HGT).

“Jamu lambangnya ada daunnya, daunnya ada tumbukannya” (U).

Responden mengenal logo perusahaan yang terdapat pada kemasan, yaitu Air Mancur, Sidomuncul, Nyonya Menner dan Jamu Jago (Gambar terlampir). Hasil kutipan wawancara responden lainnya mengungkapkan logo jamu seperti gambar daun. Gambar daun yang dimaksud oleh responden lebih mengarah kepada gambar kemasan, bukan berdasarkan logo berdasarkan Keputusan BPOM RI dan logo perusahaan. Jadi, dapat dikatakan bahwa pengenalan logo dari ketiga jenis obat tradisional yang dinyatakan responden adalah lebih ke logo perusahaan obat tradisional pada kemasan. Hal ini mengindikasikan bahwa sosialisasi logo ketiga jenis obat tradisiobal masih sangat diperlukan.

Secara umum, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pangastuti (2014) pada masyarakat Desa Bantir, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah yang mengungkapkan bahwa logo OHT dan fitofarmaka tidak dikenal oleh masyarakat. Namun, pada penelitian Pangastuti (2014) menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengetahui dengan baik logo pada kemasan jamu dengan perbedaan karakteritik masyarakat yaitu sebagian besar masyarakat bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) dan pendidikan terakhir adalah SD.

e. Pendapat responden mengenai apakah obat tradisional dapat menimbulkan efek samping

Berdasarkan pertanyaan “Menurut Anda, apakah obat tradisional dapat menimbulkan efek samping?”, diketahui sebagian besar responden menganggap obat tradisional tidak menimbulkan efek samping. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya di kalangan mahasiswa oleh Cristiana (2014).

Dari segi efek samping memang diakui bahwa tanaman obat atau obat tradisional memiliki efek samping relatif kecil dibandingkan obat, tetapi perlu diperhatikan bila ditinjau dari kepastian bahan aktif dan konsistensinya yang belum dijamin terutama untuk penggunaan secara rutin. Bila dikatakan obat alam atau obat tradisional itu tidak memiliki efek samping, sekecil apapun efek samping tersebut tetap ada. Namun, hal itu bisa diminimalkan jika diperoleh informasi yang cukup yang meliputi kebenaran bahan, ketepatan dosis, ketepatan waktu penggunaan, ketepatan cara penggunaan, ketepatan telaah informasi, dan tanpa penyalahgunaan obat tradisional itu sendiri (Katno dan Pramono, 2008; Sari, 2006). Winata (2003) juga menegaskan bahwa sangat keliru bila menganggap obat tradisional tidak memiliki efek samping karena

Dapat menimbulkan efek samping 13% Tidak menimbulkan efek samping 84% Tidak tahu 3%

Gambar 9. Pendapat responden mengenai apakah obat tradisional dapat menimbulkan efek samping, n=31

bagaimanapun tanaman obat sebagai bahan baku obat tradisional mengandung zat aktif yang dapat menimbulkan reaksi saat berinteraksi dengan tubuh. f. Pengetahuan responden mengenai contoh, manfaat dan cara penggunaan

obat tradisional

Pengetahuan tentang obat tradisional atau tanaman berkhasiat obat dapat berdasarkan pada pengalaman dan keterampilan yang secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel V) menunjukkan obat tradisional yang diketahui dan pernah digunakan oleh responden untuk pengobatan mandiri beserta manfaat dan cara penggunaannya, baik jamu gendong, obat tradisional buatan pabrik maupun obat tradisional buatan sendiri yang dapat membantu mengatasi gejala atau keluhan sakit yang dialami.

Diperlukan pengetahuan yang cukup untuk memilih obat tradisional mana yang sesuai dengan penyakit yang diderita dan jangan sampai obat tradisional yang digunakan tidak sesuai untuk mengatasi gejala atau keluhan sakit yang dialami. Cara menggunakan obat tradisional berbeda-beda tergantung kenyamanan masing-masing responden dan bentuk sediaan yang tersedia. Ada responden yang menggunakannya dengan cara diseduh atau direbus dengan air bersih, dicampur dengan minuman atau makanan atau langsung diminum.

Tabel V. Daftar obat tradisional yang diketahui oleh responden untuk digunakan dalam pengobatan mandiri

No. Nama obat

tradisional

Manfaat Cara penggunaan

1. Purwoceng Untuk badan pegal-pegal

dan menghangatkan badan

Direbus 1 batang untuk 2 gelas. Direbus menggunakan kuali tanah supaya kandungannya tidak hilang. Menyehatkan dan

meringankan badan bila lelah

Ditepung daun purwoceng, jika direbus diberi gula, 1 gelas, seperti membuat teh.

Untuk stamina Ada yang direbus dengan akar dan daun,

ada yang dibubuk dan dicampur dengan madu.

2. Tolak

Angin®

Masuk angin Langsung diminum dan dapat dicampur

dengan teh.

3. Kunyit

asam/ kunir asam

Mencegah keputihan dan menghilangkan bau badan.

Direbus kunyit yang sudah diparut, diberi gula jawa dan asam jawa, 1 gelas diminum sesudah makan.

Digunakan saat menstruasi.

Membersihkan daerah kewanitaan.

4. Beras kencur Melegakan perut kalau

kembung dan menyegarkan tubuh.

Jamu gendong atau penjual jamu keliling langsung diminum.

Menambah nafsu makan.

5. Jamu

sawanan

Menghangatkan badan melancarkan air susu ibu (ASI)

Diseduh dan langsung diminum.

6. Jahe Menghangatkan badan Direbus jahe 1/4 kilo, diberi gula aren

dengan 3 gelas air.

7. Kunyit dan

kencur

Mencegah penyakit dan menambah stamina tubuh

Dicuci dan direbus dengan gula jawa dan madu.

8. Jamu

Brotowali

Menambah nafsu makan dan mengurangi gatal.

Direbus brotowali mentah dan

diminum. Membersihkan darah.

9. Obat Pegal

Linu Air Mancur

Untuk sariawan, lelah dan pegal linu

Diseduh untuk 1 gelas.

10. Godong Ijo Pegal linu dan kelelahan 2 kapsul sehari

11. Temulawak

dan temuireng

Menebalkan usus dan meredakan asam lambung

Diparut, diperas dan diminum.

12. Jamu Godog

Tradisional Cap Ontorejo

Mengobati asam urat Direbus dan diminum.

Purwoceng merupakan salah satu tumbuhan obat yang paling populer di Desa Dieng karena habitat endemiknya di desa tersebut, sehingga tidak dapat dipungkiri jika obat tradisional yang diketahui oleh responden adalah

purwoceng. Purwoceng banyak diminati masyarakat Desa Dieng karena berpotensi sebagai peningkat vitalitas tubuh. Kandungan vitamin E dalam purwoceng sebagai bahan kosmetika untuk peremajaan sel-sel tubuh dan memperbaiki kesuburan wanita (Abdiyani, 2008). Dalam hal ini, baik laki-laki atau perempuan boleh mengonsumsi purwoceng, namun penggunaannya tetap perlu diperhatikan.

Tolak Angin® merupakan salah satu obat tradisional yang paling banyak digunakan dan digemari oleh masyarakat Desa Dieng. Hal ini dikarenakan Desa Dieng merupakan desa di dataran tinggi dengan suhu udara yang sangat dingin sehingga sebagian besar masyarakat Desa Dieng mengomsumsi Tolak Angin®. Tolak Angin sebagai obat herbal terstandar dan diproduksi di pabrik berstandar GMP (Good Manufacturing Process) berkhasiat untuk menghilangkan gejala masuk angin, seperti: mual, perut kembung, sakit kepala, tenggorokan kering, badan meriang, dan demam. Tolak Angin terbuat dari bahan-bahan alami berkhasiat antara lain: madu, jahe, daun mint, cengkeh dan buah adas. Tolak Angin® tersebut banyak dijual ditemukan di warung atau toko dengan harga yang cukup murah.

Jamu menjadi pilihan bagi masyarakat karena faktor kebiasaan minum jamu untuk pengobatan dan menjaga kesehatan dengan harga terjangkau. Keterjangkauan inilah yang menjadi pertimbangan masyarakat memanfaatkan jamu (Tilaar dkk., 2014). Dalam penelitian ini, jamu beras kencur dan kunyit asam banyak diketahui oleh responden. Penggunaan kunyit asam/ kunir asam digunakan, khususnya ibu rumah tangga untuk mencegah keputihan,

melancarkan menstruasi dan menghilangkan bau badan. Kunyit asam yang terbuat dari kunyit, gula jawa dan asam jawa ini merupakan jenis jamu gendong atau jamu yang banyak dijual di pasaran, termasuk beras kencur. Menurut Sastroamidjojo (2001), kunyit diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri saat menstruasi dan sudah turun-temurun dikonsumsi dalam ramuan jamu kunyit asam yang sangat baik dikonsumsi saat menstruasi.

Jamu beras kencur sudah sangat populer sebagai minuman penyegar dan memiliki banyak manfaat, seperti radang lambung, influenza pada bayi, masuk angin, sakit kepala, batuk, menghilangkan darah kotor, diare, memperlancar menstruasi, mata kelelahan, keseleo dan kelelahan (Nurmalina dan Valley, 2012), sehingga tidak heran banyak masyarakat Desa Dieng yang mengonsumsinya untuk menjaga kesehatan. Namun, diharapkan masyarakat lebih cermat untuk memilih dan menggunakan suatu produk obat tradisional atau tumbuhan obat dalam upaya kesehatan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Katno dan Pramono (2008) tentang tingkat manfaat dan keamanan tanaman obat dan obat tradisional mengungkapkan bahwa kencur (Kaempferia galanga) memang bermanfaat untuk menekan batuk, tetapi berdampak meningkatkan tekanan darah, sehingga bagi penderita hipertensi sebaiknya tidak dianjurkan minum jamu beras kencur. Sama halnya pada brotowali (Tinospora sp.) yang dapat mengganggu kehamilan dan menghambat pertumbuhan plasenta. Oleh karena itu, perlu pengetahuan yang cukup untuk memilih obat tradisional yang sesuai dengan penyakit yang diderita dan kontraindikasi dari obat tradisional.

Dokumen terkait