• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu terutama melalui mata dan telinga.Bila seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu dengan lancar, baik secara lisan maupun tertulis maka dapat dikatakan mengetahui bidang tersebut.Sekumpulan jawaban verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan.Melalui lingkungan seseorang mendapat pengalaman dan pengetahuan.Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal atau pendidikan informal.Makin tinggi pendidikan formal seseorang makin luas pengetahuannya. Pengetahuan merupakan salah satu bentuk operasional dari perilaku manusia yang dapat mempengaruhi sikap seseorang (Notoatmodjo S,2003).

Menurut Machfoedz, et al (2005) cara orang yang bersangkutan mengungkapkan apa-apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti atau jawaban baik lisan dan tertulis. Bukti atau jawaban tersebut merupakan reaksi dari suatu stimulus yang dapat berupa pernyataan lisan maupun tertulis.Seseorang memiliki pengetahuan yang tinggi apabila mampu mengungkapkan sebagian besar informasi dari suatu objek dengan benar.Demikian juga bila seseorang hanya mampu menggunakan sedikit informasi dari suatu objek dengan benar maka dikategorikan berpengetahuan rendah tentang objek tersebut.

2.1.2. Tingkat Pengetahuan didalam Domain Kognitif

Pengetahuan dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo S (2003) mencakup 6 (enam) tingkatan, yaitu :

a) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b)Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.

d)Analisa (analysis)

Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e) Sintesis (synthesis)

Sintesis merupakan kepala suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Notoatmodjo S (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : sosial ekonomi, kultur atau budaya, pendidikan dan pengalaman.

2.1.4. Cara Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan domain kognitif (Notoatmodjo S,2003).

2.2. SIKAP

2.2.1. Pengertian Sikap

Menurut Notoatmodjo S (2005), sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek.

Sikap juga dikatakan sebagai kecenderungan untuk bertindak, berfikir, berpersepsi, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi lebih merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap.

2.2.2. Tingkatan Sikap

Sifat dapat diklasifikasikan dalam berbagai tingkatan, diantaranya adalah sebagai berikut (Notoatmodjo S,2005) :

a. Menerima (receiving)

Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau dan bersedia mempertahankan stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mempersiapkan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sebuah sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang

diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar attau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut

c. Menghargai (valuing)

Indikasi sikap ketiga adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko.

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain : a. Pengalaman pribadi

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting c. Pengaruh kebudayaan

d. Media massa

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama f. Pengaruh faktor emosional

2.2.4. Cara Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Sedangkan secara tidak langsung dapat dilakukan pernyataan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo S,2003).

2.3. Debu

2.3.1 Pengertian

Debu adalah partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis, seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan organik

maupun anorganik, misalnya batu, kayu, bijih logam, arang batu, butir-butir zat padat dan sebagainya (Suma’mur PK, 2006).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2003) debu ialah partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses mekanis. Jadi pada dasarnya, pengertian debu adalah partikel yang berukuran kecil sebagai hasil dari proses alami maupun mekanis.

Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter / SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron (Pudjiastuti W,2002).

2.3.2 Sifat debu

Menurut Pudjiastuti W (2002), dari sifatnya debu dikategorikan pada : 1. Sifat mengendap

Debu cenderung mengendap karena gaya gravitasi bumi. Namun karena ukurannya yang relatif kecil berada di udara.Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara.

2. Permukaan cenderung selalu basah

Permukaan debu yang cenderung selalu basah disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis.Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.

3. Sifat menggumpal

Debu bersifat menggumpal disebabkan permukaan debu yang selalu basah, sehingga debu menempel satu sama lain dan membentuk gumpalan.

4. Listrik statis (elektrostatik)

Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lain yang berlawanan. Adanya partikel yang tertarik ke dalam debu akan mempercepat terjadinya proses penggumpalan.

5. Opsis

Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancakan sinar yang dapat terlihat pada kamar gelap.

2.3.3 Klasifikasi Debu

Secara garis besar, ada tiga macam debu yaitu :

1. Debu organik seperti debu kapas, debu daun-daunan, tembakau dan sebagainya.

2. Debu mineral yang merupakan senyawa kompleks seperti silikon dioksida (SiO2), silikon trioksida (SiO3), arang batu dan sebagainya.

3. Debu metal merupakan debu yang mengandung unsur logam seperti timah hitam, mercuri, aseton dan lain-lain.

Dari segi karakter zatnya, debu terbagi atas : 1. Debu fisik (debu tanah, batu dan mineral )

2. Debu kimia (debu organic dan anorganik) 3. Debu biologis (virus, bakteri, jamur)

Ditempat kerja debu jenis-jenis ini dapat ditemukan seperti dalam kegiatan pertanian, pengusaha keramik, batu kapur, batubara,dan lain-lain (Pudjiastuti W,2002).

2.3.4. Sumber dan distribusi debu

Secara alamiah partikulat debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Sedangkan sumber debu yang tidak sempurna akibat ulah manusia sebagian besar berasal dari pembakaran hutan, pembakaran batubara, proses industri, dan gas buangan alat transportasi. Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu deposite particulate matter adala/h partikel debu yang hanya berada di udara, partikel ini segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Dan Suspended

particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus F,2006).

2.3.5. Ukuran Partikel Debu

Masing-masing partikel debu umumnya memiliki bentuk tersendiri yang berbeda satu sama lain (tidak beraturan, bulat, serat). Konsep yang digunakan untuk mengukur partikel debu dengan standart partikel aerodinamik. Diameter aerodinamik adalah diameter satuan kepadatan suatu partikel bulat yang akan jatuh pada kecepatan yang sama di udara.

Table 2.1 Korelasi ukuran dan perilaku partikel. Diameter aerodinamik

(µm)

Perilaku partikel

>100 Bila dilepaskan dengan kecepatan tinggi akan jatuh dengan cepat di sekitar tempat partikel tersebut dilepaskan. Biasanya tidak terisap ke saluran pernapasan.

100-30 Karena partikelnya lebih kecil, maka akan terbawa oleh aliran udara di sekitarnya. Dapat terisap ke saluran pernapasan, tetapi akan tertangkap oleh mekanisme penyaringan di hidung. Tidak akan masuk ke dalam tubuh, kecuali partikel tersebuut dapat larut oleh cairan di dalam hidung .

30-5 Karena partikelnya jauh lebih kecil, akan terbawa

oleh aliran udara lebih jauh. Mudah masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, tetapi perlahan-lahan akan dibersihkan oleh mekanisme pertahanan tubuh. Sebagian dapat terserap ke bagian tubuh bila partikel tersebut tersimpan cukup lama.

<5 Partikelnya sangat kecil maka akan terbawa oleh aliran udara dan sangat mudah terisap sampai masuk ke paru. Namun, partikel akan mengambang di udara paru karena diameternya sangat kecil dan mudah dikeluarkan lagi. Selain itu, partikel mudah pula diabsorpsi ke tubuh karena mengendap di daerah pertukaran gas.

Sumber : Harrianto R,2010

Ukuran partikel suatu zat yang terisap mengakibatkan cara penetrasi dan area penyimpanan yang berbeda-beda di dalam percabangan saluran pernapasan. Dengan demikian, partikel zat kimia dibedakan menjadi tiga berdasarkan kemampuan absorpsi partikelnya kedalam tubuh, yaitu :

a. Non-inspirable

Partikel-partikel yang dapat terisap oleh saluran pernapasan, tetapi tidak akan diabsorpsi ke dalam tubuh karena akan terperangkap oleh mekanisme penyaringan di hidung.

b. Inspirable

Partikel-partikel yang bila terisap oleh saluran pernapasan akan mudah masuk ke dalam cabang-cabang bronkus dan dapat mengendap di semua bagian saluran pernapasan, tetapi biasanya perlahan-lahan akan dibersihkan oleh mekanisme pertahanan tubuh.

c. Respirable

Partikel-partikel yang bila terisap oleh saluran pernapasan akan mudah masuk sampai ke alveolus sehingga dapat diabsorpsi oleh tubuh (Harrianto R ,2010)

2.3.6. Komposisi Kimia

a. Inert dust

Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis pada paru. Efeknya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pada penghirupan normal.

b. Poliferatif dust

Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk jaringan parut atau fibrosis. Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu fungsi paru. Debu dari golongan ini menyebabkan fibrocytic pneumoconiosis.Contohnya: debu silika, asbestosis, kapas, berilium, dan sebagainya.

c. Tidak termasuk inert dust dan poliferatif dust

Kelompok debu ini merupakan kelompok debu yang tidak tahan di dalam paru, namun dapat menimbulkan efek iritasi yaitu debu yang bersifat asam atau asam kuat.

2.3.7. Dampak Pencemaran Udara Oleh Debu

Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai berikut :

a. Gangguan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran.

b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori-pori tumbuhan sehingga menggangu jalannya fotosintesis.

c. Merubah iklim global regional maupun internasional.

d. Mengganggu perhubungan / penerbangan yang akhirnya mengganggu kegiatan sosial ekonomi di masyarakat.

e. Mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan pernapasan dan kanker pada paru-paru.

Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada sifat debu, komposisi kimia, konsentrasi debu dan ukuran partikel debu (Pudjiastuti W,2002).

2.3.8. Pengendalian Dan Penanggulangan Debu

Pengendalian debu dapat berdasarkan empat simpul, yaitu : a. Simpul I

yaitu pancegahan terhadap sumbernya, antara lain isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu diruangan kerja dengan “local echauster” atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong pembuang asap.

b. Simpul II

yaitu pencegahan dilakukan terhadap media transmisi udara dengan cara memakai metode basah, yaitu penyiraman lantai dan melakukan pengeboran basah.

c. Simpul III

yaitu pencegahan terhadap tenaga kerja yang terpapar dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker.

d. Simpul IV

yaitu pencegahan terhadap penderita atau orang sakit akibat terpajan partikel debu antara lain melalui pemeriksaan dan pengobatan serta rehabilitas terhadap korban atau orang sakit.

2.4. Penyakit Paru Kerja Akibat Debu

Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kelainan pada paru yang timbul sehubungan dengan pekerjaan. Berbagai bahan berupa debu, serat dan gas yang timbul pada proses industri. Tergantung pada jenis bahan tersebut maka penyakit yang ditimbulkannya pun bermacam-macam (Rampai B,2009).

Penyakit paru kerja yang disebabkan oleh debu dikenal sejak manusia mengenal penambangan mineral. Berbagai jenis debu mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis (Cowie R.L,2005).

Untuk menentukan adanya penyakit paru yang terjadi berhubungan dengan pekerjaan, harus dilakukan evaluasi medis yang menyeluruh.Riwayat pekerjaan

sehubungan dengan pajanan bahan harus diketahui, serta ditentukan derajat lama pajanan dan penggunaan alat pelindung. Masa antara pajanan yang didapat sampai timbul kelainan mungkin berlangsung lama, sehingga menimbulkan kesulitan dalam menentukan hubungan antara pekerjaan atau penyakit (Mangunnegoro H dan Yunus F,2003).

Beberapa prinsip yang digunakan secara umum untuk menentukan penyakit paru akibat pajanan bahan di tempat kerja atau lingkungan antara lain :

a. Sebagian besar penyakit paru disebabkan atau diperberat oleh pajanan dari tempat kerja atau lingkungan. Jadi pemicu dari tempat kerja dan lingkungan, harus secara terus-menerus diperhatikan dalam evaluasi dan penatalaksanaan penyakit paru.

b. Sebagian penyakit paru mungkin disebabkan oleh banyak faktor, dan faktor pekerjaan bias berinteraksi dengan faktor lain. Sebagai contoh : faktor resiko kanker paru pada pekerja yang terpajan asbes sekaligus merokok lebih besar daripada hanya terpajan asbes atau merokok secara sendiri-sendiri.

c. Dosis pajanan penting, sebagai faktor pemicu proporsi populasi yang terkena dan derajat keparahan penyakit. Pajanan dengan dosis yang lebih tinggi biasanya menyebabkan lebih banyak individu yang terkena serta derajat yang lebih parah (Rampai B,2009).

2.4.1. Pengertian

Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo” berarti paru dan “konis” berarti debu (Cowie RL,2005).

Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut :

1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes (asbestosis), dan timah (stannosis).

3. Kelainan yang timbul oleh debu organik seperti kapas (bisinosis) (Yunus F,2004).

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut (Agus D.S,2011).

Umumnya diperlukan waktu pajanan 10 tahun agar dapat menimbulkan pneumokoniosis.

2.4.2 Epidemiologi

Silikosis, asbestosis, dan pneumokoniosis batu bara merupakan jenis pneumokoniosis terbanyak. Data di Australia tahun 1979-2002 menyebutkan terdapat >1000 kasus pneumokoniosis terdiri dari 56% asbestosis, 38% silikosis, dan 6% pneumokoniosis barubara. Resiko penyakit ini meningkat seiring dengan lama pajanan terhadap partikel silika. Sebanyak 12% pekerja dengan masa kerja lebih dari 30 tahun menderita silikosis (Agus D.S,2011).

Data prevalensi pneumokoniosis nasional di Indonesia belum ada.Data yang ada hanya data penelitian-penellitain berskala kecil pada berbagai industri yang beresiko terjadi pneumokoniosis.

2.4.3. Sifat Debu dan Hubungannya dengan Penyakit Paru

Respon jaringan tubuh terhadap debu yang terinhalasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : (Demedts M,2003)

a. Sifat fisik

Keadaan fisik yang berupa partikel uap atau gas, ukuran, dan densitasi partikel, bentuk dan kemampuan penetrasi yeng mempengaruhi sifat migrasi dan reaksi tubuh.Sifat kelarutan partikel juga berpengaruh, seperti asbestos dan silika yang merupakan partikel tidak larut.

b. Sifat kimia

Sifat fibrogenitas merupakan sifat suatu bahan yang menimbulkan fibrosis jaringan.Debu fibrogenik merupakan debu yang dapat menimbulkan reaksi jaringan paru (fibrosis) seperti batubara, silika bebas dan asbes.Dan debu nonfibrogenik adalah debu besi, kapur dan timah.

c. Faktor Penjamu

Faktor ini berperan penting pada respon jaringan terhadap agen/bahan terinhalasi.Gangguan sistem pertahanan paru alami seperti kelainan genetik, kecepatan bersihan dan fungsi makrofag. Gangguan sistem pertahanan paru didapat contohnya karena obat-obatan, asap rokok, dan alkohol. Kondisi anatomi dan fisiologi saluran napas dan paru mempengaruhi pola pernapasan yang akhirnya mempengaruhi deposit agen/bahan terinhalasi. Keadaan imunologi juga berperan, contohnya alergi.

2.4.4. Patogenesis Pneumokoniosis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu dan respon tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut.Komposisi kimia, sifat fisik, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis.Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis.Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan partikel debu yakni aktifitas radikal bebas dan kandungan besi juga merupakan hal yang penting (Ngurah Rai,2003).

Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respon makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka akan timbul reaksi inflamasi

awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah.Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui. Sebagian debu seperti debu batubara tampak relative inert dan menumpuk dalam jumlah relative banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal (Yunus F,2004).

Debu inert akan tetap berada di makrofag selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas (Ngurah Rai,2003).

Pada debu yang bersifat sitoktoksis, partikel debu yang difagositosis makrofag akan menyebabkan kehancuran yang diikuti dengan fibrositosis. Partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respon peradangan dan memulai proses proferasi fibroblast. Mediator yang paling banyak berperan adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)-β yang memacu faktor fibrogenik makrofag alveolar atau epitel alveolar sehingga memacu pembentukan kolagen selanjutnya terjadi fibrosis. Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi mediator inflamasi kronik. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblast dan terjadilah pneumokoniosis (Ngurah Rai,2003).

Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat partikel debu (Yunus F,2004).

2.4.5. Jenis Pneumokoniosis

Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya.

Tabel 2.2 Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya

Jenis debu Pneumokoniosis

Asbes Asbestosis

Silika Silikosis

Batubara Pneumokoniosis batubara

Besi Siderosis

Berilium Beriliosis

Talk Talkosis (talk pneumokoniosis)

Grafit Pneumokoniosis grafit

Debu karbon Pneumokoniosis karbon

Sumber :Agus DS,2011

2.4.6. Ukuran Debu yang Berpengaruh

Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya pneumokoniosis. Dari hasil penelitian, ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut:

a. 5-10 µm : akan tertahan oleh saluran napas atas dan menimbulkan banyak penyakit berupa iritasi sehingga menimbulkan penyakitpharyngitis.

b. 3-5 µm : akan tertahan oleh saluran pernapasan broncus / bronchioles yang dapat menimbulkan bronchitis, allergis atau asma.

c. 1-3 µm : akan mencapai dipermukaan alveoli.

d. 0,5-0,1 µm : akan tertinggal dipermukaan alveoli/selaput lendir

e. sehingga menyebabkan fibrosis paru.

f. 0,1-0,5 µm : melayang dipermukaan alveoli.

Menurut WHO 2006 ukuran partikel debu yang membahayakan adalah ukuran 0,1-5 atau sampai 10 mikron (Pudjiastuti W,2002).

2.4.7. Diagnosis penyakit paru akibat kerja

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

A. Anamnesis

1. Riwayat pekerjaan

a. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran yang terus-menerus atau part time secara kronologis.

b. Identifikasi bahan berbahaya di tempat kerja : bahan yang digunakan pekerja. c. Hubungan antara pajanan dan gejalan yang timbul : waktu antara mulai bekerja dan gejala pertama, perkembangan gejala, hubungan antara gejala dengan tugas tertentu, perubahan gejala pada waktu libur / jauh dari tempat kerja.

2. Keluhan penyakit

a.Batuk (sifat batuk keras / tidak keras), waktu batuk (pagi/siang/malam/terus-menerus).

b. Dahak (pagi/siang/malam/terus-menerus).

c. Napas pendek (waktu jalan cepat, waktu berjalan panjang). d. Nyeri dada.

3. Riwayat penyakit

Ditanyakan tentang ada tidaknya penyakit/keluhan yang pernah diderita : a. Batuk

1. Selama 3 (tiga) bulan, terjadi tiap tahun 2. Sifat batuk (keras / tidak keras)

3. Waktu batuk (pagi/siang/malam/terus-menerus)

4. Peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 1 tahun terakhir b. Dahak

1. Dahak selama 3 bulan, terjadi tiap tahun

2. Waktu terjadinya dahak (pagi/siang/malam.terus-menerus)

c. Napas pendek

Selama 12 bulan terakhir pernah mengalami/tidak terbangun tidur malam d. Mengi (wheezing)

1. Sejak 3 bulan terakhir pernah mengalami/tidak

2. Waktu mengi disertai napas pendek atau napas normal e. Nyeri dada

Sejak 3 tahun terakhir pernah mengalami/tidak, lamanya 1 minggu f. Penyakit-penyakit lain yang pernah diderita

1. Kecelakaan/operasi didaerah dada 2. Gangguan jantung 3. Bronchitis 4. Pneumonia 5. Pleuritis 6. TB paru 7. Asma

8. Gangguan dada lainnya 4. Riwayat kebiasaan

Ditanyakan riwayat kebiasaan merokok, meliputi : jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, cara mengisap rokok (dangkal/dalam), umur memulai merokok, jenis rokok (buatan sendiri/pabrik, menggunakan filter/tidak) dan kontinuiti merokok.

B. Pemeriksaan fisik

Pada kebanyakan kasus pennyakit paru akibat kerja, hasil pemeriksaan fisik relatif tidak membantu.Pada observasi umum, penyakit paru obstruksi dapat ditemukan sesak napas, saat istirahat maupun setelah melaksanakan aktivitas sedangkan pada kasus pneomokoniosis ditemukan jari-jari tabuh, demam tinggi, takipnoe atau kadang sianosis, dan biasanya ditemukan krepitasi.

1. Foto toraks

Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut ILO untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi.Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologi penyakit paru akibat kerja.Perselubungan pada pneumokoniosis dibagi atas dua golongan, yaitu perselubungan halus dan kasar.

Table 2.3 Klasifikasi ILO (2000) Gambaran Radiologi Pneumokoniosis

Dokumen terkait