• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V BENTUK INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS D

5.1 Akses Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Hutan

5.2.2 Interaksi Berdasarkan Etika Ekosentrisme

5.2.2.3 Penggunaan Alat Tangkap Ikan yang

Sebagian besar masyarakat pesisir Muara Angke, khususnya di Kampung Kali Adem merupakan nelayan tradisional yang ditandai dengan kepemilikan kapal dan alat tangkap yang sangat sederhana. Jarak yang mereka tempuh saat melaut pun tidak jauh seperti nelayan modern yang berkeliling ke hampir seluruh wilayah nusantara. Mereka melaut hanya di sebatas perairan Teluk Jakarta dan pada umumnya masih bergantung pada ekosistem hutan mangrove untuk mencari umpan. Dalam penggunaan alat tangkap pun responden yang berprofesi sebagai nelayan tradisional Muara Angke (39 orang) hanya menggunakan alat tangkap jaring dan kail saat melaut dan mengambil kerang di muara sungai yang berdekatan dengan kawasan hutan mangrove. Nelayan tidak menggunakan alat yang berbahaya seperti bom air, racun potassium dan alat lainnya karena mereka sadar hal itu hanya akan membawa keuntungan sesaat dan dapat merugikan nelayan lainnya dengan mencemari perairan dan mematikan biota laut.

5.2.3 Interaksi Sosial-Ekologi Bersifat Disosiatif antar Aktor Manusia

Muara Angke sebagai salah satu kawasan pesisir di Jakarta yang mengalami perkembangan yang pesat di sektor pembangunan baik dalam bentuk perumahan, industri, perkantoran dan pariwisata yang didirikan pada lahan yang dulunya merupakan rawa dan hutan mangrove. Letak Muara Angke yang strategis dan dekat dengan pusat pemerintahan kelurahan Pluit dan ditunjang dengan

kedekatannya dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta membuat para investor tertarik untuk mengembangkan usaha di sana. Pemerintah selaku pemangku kekuasaan tentu mengatur pergerakan para investor dengan adanya kebijakan dan peraturan. Namun dalam pengaturannya, pemerintah belum mampu mengendalikan manuver pihak swasta sehingga menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan di Kelurahan Pluit dan khususnya kawasan hutan mangrove Muara Angke. Interaksi semacam ini menimbulkan korban yaitu masyarakat umum yang secara langsung atau tidak langsung dirugikan baik dari segi sosial maupun ekologis.

Manusia dan alam sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sering kali terjadi pola dan arus hubungan yang tidak seimbang sehingga salah satu pihak mengalami kerugian dan pihak lain diuntungkan. Interaksi yang tidak seimbang inilah yang terjadi pada kasus Masyarakat Muara Angke dengan beberapa pihak (stakeholder) seperti sesama manusia yaitu antar masyarakat, pemerintah dan swasta serta dengan alam itu sendiri. Interaksi secara sosial yang tidak seimbang antara pihak-pihak ini menimbulkan marginalisasi, ancaman dari masing-masing pihak kepada pihak yang lain, konflik dengan derajat kedalaman tertentu pada setiap aktor yang terlibat sehingga dapat bermuara pada terjadinya aksi demonstrasi dan bentrokan.

5.2.3.1 Marginalisasi

Masyarakat pesisir Muara Angke yang didominasi oleh kehidupan nelayan yang hubungan kekerabatannya tinggi dan bersifat patron-klien yang secara normatif menjadi modal sosial dalam membangun sebuah sistem sosial pesisir. Pembangunan pantai utara Jakarta yang semakin lama mengarah pada pembangunan ekonomi dan industri, membuat rakyat kecil yang diwakili oleh warga Kampung Kali Adem jadi pihak yang terabaikan dari sisi ekonomi dan sosial. Kebijakan pemerintah juga turut andil dalam proses peminggiran hak masyarakat pesisir Muara Angke dengan dibukanya Hutan Angke-Kapuk menjadi kawasan perumahan elit.

Sebagian kawasan hutan Angke-Kapuk (HAK) mulai dilepaskan oleh pemerintah dimulai sejak tahun 1988. Keputusan Menteri Kehutanan dengan SK

63   

No. 097/KPTS-II/98 telah melepaskan kawasan hutan mangrove Angke-Kapus seluas 831.63 ha dalam rangka pembangunan kawasan komersial PIK. Setelah pembangunan kawasan komersil PIK berlangsung selama beberapa tahun, masyarakat kawasan Kelurahan Kapuk dan Muara Angke mulai merasakan dampak buruknya. Lingkungan menjadi sering tergenang air akibat intrusi air laut ke daratan. Dampak buruk ini mengakibatkan masyarakat menanggung kerugian sosial dan ekonomi.

Hak masyarakat Muara Angke untuk hidup di kawasan yang aman dari musibah banjir juga terabaikan akibat pembangunan PIK. Puncaknya terjadi pada tahun 2003 dan 2005 ketika sebagian besar wilayah Jakarta dilanda banjir. Peristiwa ini membuat kemarahan serta kekecewaan warga di wilayah kelurahan Kapuk dan Kelurahan Pluit menjadi suatu keniscayaan. Masalah lain yang muncul yaitu peminggiran hak Masyarakat Muara Angke di sektor ekonomi terkait dengan akses dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove.

Keterdesakan ekonomi membuat sebagian masyarakat nelayan Muara Angke (khususnya nelayan tradisional Kampung Kali Adem) terkadang harus memulung sampah di bantaran Kali Angke dan di dalam kawasan komersial dan hunian PIK. Mereka sering mengalami pengusiran oleh penghuni dan pengelola kawasan hunian PIK karena dianggap mengganggu kenyamanan dan keindahan kawasan sebagaimana yang diutarakan responden:

Dulu anak-anak kami masih bisa main-main ke sana (kawasan hunian elit), sambil memulung sampah untuk membantu orang tua. Tetapi sekarang sudah tidak boleh lagi. Lihat saja, pagar pembatas kompleknya sudah lebih dibuat tinggi, jadi kami tidak bisa masuk ke sana lagi. Kata mereka (penghuni hunian elit), anak-anak kami itu suka mencuri di situ. Kami jadi jengkel jika dibilang begitu. Kami tidak terima jadinya kami ada sedikit cek-cok dengan mereka (Bapak Kar, 27 tahun, warga Kampung Kali Adem)

Polemik lain pun bermunculan seperti penangkapan nelayan oleh pihak keamanan kawasan komersil dan hunian PIK. Penangkapan ini dilakukan karena nelayan dianggap memasuki kawasan hutan mangrove yang diklaim milik PIK pada saat kapal merapat di tepi batas hutan, tanpa melalui proses sosialisasi yang memadai. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pihak swasta yang diwakili oleh PIK mempunyai kewenangan dan kuasa yang lebih atas akses dan kontrol

terhadap sumberdaya hutan mangrove. Marginalisasi tampak pada peminggiran nelayan tradisional dari sisi menyempitnya area tangkap. Dengan begitu, nelayan harus menempuh jarak lebih jauh untuk memperoleh tangkapan dan umpan sebagaimana keterangan responden:

Orang komplek kaya sempat buat rugi karena kelompok nelayan saya sempat ditangkap oleh pihak swasta pengelola perumaham elit yang akan dibangun di kawasan lahan mangrove yang sudah direklamasi. Tidak ada sosialisasi sebelumnya kalau ada pembangunan di situ, ada peraturan, jadi nelayan tidak tahu. Swasta selalu mencurigai nelayan. Nelayan terpaksa mencari tangkapan ikan di tempat lain yang jaraknya jauh dan menyebabkan hasil tangkapan menurun, bahkan hanya mendapat uji umpan berupa lintah dan yuyu merah saja.

(Bapak Suk, 42 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke)

Tindakan marginalisasi oleh pihak swasta yang membatasi wilayah melaut terasa sangat merugikan bagi nelayan, mengingat tingginya biaya operasional (terlebih untuk biaya bahan bakar solar dan biaya makan) yang dibutuhkan untuk menempuh jarak jauh dalam mencari tangkapan. Keadaan ekonomi nelayan pun menjadi makin terpuruk, terlebih dengan ditambah berkurangnya kelimpahan biota laut akibat polusi dan perusakan habitat, membuat hasil tangkapan ikan semakin berkurang.

5.2.3.2 Ancaman

Kerasnya kehidupan di pesisir utara Jakarta membuat maraknya tindak premanisme yang tumbuh pada struktur sosial kemsyarakatan. Pelabuhan dan pasar pelelangan ikan Muara Angke menjadi tempat para preman berkuasa. Keberadaan preman membawa dampak positif dan negatif bagi para nelayan dan warga pada umumnya. Preman dianggap dapat menjaga kawasan pasar dan pelabuhan menjadi kondusif untuk aktivitas perniagaan. Namun, terkadang para nelayan juga sering mendapat ancaman dari preman, jika nelayan hendak melapor pada polisi hutan ketika para preman secara sengaja masuk di kawasan hutan konservasi. Warga juga kerap merasa takut karena beberapa anggota preman terlibat dalam tindakan kejahatan seperti, mencopet, memeras pedagang di pasar ikan Muara Angke, dan sebagainya.

65   

5.2.3.3 Konflik

Konflik yang terjadi di kawasan pesisir Muara Angke dpat dibedakan berdasarkan aktor yang terlibat yaitu sebagai berikut:

a) Konflik antara masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta yang diwakili oleh pengembang kawasan komersi dan hunian PIK.

Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh swasta menyebabkan timbulnya perlawanan oleh masyarakat. Tindakan marginalisasi oleh pihak swasta (PIK) terhadap masyarakat pesisir Muara Angke bermuara pada munculnya konflik. Tumpang tindih wewenang dan kepentingan antara kedua belah pihak membuat konflik semakin berkskalasi.

Gambar 10. Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan pada Sikap terhadap Keberadaan Kawasan Komersil dan Hunian PIK Tahun 2010

Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010)

Masyarakat yang melakukan pertentangan dengan swasta, seperti yang tertera pada Gambar 10 dilihat dari sikapnya terhadap keberadaan kawasan komersial dan hunian PIK. Berdasarkan data 50 responden terdapat 46 persen (23 orang) yang menentang keberadaan swasta namun hanya berdiam diri dan juga terdapat warga yang menentang swasta serta melakukan aksi/gerakan nyata dengan jumlah perentase yang sama yaitu 46 persen. Aksi atau gerakan nyata yang dilakukan berupa protes, demonstrasi, bahkan upaya dialog dengan pemerintahan dan wakil rakyat (DPRD DKI Jakarta). Upaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk menyuarakan kepentingan mereka sebagai pihak yang terpinggirkan hak-hak sosial-ekonominya akibat pembangunan kawasan komersil dan hunian elit PIK. Sedangkan hanya terdapat 8 persen (4 orang) yang

0% 8% 0% 46% 46% 0% 10% 20% 30% 40% 50%

Mendukung, ikut terlibat dan membantu pihak swasta

Mendukung, tidak melibatkan diri Tidak ada reaksi apapun Menentang, tidak ada aksi nyata Menentang,aksi dan gerakan sosial

mendukung kegiatan swasta karena motif ekonomi seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya yaitu hubungan asosiatif masyarakat dengan PIK terkait kemitraan yang menyediakan lapang kerja bagi masyarakat Muara Angke.

Letak perumahan elit PIK, apartemen dan deretan pertokoan (ruko) yang berbatasan langsung dengan hutan mangrove dan pemukiman nelayan menyebabkan persinggungan kepentingan. Bentuk konflik masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta juga dapat dilihat pada Gambar 11 dengan interpretasi terdapat 16 persen (7 orang) dari 46 responden yang tidak menyetujui kegiatan swasta (merujuk pada gambar 6). Mereka adalah yang warga pernah terlibat peristiwa kekerasan dengan pihak swasta terkait upaya penggusuran pemukiman nelayan yang berada di bantaran sungai oleh swasta yang difasilitasi pemerintah Kelurahan Pluit (akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian bentuk interaksi disosiatif: Bentrokan).

Beberapa bentuk interaksi disosiatif yang terdapat pada beberapa aktor dapat dilihat pada Gambar 11 yang interpretasi masing-masing bagiannya akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

Gambar 11. Bentuk dan Kedalaman Konflik dari Beberapa Pihak Terkait dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Mangrove Tahun 2010

Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010)

Kemudian, responden yang mengalami keadaan saling megancam dengan pihak swasta pada Gambar 11 yaitu sebesar 24 persen (11 orang) sebelum bentrok dengan swasta terjadi pada tahun 1990-an. Ancaman yang didapat warga adalah berupa surat peringatan untuk segera pergi dari kawasan yang akan

0%0% 0%0% 0% 16% 0% 0% 24% 12% 12% 30% 88% 88% 30% 0% 20% 40% 60% 80% 100% Masyarakat - Masyarakat Masyarakat - Pemerintah Masyarakat - Swasta

perang (saling bunuh) kekerasan (anarchism) saling ancam

67   

pindah dari tempat tinggalnya sehingga muncul ketegangan dari kedua pihak. Sedangkan responden yang terlibat dalam adu pendapat dengan swasta adalah sebesar 30 persen (14 orang) dengan jenis saling tidak terima dengan perilaku masing-masing pihak. Keterdesakan ekonomi membuat masyarakat nelayan (khususnya nelayan kecil) terkadang harus memulung sampah di kawasan elit dan mereka sering diusir oleh penghuni dan pengelola komplek real estate karena dianggap mengganggu kenyamanan seperti yang diutarakan oleh Bapak Kar (27 tahun) dan Bapak Suk (42 tahun).

Interaksi yang berat sebelah antara penghuni perumahan elit dengan masyarakat seperti penuturan Bapak Kar (27 tahun) dan Bapak Suk (42 tahun) di atas selain menimbulkan adu pendapat antara masyarakat dengan swasta, juga dapat menjadi isu yang kerap diperbincangkan oleh masyarakat atau menjadi desas-desus yang berkembang. Selain itu, penangkapan nelayan juga secara otomatis membuat hubungan yang semakin memburuk dengan pihak swasta (PIK). Konflik kewenangan ini menunjukkan bahwa swasta memiliki kuasa yang lebih besar atas sumberdaya hutan mangrove dari pada masyarakat sekitarnya. Responden yang masuk dalam kelompok ini berdasarkan Gambar 11 adalah sebesar 30 persen (14 orang) menjadikan persoalannya dengan swasta menjadi sebuah isu yang berlandaskan pada prasangka dan perasaan dongkol yang tidak berani mereka ungkapkan secara langsung kepada pihak lain.

Ada konflik dengan swasta tentang tanah, mbak. Tetapi sebagian warga tidak bisa berbuat apa-apa. Lama-lama lahan di sini dicaplok oleh swasta. Tidak tahu ya, bagaimana kerjanya pemerintah kok bisa seperti itu. Hal itu membuat cemburu pada kami. Kami sebagai warga asli di sini tetapi orang Cina yang malah punya tanah luas-luas di sini, ditambah lagi mereka memakai cara mengurug hutan bakau. Teman-teman saya yang tinggal di bantaran kali kan otomatis bisa diusir. Tetapi saya tidak berani bicara langsung pada pihak pembangun (Bapak Sar, 55 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke).

Kasus yang dialami oleh Bapak Sar (55 tahun) di atas menggambarkan sebuah prasangka kepada pihak pengembang swasta yang melakukan pembangunan tanpa memperhatikan dampak negatif yang dirasakan masyarakat. Selain itu, ketimpangan seperti ini keberpihakan pemerintah yang cenderung kepada swasta tentu meyebabkan kecemburuan masyarakat. Swasta tidak akan

dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa didukung kebijakan dan perizinan dari pemerintah.

Konflik antara masyarakat dengan swasta dapat disimpulkan sudah ada dalam tahap konflik terbuka yang saling melakukan intervensi dan perlawanan nyata satu sama lain, namun belum sampai pada taraf terjadi tragedi pembunuhan. Konflik dalam konteks masyarakat pesisir Muara Angke ini juga tergolong konflik pemanfaatan ruang dan konflik kewenangan pada sektor kehutanan mangrove yang banyak dimanfaatkan untuk kawasan perumahan elit, sehingga membuat posisi masyarakat semakin terdesak.

b) Konflik antar masyarakat nelayan Muara Angke dengan nelayan pendatang. Interaksi masyarakat terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir yang bersifat disosiatif atau merugikan pihak lain tidak terlalu tampak pada masyarakat Muara Angke satu sama lain. Bentuk interaksi disosiatif antara sesama masyarakat Muara Angke adalah konflik yang derajat kedalamannya rendah.

Sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 11 bahwa bentuk konflik yang terjadi antara masyarakat (50 responden) adalah adu pendapat dan timbulnya desas-desus (gossip). Masyarakat yang mengaku pernah terlibat dalam peristiwa adu pendapat dengan pihak lain terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove adalah sejumlah 12 persen (6 orang). Mereka terlibat adu pendapat ketika sedang mencoba menegur warga lain untuk tidak mengambil hasil hutan atau menangkap satwa, dan direspon dengan perlawanan dari warga yang diingatkan tersebut. Selain itu, permasalahan juga dilatarbelakangi persaingan penguasaan wilayah tangkap ikan antara nelayan lokal tradisional Muara Angke dengan nelayan pendatang.

Kemudian, konflik yang berkembang dalam masyarakat Muara Angke juga dalam bentuk desas-desus (gossip) sebesar 88 persen (44 orang) yang berarti bahwa sebagian besar responden pernah memendam prasangka dengan warga luar Muara Angke yang mengganggu ekosistem hutan mangrove tanpa berani memberi peringatan dan mengusirnya. Tidak ada (nol persen) responden yang mengaku pernah terlibat dalam insiden saling mengancam, kekerasan, dan pembunuhan warga lain.

69   

Prasangka yang timbul di kalangan masyarakat biasanya berkisar tentang konflik antarpribadi yang tidak ada hubungannya dengan interaksinya dengan hutan mangrove. Jenis interaksi disosiatif di kalangan manyarakat ini adalah bentuk/tipe konflik tertutup (latent) yang hanya dirasakan pergolakan dalam individu masnyarakat.

c) Konflik antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah (Pengelola Suaka Marga Satwa Muara Angke)

Hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah dalam hal ini adalah SMMA dapat dilihat pada Gambar 11. mengenai derajat konflik yang pernah mereka alami. Responden yang diambil adalah sebesar 50 orang dengan responden yang mengalami adu pendapat dengan pemerintah terkait kebijakan konservasi hutan mangrove adalah sejumlah 12 persen (6 orang). Biasanya, masyarakat nelayan Muara Angke yang kapalnya merapat dan bersandar di tepi kawasan hutan dilarang oleh petugas polisi hutan SMMA karena diduga dapat merusak dan mengganggu ekosistem hutan. Peristiwa ini menimbulkan adu argumentasi antara kedua pihak yang mencoba memberi alasan dan pembenaran akan tindakannya.

Adu pendapat tidak lagi terjadi seiring upaya pemerintah untuk memahami kondisi nelayan yang kini tidak mempunyai tempat merapat. Kemudian, terdapat 88 persen responden (44 orang) yang sebatas menyimpan prasangka dan mengungkapkannya dengan sesama warga lainnya terkait hubungannya dengan pemerintah pengelola SMMA. Selama ini, memang petugas SMMA kurang mengenal dan bersosialosasi dengan masyarakat pesisir Muara Angke sehingga menimbulkan prasangka bahwa petugas SMMA cenderung eksklusif dan menutup diri. Sebagaimana kasus yang dialami oleh Bapak Nap (34 tahun) yaitu sebagai berikut:

Petugas sering keliling sisir kali Angke ini mungkin untuk memantau orang-orang yang akan masuk ke hutan. Saya yang tinggalnya di bantaran kali Angke ini kan dekat dengan hutan, dekat sekali. Bisa dibilang kami ini tetangga mereka. Tapi jarang ya saya liat petugas itu mampir ke sini, mau mendengarkan dan tehu akan kondisi kami. Paling cuma Pak Nam (orang dinas kehutanan, warga asli Muara Angke) yang kami kenal dengan baik, yang lainnya sepertinya cuek-cuek ya.

Kondisi yang dirasakan masyarakat ini memang tidak pernah diketahui oleh petugas SMMA dan hanya sebagai desas-desus yang menjadi pembicaraan satu warga dengan warga yang lainnya. Bentuk konflik desas-desus ini menandakan bahwa konflik masyarakat dengan pemerintah pengelola SMMA berada pada tataran konflik laten (tersembunyi) dicirikan dengan adanya tekanan- tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun.

Pengelolaan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir di Muara Angke bersifat multi aktor dengan karakteristik dan interest berbeda-beda yang dibawa oleh masing-masing aktor. Interaksi sosial-ekologi terbangun pada setiap dimensi dan lingkup aktor yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu interaksi antara pemerintah, masyarakat nelayan Muara Angke dan swasta (PIK). Interaksi bersifat asosiatif terjalin antara pemerintah dengan pihak swasta terkait dukungan pemerintah dalam bentuk legalisasi kawasan PIK. Pemerintah dengan masyarakat nelayan tradisional Muara Angke juga membangun hubungan positif dalam bentuk kerjasama penjagaan kawasan hutan mangrove. Kemudian, nelayan Muara Angke menjalin hubungan patron-klien dengan pengusaha rumahan pengolahan hasil tangkapan.

Konflik sebagai salah satu bentuk interaksi disosiatif juga digambarkan dengan membaginya menjadi dua jenis konflik yaitu konflik terbuka dan konflik tertutup. Konflik terbuka terjadi pada interaksi swasta (PIK) dengan nelayan tradisional Muara Angke dilatarbelakangi ketimpangan wewenang penguasaan sumberdaya pesisir dan pengerusakan lingkungan yang ditudingan kepada swasta sebagai akibat dari reklamasi pantai utara Jakarta. Konflik terbuka antara masyarakat dengan PLTU Muara Karang juga terjadi bermula dari isu pencemaran lingkungan dan penurunan hasil tangakapan nelayan. Sedangkan konflik antara masyarakat nelayan tradisional Muara Angke dengan nelayan pendatang bermula dari persoalan perbedaan alat tangkap, persaingan wilayah tangkap hingga isu perusakan lingkungan pesisir dan hutan mangrove yang kerap dilakukan nelayan pendatang. Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa bentuk konflik di atas dapat digambarkan pemetaan jaring sosial antar aktor yang terlibat di dalamnya yaitu pada Gambar 12 berikut:

71   

legalisasi kawasan PIK

•Ketimpangan wewenang penguasaan lahan pesisir •Pengerusakan lingkungan

Desas-desus (prasangka)   

Penjagaan kawasan hutan mangrove

Pencemaran lingkungan Hubungan

dagang (patron- klien)

•Beda alat tangkap

•Persaingan wilayah tangkap •Perusakan lingkungan

pesisir dan hutan mangrove

   

Gambar 12. Pemetaan Interaksi Sosial dan Konflik antar Aktor   HUTAN MANGROVE PEMERINTAH SWASTA MASYARAKAT PESISIR Pemerintah Daerah DKI Jakarta & Jakarta Utara Nelayan Pendatang Nelayan Tradisional Muara Angke Kementrian Kehutanan RI : BKSDA DKI Jakarta Warga PIK Pengelola PIK Pengusaha Pengolahan Hasil Perikanan PLTU Muara Karang Keterangan: : konflik terbuka : konflik tertutup : kerjasama : keterkaitan ekologis : lingkup aktor

Dokumen terkait