• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dinamika Hubungan Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dinamika Hubungan Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)"

Copied!
241
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL-EKOLOGI

DI HUTAN MANGROVE

(Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit,

Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)

Oleh:

Nendy Rizka Halandevi NRP. I34070064

   

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)

Oleh:

Nendy Rizka Halandevi NRP. I34070064

     

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(3)

ABSTRACT

Mangrove ecosystem has a very important role in the existence of biological diversity to support the balance of the environtment, both on land and at sea. This natural resource wealth was not able to provide prosperity for the community. As RTH in urban areas in Jakarta, the degradation of mangrove forest could directly affect the coastal communities, because its own characteristic that could not be separated from the use of and access to mangrove resources. This study has two objectives. First, to identify the forms of social-ecological interactions among the people of Muara Angke, the private sector, and government in the mangrove forest environtment. Second, to identify the changes arising from the social-ecological interactions Muara Angke community. The research was conducted in the Coastal Area of Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara from November to December 2010. The primary data were obtained through questionnaires to the respondents and in-depth interview to the informant, while the secondary obtained from another relevant sources. Respondent were selected using stratified random sampling technique to find 50 respondents. The result showed that the type of social-ecological interaction occur in a associative and dissociative patterns differentiated by the actors involved. There’s conlict between communities and private sector (PIK). Private sector had a greater authority to use natural resources than the communities. However, the remains associative form of relationship among communities and the government of mangrove forest related to the concept of local wisdom to protect the coastal ecosystem. The effect is the changes in the quality of carrying capacity such as the intensity of flood, wildlife disturbance to residential areas and declining catches of the fisherman as the systemic impact of a series community interaction. Especially in the upstream an downstream of Kali Angke. These conditions prove the hypothesis that “social-ecological interactions had an impact on the coastal environtment of Muara Angke”, these changes lead to ecological crisis at the sites.

(4)

NENDY RIZKA HALANDEVI. Analisis Dinamika Hubungan Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara). Dibawah bimbinganARYA HADI DHARMAWAN

Salah satu kekayaan hayati yang terdapat di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sering kali, ia disebut dengan hutan payau atau hutan bakau. Namun, hutan mangrove memiliki sedikit perbedaan dengan hutan bakau, bahwa istilah bakau hendaknya digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan tertentu saja yaitu dari marga Rhizopora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas ini (Nontji, 2005). Ekosistem mangrove ini memiliki peranan yang sangat penting dalam keberadaan keanekaragaman hayati (biodiversity) guna menunjang keseimbangan lingkungan hidup baik di darat maupun di laut. Kekayaan sumberdaya alam ini ternyata belum mampu memberi kemakmuran bagi masyarakat.

Terkait dengan karakteristik masyarakat pesisir yang tidak pernah terlepas dari penggunaan dan akses akan sumberdaya mangrove, maka degradasi sumberdaya alam hutan mangrove tampak pada ekosistem bakau sebagai area ruang terbuka hijau perkotaan di Jakarta. Kawasan ini dikelilingi oleh jalan raya, gedung dan pemukiman penduduk yang rapat dan kumuh. Pohon bakau (Rhizophora sp) yang mencirikan kawasan ini hanya tersisa di bagian selatan disekitar pos Polisi Hutan dan sepanjang tepian sungai. Namun demikian mengingat lokasinya yang memiliki aksesibilitas yang sangat tinggi dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, maka resiko pencurian satwa sangat tinggi.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, mengidentifikasi bentuk interaksi sosial-ekologis yang terbangun antara masyarakat Muara Angke dengan swasta dan pemerintah di lingkungan hutan mangrove. Kedua, mengidentifikasi perubahan yang ditimbulkan dari interaksi sosial-ekologis masyarakat Muara Angke. Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara sejak bulan November-Desember 2010. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada responden dan wawancara mendalam kepada informan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Responden penelitian dipilih dengan menggunakan teknik stratified random sampling dengan memilih reponden sebanyak 50 orang.

(5)

v   

sosial-ekologi yang cenderung mencolok adalah bentuk hubungan disosiatif antara masyarakat dengan swasta yang memiliki kewenangan lebih besar akan pemanfaatan sumberdaya alam. Namun, masih terjadi bentuk hubungan yang asosiatif antara masyarakat dengan pemerintah terkait hutan mangrove dengan konsep kearifan lokal untuk menjaga ekosistem pesisir.

Sekecil apapun interaksi antara semama manusia dan manusia kepada alam akan membawa konsekuensi perubahan lingkungan yang menyertainya. Hutan mangrove di Muara Angke merupakan satu-satunya kawasan hutan di pesisir Jakarta yang masih tersisa dari derasnya arus pembangunan. Pengelolaaan dan pemanfaatan hutan mangrove juga tidak terlepas dari kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Angke yang ikut mengairi hutan. Pengaruh yang bisa dilihat adalah dari perubahan kualitas daya dukung lingkungan seperti intensitas terjadinya banjr, gangguan satwa ke pemukiman penduduk, hungga menurunnya hasil tangkapan nelayan sebagai dampak sistemik dari rangkaian interaksi masyarakat dari hulu dan khususnya di hilir. Kondisi ini membuktikan hipotesis penelitian bahwa “interaksi sosial-ekologi membawa pengaruh pada lingkungan pesisir Muara Angke”, perubahan ini mengarah pada krisis ekologi di lokasi penelitian.

(6)

Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)

Nendy Rizka Halandevi I34070064

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama : Nendy Rizka Halandevi

NRP : I34070064

Judul : Analisis Dinamika Hubungan Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc, Agr NIP. 19630914 199003 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(8)

“ANALISIS DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL-EKOLOGI DI HUTAN MANGROVE. Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara” INI BENAR-BENAR HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN

SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, Desember 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Nendy Rizka Halandevi dilahirkan di Kota Malang, Jawa Timur tepatnya pada 21 April 1989. Anak pertama dari dua bersaudara, buah hati dari pasangan suami istri Drs. H. Paeni, M.H dan Dra. Hj. Erni Prasetyawati. Sebagai pelajar, Penulis menenpuh pendidikan di TK Bustanul Athfal selama dua tahun, SDN Kebonsari Kulon II selama genap enam tahun. Kemudian, dilanjutkan di SMPN 3 Peterongan Jombang dan SMAN 1 Probolinggo masing-masing ditempuh selama tiga tahun. Selanjutnya, penulis menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor tepatnya di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia memalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa sekolah dasar penulis pernah meraih prestasi Juara II Siswa Teladan se-Kotamadya Probolinggo serta Juara IV Lomba Cerdas Cermat SD se-Jawa Timur. Penulis aktif di bidang kesenian sholawat pada saat di SMP di Kabupaten Jombang. Penulis juga sempat mengikuti seleksi Olimpiade Biologi tingkat SMA se-Kotamadya Probolinggo.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini dengan sebaik-baiknya. Adapun skripsi yang penulis beri judul Analisis Dinamika Hubungan Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara) merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pola hubungan baik sosial dan ekologi besera perubahan yang menyertainya di Muara Angke Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara.

Interaksi yang terjadi antar beberapa pihak khususnya masyarakat Muara Angke dengan sesama manusia dan kepada alam secara langsung atau tidak langsung saling mempengaruhi keseimbangan ekosistem hutan mangrove dan pesisir. Pembanguan yang pesat dan padatnya jumlah penduduk menuntut tersedianya sarana perumahan di kawasan pesisir Jakarta, salah satunya terjadi di Muara Angke, Kelurahan Pluit. Beberapa bentuk interaksi manusia terhadap alam yang merugikan, tentu ikut menentukan kualitas daya dukung lingkungan yang semakin lama semakin berkurang serta menimbulkan kerugian bagi banyak kalangan.

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gelar sarjana, disamping itu untuk memperoleh pengetahuan terkait dengan kegiatan perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

Bogor, Desember 2011

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT Tuhan bagi alam semesta berkat nikmat iman, rahmat, dan ridhoNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Analisis Dinamika Hubungan Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”. Rasa syukur ini dihaturkan karena dalam penyusunan Skripsi ini, penulis dapat menyelesaikannya dengan proses yang panjang dan memberi pembelajaran berharga.

Penulis tidak lupa menyapaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada beberapa pihak yaitu:

1. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, Agr. selaku dosen pembimbing skripsi atas ketulusan dalam membimbing, mengarahkan, mendidik, memberi motivasi kepada penulis agar dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.

2. Bapak Dr. Arif Satria, SP, M.S selaku dosen penguji utama dan Ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si sebagai dosen penguji perwakilan Departemen SKPM yang telah memberikan saran dan arahan untuk menyempurnakan skripsi ini.

3. Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik sekaligus dosen uji petik skripsi yang membantu penulis dalam mengarahkan rencana studi dan membantu menyelesaikan masalah akademik.

4. Masyarakat nelayan Kampung Kali Adem dan warga Perumahan Nelayan Muara Angke sebagai responden penelitian ini. Terimakasih karena telah membuka mata hati dan nurani penulis akan arti kehidupan, khususnya untuk Pak Naling, Pak Naman yang telah bersedia menerima penulis dengan baik dalam proses pengumpulan data dan informasi, Pak Tanton selaku polisi hutan Suaka Marga Satwa Muara Angke yang membantu dalam pengurusan administrasi penelitian dan keluangan waktu serta bersedia menemani berkeliling Muara Angke untuk mengumpulkan data.

(12)

6. Tidak lupa kepada Almarhum adik tersayang Wildan Nuril Furqony yang menjadi inspirasi dan motivasi untuk selalu menjadi yang terbaik dan berbakti kepada orang tua dan keluarga.

7. Keluarga besar dari Mama dan Papa yang ada di Depok, Bekasi dan di Jawa Timur yaitu Mbahe, Tante Arie yang kebaikannya sudah seperti ibu penulis sendiri, Dik Fawwaz, Nabila, Rayhan, Bilqis yang memberi tambahan kasih sayang, motivasi dan hiburan kepada penulis untuk berjuang di perantauan. 8. Mas Rastra Randhy Rakasiwi yang selama ini senantiasa mendampingi dari

jauh dalam memberikan kasih, perhatian, motivasi, mendengarkan keluh kesah, memberi kekuatan lebih kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Tante Yayuk selaku keluarga merangkap “bodyguard” dalam menghadapi kerasnya dan bahaya yang dijumpai di lokasi penelitian serta bersedia menemani penulis mondar-mandir untuk mengumpulkan data di Muara Angke.

10.Mery Purnamasarie dan Anies Wahyu yang banyak memberi semangat, memberi arahan dan tempat untuk menumpang dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa Anas, Ima, Ira, Andra, Zessy, Nung, Risma, serta teman-teman se-Departemen SKPM, teman-teman di se-Departemen lain di IPB yang telah memberikan semangat kepada penulis, serta teman lainnya tidak bisa disebutkan satu per satu.

11.Rinda sahabatku serta teman-teman satu kosan “Edelweiss” Nana, Ufa, Rischa, Retno, Mey, Lusi yang mendukung dan memberi bantuan Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI……….. xiii

DAFTAR TABEL………. xvi

DAFTAR GAMBAR………. xvii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang……….... 1

1.2 Perumusan Masalah………. 3

1.3 Tujuan Penelitian………. 5

1.4 Kegunaan Penelitian……… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 7

2.1 Tinjauan Pustaka………. 7

2.1.1 Pengertian Mangrove……….. 7

2.1.2 Fungsi Mangrove……… 8

2.1.3 Fungsi Mangrove……… 9

2.1.3.1 Proses Asosiatif………... 11

2.1.3.2 Proses Disosiatif……….. 12

2.1.4 Hubungan Sosial dan Ekologis dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam……….. 13

2.1.4.1 Lingkungan Sosial Pesisir atau Nelayan……… 14

2.1.5 Struktur Agraria Hutan Mangrove dan Pesisir... 16

2.1.6 Pengertian Konflik……….. 17

2.1.6.1 Pemetaan dan Pengelolaan Konflik…. 19 2.1.7 Faktor Penyebab Degradasi Mangrove………... 20

2.1.7.1 Pencemaran……….. 20

2.1.7.2 Konversi Lahan Hutan………. 21

2.1.8 Konflik Pemanfaatan Kawasan Ekosoistem Mangrove di Wilayah Pesisir………. 23

2.2 Kerangka Pemikiran……….... 24

2.3 Hipotesis Penelitian………. 26

2.4 Definisi Konseptual……… 26

2.5 Definisi Operasional……… 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... 33

3.1 Metode Penelitian……….... 33

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 33

3.3 Teknik Pengumpulan Data……….. 34

3.4 Teknik Pengambilan Sampel………... 35

3.5 Teknik Analisis Data………... 36

(14)

4.1 Kondisi Geografis………... 37

4.2 Kependudukan……….... 38

4.3 Tingkat Pendidikan………. 39

4.4 Mata Pencaharian……… 40

4.5 Agama, Sosial dan Budaya………. 41

4.6 Ekonomi dan Sarana Umum………... 42

BAB V BENTUK INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS DI SEKITAR HUTAN MANGROVE YANG TERBANGUN PADA MASYARAKAT PESISIR MUARA ANGKE……. 44

5.1 Akses Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Hutan Mangrove……….. 44

5.2 Interaksi Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove Bersifat Asosiatif……….. 46

5.2.1 Interaksi Sosial-Ekologi bersifat Asosiatif antar Manusia………... 47

5.2.1.1 Gotong Royong……… 47

5.2.1.2 Kemitraan……… 49

5.2.1.3 Gerakan Penghijauan………... 55

5.2.2 Interaksi Berdasarkan Etika Ekosentrisme antara Manusia dengan Alam………. 57

5.2.2.1 Pelestarian Satwa Liar………. 57

5.2.2.2 Pemanenan Hasil Hutan………... 60

5.2.2.3 Penggunaan Alat Tangkap Ikan yang Ramah Lingkungan……….. 61

5.2.3 Interaksi Sosial-Ekologi bersifat Disosiatif antar Manusia………... 61

5.2.3.1 Marginalisasi………. 62

5.2.3.2 Ancaman………... 64

5.2.3.3 Konflik………. 65

5.2.3.4 Unjuk Rasa (Demonstrasi)……… 72

5.2.3.5 Bentrokan………. 72

5.2.4 Interaksi Sosial-Ekologi Berlandaskan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam……… 73

5.3 Ikhtisar………. 75

BAB VI PERUBAHAN YANG DITIMBULKAN DARI INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS MASYARAKAT MUARA ANGKE DI SEKITAR HUTAN MANGROVE………... 78

6.1 Dimensi Perubahan Sosial pada Masyarakat Pesisir Muara Angke………... 78

(15)

xv   

6.1.2 Ketidakjelasan Aturan Main dan Pengikisan Nilai-Nilai Sosial sebagai Akar Konflik

Pemanfaatan Hutan Mangrove……… 80

6.2 Dimensi Perubahan Lingkungan……….. 83

6.2.1 Bencana Banjir……… 83

6.2.2 Penurunan Hasil Tangkapan Nelayan…………. 85

6.2.3 Gangguan Satwa Liar ke Pemukiman Masyarakat……….. 88

6.3 Ikhtisar………. 89

BAB VII PENUTUP………... 91

7.1 Kesimpulan……….. 91

7.2 Saran……… 93

DAFTAR PUSTAKA……… 95

(16)

DAFTAR TABEL

No Hal

1 Luas Wilayah Kelurahan Pluit menurut Peruntukan Tanahnya

Tahun 2009……… 37

2 Komposisi Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009……… 38

3 Jumlah Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2009………. 39

4 Jumlah Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Tahun 2009………... 40

5 Jumlah dan Jenis Sarana Ekonomi di Kelurahan Pluit Tahun 2009 42

6 Peranan Instansi Terkait dalam Kegiatan Perekonomian Kelurahan Pluit Tahun 2009………... 43

7 Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Berdasarkan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam Tahun 2010…….. 77

8 Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Bersifat Disosiatif antar Manusia beserta Aktor-aktor yang Terlibat Tahun 2010………. 106

(17)

DAFTAR GAMBAR

No Hal

1 Komponen Lingkungan Hidup………... 13

2 Kerangka Analisis Penelitian………... 25

3 Distribusi Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan Keikutsertaan pada Kegiatan Gotong Royong Tahun 2010……... 48

4 Jumlah Persentase Dukungan Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Kebijakan Konservasi Hutan Mangrove oleh Pemerintah Tahun 2010……….. 50

5 Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke di Tengah Pembangunan Perumahan dan Pusat Industri Tahun 2009………. 53

6 Respon Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Pembangunan Kawasan Elit dan Industri oleh Pihak Swasta Tahun 2010……… 54 7 Persentase Masyarakat Muara Angke yang Ikut Terlibat dalam

Kegiatan Penghijauan Tahun 2010………. 56

8 Persentase Interaksi Masyarakat Pesisir Muara Angke dalam Upaya Melindungi Satwa Liar di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke Tahun 2010……….. 58

9 Persentase Jenis Pemanfaatan Hasil Hutan Mangrove di SMMA oleh Masyarakat Pesisir Muara Angke Tahun 2010………... 60

10 Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan pada Sikap terhadap Keberadaan Kawasan Komersil dan Hunian PIK Tahun 2010………. 65

11 Bentuk dan Kedalaman Konflik dari Beberapa Pihak Terkait dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Mangrove Tahun

2010………. 66

12 Pemetaan Interaksi Sosial dan Konflik antar Aktor……… 71

13 Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke yang Membuang Sampah di Muara Sungai Angke Tahun 2010 74

(18)

Sebelum dan Pasca Reklamasi Tahun 2010 84

15 Persentase Nelayan Muara Angke yang Mengalami Penurunan Hasil Tangkapan Tahun 2010………. 86

16 Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke yang Mengalami Gangguan Satwa di Lingkungan Pemukimannya Tahun 2010….. 88

17 Kondisi Pemukiman Nelayan Muara Angke (Kampung Kali

Adem)………. 108

18 Pemukiman Nelayan Tampak dari Dalam Hutan Mangrove…….. 108

19 Sampah di Pinggiran Hutan Mangrove………... 108

20 Kawasan Perumahan Elit dan Pertokoan di Seberang Hutan

Mangrove……… 108

21 Banjir Rob dan Tumpukan Sampah di Pemukiman Nelayan Muara Angke……….. 109

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian 2011……… 99

2 Catatan Harian………. 100

3 Peta Muara Angke……… 105

4 Tabel Bentuk Interaksi Sosial-Ekologi di Muara Angke……….. 106

(20)

 

1.1Latar Belakang

Sumberdaya hayati di Indonesia memiliki keanekaragaman yang relatif kompleks dan kaya, khususnya sumberdaya hayati di wilayah pesisir dan bahari. Menurut Nontji (2005), luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah 5 juta km², laut teritorial 0.3 juta km² sedangkan perairan pedalaman atau perairan kepulauan seluas 2.8 juta km². Ini berarti luas seluruh laut Indonesia berjumlah 3.1 juta km² atau sekitar 62 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3.5 juta ha pada tahun 1996 atau sekitar 30 – 40 persen jumlah seluruh hutan mangrove dunia. Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (38 persen), Sumatra (19 persen), Kalimantan (28 persen), namun dalam perkembangannya saat ini sudah mengalami kerusakan hampir 68 persen. Sedangkan menurut data FAO (2007), luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau 19 persen dari luas hutan mangrove di dunia, dan ini merupakan luas hutan mangrove yang terbesar di dunia melebihi Australia (10 persen) dan Brazil (7 persen).

Salah satu kekayaan hayati yang terdapat di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sering kali, ia disebut dengan hutan payau atau hutan bakau. Namun, hutan mangrove memiliki sedikit perbedaan dengan hutan bakau, bahwa istilah bakau hendaknya digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan tertentu saja yaitu dari marga Rhizopora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas ini (Nontji, 2005).

(21)

2   

sumberdaya alam di Indonesia masih sering diwarnai dengan sengketa atau konflik serta ketimpangan kebijakan dan perundang-undangan (Nontji, 2005).

Sebagai contoh dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove, fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan betapa cepatnya laju pengerusakan ekosistem ini seperti kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Sumatra Barat. Berdasarkan data Ditjen RRL (1999), total luas hutan mangrove di Sumatera Barat sebesar 51915.14 ha. Hutan mangrove yang terletak di daratan Sumatera Barat terdapat di dalam kawasan hutan seluas 6060.98 ha dan di luar kawasan hutan seluas 13253.76 ha, sedangkan sisanya terletak di Kepulauan Mentawai seluas 32600 ha. Dari luasan hutan mangrove yang berada di daratan Sumatera Barat tersebut hanya sejumlah 4.7 persen (909.82 ha) yang kondisinya baik, sementara sebesar 95.3 persen (18404.92 ha) dalam keadaan rusak. Fakta ini bisa dijadikan cerminan bahwa hutan mangrove di Indonesia mengalami degradasi. Degradasi sumberdaya alam khususnya ekosistem hutan mangrove sejatinya disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kesalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang juga menimbulkan sengketa atau konflik.

Masyarakat pesisir yang sebagian besar merupakan masyarakat nelayan memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan ini dikarenakan keterkaitannya yang erat dengan karakterstik ekonomi wilayah pesisir, latar belakang budaya dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. Pada umumnya masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi selaras dengan alam, sehingga teknologi memanfaatkan sumberdaya alam adalah teknologi adaptif dengan kondisi wilayah pesisir.

(22)

dibuka menjadi ruang terbuka hijau perkotaan di Jakarta. Kawasan ini dikelilingi oleh jalan raya, gedung dan pemukiman penduduk yang rapat dan kumuh. Pohon bakau (Rhizophora sp) yang mencirikan kawasan ini hanya tersisa di bagian selatan disekitar pos Polisi Hutan dan sepanjang tepian sungai. Namun demikian mengingat lokasinya yang memiliki aksesibilitas yang sangat tinggi dan dekat dengan pemukiman masyarakat, maka resiko pencurian satwa sangat tinggi. (Anonymous, 2010).

Fuad dan Maskanah (2000) berpendapat bahwa potensi konflik melekat bersamaan dengan integrasi kelompok-kelompok sosial masyarakat ke dalam domain negara. Sebagaimana terjadi di Indonesia, khususnya selama masa Orde Baru, banyak konflik yang didekati dengan melihatnya dari kacamata ideologi pembangunan. Sesungguhnya konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan konsekuensi logis atas pilihan strategi pembangunan yang umumnya ditempuh oleh negara-negara berkembang, yaitu apa yang disebut industrialisasi. Pendayagunaan sumberdaya alam secara maksimal, padahal sumberdaya alam itu terbatas, atas nama pembangunan, telah menimbulkan bencana demi bencana bagi masyarakat itu sendiri. Sengketa sumberdaya alam pada suatu wilayah telah menjadi konflik yang berekskalasi dan berakibat pada tumpang tindih wewanang dan kepentingan. Tumpang tindih kepentingan merupakan suatu bentuk interaksi disosiatif yang tidak terhindarkan.

(23)

4   

1.2Perumusan Masalah

Kawasan pesisir merupakan kawasan dengan karakteristik sosial-ekonomi dan sosial-ekologi yang kompleks. Kompleksitas di kawasan ini dicirikan dengan keberadaan pengguna sumberdaya alam (multiple resource users) yang berada bersama-sama di kawasan pesisir. Kecenderungan untuk memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya pesisir (salah satunya adalah hutan mangrove) oleh berbagai pihak yang berdimensi jangka pendek dengan motif dan rencana masing-masing, menyebabkan timbulnya konflik kepentingan. Konflik di kawasan pesisir yang berkatan dengan pemanfaatan sumberdaya alam meliputi konflik kepentingan dan konflik kewenangan antar sektor dan stakeholder lainnya (Deni, 2009).

Pengelolaan hutan mangrove sebagai bagian dari kawasan pesisir di wilayah DKI Jakarta tercermin dari dimensi hubungan sosial-ekologi yang terbentuk antara berbagai pihak dan berbagai sektor. Menurut Riyadi , Birdieni, Rusdianto (2010), gagasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan Reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta, seluas 2700 ha, sepanjang 32 km, meliputi 3 wilayah provinsi, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, adalah momok yang sangat menakutkan banyak pihak, khususnya kalangan pemerhati dan pecinta lingkungan. Hal ini dianggap menakutan, karena pengalaman telah membuktikan bahwa reklamasi hanya akan berbuah dampak negatif, sebagaimana potret buram reklamasi oleh pengembang hunian elit PIK. Reklamasi mengakibatkan hilangnya hutan mangrove Muara Angke dan juga berdampak pada degradasi lingkungan.

(24)

tersebut pada awalnya merupakan kawasan pantai yang lebat dengan hutan mangrovenya (Siahaan, 2004).

Pengklasifikasian fungsi kawasan pantai dan hutan mangrove di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti peraturan perundangan yang ada. Hal ini berakibat kepada timbulnya berbagai pelanggaran-pelanggaran pengelolaan lahan dan perusakan kawasan pantai. Pengelolaan kawasan lindung pantai seharusnya lebih menitikberatkan kepada pertimbangan ekologisnya daripada kajian sosial ekonomisnya (Dephut, 2010). Secara fisik, Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) dikelilingi oleh berbagai aktivitas manusia karena letaknya berada di wilayah ibu kota negara dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang tinggi telah menyebabkan kawasan ini mendapatkan berbagai tekanan. Tekanan-tekanan tersebut antara lain perambahan kawasan untuk permukiman, penebangan liar serta pencemaran oleh sampah dan limbah industri (LPPM, 2000).

Keterlibatan berbagai aktor dalam pengelolaan hutan mangrove serta dampak lingkungan seperti yang telah disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagaimana terangkum dalam dua pertanyaan berikut ini :

1. Bagaimana bentuk interaksi sosial-ekologi antar berbagai aktor (stakeholder) dalam pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian? 2. Bagaimana perubahan lingkungan yang ditimbulkan dari interaksi

sosial-ekologi antar berbagai aktor (stakeholder) dalam pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian?

 

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada masalah penelitian yang telah diajaukan, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi bentuk interaksi sosial-ekologi antar berbagai aktor (stakeholder) dalam pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian. 2. Mengidentifikasi perubahan lingkungan yang ditimbulkan dari interaksi

(25)

6   

1.4Kegunaan Penelitian

(26)

 

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Mangrove

Hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, dan muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi dengan garam. Berdasarkan letaknya tersebut, hutan mangrove berperan penting sebagai pemyambung (interface) antara ekosistem daratan dan lautan yang oleh karenanya hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem hutan yang unik (Kusmana dan Onrizal, 2003).

Wibisono (2005) menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan hujan tropis yang terdapat di sepanjang garis panta perairan tropis yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang sangat unik. Hutan ini merupakan peralihan habitat lingkungan darat dan lingkungan laut, maka sifat-sifat yang dimiliki tidak persis sama seperti sifat-sifat-sifat-sifat yang dimiliki hutan hujan tropis di daratan. Kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan komunitas mangrove ini biasanya tumbuh selain di wilayah pantai tropis juga bisa ditemui di wilayah sub tropis1. Selain itu, areal tumbuh hutan mangrove umumnya terletak di sekitar muara sungai (estuaria), pantai karang, teluk yang tenang dan pulau-pulau di dalam teluk tersebut. Wilayah hutan mangrove di Indonesia meliputi tempat-tempat seperti Pantai Cilacap dan sekitarnya termasuk pantai di Segara Anakan dan Pantai Nusa Kambangan, daerah Ujung Kulon, Pantai Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, sedikit di pantai utara Jawa Barat, Pantai timur Sumatra sampai Sumatra Selatan, Pantai Kalimantan Timur dan sedikit di Kalimantan Barat, Pantai Sulawesi Selatan (sekitar Kabupaten Wulu), Pantai Teluk Tomori (Morowari), dan Pantai di Papua Barat.

      

1

(27)

8   

Mengacu pada pengertian mangrove yang telah disebutkan di atas, maka ekosistem mangrove tidak hanya sebagai ekosistem yang terdiri dari monokultur kehidupan melainkan multikultur biota hayati yang sangat kompleks. Keanekaragaman hayati yang dimiliki ekosistem mangrove mampu beradaptasi pada kondisi perairan laut dan daratan. Komponen yang terdapat pada ekosistem mangrove baik berupa komponen biotik (beragam flora, fauna, serta organisme lainnya yang memiliki kekhasan tersendiri) dan komponen abiotik (tanah, air, bebatuan) yang terangkum membentuk kesatuan kawasan penyangga kehidupan di laut dan daratan. Namun, sebaran hutan mangrove kini mengalami pengurangan di setiap tahunnya akibat ulah manusia.

2.1.2 Fungsi Mangrove

Menurut Kusmana dan Onrizal (2003), beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi yang sangat penting di dalam menjaga kestabilan ekosistem di sekitarnya. Secara fisik, keberadaan hutan mangrove dapat mengendalikan abrasi pantai, mengurangi tiupan angin kencang dan terjangan gelombang laut atau memperkecil gelombang tsunami, menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan), mempercapat laju sedimentasi sehingga daratan bertambah luas,dan mengendalikan intrusi laut. Secara biologis, hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tepat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis biota laut. Selain itu ekosistem mangrove juga sebagai tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan sumber plasma nutfah. Secara ekonomis, hutan mangrove dapat menghasilkan kayu, madu, obat-obatan, minuman, makanan, tanin, dll. Selain itu, untuk kegiatan produksi dan tujuan lain ekosistem mangrove berfungsi untuk pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi, dan lain-lain.

Wibisono (2005) menyebutkan terdapat 4 fungsi ekosistem hutan mangrove yaitu sebagai berikut:

(28)

sepenuhnya hidup di darat dengan biota yang sepenuhnya hidup di perairan laut. Biota ini misalnya terdiri dari berbagai jenis ketam, kepiting (Scylla serata), mimi (Limulus tachypleus), berbagai jenis burung merandai yang hidupnya tergantung dari biji-bijian yang terdapat dalam hutan bakau, berbagai jenis reptil terutama ular, berbagai jenis primata terutama bekantan, dan berbagai jenis ikan.

2. Sebagai penahan erosi pantai karena hempasan ombak dan angin serta sebagai pembentuk daratan baru. Hal ini dimungkinkan mengingat sistem perakaran vegetasi hutan bakau yang begitu rumit tersebar di bawah permukaan tanah, dengan demikian pantai bisa bertahan dari bahaya erosi. Selain itu, gambaran sistem perakaran tersebut juga mampu sebagai penampung sedimentasi baik yang berasal dari aliran sungai maupun dari dasar perairan laut atau pantai yang tersapu ombak sehingga terbentuk daratan baru.

3. Merupakan tempat yang ideal untuk berpijah (nursery ground) dari berbagai jenis larva ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting seperti larva ikan julung-julung (Hemiramphus far), ikan belanak (Mugil cephalus), larva udang dari jenis Peneus merguiensis (banana prawn), dan sebagainya.

4. Sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan yang bisa menambah kesejahteraan penduduk setempat. Pemanfaatan tersebut tetap harus mengacu kepada kepentingan keseimbangan dan kelestarian daya dukung lingkungan hutan bakau.

2.1.3 Interaksi atau Hubungan Sosial

(29)

10   

dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok sosial tersebut tidak bersifat pribadi. Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (social-contact) dan komunikasi (Soekanto, 2002). Proses sosial yang terjadi ini kemudian mengalami dinamika sosial lain yang disebut perubahan sosial yang terus-menerus bergerak secara simultan dalam sistem-sistem sosial yang lebih besar. Syarat terjadinya interaksi sosial adalah kontak sosial dan komunikasi.

Menurut Soekanto (2002), kontak sosial secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik kontak sosial baru terjadi apabila ada hubungan fisikal. Sebagai gejala sosial hal itu bukanlah semata-mata hubungan badaniah, karena hubungan sosial dapat terjadi tdak hanya dengan menyentuh seseorang, tetapi seseorang dapat berhubungan dengan orang lain tanpa harus menyentuhnya. Kontak sosial dapat terjadi dalam lima bentuk yaitu:

a. Proses sosialisasi yang berlangsung antara pribadi orang-perorang yang memungkinkan seseorang dapat mempelajari norma-norma yang terdapat di lingkungannya. Menurut Bungin (2001), proses ini terjadi melalui proses objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. b. Kontak sosial antara orang per orang dengan suatu kelompok masyarakat

atau sebaliknya.

c. Kontak sosial antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dalam satu komunitas.

d. Kontak sosial antara orang per orang dengan komunitas masyarakat global di dunia internasional.

(30)

2.1.3.1 Proses Asosiatif

Menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (2002), proses asosiatif adalah suatu proses terjadinya saling pengertian dan kerjasama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan yang lainnya, dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan akhir bersama.

1) Kerjasama (cooperation) adalah usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Proses cooperation terjadi apabila di antara individu atau kelompok tertentu menyadari adanya kepentingan atau ancaman yang sama. Kerjasama terbagi lagi ke dalam bentuk:

a. Gotong royong adalah proses yang berupa aktivitas tolong-menolong dan pertukaran tenaga, barang, maupun emosi dalam bentuk timbal balik antara mereka.

b. Bargaining adalah proses kerjasama dalam bentuk perjanjian pertukaran kepentingan,kekuasaan, barang, ataupun jasa yang terjadi antara dua pihak atau lebih di bidang politik, budaya, hukum, maupun militer.

c. Co-optation adalah proses kerjasama yang terjadi di antara invidu atau kelompok yang terlibat dalam sebuah organisasi atau negara dimana terjadi proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik untuk menciptakan stabilitas.

d. Coalition adalah interaksi yang terjadi pada dua oraganisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama kemudia melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut. Coalition pada umumnya tidak menyebabkan ketidakstabilan struktur di masing-masing organisasi, karena coalition biasanya terjadi pada unit program dan dukungan politis.

e. Joint-venture adalah kerjasama dua atau lebih organisasi perusahaan bisnis untuk pengerjaan proyek-proyek tertentu.

(31)

12   

a. Coersion adalah bentuk akomodasi yang terjadi karena adanya paksaan maupun kekerasan fisik atau psokologis.

b. Compromise merupakan proses akomodasi dimana pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai penyelesaiannya oleh pihak ketiga atau badan yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan pihak yang berselisih.

c. Mediation adalah proses akomodasi yang dibantu oleh pihak ketiga yang netral.

d. Conciliation ialah bentuk akomodasi yang melalui usaha untuk mempertemukn kepentingan-kepentingan pihak yang berselisih.

e. Tolerantion merupakan bentuk akomodasi yang terjadi secara tidak formal dan dikarenakan adanya pihak-pihak yang menghindari diri dari pertikaian.

f. Stalemate merupakan pencapaian akomodasi yang bertikai dan memiliki kekuatan yang sama berhenti pada satu titik tertentu dan menahan diri. g. Adjudication adalah kondisi dimana proses akomodasi mengalami jalan

buntu sehingga diselesaikan di pengadilan.

3) Asimilasi, yaitu proses percampuran dua atau lebih budaya yang berbeda sebagai akibat dari proses sosial, kemudan menghasilkan budaya baru yang berbeda dengan budaya aslinya.

2.1.3.2 Proses Disosiatif

Proses disosiatif adalah proses perlawanan (oposisi) yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok dalam proses sosial yang terjadi di antara mereka dalam suatu masyarakat (Soekanto, 2002). Bentuk-bentuk proses disosiatif dapat digolongkan seperti persaingan, kompetisi, dan konflik.

(32)
(33)

14   

Relasi manusia belangsung dalam komunitas ekologis yang berarti bahwa manusia bisa berkembang menjadi penuh dan utuh justru dalam relasi dengan semua kenyataan kehidupan dan alam. Manusia tidak hanya memiliki hubungan-hubungan dengan manusia saja. Relasi manusia seharusnya memperhatikan dirinya sebagai ecological self dalam artian bahwa manusia harus menyadari ia akan berhasil menjadi manusia yang sempurna hanya dalam kesatuan asasi dengan alam atau memalui interaksi positif manusia dengannya secara keseluruhan dan dengan bagian lain dari alam (Susilo, 2009).

Perilaku tidak ramah lingkungan dengan paham antroposentrisme3 mengabaikan masalah-masalah lingkungan yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia. Kepentingan manusia untuk mengeksploitasi selalu berubah dan berbeda kadarnya. Manusia hanya memikirkan kepentingan jangka pendek yang berorientasi pada kepentingan ekonomi. Paham antroposentrisme mewarnai interaksi antara manusia dengan lingkungan, tidak lepas dari rasa percaya diri manusia yang berlebihan. Hukum alam bisa dikesampingkan, sebab ia memiliki sifat yang pasif dan bergantung pada manusia, sedangkan kebutuhan manusia berubah dengan sifat tidak terbatas (Susilo, 2009).

2.1.4.1 Lingkungan Sosial Pesisir atau Nelayan

Menurut Purba (2002), pengertian lingkungan sosial pesisir kurang lebih sama dengan konsep masyarakat pesisir atau komunitas pesisir yang dpakai oleh beberapa kalangan. Dalam pendekatan geografi-budaya lingkungan sosial pesisir secara umum mencakum kesatuan-kesatuan hidup manusia yang berdiam dan mengembangkan kehidupan sosial di daerah yang relatif dekat dengan laut dan secara khas menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di atas perairan laut. Bagi komunitas ini, ketergantungan hidup mereka kepada sumberdaya alam daratan juga sama besarnya dengan ketergantungan mereka kepada sumberdaya perairan. Masrakat pesisir dibagi menjadi beberapa kategori seperti:

a. Masyarakat Perairan

Masyarakat Peairan merupakan kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya perairan (laut, sungai atau pantai), cenderung terasing dari kontak-      

3

(34)

kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak berada di lingkungan perairan daripada darat, dan berpindah-pindah tempat di suatu wilayah (teritorial) perairan tertentu. Kehidupan sosial mereka cenderung egaliter, dan hidup dalam kelompok-kelompok kekerabatan setingkat klen kecil.

b. Masyarakat Nelayan

Masyarakat nelayan pada umumnya pada umumnya telah bermukim secara tetap di daerah-daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain. Golongan masyarakat pesisir yang dapat dianggap paling banyak memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya. Sistem ekonomi mereka tidak lagi berada pada tingkat subsisten yaitu sudah masuk ke sistem perdagangan, karena hasil laut yang mereka peroleh tidak dikonsumsi sendiri, tetapi didistribusikan kepada pihak lain. c. Masyarakat Pesisir Tradisional

Masyarakat pesisir ini memang berdiam dekat dengan perairan laut, akan tetapi sedikit sekali menggantungkan kelangsungan hidupnya dari sumberdaya laut. Mereka sebagian besar hidup dari pemanfaatan sumberdaya daratan. Dalam kehidupan sehari-hari nampak sekali mereka lebih menguasai pengetahuan mengenai lingkungan darat daripada perairan, lebih mengembangkan kearifan lingkungan darat daripada laut.

(35)

16   

tradisional yang selama ini menggantungkan hidup kepada sumberdaya alamiah tersebut.

2.1.5 Struktur Agraria Hutan Mangrove dan Pesisir

Berdasarkan konsepsi pendekatan terpadu didalam pengelolaan ruang kawasan pantai dan hutan mangrove, terdapat pembagian dua kelompok besar kawasan pantai, yaitu kawasan pantai berhutan (bervegetasi) dan kawasan pantai tak berhutan. Selanjutnya berdasarkan daya dukung dan daya topang masing-masing kelompok kawasan ini dapat diperuntukkan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan yang termasuk di dalam kawasan lindung adalah: 1. Hutan produksi terbatas

2. Hutan lindung terdiri dari kawasan lindung pantai/hutan lindung mutlak, bantaran sungai dan jalur hijau sepanjang pantai dan sekeliling danau dan sekitar, sumber air di wilayah pesisir, kawasan pelindung pantai dari ancaman bencana alam, serta lahan gambut pesisir yang peka akan degradasi lingkungan.

3. Kawasan suaka alam dan suaka margasatwa

4. Kawasan konservasi alam lainnya seperti taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar biosfir, cagar budaya dan laboratorium lapangan.

Pengklasifikasian fungsi kawasan pantai dan hutan mangrove di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti peraturan perundangan yang ada. Hal ini berakibat kepada timbulnya berbagai pelanggaran-pelanggaran pengelolaan lahan dan perusakan kawasan pantai. Pengelolaan kawasan lindung pantai seharusnya lebih menitikberatkan kepada pertimbangan ekologisnya daripada kajian sosial ekonomisnya (Dephut, 2010).

(36)

mangrove. Permasalahan utama dalam isu itu adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan.

2.1.6 Pengertian Konflik

Menurut Fisher et al. (2000) seperti yang dikutip oleh Ilham (2006), konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena keseimbangan antara hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi.

Konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakkan, yang dapat bersifat positif atau negatif. Aspek positif muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang berjalan tidak efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman (Hendricks, 2008).

Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan, atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Maka konflik merupakan suatu kesatuan yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif maupun negatif. Aspek positif konflik muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman.

(37)

18   

dalam merealisasikan hak tersebut, dan faktor inilah yang merupakan pemicu bagi konflik dan sengketa yang kemudian timbul.

Kriekhoff (1993) sebagaimana dikutip oleh Fuad dan Maskanah (2000) berpendapat bahwa konflik dapat timbul di antara individu satu dengan yang lain (antar individu) dan antar kelompok individu. Konflik antar individu meliputi: (a) antara individu dengan individu lain dari kelompok yang berbeda, dan (2) antara individu-induvidu dalam suatu kelompok (within a group atau inter group), misalnya perebutan tanah antar anggota suku, yang disebut pula konflik interhouse atau inter generational. Sedangkan yang termasuk konflik antar kelompok (intra goup atau intra house) dapat berupa konflik antar sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok, dan konflik antar kelompok besar yang otonom dalam masyarakat.

Fisher et al (2001) membagi dan menjelaskan konflik berdasarkan tipe-tipe yang selalu ada dalam kehidupan masyarakat yaitu sebagai berikut:

1. Tanpa konflik, berarti bahwa konflik sedang terjadi. Konflik memiliki kesan umum yang lebih baik, terasa suasana damai pada kondisi ini dan senantiasa tetap terjaga jika masing-masing pihak saling mengganggu serta hidup bersemangat dan dinamis.

2. Konflik laten, sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.

3. Konflik terbuka, konflik ini berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. 4. Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan

muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.

(38)

masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi, mungkin pula menemukan jalan buntu. Berdasarkan level permasalahannya, terdapat dua jenis konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat diketahui. Sedangkan konflik horizontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam kaitan makro agak sulit untuk digambarkan dengan jelas.

Pengkajian lingkungan selalu dicirikan dengan konflik dan kontroversi. Ini merupakan konsekuensi perbedaan nilai dan kepentingan yang terdapat pada masyarakat majemuk dalam kaitannya dengan penggunaan dan pengeloaan tanah, air, dan sumber alam. Penyelesaian sengketa biasanya sulit dicapai untuk dua hal yang saling berkaitan. Pertama, keuntungan dan dan kerugian pembangunan cenderung terbagi tidak merata termasuk hal-hal tak terukur yang sulit untuk dibandingkan. Kedua, banyak kelompok dengan pandangan dan interpretasi yang berbeda selalu terlibat (Sadler dan Armour, 1987 sebagaimana dikutip oleh Mitchell, 2007).

2.1.6.1Pemetaan dan Pengelolaan Konflik

(39)

20   

hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, termasuk suberdaya genetika (Harjasumantri, 2000).

Ketika sengketa muncul berkaitan dengan berbedanya kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, paling tidak empat pendekatan dapat dipakai untuk penyelesaiannya: (1) politis, (2) administrasi, (3) hukum, dan alternatif penyelesaian masalah. Berbagai pendekatan ini tidak selalu berdiri sendiri, beberapa dapat digunakan secara bersama (Mitchell, 2007).

2.1.7 Faktor Penyebab Degradasi Mangrove

Dewasa ini area pesisir semakin banyak yang mengalami penurunan kualitas karena salah satu penyebabnya adalah degradasi ekosistem hutan mangrove:

1. Pertumbuhan penduduk.

2. Meningkatnya tuntutan ekonomi dan teknologi masyarakat (Harjasumantri: 2000)

3. Pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi pemukiman, tambak, pabrik, kawasan wisata, dan lain-lain

4. Perebutan sengketa lahan dan pemanfaatan hutan mangrove oleh berbagai pihak (negara, swasta, dan masyarakat) sehingga menyebabkan ekosistem mangrove menjadi kawasan yang open access yang tidak mendapatkan control penuh dari pihak-pihak yang berkonflik.

5. Rendahnya kesadaran masyarakat dan tingginya ketergantungan masyarakat untuk hidup di wilayah pesisir.

Sedangkan menurut Kusmana dan Onrizal (2003) terdapat tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Beberapa faktor pendukung lainnya turut pula menimbulkan terjadinya kerusakan dengan berbagai dampaknya pada hutan mangrove.

2.1.7.1 Pencemaran

(40)

meracuni tumbuhan dalam rumpun mangrove serta biota yang hidup di dalamnya. Bahkan, pencemaran akibat minyak dan logam berat akan berdampak pada kualitas sumberdaya pesisir dan mengurangi pendapatan masyarakat nelayan yang hidupnya bergantung pada sumberdaya pesisir khususnya ekosistem hutan mangrove (Kusmana dan Onrizal, 2003).

2.1.7.2 Konversi Lahan Hutan

Lebih dari 70% penduduk Indonesia tinggal dan kehidupannya bergantung pada ekosistem hutan mangrove4. Sebagian dari berbagai praktik eksploitasi terhadap hutan mangrove justru mengancam kelestarian sumberdaya hutan mangrove itu sendiri yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan masyarakat sendiri dan generasi yang akan datang. Beberapa bentuk kegiatan yang melakukan konversi hutan mangrove antara lain adalah sebagai berikut:

1. Budidaya Perikanan

Konversi hutan mangrove untuk budidaya perikanan, terutama untuk tambak udang windu (Penaeus monodon, P. merguensis dan P. indicus) maupun tambak ikan telah menyebabkan terdegradasinya hutan mangrove yang subur dalam skala yang cukup luas. Luas areal tambak di ekosistem mangrove meningkat sebesar 14.4 persen dalam kurun dua tahun (dari tahun 1999 samai 2001) atau 7.2 persen per tahun, yaitu dari 393196 ha (1999) menjadi 450000 ha (2001)5.

2. Pertanian

Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas padi sawah dan perkebunan kelapa. Kegiatan ini dilakukan di kawasan pesisir dengan terlebih dahulu menebang habis (clear cutting) tegakan mangrovenya, sehingga sangat potensial menyebabkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove.

3. Jalan raya, industri serta jalur dan pembangkit listrik

      

4

Widjojo, S. 2002. Pola Kerjasama antar Instansi Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Ekosistem Mengrove. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mengrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.

  5

(41)

22   

Areal mengrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan raya, bandara, pelabuhan, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil-hasil lainnya yang melewati kawasan mangrove.

4. Produksi garam

Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini merupakan areal mengrove yang dikonversi dan tingkat kerusakannya bersifat irreversible. Kegiatan produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan pada areal mangrove yang memiliki curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun, misalnya contoh kasus masyarakat di Desa Oesapa Barat, Nusa Tenggara Timur yang memanfaatkan lahan mangrove untuk areal tambak garam (Therik, 2008).

5. Perkotaan

Urbanisasi menyebabkan terjadinya konversi hutan mangrove yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Selain dijadikan lokasi pemukiman, hutan mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan pembangunan infrastruktur pendukung, seperti jalan raya, pelabuhan, prasarana sanitasi/pembuangan limbah, dan lain-lain.

6. Pertambangan

Pertambangan terutama minyak bumi, cukup banyak dilakukan di areal hutan mangrove. Lahan yang cukup luas diperluan untuk tempat penggalian sumur bor, tempat menyimpan minyak mentah, pipa, pelabuhan, perkantoran, dan pemukiman pekerja. Untuk keperluan tersebut tentunya dengan menebang habis hutan mangrovenya terlebih dahulu, sehingga memicu terjadinya degradasi mangrove. Selain itu, minyak yang mencemari mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi mangrove.

7. Daerah wisata

(42)

pembangunan prasarana wisata, di mana salah satu pilihannya adalah dengan mengkonversi areal hutan mangrove.

2.1.8 Konflik Pemanfaatan Kawasan Ekosoistem Mangrove di Wilayah Pesisir.

Konflik sumberdaya mangrove sebagaimana peristiwa konflik yang lain berawal pada ketimpangan kepentingan dari beberapa pihak. Selain itu, sumberdaya mangrove sebagai salah satu komponen sumberdaya pesisir (SDP) yang menjadi obyek konflik antara masyarakat dan pemerintah. Satria (2009) menyebutkan bahwa konflik antara pemerintah dan masyarakat pesisir diakibatkan oleh kuatnya intervensi kebijakan dari pemerintah. Parahnya, kebijakan itu seringkali tidak memihak masyarakat namun justru mengeliminasi hak-hak masyarakat dalam mengakses dan mengontrol SDP khususnya dalam konteks ini adalah sumberdaya mangrove.

Konflik pemanfaatan lahan pesisir dapat disebut sebagai salah satu bagian dari konflik sumberdaya perikanan. Menurut Charles (2000), pemanfaatan lahan terjadi antara pihak pihak pesisir dengan pihak lain. Pihak lain tersebut memiliki motif-motif tertentu yang berseberangan dengan kepentingan masyarakat pesisir seperti motif ekonomi. Sementara menurut Sinurat (2000), konflik dalam sumberdaya pesisir terbagi menjadi dua yakni konflik pemanfaatan ruang dan konflik kewenangan dari ketimpangan berbagai sektor seperti sektor perikanan dan kelautan, sektor kehutanan, sektor perindustrian, sektor pariwisata dan sektor lainnya yang terkait.

Menurut Yulianti (2006), pangkal permasalahan konflik pesisir adalah tidak adanya pengelolaan wilayah pesisir yang bersifat sistematis, terpadu dan komprehensif. Berkaitan dengan penjelasan sebelumya, Rudianto (2004) menyebutkan beberapa penyebab konflik di wilayah pesisir sebagai berikut:

1. Batas-batas status tanah kepemilikan yang tidak jelas (seperti hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak membuka tanah dan hak memungut hasil sumberdaya),

2. Terjadi transfer of ownership,

(43)

24   

4. Pemerintah daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah. 5. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement).

2.2 Kerangka Pemikiran

Gambar 2 menjelaskan tentang tata kelola sumberdaya mangrove yang dilatarbelakangi oleh kebijakan konservasi hutan mangrove yang pada umumnya dilakukan dengan pendekatan top down oleh pemerintah. Pemasungan dan pembatasan hak akses masyarakat tentu akan terjadi sebagai suatu konsekuensi pengalihan kuasa dan fungsi pemanfaatan hutan mangrove.

Kejadian ini tentu akan menimbulkan pola hubungan atau interaksi sosial-ekologi antara pihak yang saling bersentuhan dan memiliki kepentingan akan hutan mangrove. Pihak yang terlibat dalam hubungan atau interaksi sosial-ekologi di kawasan hutan mangrove adalah pemerintah dan masyarakat pesisir terkait dengan adanya ketetapan konservasi hutan mangrove berupa Suaka Marga Satwa Muara Angke.

(44)

Gambar 2. Kerangka Analisis Penelitian Pemerintah

HUTAN MANGROVE Kebijakan Konservasi

dari Pemerintah (topdown)

Masyarakat

Hubungan/Interaksi Sosial-Ekologi

• Penggunaan alat tangkap • Pembuangan limbah rumah

tangga (sampah). • Pemanfaatan hasil hutan • Dukungan terhadap kebijakan

pemerintah

• Penangkapan satwa liar • Pembukaan lahan untuk

bangunan, pemukiman. (luas lahan bukaan)

• Dukungan dan rekasi terhadap pembangunan oleh swasta • Hubungan antar sesama

masyarakat

Perubahan sosio-ekologis • Dimensi Perubahan Sosial

• Kondisi ekosistem pesisir (banjir, hasil tangkapan nelayan, gangguan satwa liar ke pemukiman)

Swasta

Manusia-Manusia • Asosiatif • Disosiatif

(45)

26   

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian, peneliti mengajukan beberapa dugaan mengenai hasil penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan pola hubungan atau interaksi sosial-ekologi antar aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke.

2. Terdapat interaksi sosial-ekologi yang bersifat asosiatif antar berbagai aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke.

3. Terdapat interaksi sosial-ekologi yang bersifat disosiatif antar berbagai aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke.

4. Terdapat perubahan lingkungan sebagai akibat dari interaksi sosial-ekologis antar berbagai aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke.

2.4 Definisi Konseptual

1. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2009).

2. Pemerintah adalah kelembagaan atau institusi formal yang memiliki wewenang dan kekuasaan legal untuk mengatur dan mengelola kehidupan dan lingkungan di wilayahnya melalui intervensi peraturan atau kebijakan. 3. Responden adalah anggota suatu rumahtangga masyarakat pesisir.

4. Konservasi hutan mangrove adalah upaya perlindungan untuk menjaga kelestarian dan eksistensi hutan mangrove beserta seluruh ekosistem hayati yang terdapat di dalamnya.

(46)

kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia (Gillin dan Gillin, 1954 sebagaimana dikutip Soekanto,2002). 6. Interaksi ekologis adalah hubungan dinamis yang terjadi antara manusia

dengan alam sekitarnya.

7. Interaksi sosial yang asosiatif adalah hubungan sosial yang sifatnya saling mendekatkan atau mempererat antara pihak-pihak yang terlibat yaitu masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah. Contohnya, akomodasi, kerjasama, gotong-royong.

8. Interaksi sosial yang disosiatif adalah hubungan sosial yang sifatnya saling menjauhkan antara pihak-pihak yang terlibat yaitu masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah. Contohnya, persaingan,pertentangan, konflik, dan perusakan.

2.5 Definisi Operasional

1. Penggunaan alat tangkap ikan adalah perilaku atau cara yang digunakan masyarakat pesisir untuk mendapatkan atau memanen hasil perikanan dengan menggunakan beberapa macam alat tangkap yang dimiliki. Penggunaan alat tangkap ini dapat dilihat dari tingkatan yang paling tidak ramah lingkungan sampai yang ramah lingkungan. Pengukuran:

a. Menggunakan bom ikan = skor -2 b. Menggunakan racun pottasium = skor -1 c. Menggunakan jala atau kail biasa = skor 0 d. Menggunakan telapak tangan = skor +1

e. Tidak menangkap ikan untuk menjaga ekosistem = +2

2. Pembuangan limbah rumah tangga adalah perilaku atau cara masyarakat membuang limbah rumah tangga (berupa sampah dapur, sampah plastik, kertas, bekas bahan bangunan, selokan) yang dikaitkan dengan tempat yang digunakan sebagai pembuangan akhir sampah tersebut di kawasan hutan mangrove. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling tidak ramah lingkungan sampai yang paling ramah lingkungan:

a. Membuang semua limbah rumah tangga di hutan mangrove = skor -2 b. Membuang sampah plastik, kertas di muara sungai kawasan mangrove

(47)

28   

c. Tidak membuang sampah sembarangan di muara sungai dan hutan mangrove = skor 0

d. Memunguti sampah yang ada di muara sungai dan hutan mangrove = skor +1

e. Memunguti dan mendaur ulang sampah menjadi barang yang bermanfaat = skor +2

3. Pemanfaatan hasil hutan adalah perilaku arau cara yang digunakan masyarakat pesisir untuk memanen hasil hutan mangrove berupa kayu, ranting, daun untuk obat-obatan, madu guna memenuhi kehidupan ekonomis masyarakat. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling eksploitatif sampai yang paling preservatif:

a. Menebang habis kawasan hutan mangrove = skor -2

b. Mengambil kayu bakar, ranting, memanen madu, obat-obatan = skor -1 c. Tidak memanfaatkan atau memanen hasil hutan = skor 0

d. Menjaga kelestarian ekosistem hutan mangrove = skor +1

e. Menjaga kelestarian ekosistem hutan mangrove dengan menggunakan zonasi dan peraturan sesuai kearifan lokal = skor +2

4. Gotong royong adalah suatu kegiatan rutin kemasyarakatan yang bersifat kerjasama saling bahu membahu dalam hal menjaga kebersihan lingkungan, khususnya kawasan pesisir dan bantaran Kali Angke. Pengukuran kegiatan ini dapat dilihat dari frekuensi waktu pelaksanaan kegiatan, yaitu:

a. Tidak pernah sama sekali = skor -2 b. Setiap empat bulan = skor -1 c. Setiap tiga bulan = skor 0 d. Setiap dua bulan = skor +1 e. Setiap bulan (rutin) = skor +2

(48)

a. Mengabaikan, tidak mau tahu kondisi hutan mangrove dan menggagalkan upaya penghijauan di hutan mangrove = skor -2

b. Melakukan penanaman mangrove karena terpaksa atau mengharap imbalan berupa uang intensif = skor -1

c. Memiliki kesadaran untuk menanam mangrove, namun tidak pernah melakukannya = skor 0

d. Melakukan penanaman mangrove untuk menjaga kelestarian hutan mangrove (kesadaran diri sendiri) = skor +1

e. Mempelopori dan menjadi bagian penggeak warga serta melakukan penanaman mangrove bersama-sama dengan masyarakat = skor +2 6. Dukungan terhadap kebijakan pemerintah adalah sikap yang ditunjukkan

masyarakat untuk mau atau tidak mau mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling melanggar sampai yang paling mematuhi:

a. Melanggar dan menentang peraturan secara brutal/perlawanan dengan merusak hutan mangrove yang masuk zona inti perlindungan = skor -2 b. Menentang tanpa ada perlawanan (aksi nyata) terhadap peraturan

terkait dengan hutan mangrove = skor -1

c. Bersikap biasa saja terhadap peraturan yang ditetapkan pemerintah = skor 0

d. Mendukung, mematuhi, dan melaksanakan peraturan yang ditetapkan pemerintah terkait dengan hutan mangrove = skor +1

e. Mendukung dan ikut menghimbau warga lain untuk sama-sama mematuhi atau melaksanakan peraturan pemerintah = skor +2

7. Sikap responden terhadap pembangunan kawasan industri dan hunian elit PIK di sekitar lingkungan pemukiman responden dan hutan mangrove. a. Sangat tidak setuju = skor -2

b. Tidak setuju = skor -1 c. Tidak tahu/netral = skor 0 d. Setuju = +1

(49)

30   

8. Bentuk reaksi responden terhadap pihak swasta yang melakukan pembangunan perumahan elit dan pertokoan di lingkungan Muara Angke. a. Mendukung, ikut terlibat dan membantu pihak swasta, serta ikut

mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut = skor -2

b. Mendukung namun tidak melibatkan diri dalam kegiatan tersebut dan tidak ada perlawanan terhadap pihak swasta = skor -1

c. Tidak ada reaksi apapun terkait kegiatan yang dilakukan pihak swasta = skor 0

d. Menentang namun tidak ada aksi nyata terhadap kegiatan tersebut = skor +1

e. Menentang dan melakukan berbagai gerakan dan aksi sosial serta aksi politik dalam melawan bahkan menghentikan kegiatan yang dilakukan swasta di kawasan hutan mangrove = skor +2

9. Bentuk konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan atau swasta terkait dengan akses dan pemanfaatan di sekitar kawasan hutan mangrove.

a. Terjadi pertentangan antara kedua belah pihak hingga menimbulkan tragedi saling bunuh = skor -2

b. Terjadi kekerasan dalam bentuk pekelahian/persaingan perebutan hak pengelolaan hutan mangrove misalnya: kerusuhan, tawuran = skor -1 c. Terjadi kondisi saling mengancam pada kedua belah pihak yang

berselisih = skor 0

d. Terjadi perdebatan (beda pendapat) dan perbedaan kepentingan antara kedua pihak. = skor +1

e. Terjadi penyebaran desas-desus (gossip) atau isu yang saling mejelekkan dan berprasangka secara sembunyi-sembunyi antara kedua belah pihak = skor +2

(50)

a. Menangkap dan membunuh seluruh satwa yang ditemui di kawasan hutan mangrove = skor -2

b. Menangkap satwa untuk diperjual-belikan atau dipelihara = skor -1 c. Bersikap biasa saja atau tidak acuh pada keberadaan satwa liar di hutan

mangrove = skor 0

d. Tidak menangkap dan membunuh satwa yang ada di hutan mangrove = skor +1

e. Tidak menangkap, membunuh, bahkan menkonservasi satwa yang ada di hutan mangrove bersama-sama dengan semua lapisan masyarakat = skor +2

11.Pembukaan lahan untuk bangunan dan pemukiman adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi luasan lahan tutupan mangrove. Pengukuran dapat dilihat dari luasan lahan bukaan mangrove yang diakibatkan dari yang paling besar sampai yang paling kecil:

a. Luas bukaan lahan ≥ 10 ha = skor -2 b. Luas bukaan lahan 0-10 ha = skor -1

c. Tidak memiliki lahan bukaan di kawasan hutan mangrove = skor 0 d. Menghindari untuk membuka lahan mangrove yang dilindungi untuk

mendirinkan bangunan atau tambak = skor +1

e. Mencegah dan menghimbau warga untuk tidak membuka lahan di kawasan lindung hutan mangrove = skor +2

12.Hasil tangkapan ikan yang menjadi konsekuensi dari turunnya kualitas ekosistem pesisir diukur dari jumlah sabagai berikut:

a. Berkurang lebih dari setengah hasil tangkapan = skor -2 b. Berkurang tidak lebih dari setengah hasil tangkapan = skor -1 c. Tidak terjadi penurunan hasil tangkapan = skor 0

d. Kenaikan hasil tangkapan kurang dari setengah hasil tangkapan = skor +1

(51)

32   

13. Banjir sebagai konsekuensi dari berkurangnya luasan hutan mangrove (setelah reklamasi pesisir dan sebelum reklamasi pesisir) sehingga terjadi kenaikan air laut dan merupakan dampak dari rusaknya ekosistem sungai Angke dari hulu ke hilir diukur menurut frekuensi sebagai berikut:

a. Banjir terjadi harian (hampir setiap hari) = skor -2 b. Banjir terjadi mingguan = skor -1

c. Banir terjadi bulanan = skor 0 d. Baniir terjadi tahunan = skor +1 e. Tidak terjadi banjir = skor +2

14.Gangguan satwa liar ke pemukiman penduduk akibat rusaknya atau menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat diukur dengan melihat frekuensinya sebagai berikut:

a. Gangguan satwa terjadi harian (hampir setiap hari) = skor -2 b. Gangguan satwa terjadi mingguan = skor -1

(52)

3.1Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan ditunjang oleh pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk lebih memahami fakta sosial yang menjadi fokus penelitian (Singarimbun, 1989). Pendekatan kuantitatif yang dipilih oleh peneliti adalah pendekatan yang mampu memberikan penjelasan hubungan dan intensitas kedalaman antar variabel melalui penghitungan data yang dikuantifikasikan, sehingga dapat memperlihatkan gambaran hubungan antar variabel penelitian tersebut. Penelitian ini juga mengkombinasikan dengan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan pendukung agar didapatkan data yang lebih mendalam dan yang belum bisa digambarkan dari penggunaan pendekatan kuntitatif.

Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survai yaitu melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama dalam pengambilan data kuantitatif. Sedangkan pendekatan kualitatif menggunakan metode non-survai dengan menggali data melalui studi kasus, observasi atau pengamatan di lapangan, dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian

Gambar

Tabel Bentuk Interaksi Sosial-Ekologi di Muara Angke……………..
Gambar 2. Kerangka Analisis Penelitian
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian
Tabel 6. Peranan Instansi Terkait dalam Kegiatan Perekonomian Kelurahan Pluit
+7

Referensi

Dokumen terkait