• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. LIPID PLASMA

3.3. Penggunaan & Dosis Terapeutik

Penghambat reduktase HMG-CoA bermanfaat pada penggunaan secara tunggal maupun bersama dengan resin pengikat asam empedu atau niacin untuk pengobatan gangguan yang melibatkan peningkatan kadar LDL plasma. Wanita yang hamil, sedang menyusui, atau yang berencana untuk hamil sebaiknya tidak diberi obat tersebut (Katzung,2003).

Oleh karena pola biosintesis kolesterol yang diurnal, maka penghambat reduktase sebaiknya diberikan pada malam hari apabila menggunakan dosis tunggal satu kali sehari. Absorpsi pada umumnya (kecuali pravastatin) ditingkatkan dengan penggunaannya bersama dengan makanan. Dosis harian lovastatin bervariasi dari 10 mg hingga 80 mg. Simvastatin dua kali lebih kuat dan diberikan dalam dosis sebesar 5-80 mg sehari. Cerivastatin diberikan dengan dosis sebesar 0,3-0,8 mg sehari. Sementara atorvastatin diberikan dalam dosis sebesar 5-80 mg sehari (Katzung,2003).

3.4. Toksisitas

Peningkatan aktifitas aminotransferase serum (sampai tiga kali kadar normal) terjadi pada beberapa pasien yang menerima penghambat reduktase HMG-CoA. Peningkatan tersebut seringkali tidak teratur dan biasanya tidak dihubungkan dengan kejadian lain mengenai toksisitas hati. Terapi dapat

dilanjutkan pada pasien tersebut apabila tidak menimbulkan gejala dan sebaiknya kadar aminotransferase harus sering diukur. Pada sekitar 2% pasien, beberapa diantaranya dengan penyakit hati ataupun riwayat penyalahgunaan alkohol, maka kadar aminotransferase dapat melebihi tiga kali batas normal. Pengobatan sebaiknya langsung dihentikan pada pasien-pasien dengan hepatotoksisitas yang mengalami penurunan LDL yang mendadak, malaise, dan anoreksia serta pada pasien tanpa gejala akan tetapi aktifitas aminotransferase-nya tetap meningkat sampai lebih dari 3 kali di atas batas normal. Dosis penghambat reduktase juga harus diturunkan pada pasien-pasien dengan penyakit hati parenkimal. Secara umum aktifitas aminotransferase sebaiknya diukur dalam jangka waktu 1-2 bulan dan kemudian setiap 6 bulan selama terapi (Katzung,2003).

Katabolisme lovastatin, simvastatin, dan atorvastatin berlangsung melalui sitokrom P450 3A4, sedangkan fluvastatin dan cerivastatin diperantarai masing-masing oleh CYP2C9 dan suatu kombinasi 3A4 dan 2C9. Penghambat reduktase yang bergantung pada 3A4 cenderung berakumulasi di dalam plasma dengan adanya obat-obat yang menghambat atau bersaing untuk mendapatkan sitokrom 3A4. Beberapa penghambat tersebut termasuk antibiotika golongan macrolide, ketoconazole, verapamil,

cyclosporine. Sebaliknya, obat-obat seperti phenytoin, griseofulvin,

konsentrasi plasma penghambat reduktase yang bergantung kepada 3A4 (Katzung,2003).

Aktifitas kinase creatine sebaiknya sering diukur pada pasien yang mendapatkan terapi kombinasi obat-obat yang secara potensial dapat mengadakan interaksi. Apabila terjadi nyeri otot yang bermakna, atau muncul rasa lemah, atau tidak berdaya, maka aktifitas kinase creatine sebaiknya segera diukur dan obat dihentikan apabila aktifitas enzim tersebut meningkat melebihi batasan normal. Miopati dapat terjadi pada pemberian terapi tunggal, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang mendapatkan penghambat reduktase bersamaan dengan obat tertentu lainnya. Meskipun jarang terjadi pasien dengan penghambat reduktase dapat mengalami peningkatan aktifitas kinase yang mencolok, kadar kinase creatine ini sebaiknya diukur sebelum pengobatan dan kemudian dua kali setahun sampai satu kali setahun selama terapi (Katzung,2003).

4. OUTCOME STROKE

Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairment, disabilitas dan handicaps. WHO membuat batasan sebagai berikut (Caplan,2000) :

1. Impairment adalah suatu kehilangan atau abnormalitas psikologis, fisiologis atau fungsiatau struktur anatomis.

2. Disabilitas adalah setiap keterbatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan suatu aktivitas dengan cara atau dalam rentang yang dianggap normal untuk orang sehat.

3. Handicap adalah gangguan yang dialami oleh individu akibat impairment atau disabilitas tersebut, yang membatasi perannya sebagai manusia normal.

Penelitian klinis tentang stroke secara rutin menggunakan mortalitas sebagai outcome, namun terdapat outcome lainnya yang penting untuk investigasi klinis dan relevan dengan pasien, mencakup perubahan fungsi tubuh dan disabilitas. Sejumlah instrumen untuk menilai fungsi dan disabilitas telah dikembangkan. Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan

Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah digunakan dan merupakan pengukuran yang sensitif terhadap derajat keparahan stroke (Weimar dkk, 2002).

Modified Rankin Scale mengukur tingkat ketergantungan, baik mental maupuan adaptasi fisik yang digabungkan dengan defisit neurologis. Skala ini terdiri dari 6 derajat, yaitu dari 0-5, dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti cacat/ketidakmampuan yang berat (Weimar dkk,2002).

National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) digunakan untuk menilai impairment, yang terdiri dari 12 pertanyaan—tingkat kesadaran, respon terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze palsy,

pemeriksaan lapangan pandang, facial palsy, motorik, ataksia, sensori, bahasa, disartria dan inatensi. Skala ini telah banyak digunakan pada berbagai penelitian tentang terapi stroke akut dan merupakan pemeriksaan standar dalam penelitian klinis. (Meyer dkk,2002; Schlegel dkk,2003).

Skor ini tidak hanya membantu untuk mengukur derajat defisit neurologis,namun juga untuk memfasilitasi komunikasi antara penyedia layanan kesehatan, mengidentifikasi kemungkinan lokasi oklusi pembuluh darah, menyediakan prognosis awal, dan membantu mengidentifikasi eligibilitas pasien untuk berbagai intervensi dan potensial komplikasi. (Adams dkk, 2007). Penilaian retrospektif untuk menilai keparahan stroke dengan

NIHSS menunjukkan bahwa skor ini reliable dan tidak bias bahkan jika elemen pemeriksaan fisik ada yang hilang dari rekam medis pasien (Williams dkk, 2000).

Beberapa studi menyatakan bahwa penggunaan statin kemungkinan akan meningkatkan outcome setelah mendapat serangan stroke. Penggunaan statin dengan segera sebagai penurun kadar lipid dapat meningkatkan outcome dan mengurangi resiko terjadinya stroke dikarenakan efek pleiotropik dari statin. Penggunaan statin dapat meningkatkan outcome

dengan cara meningkatkan fungsi endotel melalui penambahan produksi oksida nitrit dan anti oksidan serta efek antikoagulan. Melalui mekanisme

inilah peningkatan outcome setelah penggunaan statin dapat terjadi (Moonis dkk,2005).

Selain efek yang disebut di atas ternyata terdapat efek statin yang lain, dimana statin juga memiliki efek immune modulatory yang dianggap dapat dapat meningkatkan outcome setelah stroke iskemik akut (Yoon dkk, 2004).

Mengkonsumsi Atorvastatin 1 hari setelah serangan stroke iskemik ternyata dapat meningkatkan outcome fungsional pada hari ke-14 karena dapat mempengaruhi angiogenesis, neurogenesis dan sinaptogenesis dengan menginduksi peningkatan faktor endotel pembuluh darah (Moonis dkk,2005).

Dokumen terkait