• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

B. Zona Penggunaan Benih

Zona penggunaan benih merupakan suatu zona yang berfungsi untuk membuat kategori tempat penanaman yang lebih luas dan kadang-kadang disebut juga zona pemanfaatan benih atau zona penanaman pohon. Secara konseptual zona ini berbeda dengan zona pengumpulan benih, karena penekanannya bukan pada kesamaan genetik suatu wilayah geografis kecil, melainkan pada penentuan grup tapak penanaman yang memiliki lingkungan yang serupa.

Prinsip pokok dari zona penggunaan benih ini adalah bahwa sumber benih yang berbeda seharusnya ditanam pada tempat yang berbeda yang disebabkan oleh adanya interaksi genotif dan lingkungan. Zona penggunaan benih ini dapat mencakup areal yang luas (lebih luas dari zona pengadaan benih) dan dapat terdiri dari beberapa areal yang memiliki kondisi ekologis yang serupa, namun areal ini tidak harus berdekatan lokasinya. Pada zona ini, pertumbuhan kurang lebih seragam dan benih dari sumber benih yang cocok dapat digunakan di seluruh zona ini.

Potensi Produksi Sumber Benih

Penaksiran potensi produksi benih sangat diperlukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah benih yang diperlukan untuk kegiatan penanaman (Danu et al. 2004). Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menaksir potensi produksi benih suatu jenis pohon hutan (Bonner et al. 1994), diantaranya adalah

1. Penghitungan bunga (flower count). Metode ini hanya mudah dilakukan pada bunga yang berukuran besar seperti Pinus spp.

2. Penghitungan benih dan buah muda. Cara ini sangat bermanfaat dalam zona pengumpulan benih sebelum banyaknya bunga gagal.

3. Penghitungan buah pada pohon. Cara ini sangat baik pada buah mendekati masak.

4. Penghitungan buah total hanya mungkin pada kondisi jumlah buah yang sedikit.

5. Penghitungan pada sebagian tajuk (10-25%).

6. Sistem scoring/rating. Cara ini menggunakan rating berdasarkan banyaknya bunga dan/atau buah yang terdapat pada pohon.

7. Penghitungan benih dengan membelah buah memanjang. Cara ini akan dapat menentukan jumlah benih per buah.

Schmidt (2000) menjelaskan bahwa produksi benih pada umumnya meningkat dengan tumbuhnya tajuk sampai pada umur tertentu, setelah itu reproduksi mencapai maksimum, dan kemudian konstan untuk beberapa periode (dengan variasi tahunan dalam produksi) serta menurun sejalan dengan proses penuaan pohon. Waktu yang diperlukan untuk ketiga tahapan tersebut bervariasi antara jenis dan kondisi lingkungan. Periode reproduksi pada umumnya pendek untuk jenis-jenis pionir dan panjang untuk jenis-jenis pada hutan klimaks, sesuai dengan pola regenerasinya.

Produksi benih yang dihasilkan sangat ditentukan oleh waktu pemanenan buah, disamping juga mempengaruhi mutu fisiologisnya. Bervariasinya kondisi fisik sumber benih dan perubahan pola musim hujan dan musim kemarau akan menjadikan kendala dalam menentukan waktu pemanenan yang tepat. Dengan

demikian sangat penting mengetahui waktu tersebut dengan menguji kemasakan buah (Turnbull 1995).

Kemampuan menghasilkan benih sangat bervariasi di antara individu pohon hutan, yang dapat bersifat diturunkan dengan derajat tertentu, yang diperlihatkan oleh tidak terlalu bedanya produksi benih pada individu tertentu dari masa panen tahun sebelumnya. Topografi umumya berpengaruh terhadap produksi benih. Kemiringan (slope) juga berpengaruh terhadap produksi benih, dimana pada bagian dasar dari kemiringan temperatur lebih rendah dibandingkan temperatur di bagian atasnya, sehingga pada bagian dasar kemiringan akan berbuah lebih lambat dibandingkan pada bagian atasnya. Posisi terhadap matahari (aspect)

sangat besar mempengaruhi temperatur, cahaya dan kelembaban. Respon khusus terhadap pengaruh topografi bervariasi antar lokasi, jenis dan iklim, tetapi kemiringan (slope) dan posisi terhadap matahari (aspect) sangat penting dipertimbangkan dalam pengelolaan tegakan hutan alam untuk memproduksi benih (Barnet & Haugen 1995).

Sistem Penanganan Benih

Setelah sumber benih ditunjuk/dibangun, tahapan selanjutnya adalah perlu dikuasainya teknologi penanganan benih berupa pengunduhan dan pengolahan benih lepas panen. Secara garis besar pengunduhan dan pengolahan lepas panen terdiri dari dua bagian, yaitu : (a) Pengunduhan dan pengolahan biji dan (b) Pengambilan dan pengolahan bahan vegetatif.

a. Pengunduhan dan Pengolahan Biji

Prinsip penting dalam pengunduhan adalah pemanenan buah pada saat masak. Bila hal tersebut tidak dilakukan, dapat mengakibatkan benih memiliki mutu perkecambahan yang rendah. Pengolahan atau penanganan setelah pengunduhan yang harus dilakukan tergantung dari sifat benih tanaman yang bersangkutan. Benih/biji yang bersifat kering-tahan-rusak atau disebut benih ortodoks (misalnya sengon, jati) pengolahan utama yang harus dilakukan adalah dengan mengeringkan biji tersebut sampai kadar air 5-8%, kemudian menyimpannya pada wadah kedap di tempat yang kering dan bersuhu rendah 18oC (ruang AC) atau bila tersedia pada suhu 4oC (Kartiko,

2000). Kegiatan pengeringan tersebut bertujuan untuk mempertahankan daya berkecambah benih pada nilai yang tinggi selama beberapa bulan.

Benih yang bersifat basah-cepat-rusak (rekalsitran) seperti damar dan dipterocarpaceae, setelah pemanenan biji tidak boleh dikeringkan. Penyemaian harus segera dilakukan setelah pemanenan. Bila keadaan memaksa, penyimpanan singkat dapat dilakukan dengan menggunakan wadah kedap dalam ruang suhu 17oC (ruang AC).

Sebelum benih disemaikan, beberapa jenis tanaman memerlukan perlakuan pendahuluan sesuai dengan karakter benih tersebut. Perlakuan pendahuluan ini dapat dilakukan dengan cara sederhana seperti perendaman dengan air panas ataupun dengan menggunakan bahan kimia seperti H2SO4. Setelah benih berkecambah (sekitar 1 bulan), kemudian bibit dipindahkan/disapih pada media yang subur.

b. Pengambilan dan Pengolahan Bahan Vegetatif

Teknik pengembangbiakan tanaman secara vegetatif secara umum merupakan teknik yang cukup sulit serta memerlukan waktu, biaya, bahan dan peralatan yang lebih banyak dibandingkan dengan pengembangbiakan secara biji. Dengan demikian perlu pertimbangan-pertimbangan yang mendalam dalam menetapkan prosedur pengambilan dan pengolahan yang akan diterapkan dalam pembuatan tanaman melalui pembiakan vegetatif antara lain adalah untuk :

1. Mendapatkan pengganti bibit asal biji pada tanaman yang musim berbuahnya tidak menentu.

2. Menggandakan dan mencegah perubahan sifat menurun pada bahan tanaman yang memiliki mutu sifat menurun yang tinggi.

3. Mengambil faktor menurun (gen) pada tanaman berpenampilan baik sebagai bahan persilangan (Kartiko 2000).

Pengukuhan/Sertifikasi Benih

Sertifikasi benih adalah jaminan terhadap sifat dan mutu bahan-bahan perbanyakan tanaman oleh organisasi pemegang otoritas yang sudah diakui serta biasanya dibuktikan dengan kode warna label dan suatu sertifikat yang berisi

informasi seperti tipe sumber benih, kemurnian jenis dan varietas, waktu panen, asal benih, persen kemurnian, kondisi benih dan daya berkecambahnya. Tujuan Sertifikasi benih (Martodiwirjo 1998) adalah untuk meningkatkan produktifitas hutan tanaman dengan penggunaan material reproduktif (biji, bagian-bagian tanaman dan tanaman) yang sudah dikumpulkan, diangkut, diproses, diperbanyak dan didistribusikan dengan suatu cara yang dijamin kebenarannya, sesuai yang tercantum dalam label.

Dua pilihan yang harus ditempuh untuk menerapkan sertifikasi benih tanaman hutan di Indonesia, yaitu : (1) tahap ideal dengan memperhitungkan peraturan yang ada serta mengadopsi peraturan internasional, dalam hal ini sertifikasi yang telah dilakukan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Cooperation Development) dan (2) tahap antara, dengan memperhitungkan peraturan yang telah dikemukakan di atas, tetapi berdasarkan tipe sumber benih yang sudah ada saat ini. Empat kategori sumber benih yang digunakan oleh OECD adalah :

a. Sumber yang teridentifikasi (source-identified) dengan warna label kuning, b. Sumber yang terseleksi (source-selected) dengan warna label hijau,

c. Kebun benih yang belum teruji (untested seed orchard) dengan warna label merah pucat, dan

d. Bahan perbanyakan tanaman yang sudah teruji (tested reproduction material) dengan warna label biru (Bonner et al. 1994).

Pelaksanaan sertifikasi benih tanaman hutan tidak hanya menyangkut aspek mutu benih, tetapi diperhitungkan juga aspek organisasi dan aspek hukumnya. Pelaksanaan sertifikasi memerlukan penyuluhan dan pembangkitan kesadaran tentang pentingnya penggunaan bahan tanaman yang bermutu baik. Keberhasilan pelaksanaannya selain ditunjang oleh kemauan penyelenggara negara, dalam hal ini Departemen Kehutanan, juga harus ditunjang oleh tingkat kesadaran konsumen benih (Danu et al. 2004).

Perananan Sumber Benih untuk Hutan Tanaman dan Rehabilitasi Lahan Mutu benih sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penanaman di lapangan. Kendala yang dihadapi saat ini adalah pengadaan benih dari sumber

benih yang telah ditetapkan, pertumbuhan tanaman yang belum optimal, diindikasikan oleh rendahnya riap kayu, bentuk batang yang tidak lurus dan serangan hama /penyakit pada bibit di persemaian dan tanaman di lapangan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh pemilihan jenis dan sumber benih yang tidak tepat serta mutu benih yang rendah (Nurhasybi et al. 2000).

Salah satu contoh penting pengaruh mutu benih terhadap keberhasilan kegiatan reboisasi adalah kurang berhasilnya kegiatan reboisasi dengan jenis

Pinus merkusii yang dilaksanakan pada tahun 1970-1980an. Selain itu, ditunjukan pula oleh tingginya jumlah tanaman yang berbatang bengkok pada hutan-hutan tanaman Pinus merkusii yang ada di Indonesia (Kartiko 2000).

Selanjutnya Kartiko (2000) menjelaskan bahwa rendahnya keberhasilan reboisasi di atas diduga kuat terkait dengan rendahnya mutu fisiologi benih. Rendahnya mutu fisiologis benih tersebut antara lain ditunjukan oleh hasil pengujian terhadap benih Pinus merkusii untuk kegiatan reboisasi yang dihasilkan dari Pasir Seuti (Mei 1983) dan Cimanong (Juni 1983), yang masing-masing hanya menunjukan daya kecambah 53-58%. Pengujian mutu benih asal Cililin, Bandung Selatan (Mei 1983) juga menunjukan angka rendah, yaitu sekitar 39-53%.

Upaya yang perlu dilakukan untuk peningkatan mutu benih, salah satunya adalah dengan memperbaiki mutu sumber benihnya. Dengan mutu sumber benih yang meningkat, diharapkan mutu benih yang dihasilkan akan meningkat dan akhirnya benih tersebut akan menghasilkan tanaman yang lebih baik. Agar perbaikan mutu dapat dilakukan secara mudah dan murah, upaya peningkatan mutu sumber benih sebaiknya dilakukan secara bertahap/berjenjang.

Barner et al. (1988) menjelaskan bahwa produktivitas hutan tanaman diyakini akan optimum seiring perbaikan kelas sumber benihnya. Perbaikan kelas sumber benih ini berhubungan kesesuaian ekologis antara sumber benih terhadap tapak pertanaman, keunggulan fenotipa atau genotipa sumber benih, metoda dan intensitas seleksi dalam sumber benih, serta siklus pemuliaan (improvement).

Benih bermutu adalah benih yang tinggi kedua mutu fisiologis dan genetisnya Mutu fisiologis yang tinggi berpengaruh terhadap jumlah bibit di

persemaian. Benih unggul fisiologis saja tidak banyak berarti apabila pohon kerdil dan kayu yang dihasilkan tidak memenuhi harapan. Sebaliknya, penanaman dengan benih unggul genetis dapat gagal karena viabilitas benihnya rendah sehingga jumlah bibit di persemaian tidak cukup, dan untuk memenuhi target penanaman terpaksa disulam dengan bibit asalan yang rendah mutu genetisnya.

Sumber Benih Tanaman Hutan di Jawa Barat

Sumber benih di pulau Jawa sebagian besar dikelola oleh Perum Perhutani dengan status dan ketetapan hukum yang sudah jelas dan sebagian kecil merupakan sumber benih hutan rakyat yang status dan ketetapan hukumnya masih belum jelas tetapi potensial untuk dijadikan sumber benih.

Dokumen terkait