• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategic development of forest tree seed sources based on spatial and land potential in west java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategic development of forest tree seed sources based on spatial and land potential in west java"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

DI JAWA BARAT

ASEP ROHANDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Sumber Benih Tanaman Hutan Berbasis Spasial dan Potensi Lahan di Jawa Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2006

Asep Rohandi

(3)

ABSTRAK

ASEP ROHANDI. Identifikasi Potensi Lahan dan Produksi Sumber Benih untuk Hutan Tanaman dan Rehabilitasi Lahan di Jawa Barat. Dibimbing oleh BUDI MULYANTO dan UUP S WIRADISASTRA.

Degradasi/kerusakan hutan telah menyebabkan fungsi hutan sebagai fungsi perlindungan, fungsi produksi dan fungsi konservasi tidak dapat terpenuhi. Pengembalian fungsi-fungsi tersebut dapat dilakukan diantaranya dengan kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan serta peningkatan produksi hutan melalui perluasan penanaman pada lahan kritis yang terdegradasi dan peningkatan produktifitas lahan.

Luasnya lahan yang menjadi target penanaman berdampak terhadap kebutuhan benih/bibit yang cukup besar. Penyediaan benih/bibit berkualitas (fisik, fisiologis dan genetik) dalam jumlah yang cukup dan berkesinambungan masih menjadi permasalahan yang dihadapi saat ini. Jumlah sumber benih masih sangat terbatas serta kondisi sumber benih yang ada masih berkualitas genetik rendah dengan potensi produksi yang rendah pula. Strategi penyediaan benih perlu disusun secara berjenjang untuk menjamin ketersediaan benih dan menunjang keberhasilan pembangunan hutan berkelanjutan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebaran sumber benih tanaman hutan di Jawa Barat sebagian besar berlokasi di wilayah Perum Perhutani (99.14%) dan sisanya dikelola oleh instansi pemerintah (0.66%), perguruan tinggi (0,17%) dan masyarakat (0.04%). Sumber benih yang telah dibangun sebagian besar diklasifikasikan pada tegakan benih (teridentifiksi dan terseleksi) sehingga diperlukan perbaikan kelas/mutu sumber benih dan tindakan pengelolaan secara intensif untuk meningkatkan produksi benih. Produksi benih tertinggi ditempati oleh jenis jati (50.91%) dan mahoni (30.18%) yang merupakan jenis prioritas/utama dalam kegiatan penanaman saat ini.

Luas potensi lahan sebagai wilayah penyebaran/penggunaan benih jenis-jenis prioritas yaitu jati 374 130.92 ha, mahoni 307 532.67 ha, pinus 329 822.80 ha, sengon 47 892.68 ha, rasamala 101 337.41 ha dan damar 90 457.59 ha yang dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan benih dan luas sumber benih sebagai arahan dalam perencanaan penunjukan/pembangunan sumber benih.

Kebutuhan benih untuk program penanaman sangat besar dan masih belum bisa dicukupi dari sumber benih yang ada sehingga masih perlu penyediaan benih untuk jangka pendek melalui penunjukan sumber benih dan pemanfaatan pohon-pohon penghasil benih atau kebun benih hutan rakyat, sedangkan untuk jangka panjang dilakukan melalui pembangunan sumber benih yang dipadukan dengan program pemuliaan pohon dan konservasi sumberdaya genetik.

(4)

ABSTRACT

ASEP ROHANDI. Strategic Development of Forest Tree Seed Sources Based on Spatial and Land Potential in West Java. Under the direction of BUDI MULYANTO and UUP S WIRADISATRA.

Deforestation affects forests function such as conservation and production. Recovering the functions can be conducted by any means including land rehabilitation and conservation, and increasing the forest yield production through the extensive planting programme on critical land degradation and increasing the land productivity.

Based on the research results indicated the potential area for planting target covers 1 235 210.50 hectares. The implication of this fact that the need of seed/seedling will be in huge number. The seed/seedling procurement in good quality (physical, physiologycal and genetical) in sufficient number in continous way is still a facing problem today. In relation to that condition, the need of strategic seed procurement has to be planned in many steps to guarantee seed availability and to support the sustainability of forest plantations.

Another result of this research indicated that the forest tree seed sources distribution in West Java is mostly spreaded in the land that managed by Perum Perhutani (99.14%), and the rest of them managed by other institutions including government institutions (0.66%), universities (0.17%) and public society (0.04%). The seed sources mostly classified into seed stand (seed stand identification and selection) that need improvement of the class/quality of the seed sorces and intensive silviculture treatments for increasing the seed production. The total of seed production dominated by jati (50.19%) and mahoni (30.18%), as the main species in planting programme.

The area of potential land for the development of priority species, such as for jati covered 371 217.60 hectares, mahoni 303 741.85 hectares, pinus 329 177.23 hectares, sengon 39 647.06 hectares, rasamala 100 969.18 hectares, and damar 90 457.59 hectares, that can be used for prediction of seed procurement and the seed sources area as a guidance in the seed sources establishment programme. That areas were determined by criterias as follow : nearest distance from the seed sources location, ecanomic value of timber and physical constrain to the growth of tree.

The need of seed procurement for planting is 2 182 575.89 kilograms that could be such huge number and could not be procured entirely from the exist seed sources as a matter fact it is still need seed procurement in immediate planning through the selection of forest stand into the seed sources, the use of trees seed or seed imported from other countries. The seed procurement in the long term can be achieved by the seed sources establishment combined with the tree improvement programme and forest resources genetic conservation. Based on the potential seed production of the exist seed sources, the seed procument for the forest plantations for jati will need 22.14 years, mahoni 54.79 years, pinus 138.60 years, rasamala 0.98 years and damar 40.19 years, in the mean time for sengon that would need the seed sources establishment before. If the entire area as a target for planting, West Java will has forest area 1 235 210.50 hectares or equal to 28.61% of the total area of this province.

(5)

© Hak cipta milik Asep Rohandi, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER BENIH TANAMAN

HUTAN BERBASIS SPASIAL DAN POTENSI LAHAN

DI JAWA BARAT

ASEP ROHANDI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Strategi Pengembangan Sumber Benih Tanaman Hutan Berbasis Spasial dan Potensi Lahan di Jawa Barat

Nama : Asep Rohandi

NIM : A253040114

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Uup S Wiradisastra, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan hidayah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah pengembangan sumber benih tanaman hutan, dengan judul Strategi Pengembangan Sumber Benih Tanaman Hutan Berbasis Spasial dan Potensi Lahan di Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. Uup S Wiradisastra, M.Sc. selaku komisi pembimbing, serta Ibu Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc. selaku dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Dede Rohadi, M.Sc. selaku pimpinan dan Bapak Ir. Nurhasybi selaku Ketua Kelti Teknologi Perbenihan beserta staf Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (BPPTP) Bogor, serta semua instansi terkait, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada isteri, ibu, kakak, adik serta seluruh keluarga, atas dorongan, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 31 Juli 1974 dari ayah Markandi (alm) dan ibu Isah Aisyah. Penulis adalah putra keenam dari sembilan bersaudara.

Tahun 1993 penulis lulus dari SMU Negeri Cikajang, Garut dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus tahun 1998. Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Bappenas.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Definisi dan Klasifikasi Sumber Benih ... 8

Identifikasi, Pembangunanan dan Pengelolaan sumber Benih ... 9

Konsep Zonasi Benih Tanaman Hutan ... 10

Potensi Produksi Sumber Benih ... 12

Sistem Penanganan Benih ... 13

Pengukuhan/Sertifikasi Benih ... 14

Peranan Sumber Benih untuk Hutan Tanaman dan Rehabilitasi Lahan 15

Sumber Benih Tanaman Hutan di Jawa Barat ... 17

Perencanaan Program Perbenihan Terpadu ... 19

Evaluasi Sumberdaya Lahan ... 21

Sistem Informasi Geografis dalam Evaluasi Lahan ... 24

METODE PENELITIAN ... 26

Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 26

Teknik Pengumpulan Data ... 27

Prosedur Pelaksanaan Kegiatan ... 28

Arahan Program Perbenihan di Jawa Barat ... 32

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33

Letak Geografis dan Wilayah Administratif ... 33

(11)

Iklim dan Jenis Tanah ... 35

Kependudukan ... 36

Kawasan Hutan ... 37

Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan ... 38

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

Kondisi Umum Sumber Benih ... 40

Penilaian Potensi Lahan ... 50

Perkiraan (Prediksi) Kebutuhan Benih ... 67

Arahan Perencanaan Program Perbenihan Tanaman Hutan di Jawa Barat ... 69

SIMPULAN DAN SARAN ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tingkat Erosi di Tiga Wilayah DAS di Jawa Barat ... 2

2. Sumber Benih Tanaman Hutan di Wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat ... 17

3. Potensi Sumber Benih Hutan Rakyat di Jawa Barat ... 19

4. Perhitungan Perkiraan (Prediksi) Kebutuhan Benih ... 31

5. Luas Kawasan Hutan di Propinsi Jawa Barat ... 37

6. Luas Kawasan Hutan Perum Perhutani di Jawa Barat ... 38

7. Luas Kawasan Hutan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Menurut Kelas Perusahaan ... 38

8. Keadaan Hutan yang Perlu Direhabilitasi di Jawa Barat ... 39

9. Realisasi Kegiatan Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten ... 39

10. Lokasi Sumber Benih di Wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten ... 40

11. Lokasi Sumber Benih di Luar Wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten ... 41

12. Produksi Sumber Benih Tahun 2005 di Wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten ... 44

13. Produksi Sumber Benih Tahun 2005 di Luar Wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten ... 45

14. Distribusi Benih Tahun 2004 dari Masing-Masing Sumber Benih Bersertifikat di Jawa Barat dan Banten ... 48

15. Persyaratan Tumbuh Beberapa Jenis Tanaman Andalan Jawa Barat 54

16. Rekapitulasi Luas Potensi Lahan Jenis-Jenis Prioritas di Jawa Barat . 54 17. Luas Potensi Lahan Jenis Prioritas untuk Setiap Kabupaten di Jawa Barat ... 55

18. Rekapitulasi Luas Potensi Lahan Berdasarkan Skenario Wilayah Pengembangan Benih Jenis Andalan Jawa Barat... 64

19. Luas Potensi Lahan Setiap Kabupaten Berdasarkan Skenario Wilayah Pengembangan Benih Jenis Andalan Jawa Barat ... 64

20. Rekapitulasi Kebutuhan Benih Berdasarkan Skenario Wilayah Pengembangan Benih Andalan Jawa Barat ... 68

(13)

22. Kebutuhan Sumber Benih Berdasarkan Skenario Wilayah

Pengembangan Benih Andalan Jawa Barat ... 70 23. Kemampuan Pemenuhan Kebutuhan Benih dari Sumber Benih

Aktual di Jawa Barat ... 71 24. Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Sebagai Akibat

Penggunaan Benih dari Kelas yang Lebih Tinggi ... 72 25. Perbandingan Biaya dan Pendapatan Pemakaian Benih Unggul dan

Benih Konvensional ... 72 26. Luas Sumber Benih yang Dapat Dibangun di Beberapa Kabupaten

di Jawa Barat ... 75 27. Strategi Pemilihan Lokasi Pembangunan Sumber Benih Jenis-Jenis

Prioritas untuk Setiap Kabupaten ... 76 28. Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Areal Produksi Benih Jati dan

Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan ... 80 29. Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Jati Secara Lestari dengan

Menggunakan Benih dari Areal Produksi Benih ... 81 30. Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Areal Produksi Benih Mahoni dan Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan ... 82 31. Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Mahoni Secara Lestari

dengan Menggunakan Benih dari Areal Produksi Benih ... 82 32. Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Kebun Benih Pinus dan

Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan ... 83 33. Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Pinus Secara Lestari dengan

Menggunakan Benih dari Kebun Benih ... 83 34. Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Areal Produksi Benih Sengon

dan Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan ... 84 35. Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Sengon Secara Lestari

dengan Menggunakan Benih dari Areal Produksi Benih ... 84 36. Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Rasamala Secara Lestari

dengan Menggunakan Benih dari Areal Produksi Benih ... 85 37. Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Areal Produksi Benih Damar

dan Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan ... 86 38. Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Damar Secara Lestari

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Kegiatan Penelitian ... 4

2. Keterkaitan Beberapa Faktor dalam Manajemen Sumber Benih ... 21

3. Peta Lokasi/Wilayah Penelitian ... 26

4. Diagram Alir Prosedur Pelaksanaan Kegiatan Penelitian ... 33

5. Peta Kontur Wilayah Jawa Barat ... 34

6. Peta Kelas Lereng Wilayah Jawa Barat ... 34

7. Peta Curah Hujan Wilayah Jawa Barat ... 35

8. Peta Jenis Tanah Wilayah Jawa Barat ... 36

9. Pengelolaan Sumber Benih di Jawa Barat ... 41

10. Peta Sebaran Sumber Benih dan Tegakan Potensial di Jawa Barat ... 42

11. Luas Sumber Benih Pada Berbagai Kelas ... 43

12. Total Produksi Benih Tahun 2005 di Jawa Barat ... 46

13. Peta Administrasi Wilayah Jawa Barat ... 51

14. Peta Tanah Wilayah Jawa Barat... 51

15. Peta Kelas Lereng Wilayah Jawa Barat ... 52

16. Peta Curah Hujan Wilayah Jawa Barat ... 52

17. Peta Ketinggian Wilayah Jawa Barat... 53

18. Peta Penggunaan Lahan Wilayah Jawa Barat ... 53

19. Peta Potensi Lahan Tanaman Jati di Jawa Barat ... 57

20. Peta Potensi Lahan Tanaman Mahoni di Jawa Barat ... 58

21. Peta Potensi Lahan Tanaman Rasamala di Jawa Barat ... 59

22. Peta Potensi Lahan Tanaman Pinus di Jawa Barat ... 60

23. Peta Potensi Lahan Tanaman Sengon di Jawa Barat ... 61

24. Peta Potensi Lahan Tanaman Damardi Jawa Barat... 63

25. Peta Skenario Wilayah Pengembangan Benih Andalan Jawa Barat .... 65

26. Peta Strategi Pemilihan Lokasi Sumber Benih Jati dan Lokasi yang Dilayaninya di Jawa Barat ... 77

27. Peta Strategi Pemilihan Lokasi Sumber Benih Mahoni dan Lokasi yang Dilayaninya di Jawa Barat ... 77

(15)

29. Peta Strategi Pemilihan Lokasi Sumber Benih Sengon dan Lokasi

yang Dilayaninya di Jawa Barat ... 78 30. Peta Strategi Pemilihan Lokasi Sumber Benih Rasamala dan Lokasi yang Dilayaninya di Jawa Barat ... 79 31. Peta Strategi Pemilihan Lokasi Sumber Benih Damar dan Lokasi yang

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Matriks Identifikasi/Penunjukan Sumber Benih tanaman Hutan ... 96

2. Matriks Pembangunan Sumber Benih Tanaman Hutan ... 97

3. Matriks Kegiatan Pengelolaan Sumber Benih Tanaman Hutan ... 99

4. Daftar Lokasi Sumber Benih Bersertifikat di Jawa Barat ... 101

5. Diagram Alir Penunjukan Zona Pengumpulan Benih ... 106

6. Diagram Alir Penunjukan Tegakan Benih Teridentifikasi... 106

7. Diagram Alir Penunjukan Tegakan Benih Terseleksi ... 107

8. Diagram Alir Pembangunan Areal Produksi Benih ... 107

9. Diagram Alir Pembangunan Tegakan Benih Provenan ... 108

(17)

Latar Belakang

Degradasi hutan telah menyebabkan fungsi hutan seperti fungsi perlindungan, fungsi produksi dan fungsi konservasi tidak dapat terpenuhi. Fungsi perlindungan hutan antara lain sebagai pengendali tata air, pencegah erosi dan banjir, sedangkan sebagai fungsi produksi hutan dapat merupakan penghasil kayu dan non kayu. Fungsi ini pernah menjadi penyumbang devisa nomor 2 terbesar setelah migas. Fungsi hutan sebagai fungsi konservasi dapat berupa sumber plasma nutfah (germplasm) yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Laju kerusakan hutan di Indonesia saat ini sangat besar yaitu mencapai 1.6 sampai 2 juta hektar per tahun dengan total kerusakan hutan seluas 56 juta hektar (Karyaatmadja 2005). Pengembalian fungsi hutan tersebut dapat dilakukan diantaranya dengan kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan serta peningkatan produksi hutan melalui perluasan penanaman pada lahan kritis dan terdegradasi serta peningkatan produktifitas lahan.

Kawasan hutan Propinsi Jawa Barat yang ditetapkan berdasarkan SK penunjukan Menteri Kehutanan Nomor 419/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 adalah seluas ± 1 045 071 ha. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung 240 402 ha, hutan produksi 552 065 ha dan hutan konservasi 252 604 ha. Penyebaran kawasan hutan hampir 70% berada pada kawasan lindung yang bertopografi terjal dan bergunung (Baplan 2002).

(18)

DAS yaitu DAS Cisanggarung, DAS Cijolang dan DAS Ciberes-Bangkaderes telah melampaui batas erosi yang diperbolehkan (Tabel 1).

Tabel 1 Tingkat Erosi di Tiga Wilayah DAS di Jawa Barat

No. Lokasi

Sumber : Hamid (2004).

Kerusakan lahan hutan juga telah menyebabkan terjadinya penurunan produksi kayu dari hutan alam dan semakin meningkatnya luas lahan kritis yang kurang produktif. Kemampuan produksi hutan di Jawa Barat hanya sekitar 1 juta m3/tahun yang dicukupi dari PT. Perhutani ± 0,35 juta m3/tahun dan hutan rakyat

± 0,65 juta m3/tahun. Kebutuhan kayu di Jawa Barat tidak kurang dari 4,5 juta

m3/tahun, sehingga kekurangan sebesar 3,5 juta m3/tahun terpaksa harus dicukupi dari daerah lain terutama Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra dan Kalimantan (SURILI 2001). Kondisi di atas menggambarkan bahwa pembangunan hutan tanaman (HTI dan hutan rakyat) sangat diperlukan.

(19)

penghijauan dengan jenis Pinus merkusii yang berasal dari Bandung Selatan pada tahun 1970-1980an. Selain itu, ditunjukkan pula oleh tingginya jumlah tanaman yang berbatang bengkok pada hutan-hutan tanaman Pinus merkusii yang ada di Indonesia (Kartiko 2000).

Keberhasilan pembangunan hutan juga dipengaruhi oleh ketepatan pemilihan jenis yang akan digunakan meliputi tujuan peruntukkan serta kesesuaian tempat tumbuh (Yudho 1996). Kualitas tempat tumbuh (bonita) berpengaruh pada pertambahan pertumbuhan tahunan (riap) seperti ditunjukkan pada tanaman jati di Jawa dimana riap pada kualitas tanah terbaik (bonita V) dibandingkan dengan terjelek (bonita I) hampir mencapai 3 kali lipat. Setiap jenis memiliki perbedaan tingkat kesesuaian terhadap lingkungan fisik, sehingga dapat dipilah-pilah berdasarkan perbedaan wilayah sebaran dengan ciri-ciri tertentu (Wiradisastra 1996). Selanjutnya Ginting (1990) menjelaskan bahwa penelitian mengenai kesesuaian tempat tumbuh tanaman kehutanan di Indonesia masih kurang sehingga usaha-usaha dan bentuk informasi kesesuaian tempat tumbuh berbagai jenis tanaman perlu dikembangkan.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas, maka untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan secara lestari perlu disusun strategi penyediaan benih unggul baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang melalui penunjukkan dan pembangunan sumber benih. Melalui prediksi kebutuhan benih untuk setiap jenis di masa depan, maka dapat diprediksi luas sumber benih sebagai dasar penyusunan strategi pembangunan sumber benih secara bertahap. Disamping itu, keterpaduan antara program penyediaan benih, pemuliaan pohon dan konservasi genetik merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan program perbenihan dalam rangka penyediaan benih berkualitas dalam jumlah yang cukup dan berkesinambungan untuk mendukung pembangunan hutan secara berkelanjutan, khususnya di Jawa Barat.

Identifikasi dan Perumusan Masalah

(20)

Kerusakan/Degradasi Hutan

Penurunan Produksi Hutan Alam

Penurunan Kualitas Lingkungan

Pembangunan Hutan Tanaman

HTI & Hutan Rakyat (Luas Penanaman)

Rehabilitasi & Konservasi Lahan & Hutan

Kebutuhan Benih &

Kesesuaian Tempat

Pengembangan & Pembangunan Sumber Benih

Perencanaaan &Strategi Penyediaan Benih

Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Identifikasi dan Perumusan Masalah

Jangka Pendek Pemuliaan Pohon & Jangka Panjang

Konservasi Sumberdaya Genetik

Program GNRHL (Luas Penanaman)

(21)

rehabilitasi dan konservasi lahan dan peningkatan produksi melalui pembangunan hutan tanaman (HTI dan hutan rakyat).

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan penanaman tersebut perlu didukung dengan ketersediaan benih berkualitas dalam jumlah yang cukup dan berkesinambungan. Benih tanaman hutan merupakan unsur strategis, karena benih mengawali pengembangan segenap fungsi hutan, dari hutan industri sampai hutan untuk perlindungan tanah dan air, flora, fauna dan sumber plasma nutfah serta untuk kesejahteraan masyarakat luas (BTP 1998).

Program pembangunan hutan di Indonesia dilaksanakan secara besar-besaran serta mempunyai sasaran yang sangat luas. Salah satu program kehutanan yang dicanangkan pemerintah saat ini adalah “Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL)” untuk merehabilitasi hutan dan lahan-lahan kritis yang memerlukan ketersediaan bibit dalam jumlah cukup besar. Program tersebut direncanakan dilaksanakan dalam waktu 5 (lima) tahun yaitu : 300 000 ha (2003), 500 000 ha (2004), 600 000 ha (2005), 700 000 ha (2006) dan 900 000 ha (2007). Penggunaan benih dan bibit bermutu untuk program penanaman masih terbatas. Data penggunaan benih tahun 2004 di pulau Jawa sebanyak 63 450 kg terdiri dari 18 000 kg (28.4%) benih bersertifikat dan sisanya 45 450 kg (71.6%) diperoleh dari sumber benih lokal. Sementara itu, penggunaan bibit bersertifikat untuk propinsi Jawa Barat sebanyak 1 488 230 batang, sedangkan bibit non sertifikat sebanyak 3 810 038 batang (BPTH 2005). Hal tersebut diakibatkan oleh kurangnya persiapan dan perencanaan penyediaan bibit/benih sebelum program dilaksanakan. Kondisi seperti di atas menunjukkan bahwa peranan sumber benih sebagai penyedia benih bermutu dalam jumlah yang cukup dan berkesinambungan menjadi sangat penting.

(22)

bentuk batang yang tidak lurus serta serangan hama/penyakit pada bibit di persemaian atau tanaman di lapangan.

Pengembangan sumber benih terutama untuk jenis-jenis potensial masih perlu dilakukan, mengingat kebutuhan benih bermutu selama ini masih belum terpenuhi. Dengan demikian, informasi mengenai potensi, sebaran dan kondisi umum yang sesuai untuk pembangunan dan pengembangan sumber benih sangat penting sebagai dasar dalam penyusunan perencanaan program perbenihan tanaman hutan secara terpadu khususnya di Jawa Barat, baik untuk pengadaan benih jangka pendek (harus segera dipenuhi) ataupun jangka panjang.

Secara umum beberapa permasalahan yang terjadi saat ini adalah sebagai berikut :

a. Kurangnya informasi mengenai kondisi dan sebaran sumber benih dan tegakan potensial yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi sumber benih baru di Jawa Barat.

b. Ketersediaan benih/bibit bermutu (fisik, fisiologis dan genetik) dari sumber benih bersertifikat masih sangat terbatas, sehingga kebutuhan benih/bibit untuk kegiatan penanaman sebagian diperoleh dari sumber yang tidak jelas. c. Penanaman sering dilakukan pada lahan/tapak yang kurang sesuai sehingga

pertumbuhan dan produktifitas tanaman kurang optimal.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi kondisi dan sebaran sumber benih tanaman hutan serta jenis-jenis potensial di Jawa Barat.

2. Mengidentifikasi potensi lahan sebagai wilayah pengembangan benih untuk menunjang keberhasilan kegiatan penanaman.

3. Memprediksi kebutuhan benih untuk kegiatan penanaman sebagai arahan penunjukkan dan pembangunan sumber benih tanaman hutan di Jawa Barat. 4. Menyusun strategi pembangunan sumber benih untuk mendukung kegiatan

(23)

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Membantu pengguna benih dalam pengadaan benih (seed procurement) untuk pembangunan hutan tanaman dan rehabilitasi lahan di Jawa Barat.

2. Menyediakan informasi dasar untuk kegiatan pemuliaan pohon (tree improvement).

3. Mendukung program konservasi lingkungan dan plasma nutfah.

4. Membantu dan memudahkan para pengguna untuk aplikasi kegiatan penanaman di lapangan.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Klasifikasi Sumber Benih

Sumber benih merupakan suatu tegakan hutan, baik hutan alam ataupun hutan tanaman yang ditunjuk atau khusus dikelola guna memproduksi benih. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 085/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 tentang Perbenihan Tanaman Hutan, Sumber benih tanaman hutan diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Zona Pengumpulan Benih adalah suatu wilayah atau kelompok wilayah di dalam hutan yang memiliki keadaan ekologis (ketinggian tempat, arah kemiringan dan iklim) yang seragam. Di dalam wilayah ini terdapat tegakan yang asli setempat dan merupakan suatu sumber benih geografis.

2. Tegakan Benih Teridentifikasi adalah tegakan alam atau tanaman dengan kualitas rata-rata dan digunakan untuk menghasilkan benih, dimana sebaran lokasinya dengan tepat dapat teridentifikasi.

3. Tegakan Benih Terseleksi adalah suatu tegakan alam atau tanaman dengan pohon fenotipe superior untuk sifat-sifat yang penting (pohon lurus, percabangan ringan dan lain-lain) dan digunakan untuk menghasilkan benih. 4. Areal Produksi Benih adalah suatu wilayah Tegakan Benih Terseleksi yang

kemudian ditingkatkan kualitasnya melalui penebangan pohon-pohon inferior.

5. Tegakan Benih Provenan adalah tegakan yang dibangun dari benih yang provenannya telah teruji dan diketahui superioritasnya.

6. Kebun benih adalah suatu tegkan yang dibangun secara khusus, untuk keperluan produksi benih. Dalam pelaksanaan pembangunannya di lapangan, kebun benih ini dapat dibagi lagi menjadi kebun benih semai

(Seedling Seed Orchard) dan Kebun benih klonal (Clonal Seed Orchard).

(25)

(untested seed orchard) dan (4) kebun benih/kultivar/tegakan yang sudah teruji (Bonner et al. 1994).

Identifikasi, Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Benih

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2004) menjelaskan bahwa sumber benih dapat diperoleh melalui dua cara yaitu : (1) menjadikan tegakan (hutan alam atau tanaman) yang telah ada menjadi sumber benih, (2) membangun sumber benih baru dengan penanaman. Kelebihan dari cara yang pertama adalah benih dapat dihasilkan lebih awal sedangkan jika membangun sumber benih baru, maka harus menunggu selama 3-20 tahun (tergantung jenis) sebelum benih dipanen. Dengan membangun sumber benih, biasanya dapat dihasilkan benih bermutu genetik yang lebih tinggi dengan syarat materi genetik untuk pembangunannya dipilih secara teliti.

Keputusan untuk mengkonversi tegakan yang ada menjadi sumber benih atau membangun sumber benih baru perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

a. Jika tegakan berkualitas tinggi tidak dimiliki, maka sumber benih yang baru harus dibangun.

b. Jika benih dari suatu jenis yang diperlukan cukup sedikit, maka mungkin terlalu mahal untuk membangun sumber benih baru dan disarankan untuk mengkonversi tegakan yang ada menjadi sumber benih.

c. Pada kondisi lain, tegakan benih teridentifikasi harus digunakan karena perlu menunggu sumber benih yang telah dibangun untuk mulai menghasilkan benih.

Identifikasi tegakan untuk sumber benih bertujuan untuk mendapatkan sumber benih agar dapat mencukupi kebutuhan benih, baik kuantitas ataupun kualitasnya. Kriteria yang harus diperhatikan pada saat identifikasi adalah aksesibilitas, jumlah pohon (ukuran sumber benih), kualitas tegakan, pembungaan dan pembuahan, keamanan, kesehatan, isolasi dan asal-usul benih.

(26)

benih. Hal ini tergantung pada sejumlah pertimbangan yang harus diambil ketika membangun sumber benih. Pemilihan tapak untuk pembangunan sumber benih memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi yaitu persyaratan spesies, kepemilikan dan hak atas tanah, keamanan, pengelolaan dan isolasi.

Pengelolaan sumber benih dilakukan setelah penunjukkan/identifikasi dan setelah pembangunan sumber benih. Tujuan dari pengelolaan tersebut adalah :

1. Melindungi sumber benih dari ancaman penggembalaan, kebakaran dan penyerobotan.

2. Meningkatkan atau mempertahankan pembungaan dan produksi benih. 3. Mempercepat produksi benih.

4. Meningkatkan mutu genetik tegakan dalam sumber benih. 5. Memudahkan pengumpulan benih.

Kondisi sumber benih yang ada saat ini, secara keseluruhan masih belum memuaskan dilihat dari penampilan phenotifa (bentuk batang dan percabangan), aksesibilitas (sarana transportasi) yang masih sulit, belum lengkapnya dokumentasi phenologi (pembungaan dan pembuahan) dan belum adanya tindakan-tindakan silvikultur yang intensif untuk meningkatkan produksi benih.

Konsep Zonasi Benih Tanaman Hutan

Konsep zonasi benih untuk wilayah-wilayah di Indonesia telah disusun oleh Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan dan Indonesia Forest Seed Project (2001) sebagai alat bantu yang digunakan dalam menentukan sumber benih yang tepat untuk tapak penanaman. Sistem zonasi benih ini diadopsi dari berbagai negara yang telah banyak menerapkannya dalam mendukung kegiatan pembangunan hutan di negaranya seperti Thailand, Uganda, Tanzania, Burkina Faso, Ethopia dan Honduras. Sistem ini memiliki beberapa definisi, tetapi konsep yang ada sekarang secara umum dibagi menjadi dua pendekatan yaitu zona pengadaan benih dan zona penggunaan benih.

A. Zona Pengumpulan Benih

(27)

ekologis yang seragam, sehingga tidak akan ada perbedaan genetik yang nyata dalam zona ini karena tidak ada seleksi alam yang kuat yang biasa membedakannya. Zona pengumpulan benih ini merupakan daerah yang kontinyu dan tidak terlalu luas wilayah geografisnya karena jika terlalu luas akan mencakup bagian-bagian yang berbeda secara genetik.

Zona pengadaan benih hanya relevan untuk jenis asli (hutan alam) dan jenis yang telah beradaptasi di tempat itu, yaitu jenis yang sudah tumbuh di suatu tempat untuk banyak generasi. Zona ini tidak relevan untuk jenis eksotik (asing) yang mungkin belum berdaptasi pada kondisi alam melalui proses seleksi alam memerlukan waktu panjang).

Keputusan Menteri Kehutanan No. 085/Kpts-II/2001 yang menyebutkan berbagai sumber benih yang berbeda kategorinya dan menyebut “zona pengumpulan benih” sebagai satu kategori merupakan sebuah contoh zona pengadaan benih.

B. Zona Penggunaan Benih

Zona penggunaan benih merupakan suatu zona yang berfungsi untuk membuat kategori tempat penanaman yang lebih luas dan kadang-kadang disebut juga zona pemanfaatan benih atau zona penanaman pohon. Secara konseptual zona ini berbeda dengan zona pengumpulan benih, karena penekanannya bukan pada kesamaan genetik suatu wilayah geografis kecil, melainkan pada penentuan grup tapak penanaman yang memiliki lingkungan yang serupa.

(28)

Potensi Produksi Sumber Benih

Penaksiran potensi produksi benih sangat diperlukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah benih yang diperlukan untuk kegiatan penanaman (Danu et al. 2004). Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menaksir potensi produksi benih suatu jenis pohon hutan (Bonner et al. 1994), diantaranya adalah

1. Penghitungan bunga (flower count). Metode ini hanya mudah dilakukan pada bunga yang berukuran besar seperti Pinus spp.

2. Penghitungan benih dan buah muda. Cara ini sangat bermanfaat dalam zona pengumpulan benih sebelum banyaknya bunga gagal.

3. Penghitungan buah pada pohon. Cara ini sangat baik pada buah mendekati masak.

4. Penghitungan buah total hanya mungkin pada kondisi jumlah buah yang sedikit.

5. Penghitungan pada sebagian tajuk (10-25%).

6. Sistem scoring/rating. Cara ini menggunakan rating berdasarkan banyaknya bunga dan/atau buah yang terdapat pada pohon.

7. Penghitungan benih dengan membelah buah memanjang. Cara ini akan dapat menentukan jumlah benih per buah.

Schmidt (2000) menjelaskan bahwa produksi benih pada umumnya meningkat dengan tumbuhnya tajuk sampai pada umur tertentu, setelah itu reproduksi mencapai maksimum, dan kemudian konstan untuk beberapa periode (dengan variasi tahunan dalam produksi) serta menurun sejalan dengan proses penuaan pohon. Waktu yang diperlukan untuk ketiga tahapan tersebut bervariasi antara jenis dan kondisi lingkungan. Periode reproduksi pada umumnya pendek untuk jenis-jenis pionir dan panjang untuk jenis-jenis pada hutan klimaks, sesuai dengan pola regenerasinya.

(29)

demikian sangat penting mengetahui waktu tersebut dengan menguji kemasakan buah (Turnbull 1995).

Kemampuan menghasilkan benih sangat bervariasi di antara individu pohon hutan, yang dapat bersifat diturunkan dengan derajat tertentu, yang diperlihatkan oleh tidak terlalu bedanya produksi benih pada individu tertentu dari masa panen tahun sebelumnya. Topografi umumya berpengaruh terhadap produksi benih. Kemiringan (slope) juga berpengaruh terhadap produksi benih, dimana pada bagian dasar dari kemiringan temperatur lebih rendah dibandingkan temperatur di bagian atasnya, sehingga pada bagian dasar kemiringan akan berbuah lebih lambat dibandingkan pada bagian atasnya. Posisi terhadap matahari (aspect)

sangat besar mempengaruhi temperatur, cahaya dan kelembaban. Respon khusus terhadap pengaruh topografi bervariasi antar lokasi, jenis dan iklim, tetapi kemiringan (slope) dan posisi terhadap matahari (aspect) sangat penting dipertimbangkan dalam pengelolaan tegakan hutan alam untuk memproduksi benih (Barnet & Haugen 1995).

Sistem Penanganan Benih

Setelah sumber benih ditunjuk/dibangun, tahapan selanjutnya adalah perlu dikuasainya teknologi penanganan benih berupa pengunduhan dan pengolahan benih lepas panen. Secara garis besar pengunduhan dan pengolahan lepas panen terdiri dari dua bagian, yaitu : (a) Pengunduhan dan pengolahan biji dan (b) Pengambilan dan pengolahan bahan vegetatif.

a. Pengunduhan dan Pengolahan Biji

(30)

2000). Kegiatan pengeringan tersebut bertujuan untuk mempertahankan daya berkecambah benih pada nilai yang tinggi selama beberapa bulan.

Benih yang bersifat basah-cepat-rusak (rekalsitran) seperti damar dan dipterocarpaceae, setelah pemanenan biji tidak boleh dikeringkan. Penyemaian harus segera dilakukan setelah pemanenan. Bila keadaan memaksa, penyimpanan singkat dapat dilakukan dengan menggunakan wadah kedap dalam ruang suhu 17oC (ruang AC).

Sebelum benih disemaikan, beberapa jenis tanaman memerlukan perlakuan pendahuluan sesuai dengan karakter benih tersebut. Perlakuan pendahuluan ini dapat dilakukan dengan cara sederhana seperti perendaman dengan air panas ataupun dengan menggunakan bahan kimia seperti H2SO4. Setelah benih berkecambah (sekitar 1 bulan), kemudian bibit dipindahkan/disapih pada media yang subur.

b. Pengambilan dan Pengolahan Bahan Vegetatif

Teknik pengembangbiakan tanaman secara vegetatif secara umum merupakan teknik yang cukup sulit serta memerlukan waktu, biaya, bahan dan peralatan yang lebih banyak dibandingkan dengan pengembangbiakan secara biji. Dengan demikian perlu pertimbangan-pertimbangan yang mendalam dalam menetapkan prosedur pengambilan dan pengolahan yang akan diterapkan dalam pembuatan tanaman melalui pembiakan vegetatif antara lain adalah untuk :

1. Mendapatkan pengganti bibit asal biji pada tanaman yang musim berbuahnya tidak menentu.

2. Menggandakan dan mencegah perubahan sifat menurun pada bahan tanaman yang memiliki mutu sifat menurun yang tinggi.

3. Mengambil faktor menurun (gen) pada tanaman berpenampilan baik sebagai bahan persilangan (Kartiko 2000).

Pengukuhan/Sertifikasi Benih

(31)

informasi seperti tipe sumber benih, kemurnian jenis dan varietas, waktu panen, asal benih, persen kemurnian, kondisi benih dan daya berkecambahnya. Tujuan Sertifikasi benih (Martodiwirjo 1998) adalah untuk meningkatkan produktifitas hutan tanaman dengan penggunaan material reproduktif (biji, bagian-bagian tanaman dan tanaman) yang sudah dikumpulkan, diangkut, diproses, diperbanyak dan didistribusikan dengan suatu cara yang dijamin kebenarannya, sesuai yang tercantum dalam label.

Dua pilihan yang harus ditempuh untuk menerapkan sertifikasi benih tanaman hutan di Indonesia, yaitu : (1) tahap ideal dengan memperhitungkan peraturan yang ada serta mengadopsi peraturan internasional, dalam hal ini sertifikasi yang telah dilakukan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Cooperation Development) dan (2) tahap antara, dengan memperhitungkan peraturan yang telah dikemukakan di atas, tetapi berdasarkan tipe sumber benih yang sudah ada saat ini. Empat kategori sumber benih yang digunakan oleh OECD adalah :

a. Sumber yang teridentifikasi (source-identified) dengan warna label kuning, b. Sumber yang terseleksi (source-selected) dengan warna label hijau,

c. Kebun benih yang belum teruji (untested seed orchard) dengan warna label merah pucat, dan

d. Bahan perbanyakan tanaman yang sudah teruji (tested reproduction material) dengan warna label biru (Bonner et al. 1994).

Pelaksanaan sertifikasi benih tanaman hutan tidak hanya menyangkut aspek mutu benih, tetapi diperhitungkan juga aspek organisasi dan aspek hukumnya. Pelaksanaan sertifikasi memerlukan penyuluhan dan pembangkitan kesadaran tentang pentingnya penggunaan bahan tanaman yang bermutu baik. Keberhasilan pelaksanaannya selain ditunjang oleh kemauan penyelenggara negara, dalam hal ini Departemen Kehutanan, juga harus ditunjang oleh tingkat kesadaran konsumen benih (Danu et al. 2004).

Perananan Sumber Benih untuk Hutan Tanaman dan Rehabilitasi Lahan

(32)

benih yang telah ditetapkan, pertumbuhan tanaman yang belum optimal, diindikasikan oleh rendahnya riap kayu, bentuk batang yang tidak lurus dan serangan hama /penyakit pada bibit di persemaian dan tanaman di lapangan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh pemilihan jenis dan sumber benih yang tidak tepat serta mutu benih yang rendah (Nurhasybi et al. 2000).

Salah satu contoh penting pengaruh mutu benih terhadap keberhasilan kegiatan reboisasi adalah kurang berhasilnya kegiatan reboisasi dengan jenis

Pinus merkusii yang dilaksanakan pada tahun 1970-1980an. Selain itu, ditunjukan pula oleh tingginya jumlah tanaman yang berbatang bengkok pada hutan-hutan tanaman Pinus merkusii yang ada di Indonesia (Kartiko 2000).

Selanjutnya Kartiko (2000) menjelaskan bahwa rendahnya keberhasilan reboisasi di atas diduga kuat terkait dengan rendahnya mutu fisiologi benih. Rendahnya mutu fisiologis benih tersebut antara lain ditunjukan oleh hasil pengujian terhadap benih Pinus merkusii untuk kegiatan reboisasi yang dihasilkan dari Pasir Seuti (Mei 1983) dan Cimanong (Juni 1983), yang masing-masing hanya menunjukan daya kecambah 53-58%. Pengujian mutu benih asal Cililin, Bandung Selatan (Mei 1983) juga menunjukan angka rendah, yaitu sekitar 39-53%.

Upaya yang perlu dilakukan untuk peningkatan mutu benih, salah satunya adalah dengan memperbaiki mutu sumber benihnya. Dengan mutu sumber benih yang meningkat, diharapkan mutu benih yang dihasilkan akan meningkat dan akhirnya benih tersebut akan menghasilkan tanaman yang lebih baik. Agar perbaikan mutu dapat dilakukan secara mudah dan murah, upaya peningkatan mutu sumber benih sebaiknya dilakukan secara bertahap/berjenjang.

Barner et al. (1988) menjelaskan bahwa produktivitas hutan tanaman diyakini akan optimum seiring perbaikan kelas sumber benihnya. Perbaikan kelas sumber benih ini berhubungan kesesuaian ekologis antara sumber benih terhadap tapak pertanaman, keunggulan fenotipa atau genotipa sumber benih, metoda dan intensitas seleksi dalam sumber benih, serta siklus pemuliaan (improvement).

(33)

persemaian. Benih unggul fisiologis saja tidak banyak berarti apabila pohon kerdil dan kayu yang dihasilkan tidak memenuhi harapan. Sebaliknya, penanaman dengan benih unggul genetis dapat gagal karena viabilitas benihnya rendah sehingga jumlah bibit di persemaian tidak cukup, dan untuk memenuhi target penanaman terpaksa disulam dengan bibit asalan yang rendah mutu genetisnya.

Sumber Benih Tanaman Hutan di Jawa Barat

Sumber benih di pulau Jawa sebagian besar dikelola oleh Perum Perhutani dengan status dan ketetapan hukum yang sudah jelas dan sebagian kecil merupakan sumber benih hutan rakyat yang status dan ketetapan hukumnya masih belum jelas tetapi potensial untuk dijadikan sumber benih.

A. Sumber Benih di Wilayah Perum Perhutani

Sumber benih yang dikelola di wilayah Perum Perhutani merupakan sumber benih yang dikelola sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan internal dan pembangunan hutan tanaman dalam skala luas. Program pengadaan benih oleh Perum Perhutani masih ditujukan untuk keperluan penanaman hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas. Dengan demikian titik beratnya adalah untuk produksi kayu dan hasil hutan non kayu. Pengadaan benih dilakukan oleh KPH pensuplai untuk memenuhi permintaan intern ataupun dari luar (BTP 1998). Hasil inventarisasi dan penelitian Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor (Nurhasybi et al. 2000) terdapat beberapa sumber benih beberapa jenis tanaman hutan yang tersebar di Jawa Barat seperti tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 Sumber Benih Tanaman Hutan di Wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten (Nurhasybi et al. 2000)

No. Jenis Lokasi Keterangan

1. Pinus merkusii

(Pinus)

Sumedang,

Bandung Selatan

Kebun Benih Semai

Areal Produksi Benih

2. Swietenia macrophylla

(Mahoni)

Tasikmalaya

Sumedang

Cianjur

Bogor

Tegakan Benih Teridentifikasi

Areal Produksi Benih

Tegakan Benih Teridentifikasi

(34)

3. Tectona grandis

Areal Produksi Benih

Areal Produksi Benih

Areal Produksi Benih

Areal Produksi Benih

Areal Produksi Benih

4. Agathis loranthifolia

(Damar)

Sukabumi Areal Produksi Benih

5. Altingia excelsa

(Rasamala)

Sukabumi

Cianjur

Calon Sumber Benih

Calon Sumber Benih

6. Gmelina arborea

(Jati putih)

Bogor Kebun Benih Semai

7. Acacia mangium

(Mangium)

Bogor Kebun Benih Semai

B. Sumber Benih Hutan Rakyat

Benih yang digunakan untuk penanaman akan menentukan mutu tegakan yang akan dihasilkan di masa datang, tidak terkecuali untuk hutan tanaman yang dibangun oleh petani atau rakyat, sehingga upaya peningkatan kualitas tegakan yang dibangun oleh mereka juga harus diperhatikan (Danu

et al. 2004). Kebanyakan petani/rakyat dalam menanam pohon hutan menggunakan benih yang dihasilkan atau dikumpulkan dari pohon-pohon di lahan petani atau lahan adat (Roshetko et al. 2004; Maryani, et al. 1996). Cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain adalah benih segera tersedia dan proses pengumpulannya tidak mahal serta pohon tidak memerlukan pengelolaan khusus. Sedangkan kekurangannya adalah benih dikumpulkan dari beberapa pohon (1 sampai 5) dan tidak didasarkan pada kualitas tegakan (tinggi, kelurusan, kesehatan dll.), sehingga menghasilkan benih dengan kualitas mutu fisiologis dan genetis di bawah optimal (Roshetko et al. 2004).

(35)

sistem penanaman yang umumnya campuran, dari segi ekologi hal ini sangat mendukung perbaikan dan pelestarian lingkungan. Sentra sumber benih yang digunakan oleh petani dapat diketahui dengan pendekatan sentra hutan rakyat serta jenis yang menjadi andalan setempat. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Tabel 3 (Danu et al. 2004).

Tabel 3 Potensi Sumber Benih Hutan Rakyat di Jawa Barat

No. Jenis Lokasi Keterangan

1. Paraserianthes falcataria (Sengon)

Cianjur Selatan, Jonggol, Banten

- Hutan tanaman - Lahan milik rakyat

2. Hibiscus sp. (Tisuk)

Majalengka - Hutan tanaman

- Lahan milik rakyat

3. Albizia procera (Kihiang)

Cianjur, Jasinga (Bogor)

- Hutan tanaman - Lahan milik rakyat

4. Toona sureni (Suren)

Cibugel (Sumedang) - Hutan tanaman - Lahan milik rakyat

5. Melia azedarach (Mindi)

Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung

- Hutan tanaman - Lahan milik rakyat

Perencanaan Program Perbenihan Tanaman Hutan Terpadu

(36)

subsistem konsumen dengan program-programnya yang saling terkait. Program untuk masing-masing subsistem harus berbeda antara yang ditujukan untuk hutan produksi (HTI), hutan dalam kawasan lindung, penghijauan/rehabilitasi lahan, hutan rakyat/kemasyrakatan (BTP 1998).

Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tersebut, Departemen Kehutanan telah memutuskan untuk menetapkan Konsep tentang Program Perbenihan Nasional Terpadu. Istilah terpadu yang dimaksud adalah adanya keterpaduan di bidang penanganan benih, pemuliaan pohon dan konservasi sumberdaya genetik. Beberapa pemikiran yang dibuat untuk target jangka pendek yang secara garis besar dapat dibagi menjadi 4 (empat) rekomendasi, yaitu : 1. Rekomendasi teknis yang berhubungan dengan jenis prioritas : zonasi benih

dan sumber benih.

2. Rekomendasi institusional yang berhubungan dengan institusi, baik institusi yang lama maupun institusi yang baru beserta tanggungjawabnya.

3. Rekomendasi persyaratan hukum.

4. Rekomendasi tentang pengembangan sumberdaya.

Perencanaan program perbenihan terpadu merupakan unsur pendukung kelancaran pembangunan hutan baik jangka panjang atupun jangka pendek. Penyusunan program perbenihan secara terpadu perlu dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah (1) Strategi pengadaan benih (jangka panjang-pendek) dan pemuliaan pohon, (2) Seleksi, penunjukan/pengembangan, pembangunan dan pengelolaan sumber benih dan (3) Pengadaan dan suplai benih.

(37)

genetik. Keterkaitan unsur-unsur tersebut dalam manajemen sumber benih (Gambar 2) merupakan hal yang sangat penting dalam rangka perencanaan pengadaan benih untuk jangka panjang ataupun jangka pendek.

Gambar 2 Keterkaitan Beberapa Faktor dalam Manajemen Sumber Benih.

Penyediaan benih pada pokoknya merupakan proses penyediaan benih dalam jumlah dan kualitas yang baik pada waktu dan tempat yang tepat, pemuliaan pohon akan memperbaiaki dasar genetik dari bahan induk dalam rangka meningkatkan hasil suatu varietas dari tempat-tempat penanaman. Konservasi sumberdaya genetik mempunyai tujuan utama untuk melindungi bahan tanaman dengan karakteristik-karakteristik yang diturunkan (hereditas) yang mana akan bermanfaat bagi kegiatan pemuliaan pohon (Departemen Kehutanan & Danagro 1995).

Evaluasi Sumberdaya Lahan

Kesesuaian lahan merupakan gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (Sitorus 1998). Selanjutnya Hardjowigeno (2003) menjelaskan bahwa tujuan dari evaluasi lahan adalah menentukan nilai potensi suatu lahan untuk tujuan tertentu. Evaluasi kesesuaian atau kemampuan lahan dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas (karakteristik) lahannya. Bila semua persyaratan penggunaan lahan dapat dipenuhi oleh kualitas lahannya maka lahan tersebut termasuk ke dalam kelas

Pengadaan Benih

(Seed Procurement)

Konservasi Sumberdaya Genetik Pemuliaan Pohon

(Tree Improvement)

Pertanaman

(38)

sesuai. Sebaliknya, bila ada salah satu kualitas atau karakteristik lahan yang tidak sesuai, maka lahan tersebut termasuk ke dalam kelas tidak sesuai.

Klasifikasi kesesuaian lahan menurut sistem FAO (1976) dapat dipakai untuk klasifikasi kualitatif ataupun klasifikasi kuantitatif, tergantung dari data yang tesedia (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001). Klasifikasi kesesuaian lahan ini mengenal 4 kategori, yaitu :

a. Kesesuaian lahan pada tingkat ordo menunjukan apakah lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu :

1. Ordo S : Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahan lainnya. Keuntungan yang diharapkan dari hasil pemanfaatan lahan ini akan melebihi masukan yang diberikan.

2. Ordo N : Lahan yang termasuk ordo ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari.

b. Kesesuaian lahan pada tingkat kelas menunjukan tingkat kesesuaian suatu lahan dan merupakan tingkat lebih lanjut dari ordo. Kelas diberi nomor urut yang ditulis di belakang symbol ordo, dimana nomor ini menunjukan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya.

Jika tiga kelas dipakai dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N, maka pembagian dan definisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut:

(39)

2. Kelas S2 : Cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diberikan.

3. Kelas S3 : Sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diberikan.

4. Kelas N1 : Tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable). Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan lestari dalam jangka panjang.

5. Kelas N2 : Tidak sesuai untuk selamanya (permanently suitable).

Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

(40)

d. Kesesuaian lahan pada tingkat unit menunjukan besarnya perbedaan faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan sub-klas dan merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-kelas berdasarkan besarnya faktor pembatas. Semua unit yang berada dalam satu sub-kelas mempunyai tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkat sub-kelas. Pemberian simbol dalam tingkat unit dilakukan dengan penambahan angka arab yang dipisahkan oleh strip dari simbol sub-kelas misalnya S2s-1.

Penyempurnaan sistem perencanaan hutan tanaman khususnya HTI memerlukan suatu data dasar tentang potensi lahan. Perencanaan ini dilakukan secara berjenjang, dengan tingkat skala yang berbeda pula. Di tingkat nasional dan propinsi diperlukan prencanaan umum berskala tinjau (reconnaissance scale)

yang memuat arahan umum program HTI dan alokasi lahan untuk konsesi. Pada tingkat konsesi, dibutuhkan suatu prencanaan operasional yang lebih detil dan terpadu, yang memuat informasi tentang kemampuan lahan dan kesesuaian jenis tanaman disamping perencanaan beberapa sarana pendukung eksplorasi lainnya (Priyono et al. 1999).

Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Evaluasi Lahan

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk dijital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dipakainya sistem komputer menyebabkan data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya persatuan yang lebih rendah dari cara manual. SIG saat ini lebih sering diterapkan ke pengertian informasi geografis yang berorientasi komputer. Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai prosedur yang dipakai untuk menyimpan dan memanipulasi data yang bereferensi geografis secara manual (Barus & Wiradisastra 2000).

(41)

menganalisa obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan yang penting atau kritis untuk dianalisa. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), serta analisis dan manipulasi data.

Secara umum, pendayagunaan SIG untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan terbagi menjadi dua kegiatan pokok, yaitu inventarisasi sumberdaya lahan (ISDL) dan pendayagunaan SIG menggunakan data ISDL tersebut untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan. Kegiatan ISDL akan lebih menekankan pada keahlian survei evaluasi lahan dan tanah dengan dukungan penafsiran citra baik foto udara ataupun citra satelit. Sedangkan kegiatan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dengan SIG lebih menuntut kemampuan di bidang komputer dan analisa system (Priyono et al. 1999).

Menurut Nugroho dan Gandasasmita (1997), basis data tanah erat kaitannya dengan sistem ini, terutama dalam pengelolaan data digital. Peta tanah memiliki informasi yang bereferensi geografi karena berkaitan erat dengan penunjukan lokasi. Peta tanah dijital tersebut dapat dikelola bersama-sama dengan sistem basis data tanah secara terpadu. Basis data tanah dan SIG dengan ditunjang perangkat komputer (perangkat lunak dan keras) merupakan sarana dan prasarana yang tepat untuk menyimpan, memanipulasi dan menganalisis data, baik nonspasial ataupun spasial.

(42)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2005 untuk wilayah Jawa Barat yang terdiri dari Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten (Gambar 3).

Gambar 3 Peta Lokasi/Wilayah Penelitian

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap sumber benih dan tegakan potensial tanaman hutan yang berada di wilayah Jawa Barat dan Banten. Penilaian potensi lahan dibatasi untuk jenis-jenis prioritas yang merupakan Jenis Andalan Setempat (JAS) Jawa Barat diantaranya adalah jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), damar (Agathis loranthifolia), tusam (Pinus merkusii), rasamala

(43)

ditanam, baik oleh masyarakat (hutan rakyat) dan perusahaan (HTI) serta untuk kegiatan rehabilitasi lahan. Salah satu jenis tanaman yang merupakan jenis asli dan menjadi andalan Jawa Barat karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi yaitu jenis rasamala .

Tahapan kegiatan meliputi penyusunan peta sebaran sumber benih dan jenis-jenis potensial, identifikasi kondisi (kelas, potensi produksi, ekologis, musim berbuah dll.) sumber benih, penilaian potensi lahan untuk penentuan wilayah/zona penggunaan benih serta memprediksi kebutuhan benih untuk menunjang pembangunan hutan tanaman dan rehabilitasi lahan di Propinsi Jawa Barat.

Kegiatan dilakukan untuk melengkapi zonasi benih tanaman hutan wilayah Jawa dan Madura skala 1 : 1 000 000 yang telah disusun oleh Departemen Kehutanan yang masih bersifat umum. Penelitian ini dilakukan pada tingkat tinjau skala 1 : 250 000 sehingga hasilnya memiliki beberapa keterbatasan terutama dalam penilaian potensi lahan dan juga hanya berdasarkan faktor ekologis. Pada saat ini informasi hasil pengujian di lapangan untuk jenis-jenis tanaman hutan masih terbatas, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan pendekatan untuk mengurangi resiko kegagalan penanaman akibat penggunaan bahan tanaman yang kurang sesuai dengan tapak penanaman. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan arahan untuk penyusunan program perbenihan tanaman hutan di Jawa Barat.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi mengenai sebaran dan potensi sumber benih serta hutan rakyat di Jawa Barat dilakukan melalui studi literatur berupa hasil-hasil penelitian dan informasi langsung/lisan dari nara sumber atau instansi terkait.

Data-data yang digunakan adalah sebagai berikut :

(44)

b. Jenis tanaman hutan potensial, meliputi : jenis, luas, lokasi (letak geografis, wilayah administrasi pemerintahan, wilayah kehutanan), kondisi ekologis (jenis tanah, ketinggian, curah hujan, kelerengan).

c. Hutan tanaman (HTI dan hutan rakyat), meliputi kondisi umum lokasi, luas dan potensinya serta informasi mengenai luas lahan rehabilitasi/lahan kritis untuk wilayah Jawa Barat.

d. Peta yang digunakan meliputi peta tanah (1 : 250 000), data iklim berupa peta curah hujan (1 : 250 000), peta kelas ketinggian (1 : 250 000), peta lereng yang diturunkan dari peta kontur (1 : 25 000), peta land use

(penggunaan lahan) tahun 2001 (1 : 250 000) dan sebagai penunjang dapat digunakan peta zonasi benih tanaman hutan Jawa dan Madura (1 : 1 000 000).

Data tersebut diperoleh dari berbagai instansi sebagai berikut : Perum Perhutani, Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (BPPTP), Dinas Kehutanan Jawa Barat, Bappeda Jawa Barat, Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH ) di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak), Bakosurtanal, Badan Planologi Departemen Kehutanan dan instansi terkait lainnya.

Prosedur Pelaksanaan Kegiatan

Penyusunan Peta Sebaran Sumber Benih dan Tegakan Potensial

(45)

serta sangat memungkinkan/memenuhi persyaratan untuk ditunjuk/dibangun menjadi sumber benih baru. Peta ini akan disusun pada skala 1 : 250 000.

Informasi mengenai tegakan potensial tersebut sangat diperlukan sebagai arahan untuk penunjukan sumber benih baru di Jawa Barat. Selain itu, pemetaan sebaran sumber benih dan jenis potensial tersebut diharapkan dapat membantu program koservasi sumberdaya genetik di wilayah ini. Peta sebaran digunakan untuk mengetahui sebaran geografi dan ekologi serta untuk mengetahui keragaman sifat menurun jenis tanaman target baik di hutan alam ataupun hutan tanaman. Dengan adanya peta ini diharapkan pengambilan contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih dapat mewakili potensi faktor menurun yang ada di seluruh populasi.

Penilaian Potensi Lahan

A. Potensi Lahan Setiap Jenis Tanaman Prioritas

Metode penilaian potensi lahan dilakukan melalui tumpang susun/overlay peta yang berbeda berupa peta lereng, ketinggian, peta tanah dan peta iklim dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) pada skala 1 : 250.000 untuk wilayah Jawa Barat. Wilayah penelitian dibatasi/diseleksi berdasarkan peta land use (penggunaan lahan) sehingga wilayah-wilayah yang sudah tidak bisa dirubah seperti pemukiman, tubuh air, sawah dan wilayah lain yang dianggap kurang memungkinkan untuk pengembangan jenis tanaman kehutanan tidak termasuk pada wilayah penelitian. Satuan lahan yang terbentuk akan dinilai berdasarkan sifat-sifat atau karakteristik (kualitas lahan) yang kemudian akan dibandingkan

(matching) dengan persyaratan pertumbuhan tanaman untuk masing-masing jenis dan pembatas penggunaan lahan sehingga akan tersusun peta potensi/kesesuaian lahan untuk masing-masing jenis.

(46)

bersifat umum dan masih banyak informasi yang belum terisi (Gintings 1990). Mengingat penelitian kesesuaian lahan untuk tanaman kehutanan masih kurang, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam pemilihan tapak penanaman yang sesuai dan melengkapi hasil uji penanaman yang selama ini dilakukan walaupun hanya untuk jenis-jenis tertentu. Informasi mengenai persyaratan tumbuh tanaman juga didapatkan dari kondisi ekologis masing-masing sumber benih. Hasil dari proses tersebut akan memberikan informasi lokasi-lokasi yang dianggap sesuai/potensial untuk pengembangan jenis-jenis tanaman hutan di Jawa Barat. Potensi lahan yang berada di kotamadya dikeluarkan/tidak dimasukan. Wilayah tersebut dianggap lebih memungkinkan digunakan untuk pengembangan kota daripada pengembangan tanaman kehutanan walaupun sebenarnya diperlukan tetapi kebutuhannya relatif kecil.

B. Peta Skenario Wilayah Pengembangan Benih Jenis Prioritas

Hasil analisis SIG di atas menghasilkan peta untuk masing-masing jenis (6 jenis) secara terpisah. Peta-peta tersebut kemudian digabungkan ke dalam satu peta. Penetapan jenis prioritas pada wilayah yang overlap (dapat ditanami lebih dari satu jenis) dilakukan dengan menggunakan skenario berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut :

a. Kedekatan lokasi dengan sumber benih. Dalam sistem zonasi benih yang selama ini digunakan, pemilihan sumber benih yang sesuai dengan lokasi penanaman selain didasarkan pada kesesuaian agroklimat juga dipertimbangkan kedekatan lokasi sumber benih dengan lokasi penanaman. Hal tersebut akan mempermudah aksesibilitas dalam tranfer/distribusi benih, manajemen persemaian ataupun penanaman di lapangan. Jenis yang diprioritaskan adalah jenis yang lokasinya paling dekat dengan sumber benih.

(47)

c. Hambatan fisik untuk pertumbuhan tanaman. Setiap jenis pohon mempunyai hambatan fisik tertentu untuk pertumbuhannya. Jenis yang diprioritaskan adalah untuk jenis yang mempunyai hambatan fisik paling besar untuk pertumbuhannya.

Setelah dilakukan penetapan prioritas untuk wilayah/lokasi yang

overlap, maka akan diperoleh peta wilayah pengembangan benih untuk 6 (enam) jenis tanaman andalan di Jawa Barat.

Prediksi Kebutuhan Benih

Prediksi kebutuhan benih berhubungan erat dengan kegiatan penanaman. Dalam program pembangunan kehutanan, perencanaan kegiatan penanaman jarang sekali dilengkapi dengan perencanaan pengadaan benih. Kebutuhan benih untuk suatu kegiatan penanaman dapat diprediksi dari luas areal/lahan yang akan ditanami. Luas lahan yang digunakan berdasarkan luas pada peta skenario pengembangan benih 6 jenis tanaman prioritas. Tahapan penghitungan prediksi kebutuhan benih selengkapnya tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4 Prediksi Kebutuhan Benih (Moestrup 1988)

No. Tahapan Penghitungan

1. Jarak Tanam A (umum digunakan 3 x 3 m)

2. Tanaman Per Hektar

a. Jumlah tanaman B = 10.000 m2 / A m2

b. Kebutuhan untuk penyulaman

- Persen Asumsi Persen Kematian 20%

- Jumlah tanaman (batang) C = B x 20%

c. Total kebutuhan bibit (batang) D = B + C

d. Benih untuk persemaian (merupakan cadangan resiko kegagalan)

- Persen Dua kali dari kebutuhan (200%)

- Jumlah benih (butir) E = D x 200%

e. Daya berkecambah benih (%) F (Sesuai jenis tanaman)

f. Jumlah kebutuhan benih untuk penaburan (butir)

(48)

3. Jumlah Benih Per Kilogram H (Sesuai Jenis Tanaman)

4. Jumlah Benih Per Hektar yang

Dibutuhkan untuk Penanaman (Kg/Ha)

I = G / H

5. Luas Areal Penanaman (Ha) J

6. Total Kebutuhan Benih untuk Penanaman (Kg)

I x J

Jumlah benih yang dibutuhkan dapat dibandingkan (matching) dengan potensi produksi sumber benih yang ada, sehingga dapat diperoleh gambaran tingkat pemenuhan (supply) terhadap kebutuhan (demand) benih untuk kegiatan penanaman, baik yang aktual ataupun potensial. Selain itu, prediksi kebutuhan benih untuk jangka panjang dapat ditentukan berdasarkan luas potensi lahan untuk setiap jenis tanaman sehingga dapat diperkirakan luas sumber benih yang perlu ditunjuk/dibangun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tahapan ini merupakan bagian dalam penyusunan program perbenihan terpadu (Barner & Ditlevsen 1988).

Arahan Program Perbenihan di Jawa Barat

Prediksi kebutuhan benih untuk setiap jenis di masa depan yang dibandingkan dengan potensi produksi benih dari sumber benih yang ada sekarang, hasilnya dapat dijadikan arahan dalam perencanaan pembangunan sumber benih baru untuk jenis-jenis tertentu. Informasi sebaran/distribusi sumber benih dan potensi lahan untuk jenis-jenis potensial dapat memberikan arahan di lokasi mana sumber benih baru tersebut harus dibangun. Prediksi kebutuhan benih dapat digunakan untuk menghitung luas sumber benih yang diperlukan.

(49)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis dan Wilayah Administratif

Wilayah Jawa Barat secara geografis terletak diantara (5o50’–7o50’) LS dan (104o48’- 104o48’) BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta, sebelah timur berbatasan dengan propinsi Jawa Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda dan di selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 pulau di Sumatera, 4 pulau di Laut Jawa, 14 pulau di Teluk Banten dan 20 pulau di Selat Sunda (Anonim 2005). Luas daratan wilayah Jawa Barat (Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten) adalah 4 317 700 ha (Departemen Kehutanan, 2002).

Setelah lahirnya UU No. 23 tahun 2000 tentang Propinsi Banten, maka Wilayah Administrasi Pembantu Gubernur Banten Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Propinsi Banten dengan daerahnya meliputi : Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten/kota Tangerang serta kota Cilegon. Adanya perubahan tersebut, maka propinsi Jawa Barat terdiri dari : 16 kabupaten dan 9 kotamadya yang membawahi 584 kecamatan, 5 201 desa dan 609 kelurahan (Anonim 2005).

Kondisi geografis yang strategis merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Wilayah ini mempunyai alam yang memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain sumberdaya air, sumberdaya alam dan pemanfaatan lahan, sumberdaya hutan, sumberdaya pesisir dan laut serta sumberdaya perekonomian.

Kondisi Topografi

(50)

tengah yaitu tertinggi di gunung Ciremai di kabupaten Kuningan dan Majalengka. Peta kontur wilayah Jawa Barat disajikan pada Gambar 5, sedangkan peta kelas lereng disajikan pada Gambar 6.

Gambar 5 Peta Kontur Wilayah Jawa Barat.

(51)

Berdasarkan kelas topografi dan kemiringan dapat diringkas sebagai berikut : datar (0-3%) seluas 20.2%, landai (3-8%) seluas 12.1%, berombak (8-15%) seluas 17.8%, berbukit (15-45%) seluas 41.9% dan curam (>45%) seluas 8.0% dari luas wilayah (Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, 1991).

Iklim dan Jenis Tanah

Secara umum Jawa Barat termasuk daerah beriklim tropis yang lembab dengan suhu 9oC di puncak Gunung Pangrango dan 34oC di pantai utara. Kelembaban udara rata-rata 62%-87%.

Variasi curah hujan rata-rata 2 000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan antar 3 000 - 5 000 mm per tahun. Sedangkan jumlah hari hujan bervariasi antara A, B, C, dan D dalam skala Schmidt dan Ferguson. Secara umum tipe A dan B (basah) tersebar di bagian hulu DAS sedangkan tipe C dan D (kering) di bagian hilir DAS. Musim hujan jatuh pada bulan Oktober s/d April, kemarau secara umum jatuh pada bulan Maret sampai Nopember. Peta curah hujan untuk wilayah Jawa Barat selengkapnya disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Peta Curah Hujan Wilayah Jawa Barat.

(52)

Jawa Barat terdiri atas Latosol (39%), Alluvial (21%), Podsolik Merah Kuning (14%), Regosol (8%), Mediteran Merah Kuning (7%), Grumosol (7%), dan Andosol (6%) dari luas wilayah (Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, 1991). Peta jenis tanah untuk wilayah Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Peta Jenis Tanah Wilayah Jawa Barat.

Kependudukan

Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat setelah Banten terpisah berjumlah 34 555 622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk meningkat menjadi 35 500 611 jiwa, dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 1 022 jiwa per km2 serta laju pertumbuhan penduduk selama dasawarsa 1990-2000 mencapai 2.17%. Pada tahun 2003 jumlah penduduk telah bertambah menjadi 38 059 540 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 1 064 jiwa per km2.

Gambar

Tabel  3  Potensi Sumber Benih Hutan Rakyat di Jawa Barat
Gambar  3  Peta Lokasi/Wilayah Penelitian
Gambar  6  Peta Kelas Lereng Wilayah Jawa Barat
Gambar  7  Peta Curah Hujan Wilayah Jawa Barat.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lembar penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat Bapak/Ibu sebagai Guru Pamong berupa penilaian dan saran tentang performasi mahasiswa praktikan dalam

makassar.info/eproc , mulai pukul 10.00 s/d 12.00 Wita, berikut transkrip penjelasan pekerjaan.. melalui portal untuk paket pekerjaan, di bawah

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Informatika.

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR1. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Di samping itu karyawan bank syari'ah harus skillful dan professional (fathonah) dan mampu melaksanakan tugas secara team-work di mana informasi merata di seluruh

[r]

Dalam penulisan ini tidak menggunakan data pada tahun 2015 karena data tersebut tidak lengkap atau belum tersedia diharapkan bagi penulis selanjutnya untuk mengambil objek

Solusi optimal : solusi layak yang memiliki nilai objektif terbaik (yaitu nilai terbesar untuk problem maksimisasi, dan nilai terkecil untuk problem minimisasi).. Solusi