• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

B. Sumber Benih Hutan Rakyat

Benih yang digunakan untuk penanaman akan menentukan mutu tegakan yang akan dihasilkan di masa datang, tidak terkecuali untuk hutan tanaman yang dibangun oleh petani atau rakyat, sehingga upaya peningkatan kualitas tegakan yang dibangun oleh mereka juga harus diperhatikan (Danu

et al. 2004). Kebanyakan petani/rakyat dalam menanam pohon hutan menggunakan benih yang dihasilkan atau dikumpulkan dari pohon-pohon di lahan petani atau lahan adat (Roshetko et al. 2004; Maryani, et al. 1996). Cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain adalah benih segera tersedia dan proses pengumpulannya tidak mahal serta pohon tidak memerlukan pengelolaan khusus. Sedangkan kekurangannya adalah benih dikumpulkan dari beberapa pohon (1 sampai 5) dan tidak didasarkan pada kualitas tegakan (tinggi, kelurusan, kesehatan dll.), sehingga menghasilkan benih dengan kualitas mutu fisiologis dan genetis di bawah optimal (Roshetko et al. 2004).

Pada saat ini, kebutuhan benih atau masyarakat belum tersentuh. Selain itu jenis tanaman yang digunakan petani lebih bervariasi tergantung pada kondisi lahan, jenis cepat tumbuh dan kayunya disukai masyarakat setempat. Keragaman tanaman yang digunakan cukup beragam karena

sistem penanaman yang umumnya campuran, dari segi ekologi hal ini sangat mendukung perbaikan dan pelestarian lingkungan. Sentra sumber benih yang digunakan oleh petani dapat diketahui dengan pendekatan sentra hutan rakyat serta jenis yang menjadi andalan setempat. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Tabel 3 (Danu et al. 2004).

Tabel 3 Potensi Sumber Benih Hutan Rakyat di Jawa Barat

No. Jenis Lokasi Keterangan

1. Paraserianthes falcataria (Sengon)

Cianjur Selatan, Jonggol, Banten

- Hutan tanaman - Lahan milik rakyat

2. Hibiscus sp. (Tisuk)

Majalengka - Hutan tanaman

- Lahan milik rakyat

3. Albizia procera (Kihiang)

Cianjur, Jasinga (Bogor)

- Hutan tanaman - Lahan milik rakyat

4. Toona sureni (Suren)

Cibugel (Sumedang) - Hutan tanaman - Lahan milik rakyat

5. Melia azedarach (Mindi)

Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung

- Hutan tanaman - Lahan milik rakyat

Perencanaan Program Perbenihan Tanaman Hutan Terpadu

Keberhasilan program pembangunan kehutanan di Indonesia pada umumnya dan Jawa Barat pada khususnya perlu ditunjang dengan perencanaan perbenihan secara terpadu dan ditangani secara sungguh-sungguh oleh semua pihak yang terkait. Pembangunan hutan yang beragam fungsi memerlukan benih komersial dan non komersial sesuai dengan fungsi hutan yang dibangun. Agar industri benih yang ada saat ini berfungsi secara benar, maka harus dikembangkan sehingga merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat berbagai subsistem yaitu pengadaan benih, pengawasan, penelitian dan pengembangan, pengadaan sumberdaya manusia, penentuan kebijakan pemerintah, distribusi dan niaga serta

subsistem konsumen dengan program-programnya yang saling terkait. Program untuk masing-masing subsistem harus berbeda antara yang ditujukan untuk hutan produksi (HTI), hutan dalam kawasan lindung, penghijauan/rehabilitasi lahan, hutan rakyat/kemasyrakatan (BTP 1998).

Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tersebut, Departemen Kehutanan telah memutuskan untuk menetapkan Konsep tentang Program Perbenihan Nasional Terpadu. Istilah terpadu yang dimaksud adalah adanya keterpaduan di bidang penanganan benih, pemuliaan pohon dan konservasi sumberdaya genetik. Beberapa pemikiran yang dibuat untuk target jangka pendek yang secara garis besar dapat dibagi menjadi 4 (empat) rekomendasi, yaitu : 1. Rekomendasi teknis yang berhubungan dengan jenis prioritas : zonasi benih

dan sumber benih.

2. Rekomendasi institusional yang berhubungan dengan institusi, baik institusi yang lama maupun institusi yang baru beserta tanggungjawabnya.

3. Rekomendasi persyaratan hukum.

4. Rekomendasi tentang pengembangan sumberdaya.

Perencanaan program perbenihan terpadu merupakan unsur pendukung kelancaran pembangunan hutan baik jangka panjang atupun jangka pendek. Penyusunan program perbenihan secara terpadu perlu dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah (1) Strategi pengadaan benih (jangka panjang-pendek) dan pemuliaan pohon, (2) Seleksi, penunjukan/pengembangan, pembangunan dan pengelolaan sumber benih dan (3) Pengadaan dan suplai benih.

Barner dan Ditlevsen (1988) menjelaskan bahwa Program perbenihan tanaman hutan memiliki tujuan jangka panjang yaitu penyediaan benih berkualitas fisik, fisiologis dan genetik tinggi secara berkesinambungan untuk menunjang keberhasilan program penanaman. Tujuan jangka pendeknya adalah mempersiapkan pengadaan benih untuk kebutuhan yang perlu segera dipenuhi dan dalam waktu yang sama dilakukan tindakan/strategi untuk pengadaan benih jangka panjang seperti seleksi, konservasi, pembangunan sumber benih serta pemuliaan pohon. Program perbenihan nasional memiliki tiga unsur yang saling terkait yaitu pengadaan benih, pemuliaan pohon dan konservasi sumberdaya

genetik. Keterkaitan unsur-unsur tersebut dalam manajemen sumber benih (Gambar 2) merupakan hal yang sangat penting dalam rangka perencanaan pengadaan benih untuk jangka panjang ataupun jangka pendek.

Gambar 2 Keterkaitan Beberapa Faktor dalam Manajemen Sumber Benih. Penyediaan benih pada pokoknya merupakan proses penyediaan benih dalam jumlah dan kualitas yang baik pada waktu dan tempat yang tepat, pemuliaan pohon akan memperbaiaki dasar genetik dari bahan induk dalam rangka meningkatkan hasil suatu varietas dari tempat-tempat penanaman. Konservasi sumberdaya genetik mempunyai tujuan utama untuk melindungi bahan tanaman dengan karakteristik-karakteristik yang diturunkan (hereditas) yang mana akan bermanfaat bagi kegiatan pemuliaan pohon (Departemen Kehutanan & Danagro 1995).

Evaluasi Sumberdaya Lahan

Kesesuaian lahan merupakan gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (Sitorus 1998). Selanjutnya Hardjowigeno (2003) menjelaskan bahwa tujuan dari evaluasi lahan adalah menentukan nilai potensi suatu lahan untuk tujuan tertentu. Evaluasi kesesuaian atau kemampuan lahan dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas (karakteristik) lahannya. Bila semua persyaratan penggunaan lahan dapat dipenuhi oleh kualitas lahannya maka lahan tersebut termasuk ke dalam kelas

Pengadaan Benih

(Seed Procurement)

Konservasi Sumberdaya Genetik Pemuliaan Pohon

(Tree Improvement)

Pertanaman

sesuai. Sebaliknya, bila ada salah satu kualitas atau karakteristik lahan yang tidak sesuai, maka lahan tersebut termasuk ke dalam kelas tidak sesuai.

Klasifikasi kesesuaian lahan menurut sistem FAO (1976) dapat dipakai untuk klasifikasi kualitatif ataupun klasifikasi kuantitatif, tergantung dari data yang tesedia (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001). Klasifikasi kesesuaian lahan ini mengenal 4 kategori, yaitu :

a. Kesesuaian lahan pada tingkat ordo menunjukan apakah lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu :

1. Ordo S : Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahan lainnya. Keuntungan yang diharapkan dari hasil pemanfaatan lahan ini akan melebihi masukan yang diberikan.

2. Ordo N : Lahan yang termasuk ordo ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari.

b. Kesesuaian lahan pada tingkat kelas menunjukan tingkat kesesuaian suatu lahan dan merupakan tingkat lebih lanjut dari ordo. Kelas diberi nomor urut yang ditulis di belakang symbol ordo, dimana nomor ini menunjukan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya.

Jika tiga kelas dipakai dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N, maka pembagian dan definisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut: 1. Kelas S1 : Sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai

pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikan masukan yang telah biasa diberikan.

2. Kelas S2 : Cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diberikan.

3. Kelas S3 : Sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diberikan.

4. Kelas N1 : Tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable). Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan lestari dalam jangka panjang.

5. Kelas N2 : Tidak sesuai untuk selamanya (permanently suitable).

Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

c. Kesesuaian lahan tingkat sub-kelas yang mencerminkan jenis pembatas atau tingkat perbaikan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub-kelas tergantung pembatas yang ada. Jenis-jenis pembatas tersebut misalnya adalah kedalaman efektif (s), keadaan topografi (t), erosi (e) dan lain-lain. Contoh pemberian simbol misalnya untuk kelas S2 yang mempunyai pembatas kedalaman efektif (s) dapat menjadi sub-kelas S2s.

d. Kesesuaian lahan pada tingkat unit menunjukan besarnya perbedaan faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan sub-klas dan merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-kelas berdasarkan besarnya faktor pembatas. Semua unit yang berada dalam satu sub-kelas mempunyai tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkat sub-kelas. Pemberian simbol dalam tingkat unit dilakukan dengan penambahan angka arab yang dipisahkan oleh strip dari simbol sub-kelas misalnya S2s-1.

Penyempurnaan sistem perencanaan hutan tanaman khususnya HTI memerlukan suatu data dasar tentang potensi lahan. Perencanaan ini dilakukan secara berjenjang, dengan tingkat skala yang berbeda pula. Di tingkat nasional dan propinsi diperlukan prencanaan umum berskala tinjau (reconnaissance scale)

yang memuat arahan umum program HTI dan alokasi lahan untuk konsesi. Pada tingkat konsesi, dibutuhkan suatu prencanaan operasional yang lebih detil dan terpadu, yang memuat informasi tentang kemampuan lahan dan kesesuaian jenis tanaman disamping perencanaan beberapa sarana pendukung eksplorasi lainnya (Priyono et al. 1999).

Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Evaluasi Lahan

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk dijital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dipakainya sistem komputer menyebabkan data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya persatuan yang lebih rendah dari cara manual. SIG saat ini lebih sering diterapkan ke pengertian informasi geografis yang berorientasi komputer. Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai prosedur yang dipakai untuk menyimpan dan memanipulasi data yang bereferensi geografis secara manual (Barus & Wiradisastra 2000).

Aronoff (1989) mendefinisikan SIG sebagai suatu sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan

menganalisa obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan yang penting atau kritis untuk dianalisa. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), serta analisis dan manipulasi data.

Secara umum, pendayagunaan SIG untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan terbagi menjadi dua kegiatan pokok, yaitu inventarisasi sumberdaya lahan (ISDL) dan pendayagunaan SIG menggunakan data ISDL tersebut untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan. Kegiatan ISDL akan lebih menekankan pada keahlian survei evaluasi lahan dan tanah dengan dukungan penafsiran citra baik foto udara ataupun citra satelit. Sedangkan kegiatan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dengan SIG lebih menuntut kemampuan di bidang komputer dan analisa system (Priyono et al. 1999).

Menurut Nugroho dan Gandasasmita (1997), basis data tanah erat kaitannya dengan sistem ini, terutama dalam pengelolaan data digital. Peta tanah memiliki informasi yang bereferensi geografi karena berkaitan erat dengan penunjukan lokasi. Peta tanah dijital tersebut dapat dikelola bersama-sama dengan sistem basis data tanah secara terpadu. Basis data tanah dan SIG dengan ditunjang perangkat komputer (perangkat lunak dan keras) merupakan sarana dan prasarana yang tepat untuk menyimpan, memanipulasi dan menganalisis data, baik nonspasial ataupun spasial.

SIG digunakan untuk mengolah data yang ada sehingga dapat menghasilkan peta-peta kesesuaian lahan untuk beberapa komoditas yang dinilai. Perencanaan pengembangan pertanian dengan penggunaan basis data tanah dan SIG untuk evaluasi kesesuaian lahan telah berhasil memberikan informasi atau data yang dapat dijadikan bahan acuan yang besifat spasial atau nonspasial untuk keperluan pengelolaan lahan pertanian (Nugroho & Gandasasmita 1997).

Dokumen terkait