Sitorus (2004) lahan didefenisikan sebagai bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegertasi alami yang semuanya potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Lahan menurut Hardjowigeno (1993) batasan yang tampak dari tanah yang mempunyai fungsi yang sangat penting terutama untuk penggunaan berbagai aktivitas manusia penggunaan lahan dapat dibagi dua kelompok besar yaitu penggunaan lahan perdesaan (rural land use) dan penggunaan lahan perkotaan (urban land use). Lahan juga merupakan kesatuan berbagai sumberdaya daratan yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem yang struktural dan fungsional. Sifat dan perilaku lahan ditentukan oleh berbagai macam sumberdaya yang dominan dan jenis sumberdaya serta intensitas interaksi yang berlangsung antara sumberdaya tersebut. Faktor-faktor yang menjadi penentu sifat dan perilaku lahan bermitra ruang dan waktu. Pengembangan lahan merupakan perubahan guna lahan dari suatu fungsi ke fungsi lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari nilai tambah yang terjadi Karena perubahan guna lahan tersebut.
Walaupun sama-sama menggambarkan keadaan fisik bumi, definisi penggunaan lahan (Land use) dan penutupan Lahan (land Cover) pada hakekatnya berbeda. Penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan, sedangkan penutup lahan (Land cover) lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1993). Menurut
Rustiadi et al. (2005) penggunaaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama pada hal-hal tertentu tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penggunaan lahan (land use) menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik. Rustiadi (1996) yang juga mengacu pada pendapat Vink (1975) mengatakan penggunaan lahan sebagai bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan baik yang bersifat permanen atau cyclic dalam rangka memenuhi kepuasan dan kebutuhan hidup baik secara material maupun spiritual.
Soeryanegara (1978) terdapat tiga aspek kepentingan pokok di dalam penggunaan sumberdaya lahan, yaitu (a) lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, memelihara ternak, memelihara ikan dan lainya, (b) lahan mendukung kehidupan berbagai jenis vegetasi dan satwa, (c) lahan mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia.
Penggunaan lahan atau tata guna lahan (land use) merupakan upaya untuk memanfaatkan lahan pada suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan tertentu misalnya untuk pemukiman, hutan konservasi, hutan lindung dan lain-lain. Tata guna lahan merupakan salah satu faktor penentu utama dalam pengelolaan lingkungan. Keseimbangan antara kawasan budidaya dan kawasan konservasi merupakan kunci dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Pola penggunaan lahan adalah pencerminan kegiatan manusia yang ada di wilayah. Makin tinggi tingkat kegiatan manusia, maka makin tinggi kebutuhan akan lahan baik dari peningkatan luas penggunaan lahan maupun intensitas
penggunaannya. Gambaran pola penggunaan lahan suatu wilayah dapat memberikan gambaran tentang kehidupan ekonomi daerah tersebut sehingga dapat dijadikan indikator kerusakan lingkungan (Sandy, 1973).
Pada pengelolaan lahan sering terjadi benturan kepentingan antara pihak- pihak penguna lahan atau sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Sehingga mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabilitasnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi kapabilitas lahan adalah jenis tanah dan kesuburannya, keadaan lapangan, relief, topografi dan ketinggian tempat, aksesbilitas, kemampuan dan kesesuaian tanah, tekanan penduduk. Besarnya tekanan penduduk mengakibatkan degradasi lahan yang disebabkan oleh kekeliruan dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan. Pengunaan lahan bersifat dinamis dimana perubahan dapat disebabkan oleh campur tangan mausia dalam memenuhi kebutuhannya dan bencana alam. Peningkatan kebutuhan lahan ini akan diimbangi dengan mengintensifkan penggunaan lahan maupun perluasan. Kedua usaha ini akan merubah lahan baik berupa luasan maupun jenisnya.
Tipe penggunaan lahan secara umum meliputi pemukiman, kawasan budidaya pertanian, padang penggembalaan, kawasan rekreasi dalan lainnya. Badan pertanahan Nasional menggelompokkan jenis penggunaan lahan sebagai berikut:
1. Hutan merupakan wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun dikelola manusia dengan tajuk yang rimbun, besar dan lebat,
2. Kebun meliputi kebun campuran dan kebun sayuran merupakan daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campuran, baik dengan pola acak maupun teratur sebagai pembatas tegalan,
3. Tegalan merupakan daerah yang ditanami oleh tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tidak ditanami . Vegetasi yang sering dijumpai adalah padi gogo, singkong, jagung, kentang dan kacang tanah,
4. Sawah merupakan daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya diairi sejaka penanaman hingga beberapa hari sebelum panen,
5. Pemukiman merupakan kombinasi antara jalan bangunan, tegalan/pekarangan dan bangunan itu sendiri,
6. Semak belukar merupakan daerah yang ditutupi oleh pohon baik alami maupun yang dikelola dengan tajuk yang relative kurang rimbun,
7. Lahan terbuka, merupakan daerah yang tidak terdapat vegetasi maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia.
Kebutuhan sumberdaya lahan menjadi faktor proses perubahan penggunaan lahan yang secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama yaitu (a) deforestasi baik kearah pertanian maupun ke non pertanian, (b) konversi lahan pertanian ke non pertanian dan (c) penelantaran lahan. Pola pemanfaatan ruang harus disusun dan direncanakan untuk mengwujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi kegiatan budidaya dan non budidaya. Tentunya pemanfaatan ruang diwujudkan melalui program pembangunan dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang yang menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan.
Kebutuhan lahan sangat terkait dengan kegiatan pembangunan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi, kependudukan dan juga tidak lepas dari perkembangan teknologi dalam pemanfaatan lahan itu sendiri. Komponen utama yang mempengaruhi dari model spasial perubahan tata guna lahan adalah submodel kebutuhan lahan dari tiap jenis guna lahan, submodel untuk menghitung potensi transisi penggunaan lahan, dan submodel untuk menggambarkan perubahan yang terjadi. Sedangkan model transisi potensial dari lahan berkaitan dengan kemungkinan bahwa lahan memiliki potensi akan berubah dari satu jenis penggunaan atau tutupan ke jenis yang lain, yang didasarkan pada faktor seperti kesesuaian lahan dan dorongan dari faktor penggerak perubahan (RTRW). Model alokasi lahan berkaitan dengan keputusan atas pemanfaatan/penggunaan bidang lahan tertentu untuk jenis penggunaan yang telah ada atau akan berubah karena adanya perubahan dari kebutuhan lahan pada setiap jenis penggunaan. Pertumbuhan penduduk pedesaan merupakan rangsangan yang lebih besar untuk perubahan penggunaan lahan dari pertumbuhan penduduk perkotaan. Elastisitas merupakan satu ukuran mudah tidaknya suatu jenis lahan berubah menjadi tipe lainnya yang juga mencerminkan sifat kelenturan dalam merespon perubahan dan juga menggambarkan kekuatan kompetisi antar jenis lahan. Sedangkan urutan matrik konversi mengatur orde konversi dari satu tipe ke tipe berikutnya (Bernetti I, 2010). Matrik konversi secara ringkas mengatur antara lain:
a. Perubahan landuse yang sudah ada (existing) ke jenis tertentu. b. Landuse tertentu yang tidak boleh berubah menjadi jenis tertentu.
c. Baik elastisitas maupun matrik konversi sangat erat kaitannya dengan kebijakan yang diberlakukan di wilayah tersebut.
Kekuatan kompetisi (competitive strength) merupakan derajat kompetisi, yang dipengaruhi oleh elastisitas dari tipe penggunaan lahan. Nilai ini dicerminkan dalam bentuk jumlah iterasi yang menunjukkan seberapa kompleks perubahan dan kompetisi kebutuhan antar tipe penggunaan lahan yang terjadi. Semakin banyak iterasi yang diperlukan untuk dapat merubah satu lokasi dari satu jenis penggunaan lahan tertentu ke jenis lainnya, berarti semakin tinggi kompetisi yang terjadi dalam penggunaan lahan. Kekuatan kompetisi ini semakin besar ketika kebutuhan lahan mendekati daya dukung ataupun luasan yang memungkinkan (maksimum). Jika total lahan untuk masing-masing jenis penggunaan lahan telah sesuai dengan kebutuhan (demand) maka model selesai menghitung dan dilanjutkan dengan menampilkan peta penggunaan lahan hasil simulasi, namun jika ada yang belum terpenuhi, maka model akan melakukan iterasi untuk mencapai komposisi yang sesuai. Untuk memudahkan dalam menyusun scenario tata lahan biasa dipakai software autocad, map info, Clue, clues, dyna clue maupun Arc-gis sehingga menjadi satu kesatuan sistem (Verburg et al., 2008).
Model Optimasi Tata Guna Lahan sangat diperlukan untuk memaksimalkan komposisi penggunaan lahan yang sesuai untuk mengendalikan banjir. Ketidaksesuain lahan tersebut akan semakin meningkatkan resiko terjadinya banjir sehingga dengan model itu pula dapat melakukan tindakan pencegahan sekaligus penanganan terhadap bencana banjir yang terjadi. Penggunaan GIS sebagai alat analisis akan semakin mempermudah dalam
mengaplikasikan model yang telah dibuat. Model Optimasi Tata Guna Lahan berbasis SIG menganalisis beberapa data spasial dengan input data skoring dan pembobotan yang kemudian dioverlay secara sistematis sehingga menghasilkan peta tingkat kerawanan banjir dan proporsi optimal masing-masing jenis penggunaan lahan sehingga dapat mengendalikan banjir (Zulfakar, 2009).
Model simulasi dinamis memungkinkan representasi yang terintegrasi dari kekuatan pendorong manusia dan biofisik, untuk menguji faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan (Stephenne et. al., 2004). Kekuatan pendorong demografis adalah variabel lambat sementara curah hujan adalah variabel cepat. Kekeringan berulang dapat dipandang sebagai peristiwa pemicu, pertumbuhan penduduk dan konsumsi sebagai faktor mediasi, sedangkan pertumbuhan penduduk pedesaan mendefinisikan trend jangka panjang. Mensimulasikan daya dukung konservatif memiliki dampak besar pada prediksi penggunaan lahan dan memberikan wawasan yang lebih memahami proses perubahan penggunaan lahan berubah (Verburg et al., 2002).