• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Formalin pada Produk Ikan

Dalam dokumen diktat pengetahuan bahan pangan (Halaman 146-151)

HOT ISSUE PADA TELUR TELUR PALSU

CARA KERJA

1. Penggunaan Formalin pada Produk Ikan

Formalin adalah nama dagang dari formaldehid (HCHO), dipasarkan dalam bentuk cair dan tablet, biasanya mengandung 10% methanol. Formalin dilarang dalam industri pangan sebagai pengawet (Permenkes No 722 tahun1988) dan biasanya digunakan untuk mengawetkan serangga, hewankecil, organ manusia

(hasil bopsi), dan mayat. Namun kenyataannya di lapangan, formalin terbukti sering digunakan sebagai bahan pengawet.

Sangat sulit membedakan makanan yang mengandung formalin karena

secara akurat hanya dapat dilakukan dengan pereaksi kimia yaitu formaldehid test kit. Namun, ada beberapa indikator yang setidaknya dapat dijadikan acuan sebuah produk diduga mengandung formalin, seperti untuk Bakso : tidak rusak sampai lima hari pada

suhu kamar, tekstur sangat kenyal. Ikan segar: tidak rusak sampai tiga hari

pada suhu kamar, warna insang merah tua dan tidak cemerlang, dan bau menyengat khas formalin. Ikan asin : tidak rusak sampai tiga hari pada suhu

kamar, warna bersih cerah, namun tidak berbau khas ikan asin.

Kasus ditemukannya formalin dalam beberapa produk makanan, tidak hanya menyadarkan masyarakat untuk lebih selektif dalam mengkonsumsi makanan, namun di sisi lain juga membuat kita meninjau kembali bagaimana seharusnya penggunaan pengawet dalam makanan dan produk olahan lainnya. Hal in juga menimbulkan wacana terhadap alternatif bahan pengawet yang lebih aman bagi kesehatan tubuh manusia.

Bahan pengawet memang dibutuhkan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme ataupun mencegah proses peluruhan yang terjadi sesuai dengan pertambahan waktu, agar kualitas makanan senantiasa terjaga sesuai dengan harapan konsumen. Dengan demikian, pengawet diperlukan dalam pengolahan makanan, namun kita harus tetap mempertimbangkan keamanannya. Hingga kini, penggunaan pengawet yang tidak sesuai masih sering terjadi dan sudah sedemikian luas, tanpa mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan konsumen. Sesuai SK Menkes Rl No.722 tahun 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, yang dimaksud bahan pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau mengharnbat fermentasi, pengasamanan atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Menurut Food and Drugs Administration (FDA), keamanan suatu pengawet makanan harus mempertimbangkan jumlah yang mungkin dikonsumsi dalam produk makanan atau jumlah zat yang akan terbentuk dalam

makanan dari penggunaan pengawet, efek akumulasi dari pengawet dalam makanan dan potensi toksisitas yang dapat terjadi dari pengawet jika dicerna oleh manusia atau hewan, termasuk potensi menyebabkan kanker.

Pada hewan, formalin jelas bersifat karsinogenik karena dari penelitian rnenggunakan hewan percobaan yang dipaparkan formalin dengan konsentrasi 6 sampai 15 ppm selama 2 tahun ternyata formalin menginduksi squamous-cell carcinoma pada rongga hidung tikus dan mencit. Karena penggunaan formalin masih marak di masyarakat.

Kuat dugaan, ikan-ikan mulai tersentuh formalin sejak dari dalam kapal. Di dalam palka penampungan ikan, nelayan mencampuri ikan hasil tangkapan dengan cairan bernama lain formaldehid itu untuk menekan penggunaan es batu agar lebih murah.

Penelitian di laboratorium menunjukkan hasil positif untuk hampir seluruh produk ikan asin dari Teluk Jakarta. Dalam ikan asin kecil seperti jambal dan cumi-cumi, untuk 10 gramnya terdapat lebih dari 1,5 ppm (part per million atau satu per sejuta) formalin. ikan yang mengandung cairan pengawet mayat bisa langsung diketahui. “Keras sekali. Karena di luar kering tapi di dalam tetap basah. Formalin diduga digunakan oleh nelayan Indonesia sejak dua tahun silam.

Cairan yang mengandung metanol ini memang biasa dipakai nelayan untuk menjaga bobot ikan asin. Pembuatan tanpa formalin akan mengurangi bobot ikan asin hingga 60 persen. Sedangkan dengan menggunakan larutan bening itu, bobot yang berkurang akibat pengeringan hanya sekitar 30 persen. Produksi menjadi lebih efisien jika menggunakan formalin. Bila hanya menggunakan garam saja, pengeringan bisa dilakukan selama sepekan. Jika menggunakan cairan pembasmi bakteri tersebut, dalam satu atau dua hari saja ikan asin siap dijual.

Penggunaan formalin pada ikan memang tak segencar sebelumnya. Ini menyusuledaran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 722/Menkes/Per/IX/88 tentang bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan.

Berdasarkan penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia tahun silam, penggunaan formalin pada ikan dan hasil laut menempati peringkat teratas. Yakni, 66 persen dari total 786 sampel. Sementara mi basah menempati posisi kedua dengan 57 persen. Tahu dan bakso berada di urutan berikutnya yakni 16 persen dan 15 persen.

Penggunaan formalin karena harga bahan pengawet ini relatif murah. Produk pengawet ikan yang sudah diperbolehkan penggunaannya. Yaitu minatrid. Namun karena alasan masih baru dan kesulitan untuk mencari bahan pengawet ini, formalin masih merajalela. Gangguan yang ringan adalah rasa terbakar pada tenggorokan dan sakit kepala.

2. Pewarna Rhodamin B

Pengolah kerang menggunakan bahan pewarna Rhodamine B yang seharusnya untuk pakaian atau biasa disebut wantek. Tujuannya untuk membuat kerang yang telah dikupas agar tak terlihat pucat. Zat kimia ini akan menumpuk pada tubuh dan pada gilirannya juga meracuni organ dalam, terutama ginjal dan hati.

Kerang dipanen nelayan saat berumur enam bulan. Binatang bernama ilmiah Anadara granosa ini biasanya langsung direbus dengan air laut usai dipanen. Setelah matang, kerang diturunkan dari tong perebusan untuk kemudian dikupas dari kulitnya. Puluhan pekerja kemudian melepaskan daging dari kulit kerang untuk diolah lebih lanjut. Hingga tahap ini tak ada masalah dengan pengolahan.

Semua berjalan baik dan tak ada peran bahan kimia beracun. Kerang yang sudah dicabuti ini belum dibersihkan dari kotoran yang menempel. Pembersihan akan dilakukan setelah satu tong penuh kerang atau sekitar seratus kilogram. Zat kimia mulai campur tangan ketika datang es batu untuk pengawetan. Setelah es siap, petani kerang kemudian membuat larutan “ajaib”. Satu tong kecil air ditaburi wantek berwarna oranye.

Sekitar 15 menit kemudian kerang terlihat lebih segar. Kerang yang telah didandani ini kemudian dimasukkan tong untuk dijual. Tapi sebelumnya, kerang ditaburi tawas yang biasanya digunakan untuk menjernihkan air. Alasannya,

agar menjadi lebih kenyal dan bisa disimpan selama satu hari satu malam sebelum dikirim ke pelelangan ikan.

Alasan ekonomi memang menjadi pangkal dari penyalahgunaan zat kimia berbahaya bagi tubuh dalam penganan. Padahal pangan yang aman, bermutu dan bergizi adalah hak setiap orang. Tapi sepertinya penganan ideal ini hanya sebatas impian. Apalagi untuk makanan yang nikmat tapi murah.

DEFORMALINISASI

Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kadar formalin atau deformalinisasi? proses deformalinisasi ikan asin misalnya, dapat dilakukan dengan cara merendam ikan asin tersebut dalam tiga macam larutan, yakni air, air garam dan air leri.

 ”Perendaman dalam air selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin sampai 61,25 persen,

 air leri mencapai 66,03 persen, sedang pada air garam hingga 89,53 persen.

Pengganti formalin

Buah picung (Pangium edule reinw) bisa digunakan untuk mengawetkan ikan basah, khususnya bagi nelayan yang tinggal di daerah terpencil. Selain praktis, biayanya pun lebih murah dibandingkan dengan mempergunakan es batu.

Teknologi pengawetan ikan basah yang paling andal adalah es batu. Cara itu juga dilakukan di negara- negara maju. Selain suhunya yang rendah sehingga tidak merusak ikan, ada efek pelicin sehingga mampu menyuci kotoran dan bakteri dari permukaan ikan. Jadi kalau dari dulu nelayan sudah memakai es, ya sudah pakai es saja, tidak perlu memakai formalin lagi. Tapi, bagi nelayan yang tinggal di daerah terpencil, untuk mendapatkan es batu masih menjadi kendala. Selain mahal, bongkahan es yang dibawa ke dalam kapal juga memakan tempat di palka.

Karena itu, bagi nelayan yang tinggal di daerah terpencil, yang sulit untuk mendapatkan es, bisa menggunakan buah picung untuk mengawetkan ikan basah. Ikan bisa awet selama sekitar enam hari. Perbedaan antara picung dengan chitosan adalah, picung khusus untuk mengawetkan ikan basah, misalnya ikan kembung. Sedangkan chitosan untuk mengawetkan ikan asin. "Chitosan tidak efektif kalau untuk mengawetkan ikan segar, apalagi produksi ikan dari perairan Indonesia sekitar 5 juta ton per tahun. Chitosan belum bisa diproduksi untuk mengawetkan ikan dalam jumlah yang besar.

Buah picung dapat mengawetkan ikan selama enam hari tanpa mengurangi mutunya. Aspek positif dari pohon picung, selain dapat dibudidayakan, juga punya efek berantai untuk mengantisipasi longsor.

Dalam dokumen diktat pengetahuan bahan pangan (Halaman 146-151)