• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN FORMULA­FORMULA KETERBACAAN

Dalam dokumen bahan ajar telaah buku teks (Halaman 43-50)

  

dipakai ialah formula keterbacaan dari spache formula tersebut dibuat pada tahun 1953. Dua faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula tersebut   ialah   panjang   rata­rata   kalimat   dan   persentase   kata­kata   sulit. Melalui berbagai pengkajian, formula­formula itu telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaan­nya untuk memperkirakan tingkat keterbacaan wacana. Akan   tetapi,   formula   spache   itu   kompleks   dan   penggunaannya   memakai banyak waktu.

 

Rumus­rumus yang sering digunakan di kelas­kelas empat sampai kelas enam adalah   rumus   yang   dibuat   oleh   Dale   dan   Chall.   Rumus   ini   mula­mula diperkenalkan pada tahun 1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus Dale­Chall pun menggunakan panjang kalimat dan ini pun cukup kompleks dan memakan banyak waktu.

 

Grafik   Fry   merupakan   hasil   upaya   untuk   menyederhanakan   dan mengefiesienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Kesukaran kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku katanya. Dijelaskan oleh Fry bahwa formula keterbacaan yang dikembangkannya itu (grafik fry) dan formula   spache   berkorelasi   0.90,   sedangkan   dengan   formula   Dale­Chall berkorelasi 0,94.

 

Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry

Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Edward Fry ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading”. Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968.

 

Formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor utama, yakni panjang­pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah   (banyak­sedikitnya)  suku  kata yang   membentuk   setiap  kata dalam wacana tersebut.

 

Di   bagian   atas   grafik   kita   dapati   deretan   angka­angka   seperti   berikut: 108,112, 116, 120, dan seterusnya. Angka­angka dimaksud menunjukkan data jumlah   suku   kata   perseratus   perkata,   yakni   jumlah   kata   dari   wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu   dari   2   faktor   utama   yang   menjadi   landasan   terbentuknya   formula keterbacaan   dimaksud.  Di   bagian   samping   kiri   grafik   kita   dapati   seeprti angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata­rata jumlah kalimat perseratus perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjang­pendek kalimat.

 

Angka­angka   yang   berderet   di  bagian  tengah  grafik   dan  berada   di   antara garis­garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga universitas.  

Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid, maksudnya jika hasil pengukuran  keterbacaan  wacana   jatuh   pada   wilayah   gelap  tersebut,  maka wacana  tersebut kurang  baik  karena tidak memiliki peringkat  baca  untuk peringkat manapun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana lain.

 

Prosedur Pengukuran Keterbacaan dengan Grafik Fry

1. Pilih penggalan   yang  representatif dari wacana  yang hendak  diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah perkataan. Yang dimaksudkan dengan kata adalah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya   berpembatas.  Dengan   demikian  Budi,  IKIP,  2000  masing­ masing dianggap kata. Yang dimaksudkan dengan representatif dalam pemilihan  wacana   ialah  pemilihan  wacana   sampel  yang  benar­benar mencerminkan   teks   bacaan.   Wacana   tabel   diselingi   dengan   gambar, kekosongan halaman, tabel, dan atau rumus­rumus yang mengandung banyak  angka­angka  dipandang tidak representataif untuk  dijadikan wacana sampel.

2. Hitung   jumlah   kalimat   dari   seratus   buah   perkataan   hingga persepuluhan   terdekat.   Maksudnya,   jika   kata   yang   ke­100   (wacana sampel) tidak jatuh diujung kalimat, perhitungan kalimat tidak selalu utuh, melainkan akan ada sisa. Sisanya itu tentu berupa sejumlah kata yang   merupakan   bagian   dari   deretan   kata­kata   yang   membentuk kalimat.   Karena   keharusan   pengambilan   sampel   wacana   berpatokan pada angka 100, maka sisa kata yang termsuk hitungan keseratus  itu diperhitungkan dalam bentuk desimal (persepuluhan). Misalnya, jika wacana sampel itu terdiri atas 13 kalimat, dan kalimat terakhir yaitu kalimat ke­13 terdiri dari 16 kata dan kata ke­100 jatuh pada kata ke­8,

kalimat itu dihitung sebagai 8/16 atau 0,5. Sehingga jumlah seluruh kalimat dari wacana sampel adalah 12 + 0,5 atau 12,5 kalimat.

3. Hitung   jumlah   sukukata   dari   wacana   sampel   hingga   kata   ke­100. Misalnya, sampel wacana hingga kata keseratus terdiri atas 228 suku kata. 4. Untuk wacana bahasa Indonesia, Penggunaan Grafik Fry masih harus ditambah satu langkah, yakni mengalikan hasil peghitungan suku kata dengan angka 0,6 (Harjasujana, 1996/1997:123). Karena itu, angka 228 x 0,6 = 136,8 dibulatkan menjadi 137 suku kata.

5. Plotkan   angka­angka   itu   ke   dalam   Grafik   Fry.   Kolom   tegak   lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata.

6. Tingkat   keterbacaan   ini   bersfat   perkiraan.   Penyimpangan   mungkin terjadi,  baik   ke  atas  maupun  ke  bawah.  Oleh  karena  itu,  peringkat keterbacaan wacana hendaknya ditambah satu tingkat dan dikurangi satu   tingkat.   Sebagai   contoh,   jika   titik   pertemuan   dari   persilangan baris vertikal untuk data suku kata dan baris horizontal untuk data jumlah kalimat jatuh di wilayah 6, maka peringkat keterbacaan wacana yang diukur tersebut harus diperkirakan denga   tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat 5 yakni (6 ­ 1), 6, dan 7 (6 + 1).

Untuk   mengukur   tingkat   keeterbacaan   sebuah   buku   yang   biasanya   relatif banyak jumlah halamannya, pengukuran keterbacaan hendaknya sekurang­ kurangnya   dilakukan   tiga   kali   percobaan   dengan   pemilihan   sampel   yang berbeda­beda, misalnya wacana bagian awal, tengah, dan akhir buku.

Dalam   mengukur   tingkat  keterbacaan  sebuah  buku,  selanjutnya  hitunglah hasil rta­ratanya. Data hasil rata­rta inilah yang kemudian akan dijadikan

dasar   untuk   menentukan   tingkat   kertebacaan   wacana   buku   tersebut (Harjasujana,  1996/1997:121).

 

Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor

 

Grafik   Raygor   diperkenalkan   oleh   Alton   Raygon.   Formula   ini   tampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa­bahasa yang menggunakan huruf latin.  

Grafik Raygor seperti tampak terbalik jika dibandingkan dengan grafik Fry. Garis­garis penyekat peringkat kelas dalam grafik Raygor tampak memancar menghadap   ke   atas.   Posisi   yang   demikian   itu   sesuai   dengan   penempatan urutan data jumlah kalimat yang berlawanan pula sisi tempat jumlah suku

kata   digunakan   untuk   menunjukkan   kata­kata   panjang   yang   dinyatakan “jumlah kata sulit”, yakni kata yang dibentuk oleh enam buah huruf atau lebih.   Petunjuk Penggunaan Grafik Raygor   Langkah­langkah yang harus ditempuh meliputi: 1.  Menghitung 100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaan itu sebagai sample. 2.   Menghitung jumlah kalimat sample pada persepuluh terdekat. 3.   Menghitung jumlah kata­kata sulit, yakni kata­kata yang dibentuk oleh 6 huruf atau lebih. 4.   Hasil yang diperoleh dari langkah 2 dan 3 itu dapat diplotkan ke dalam grafik Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya.   Kelebihan dari penggunaan grafik Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu, pengukuran keterbacaan wacana dengan grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat   daripada   melakukan   pengukuran   keterbacaan   dengan   menggunakan grafik Fry.

 PERATURAN

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2008

Dalam dokumen bahan ajar telaah buku teks (Halaman 43-50)

Dokumen terkait