dipakai ialah formula keterbacaan dari spache formula tersebut dibuat pada tahun 1953. Dua faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula tersebut ialah panjang ratarata kalimat dan persentase katakata sulit. Melalui berbagai pengkajian, formulaformula itu telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaannya untuk memperkirakan tingkat keterbacaan wacana. Akan tetapi, formula spache itu kompleks dan penggunaannya memakai banyak waktu.
Rumusrumus yang sering digunakan di kelaskelas empat sampai kelas enam adalah rumus yang dibuat oleh Dale dan Chall. Rumus ini mulamula diperkenalkan pada tahun 1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus DaleChall pun menggunakan panjang kalimat dan ini pun cukup kompleks dan memakan banyak waktu.
Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan mengefiesienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Kesukaran kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku katanya. Dijelaskan oleh Fry bahwa formula keterbacaan yang dikembangkannya itu (grafik fry) dan formula spache berkorelasi 0.90, sedangkan dengan formula DaleChall berkorelasi 0,94.
Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry
Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Edward Fry ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading”. Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968.
Formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor utama, yakni panjangpendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyaksedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut.
Di bagian atas grafik kita dapati deretan angkaangka seperti berikut: 108,112, 116, 120, dan seterusnya. Angkaangka dimaksud menunjukkan data jumlah suku kata perseratus perkata, yakni jumlah kata dari wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu dari 2 faktor utama yang menjadi landasan terbentuknya formula keterbacaan dimaksud. Di bagian samping kiri grafik kita dapati seeprti angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data ratarata jumlah kalimat perseratus perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjangpendek kalimat.
Angkaangka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garisgaris penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid, maksudnya jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat manapun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana lain.
Prosedur Pengukuran Keterbacaan dengan Grafik Fry
1. Pilih penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah perkataan. Yang dimaksudkan dengan kata adalah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya berpembatas. Dengan demikian Budi, IKIP, 2000 masing masing dianggap kata. Yang dimaksudkan dengan representatif dalam pemilihan wacana ialah pemilihan wacana sampel yang benarbenar mencerminkan teks bacaan. Wacana tabel diselingi dengan gambar, kekosongan halaman, tabel, dan atau rumusrumus yang mengandung banyak angkaangka dipandang tidak representataif untuk dijadikan wacana sampel.
2. Hitung jumlah kalimat dari seratus buah perkataan hingga persepuluhan terdekat. Maksudnya, jika kata yang ke100 (wacana sampel) tidak jatuh diujung kalimat, perhitungan kalimat tidak selalu utuh, melainkan akan ada sisa. Sisanya itu tentu berupa sejumlah kata yang merupakan bagian dari deretan katakata yang membentuk kalimat. Karena keharusan pengambilan sampel wacana berpatokan pada angka 100, maka sisa kata yang termsuk hitungan keseratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal (persepuluhan). Misalnya, jika wacana sampel itu terdiri atas 13 kalimat, dan kalimat terakhir yaitu kalimat ke13 terdiri dari 16 kata dan kata ke100 jatuh pada kata ke8,
kalimat itu dihitung sebagai 8/16 atau 0,5. Sehingga jumlah seluruh kalimat dari wacana sampel adalah 12 + 0,5 atau 12,5 kalimat.
3. Hitung jumlah sukukata dari wacana sampel hingga kata ke100. Misalnya, sampel wacana hingga kata keseratus terdiri atas 228 suku kata. 4. Untuk wacana bahasa Indonesia, Penggunaan Grafik Fry masih harus ditambah satu langkah, yakni mengalikan hasil peghitungan suku kata dengan angka 0,6 (Harjasujana, 1996/1997:123). Karena itu, angka 228 x 0,6 = 136,8 dibulatkan menjadi 137 suku kata.
5. Plotkan angkaangka itu ke dalam Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata.
6. Tingkat keterbacaan ini bersfat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana hendaknya ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari persilangan baris vertikal untuk data suku kata dan baris horizontal untuk data jumlah kalimat jatuh di wilayah 6, maka peringkat keterbacaan wacana yang diukur tersebut harus diperkirakan denga tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat 5 yakni (6 1), 6, dan 7 (6 + 1).
Untuk mengukur tingkat keeterbacaan sebuah buku yang biasanya relatif banyak jumlah halamannya, pengukuran keterbacaan hendaknya sekurang kurangnya dilakukan tiga kali percobaan dengan pemilihan sampel yang berbedabeda, misalnya wacana bagian awal, tengah, dan akhir buku.
Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, selanjutnya hitunglah hasil rtaratanya. Data hasil ratarta inilah yang kemudian akan dijadikan
dasar untuk menentukan tingkat kertebacaan wacana buku tersebut (Harjasujana, 1996/1997:121).
Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor
Grafik Raygor diperkenalkan oleh Alton Raygon. Formula ini tampaknya mendekati kecocokan untuk bahasabahasa yang menggunakan huruf latin.
Grafik Raygor seperti tampak terbalik jika dibandingkan dengan grafik Fry. Garisgaris penyekat peringkat kelas dalam grafik Raygor tampak memancar menghadap ke atas. Posisi yang demikian itu sesuai dengan penempatan urutan data jumlah kalimat yang berlawanan pula sisi tempat jumlah suku
kata digunakan untuk menunjukkan katakata panjang yang dinyatakan “jumlah kata sulit”, yakni kata yang dibentuk oleh enam buah huruf atau lebih. Petunjuk Penggunaan Grafik Raygor Langkahlangkah yang harus ditempuh meliputi: 1. Menghitung 100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaan itu sebagai sample. 2. Menghitung jumlah kalimat sample pada persepuluh terdekat. 3. Menghitung jumlah katakata sulit, yakni katakata yang dibentuk oleh 6 huruf atau lebih. 4. Hasil yang diperoleh dari langkah 2 dan 3 itu dapat diplotkan ke dalam grafik Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya. Kelebihan dari penggunaan grafik Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu, pengukuran keterbacaan wacana dengan grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada melakukan pengukuran keterbacaan dengan menggunakan grafik Fry.
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2008