• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Ilustrasi Verbal dalam Ilmu-ilmu

Dalam dokumen Filsafat Dan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. (Halaman 164-169)

Kembali lagi kita membicarakan tentang apa yang dicari dalam bidang ilmu alam. Kini ilmu-ilmu alam pun mulai mengimaginasikan dan melukiskan kembali berbagai gejala alam dengan cara verbal non-numerik dan tidak lagi dengan angka- angka. Jeans, misalnya, seorang pakar astronomi, seperti diutarakan Stephen Toulmin dalam bukunya, melukiskan bahwa

universe yang takberbatas itu ibarat “bidang tiga dimensional dari

suatu balon empat dimensional” (“... three-dimensional surface of a

6

four-dimensional balloon”).

6

Timbul pertanyaan, bagaimana wujud dari suatu permukaan atau bidang yang tiga dimensi itu? Demikian pula balon semacam apa yang berdimensi empat itu? Seperti diketahui dimensi yang kita kenal dewasa ini adalah hanya tiga; yakni panjang (length), lebar (breadth), dan tinggi (height).

Benda (matter) yang memenuhi tiga dimensi menduduki suatu tempat tertentu karena mempunyai isi (volume)', sehingga mengambil ruang (space) di alam semesta ini. Dimensi keempat boleh jadi adalah berupa waktu (time) atau mungkin juga kecepatan (speed; velocity), dan gerakan (motion), dll. Oleh karena itu, ilmuwan fisika mulai mengadakan kegiatan berfilsafat lagi yang bersifat “verbal”.

Hal tentang bentuk jagad raya yang dilukiskan Jeans ini mengingatkan kita pada apa yang dikenal dalam psikologi sebagai

7

impossible figure” , sebagai terlihat dalam gambar “garpu tala”

sebagai berikut ini:

Gambar 7.1. G

8

atau juga seperti apa yang dikenal dengan “Schroeder staircase” ,

seperti tergambar di bawah ini:

arpu Tala (Impossible Figure)

7

Diambil dari David Statt, op. cit., p. 65: impossible figure A drawing of a figure which can only be perceived as contradictory.

8

Gambar 7.2.

Kedua gambar di atas adalah dua dimensi yang mau menggugah persepsi si pemandang ke arah tiga dimensi. Namun penggambaran itu gagal karena benda tersebut tidak akan pernah ada dalam kenyataan (realitas) atau setidak-tidaknya gambar termaksud akan melahirkan kesan yang ambigu.

Dari rumusan Jeans tersebut nyatalah bahwa kerumitan formula matematis tentang wujud jagad raya itu belum memuaskannya. Salah satu jalan keluar alternatif yang dipilih adalah dengan melukiskannya secara verbal.

Uraian secara verbal ini pun nampak sepintas tidak logis, seperti halnya “gambar garpu-tala yang takmungkin ada dalam realitas” (impossible figure of a tuning fork) atau “anak-tangga yang melahirkan ambiguitas” tersebut di atas. Hal ini berarti bahwa gambarnya sendiri ada, namun tidak akan pernah terwujud sebagai suatu realita atau tidak akan pernah menjadi kenyataan, walau pun dibangun oleh para insinyur sekali pun.

Demikian pula kebalikannya, yaitu bahwa ternyata dalam realitanya ada, namun tidak dapat digambarkan, seperti halnya ruang angkasa yang takbertepi itu.

Demikian juga penggambaran inti atom dengan segenap elektron dan meson yang mengitarinya, sebelum ditemukan mikroskop-elektron, tentunya bermula berasal dari imaginasi falsafati. Lebih lanjut pula “teori kabut” dalam pembentukan

galaksi adalah teori deduktif, bukan teori induktif. Artinya hal tersebut baru “dugaan” manusia dan belum tentu sama dengan kenyataan pada saat pembentukannya oleh Maha Pencipta.

Lalu lebih lanjut lagi, kita dapat mempersoalkan dari segi filsafat, apa itu kecepatan cahaya? Siapa yang secara empiris bisa mengukur kecepatannya itu? Takseorang pun pernah berjalan atau terbang secepat itu. Dari mana timbul “knowing” tentang kecepatan yang luar biasa itu? Tentunya ini bermula dari asumsi, bahwa benda yang dianggap tercepat di jagad raya ini adalah cahaya.

Empiri yang bertautan dengan hal di atas adalah a.l. dari kilatan cahaya sambaran geledek yang lebih dahulu dialami manusia, dan setelah beberapa detik berlalu gelegarnya baru terdengar. Dengan demikian manusia dari pengalamannya dapat menyimpulkan bahwa kecepatan cahaya itu jauh lebih cepat dari kecepatan merambatnya suara. Tentang kecepatan cahaya ini pun boleh jadi terinspirasi oleh agama yang menyatakan bahwa “malaikat itu adalah makhluk cahaya”.

Dari awal diutarakan bahwa kegiatan berfilsafat dimulai dengan ketidaktahuan manusia. Kemudian ketidaktahuannya itu dituangkannya dalam wujud pertanyaan dan kemudian diakhiri dengan pertanyaan yang mungkin lebih mendasar dan lebih besar. Filsafat dan kegiatan ilmiah selalu dimulai dengan keragu-raguan dan kemudian diakhiri pula dengan keragu-raguan (Bld.: twijfel).

Sebagai misal adalah biologi didefinisikan sebagai ilmu tentang mahluk hidup. Lalu apa yang dimaksud dengan kehidupan itu? Kehidupan jasmaniah itu ada; karena adanya jiwa, nyawa atau ruh. Lalu apakah ruh itu, bagaimana wujudnya, bagaimana dimensinya, bagaimana bentuknya? Sampai dewasa ini belum ada satu pun ilmu manusia yang dapat menjawab soal ruh ini dengan baik dan sempurna. Lantas jawabannya sampai pada dogma agama yang menyebutkan bahwa “sedikit sekali manusia mengetahui soal ruh”, “masalah ruh adalah rahasia Allah” dan

“mereka akan menanyaimu tentang ruh, maka katakanlah (hai Muhammad) bahwa ruh itu urusan Tuhanmu”.

Dalam studi antropologi dan psikologi masalah ruh itu juga dibicarakan. Sedemikian ingin tahunya manusia akan ruh tersebut, maka diceritakan ada dua sahabat yang berjanji untuk saling memberitahukan saat kematiannya tiba kepada sahabat yang bersangkutan dengan tanda akan berhentinya jam.

Pada suatu saat, jam di tempatnya itu mati. Hal itu sama sekali tidak menarik perhatiannya, karena seringkali jam tersebut mati, apabila dia terlambat memutar atau mengerek rantainya. Tetapi kematian jam ini baru menghenyakkan dan menyadarkan dirinya pada saat datang berita bahwa kawannya itu telah meninggal. Adapun jam kematiannya itu adalah persis sama dengan waktu di mana jam tersebut itu mati. Bagaimana hal itu bisa dipecahkan secara ilmiah? Dengan demikian, memang benarlah bahwa pengetahuan manusia tentang ruh hanyalah sedikit saja.

Takwil atau tabir mimpi sebagai aktivitas kejiwaan pada saat tidur juga merupakan kajian dari psikolog, namun hanya mimpi tertentu yang bisa secara hipotetis dihubungkan dengan kondisi kejiwaan seseorang. Para psikolog berpendapat, bahwa kalau seseorang itu bermimpi “kembali ke tempat kediamannya di masa kecil”, hal itu mengandung makna bahwa yang bersangkutan sedang memerlukan rasa aman (sense of security).

Kendati demikian, sekian banyak mimpi tetap takterpecah- kan rahasianya walau ada sejumlah buku psikologi-mimpi (the

interpretation of dreams). Di dalam kitab suci (a.l. dalam Al Quran),

Nabi Yusuf yang berada dalam tahanan/penjara diberi kelebihan

(maunah) oleh Allah untuk dapat mengupas takwil dari mimpi

orang lain dan kemudian semuanya terbukti. Disinilah letak keter- batasan manusia dalam memecahkan berbagai rahasia kehidupan. Kajian suatu bidang ilmu makin lama makin bersifat renik dan detail inilah yang dikenal dengan bidang kekhususan atau

spesialisasi. Demikian pula suatu bidang ilmu makin mempunyai informasi yang makin detail dan mendalam. Penguasaan seseorang pada ilmu dan filsafat dapat diibaratkan pada jumlah perkalian antara keluasan dan kedalaman penguasaannya akan ilmu tertentu atau sejumlah ilmu seperti terurai sebelumnya. Rata- rata filsuf itu menguasai sejumlah ilmu, beberapa di antaranya cukup mendalam dan rinci dan sebagai realita, kebanyakan filsuf itu berlatar ilmu-ilmu alam dan eksakta.

Dalam dokumen Filsafat Dan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. (Halaman 164-169)