• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2.1.2 Penggunaan kitosan

Kitin dan kitosan telah digunakan secara luas. Abdou et al. (2007) menyatakan bahwa kitosan dapat dimanfaatkan pada berbagai bidang, diantaranya pada industri tekstil dan kertas, karena sifatnya yang biodegradable dan memiliki aktifitas antibakteri. Selain itu, kitosan dapat dimanfaatkan dalam bidang bioteknologi yaitu sebagai imobilisasi enzim, medium kultur tumbuhan, bidang obat-obatan dan kesehatan, bidang kecantikan serta bidang pangan. Beberapa turunan serta penggunaan kitosan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Penggunaan kitosan dan turunannya dalam industri

Aplikasi Contoh

Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, pengukur kontaminasi jamur pada komoditi pertanian

Industri edible film

Mengatur perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat antimikroba,

antioksidan, flavor, obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, pengatur suhu, menahan kegiatan browning

enzimatis pada buah.

Bahan aditif Mempertahankan flavor alami, bahan pengontrol tekstur, bahan pengemulsi, bahan pengental, stabilizer dan penstabil warna.

Sifat nutrisi Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan dan tambahan makanan pada ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan anti grasitis (radang lambung) dan sebagai bahan makanan bayi.

Pemurnian air Memisahkan ion-ion logam, pestisida dan penjernihan.

Sumber : Shahidi et al. diacu dalam Suptijah et al. (1992) 2.1.3 Karakteristik kitosan sebagai antimikroba

Kitosan dan turunannya telah dimanfaatkan untuk berbagai bidang misalnya pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian dan sebagainya. Kitosan memiliki keunggulan, yaitu memiliki struktur yang mirip dengan serat selulosa yang terdapat pada buah dan sayuran. Keunggulan lain yang sangat penting adalah kemampuannya sebagai bahan pengawet yang dapat mengahambat berbagai pertumbuhan mikroba perusak makanan, kitosan juga dapat menghambat

pertumbuhan berbagai mikroba penyebab penyakit tifus yang resisten terhadap antibiotik yang ada (Yadaf dan Bhise 2004 diacu dalam Hardjito 2006).

Kitosan sebagai polimer film dari karbohidrat lainnya, memiliki sifat selektif permeable terhadap gas-gas CO2 dan O2, tetapi kurang mampu menghambat perpindahan air. Pelapis yang tersusun dari polisakarida dan turunannya hanya sedikit menahan penguapan air, tetapi efektif untuk mengontrol difusi dari berbagai gas (Nisperroscarriedo 1995 diacu dalam Herjanti 1997). Dalam bidang pangan, kitosan dimanfaatkan sebagai edible coating (pelapis) pada makanan dan buah segar sehingga proses pembusukan dapat dikurangi (Nadarajah 2005). Penelitian Simpson (1997) juga menunjukkan bahwa udang segar mentah yang dicelupkan ke dalam larutan kitosan 1% dan 2% bertahan 4 hari lebih lama dibandingkan udang tanpa kitosan.

Kitosan memiliki sifat biodegradable dan biokompatibel, tidak mengandung racun dan banyak digunakan dalam industri. Kitosan dan turunannya merupakan antimikroba alami dan beberapa studi telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba. Secara umum mekanisme penghambatan senyawa antimikroba diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: (1) interaksi dengan merusak membran sel, (2) inaktifasi enzim-enzim dan (3) perusakan bahan-bahan genetik mikroba (Coma et al. 2002). Menurut Thatte (2004) sifat kitosan sebagai antimikroba dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya sumber kitosan, derajat deasetilasi (DD) kitosan, unit monomer kitosan, mikroba uji, pH media tumbuh mikroba dan kondisi lingkungan (kadar air, nutrisi yang dibutuhkan mikroba). Sifat antibakteri kitosan dengan berat molekul 479 kDa efektif untuk bakteri gram positif kecuali pada Lactobacillus sp, sedangkan kitosan dengan berat molekul 1106 kDa lebih efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Kitosan dengan berat molekul yang lebih besar dari 500 kDa memiliki aktivitas antibakteri yang kurang efektif dibandingkan dengan kitosan yang memiliki berat molekul yang rendah, karena kitosan dengan berat molekul tinggi memiliki viskositas yang lebih besar menyebabkan kitosan sulit untuk berdifusi dalam bahan. Umumnya kitosan memiliki efek bakterisidal lebih kuat untuk bakteri gram positif misalnya Listeria monocytogenes, Bacillus megaterium, Bacillus aureus, Staphylococcus aureus, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus

brevis, and Lactobacillus bulgaris dibandingkan bakteri gram negatif, misalnya

Escherichia coli, Pseudomonas fluorescens, Salmonella typhymurium dan Vibrio parahaemolyticus dengan konsentrasi larutan kitosan yang dibutuhkan sebesar 0,1% (No et al. 2002).

Kitosan digunakan sebagai antibakteri mengingat beberapa sifat yang dimiliki yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan kemampuannya dalam memberikan pelapisan terhadap produk atau bahan pangan sehingga akan meminimalkan interaksi antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah sifat afinitas yang dimiliki oleh kitosan yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein (Hadwiger dan Loschke 1978 diacu dalam Hardjito 2006).

Sifat afinitas antimikroba dari kitosan dalam melawan bakteri atau mikroorganisme tergantung dari berat molekul dan derajat deasetilasi. Berat molekul dan derajat deasetilasi yang lebih besar menunjukkan aktifitas antimikroba yang lebih besar (No et al. 2002). Kitosan sebagai polikationik amin akan berinteraksi dengan kutub negatif dari lapisan sel bakteri (Young dan Kauss 1983 diacu dalam Chaiyakosha et al. 2007). Helander et al. (2001) menyatakan bahwa reduksi sejumlah sel bakteri disebabkan oleh perubahan permukaan sel dan kehilangan fungsi pelindung dalam sel bakteri tersebut. Bakteri gram negatif dengan lipopolisakarida dalam lapisan luarnya memiliki kutub negatif yang sangat sensitif terhadap kitosan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tsai et al. (2002), menemukan bahwa kitosan dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli. Adanya penghambatan ini disebabkan oleh adanya sifat keelektronegatifan dari permukaan sel E. coli. Perubahan dalam potensial permukaan E. coli selama pertumbuhan, yaitu terjadinya peningkatan keelektronegatifan seiring dengan peningkatan umur sel, yaitu sampai pertumbuhan lambat, namun sifat keelektronegatifan akan menurun setelah bakteri mencapai fase stasioner.

2.2 Daging

Daging didefinisikan sebagai bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku (BSN 2008). Daging segar (pre-rigor) yaitu daging yang diperoleh segera setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses penyimpanan (Sunarlim 1992). Fase pre-rigor pada suhu ruang berlangsung 5 sampai 8 jam setelah pemotongan hewan (post mortem), tergantung dari besar kecilnya hewan yang dipotong. Pada mamalia besar misalnya sapi fase pre-rigor

berlangsung kurang lebih 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al. 1975). Menurut Forrest et al. (1975), pada fase pre-rigor jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging dengan adanya perlakuan fisik dan kimia lebih besar dibandingkan fase rigor mortis. Wilson et al. (1981) menyatakan bahwa daging

pre-rigor memiliki daya ikat air yang lebih tinggi, sehingga permukaan produk yang dihasilkan tidak basah dan pada kondisi ini pH daging relatif tinggi yaitu 6,5–6,8 menyebabkan protein sarkoplasma tidak mudah rusak dan tidak mudah kehilangan daya ikat air. Protein sarkoplasma mulai mengalami kerusakan pada pH kurang dari 6,2. Daging sapi memiliki daya ikat air atauWHC minimum pada pH 5,4 –5,5 dimana pH tersebut merupakan titik isoelektrik protein sarkoplasma.

Mutu mikrobiologis dari suatu produk makanan salah satunya ditentukan oleh jumlah dan jenis mikrobiologi yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Mutu mikrobiologis ini akan menentukan ketahanan simpan dari suatu produk dan cara pengolahannya. Populasi mikrobiorganisme yang terdapat pada suatu bahan pangan umumnya bersifat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi tertentu dari penyimpanannya (Buckle et al. 1985). Daging konsumsi tidak sepenuhnya terbebas dari mikroorganisme. Dewan Standarisasi Nasional menentukan batasan maksimum cemaran mikroorganisme dalam daging untuk menjaga keamanan pangan. Batas maksimum cemaran mikroba pada daging disajikan pada Tabel 3 dan syarat mutu mikrobiologis daging sapi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3 Batas maksimum cemaran mikroba pada daging (cfu/g)

No Jenis cemaran mikroba Daging segar/beku Daging tanpa tulang Batas maksimum cemaran mikroba 1. Angka lempeng total bakteri

(ALTB)

1x104 1x104

2. Escherichia coli* 5x101 5x101 3. Staphylococcus aureus 1x101 1x101 4. Clostridium sp. 0 0 5. Salmonella sp.** negatif negatif 6. Coliform 1x102 1x102 7. Enterococci 1x102 1x102 8. Campylobacter sp. 0 0

9. Listeria sp. 0 0

Keterangan : (*) dalam satuan MPN/gram (**) dalam satuan kualitatif

Sumber: BSN (2000)

Tabel 4 Syarat mutu mikrobiologis daging sapi

No. Jenis uji Satuan Persyaratan

1. Total Plate Count (TPC) cfu/g 1x106 2. Coliform cfu/g 1x102 3. Staphylococcus aureus cfu/g 1x102 4. Salmonella sp. per 25 g negatif 5. Escherichia coli cfu/g 1x101

Sumber: BSN (2008) 2.3 Edible Coating

Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut), sebagai pembawa aditif, untuk meningkatkan penanganan suatu makanan dan merupakan

barrier terhadap uap air dan pertukaran gas O2 dan CO2 (Bourtoom 2008). Edible coating dapat melindungi produk segar dan dapat juga memberikan efek yang sama dengan modified atmosphere storage dengan menyesuaikan komposisi gas internal. Keberhasilan edible coating untuk buah tergantung pada pemilihan film

atau coating yang memberikan komposisi gas internal yang dikehendaki sesuai untuk produk tertentu (Park 2002). Komponen edible coating terdiri dari tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipid dan kombinasinya. Hidrokoloid terdiri atas protein, turunan selulosa, alginat, pektin, tepung (starch) dan polisakarida lainnya,

sedangkan lipid terdiri dari lilin (waxs), asilgliserol dan asam lemak (Krochta dan Mulder-Johnston 1997).

Edible coating biasanya langsung digunakan dan dibentuk diatas permukaan produk misalnya buah-buahan dan sayuran yang bertujuan untuk meningkatkan mutu produk. Hal yang sama juga dikemukakan oleh McHugh dan Senesi (2000), bahwa edible coating berfungsi sebagai penahan (barrier) dalam pemindahan panas, uap air, O2 dan CO2 atau dengan adanya penambahan bahan tambahan misalnya bahan pengawet dan zat antioksidan maka dapat dinyatakan bahwa kemasan tersebut memiliki kemampuan antimikroba dan antioksidan. Wong et al. (1994) menyatakan, bahwa secara teoritis bahan edible coating harus memiliki sifat antara lain, menahan kehilangan kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi, berfungsi sebagai pengawet dan mempertahankan warna sehingga menjaga mutu produk. Kemasan dengan sifat antimikroba diharapkan dapat mencegah kontaminasi patogen dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang terdapat dalam permukaan bahan pangan. Substansi antimikroba yang diformulasikan dalam bahan pangan atau pada permukaan bahan pangan tidak cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan mikroorganisme pembusuk dalam bahan pangan (Ouattara et al. 2000).

Kitosan merupakan salah satu jenis polisakarida turunan kitin mempunyai sifat dapat membentuk film yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit dirobek sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengemas (Butler et al. 1996). Jenis kemasan yang banyak dibuat dari kitosan adalah jenis edible film atau coating. Sifatnya yang edible (dapat dimakan) merupakan keunggulan kitosan sehingga dapat digolongkan ke dalam bahan kemasan yang ramah lingkungan. Sifat lain dari kitosan sebagai bahan edible coating adalah sebagai penahan (barrier) yang baik bagi gas dan uap air karena struktur matriksnya. Sifat barrier kitosan ini lebih baik dari pada polimer berbasis makhluk hidup (biobased polymer) lainnya. Kitosan juga mempunyai sifat antimikrobial dan biodegradable (Steinbüchel dan Rhee 2005 diacu dalamBourtoom 2008). Menurut Alamsyah (2006) diacu dalam

pengawet dan edible coating yang efektif untuk mencegah kerusakan kualitas dan memperpanjang umur simpan produk pangan sangatlah potensial. Menurut, Durango et al. (2006) menyebutkan penggunaan kitosan 1,5% dengan penambahan yam starch pada pembuatan edible coating untuk produk wortel yang diolah dengan proses minimal menjadi alternatif dalam menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat, total coliform, kamir dan kapang selama penyimpanan.

Beberapa teknik aplikasi edible coating menurut Krochta et al. (1994), yaitu :

1. Pencelupan (dipping)

Proses ini biasanya digunakan dalam produk yang memiliki permukaan kurang rata. Setelah pencelupan kelebihan bahan setelah coating biasanya dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga ediblecoating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak buah dan sayuran.

2. Penyemprotan (sprying)

Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan tipis dan biasa digunakan untuk produk yang mempunyai dua sisi, seperti pada produk pizza.

3. Pembungkusan

Teknik ini digunakan untuk pembentukan film yang berdiri sendiri atau terpisah dari produk. Teknik ini diadobsi dari teknik yang dikembangkan untuk yang bukan pelapisan

4. Pemolesan (brushing).

Teknik ini digunakan untuk memoleskan edible coating pada produk. Edible film atau coating telah diteliti kemampuannya dalam mengurangi kehilangan akan air, oksigen, aroma, dan bahan terlarut pada beberapa produk. Sehingga ini menjadi salah satu metode paling efektif untuk menjaga kualitas makanan. Kemampuan ini dapat ditingkatkan lagi dengan penambahan antioksidan, antimikroba, pewarna, flavor, fortified nutrient dan rempah.

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai Januari 2011, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Diversifikasi dan Formulasi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Laboratorium Pengolahan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan PUSLIT Biologi dan Zoologi LIPI Cibinong Bogor.

3.2Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi timbangan digital, kertas saring, plastik, pisau, talenan, baskom, kertas label, karet pengikat,

refrigerator. Alat-alat analisis yang meliputi pH-meter merk ORION 3 STAR, pipet, cawan petri, vortex, sudip, inkubator, tabung reaksi, erlenmeyer, alat homogenizer, gelas ukur, gelas piala, frezee drying, FTIR bruker dan Scanning Electron Microscopy 5310LV (JEOL).

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi bagian paha atas yang diperoleh dari pedagang di Pasar Anyar Bogor dan kitosan larut asam. Bahan yang digunakan untuk analisis yaitu K2SO4, HgO, H2SO4, aquades, NaOH 40%, H3BO3, alkohol, K2SO4, HgO,H2SO4, heksana, tablet kjeldahl, HCl dan media NA.

3.3Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian utama.

3.3.1 Tahap penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui mutu kitosan yang akan digunakan pada penelitian utama. Mutu kitosan yang diamati meliputi pengujian kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, kadar protein dan derajat deasetilasi.

3.3.2Tahap penelitian utama

Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh kitosan dengan konsentrasi yang berbeda-beda (0%/kontrol, 1%, 2% dan 3%) terhadap daging sapi selama penyimpanan suhu refrigerator 4-7 oC (selama 0, 2 dan 4 hari). Daging sapi dibersihkan terlebih dahulu sebelum dipreparasi. Kemudian daging sapi segar diiris dengan ketebalan ± 2 cm dengan bobot ± 30 gram mengikuti arah jaringan otot. Daging sapi direndam selama 3 menit dalam larutan kitosan. Waktu perendaman 3 menit merupakan waktu yang optimal untuk perendaman karena tidak merusak tekstur, bau dan penampakan (Kurnianingrum 2008). Setelah itu, daging sapi disimpan pada suhu 4-7 oC selama 4 hari dengan selang pengamatan setiap 48 jam. Selang waktu ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Komariah (2008). Daging sapi disimpan dalam kemasan yang tertutup dan disimpan pada suhu refrigerator (4-7 oC). Pengamatan kemunduran mutu daging sapi dilakukan dengan pengukuran nilai pH, kadar air, kadar protein dan perhitungan nilai total plate count (TPC). Percobaan ini dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Data hasil penelitian utama kemudian diuji secara statistik. Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir penelitian utama Daging sapi

Pengirisan daging dengan menggunakan pisau dengan ketebalan 2 cm dan bobot ± 30 gram

Perendaman daging dalam larutan kitosan dengan konsentrasi 0%, 1%, 2% dan 3%

Analisis total bakteri (TPC)

Penyimpanan pada suhu refrigerator (4-7 oC) selama 0, 2 dan 4 hari

Analisis pH daging, analisis kadar protein dan analisis kadar air

Analisis histologi (daging kontrol dan daging yang

3.4 Prosedur Analisis

Prosedur analisis meliputi analisis kadar abu, analisis kadar air, analisis kadar protein, analisis pH, analisis derajat deasetilasi (DD), uji mikrobiologi atau

total plate count dan pengamatan mikrostruktur Edible Coating dengan Scanning Electron Microscopy (SEM).

3.4.1 Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Sampel basah sebanyak 4 gram ditempatkan dalam wadah porselin kemudian dimasukkan dalam oven dengan suhu 60-105 oC selama 8 jam. Sampel yang sudah kering kemudian dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 oC selama 3 jam lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus berikut:

3.4.2 Analisis kadar air (AOAC 1995)

Contoh (kitosan) ditimbang sebanyak 5 g dan ditempatkan dalam cawan yang sebelumnya telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 6 jam, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Untuk menghitung kadar air digunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

B = Berat sampel (g)

B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan

3.4.3 Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Sampel sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K2SO4 (1,9 gram), HgO (40 mg), H2SO4 (2,5 ml) serta beberapa

% Kadar air = � %

Kadar abu = ( )

tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih (sekitar 1-1,5 jam); didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak 5-6 kali dengan akuades (20 ml) dan air bilasan tersebut juga dimasukkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam di dalamnya. Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0,2% dalam alkohol dan metilen blue 0,2% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Faktor konversi = 6,25

3.4.4 Analisis pH (Apriyantono et al. 2002)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Daging sapi ditimbang sebanyak 5 gram kemudian dihomogenasi dengan 90 ml air destilat. Kemudian pH homogenasi diukur dengan menggunakan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7.

3.4.5 Analisis derajat deasetilasi (Khan et al. 2002)

Penentuan derajat deasetilasi kitosan dianalisis dengan menggunakan Spektrofotometer Infra Red (FTIR). FTIR ini menggunakan panjang gelombang berkisar antara 4000 cm-1 sampai dengan 400 cm-1. Penentuan derajat deasetilasi (DD) kitosan diukur dengan menggunakan FTIR. Puncak tertinggi dicatat dan diukur dari garis dasar yang dipilih. Nilai absorbans dapat diukur dengan menggunakan rumus :

% Protein = % N x Faktor konversi

dengan

P0 =jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi dengan panjang gelombang 1655 cm-1 atau 3450 cm-1

P =jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang 1655 cm-1 atau 3450 cm-1

A =absorbans panjang gelombang 1655 cm-1 atau 3450 cm-1

Derajat deasetilasi (DD) dapat dihitung dengan membandingkan nilai absorbans pada bilangan gelombang 1655 cm-1 (serapan pita amida) dengan bilangan gelombang 3450 cm-1 (serapan pita hidroksi), kitin yang tidak terdeasetilasi menghasilkan nilai perbandingan A1655/A3450 = 1,33. DD dihitung dengan persamaan :

Keterangan : A1655 : nilai absorbansi pada 1655 cm-1 A3450 : nilai absorbansi pada 3450 cm-1

3.4.6 Uji mikrobiologi atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1992)

Prinsip kerja dari analisis TPC adalah perhitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.

Sebanyak 10 gram sampel yang dihaluskan terlebih dahulu, dilarutkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 90 ml larutan NaCl 0,85% (larutan garam fisiologis/garfis) sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml dari larutan tersebut dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan garam fisiologis untuk memperoleh pengenceran 10-2.

�� � � ��� � �� % = −

, � %

A

=

���

0

Pengenceran dilakukan sampai didapat pengenceran 10-5 dan disesuaikan dengan pendugaan tingkat kebusukan daging sapi pada saat pengamatan. Dari setiap tabung reaksi pengenceran tersebut diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar di atas meja supaya media NA merata. Setelah NA membeku, cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 30 oC, cawan petri tersebut diletakkan secara terbalik.

Setelah masa inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni percawan. Nilai TPC dapat dihitung dengan memakai rumus berikut:

Data yang dilaporkan sebagai Standard Plate Count (SPC) harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut:

1) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.

2) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.

3) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengencer.

4) Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30-300, dimana perbandingan antara jumlah koloni tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih dari satu atau sama dengan dua, maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi Unit per ml atau per gr = Jumlah koloni per cawan x

dan nilai terendah lebih besar dari dua, maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil.

5) Jika digunakan dua cawan petri (duplo) pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut.

3.4.7 Pengamatan mikrostruktur Edible Coating dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) (Lin et al.2002)

Pengamatan terhadap mikrostruktur edible coating yang terbentuk pada daging sapi diamati dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Prinsip alat ini yaitu pancaran elektron yang diradiasi terhadap specimen akan menyebabkan adanya elektron yang meloncat dan sebagian yang lain diserap. Jika sampel tidak memiliki konduktivitas elektrik, elektron yang diserap akan memberikan arus

Dokumen terkait