• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

C. Penggunaan, Pelaksanaan dan Kekuatan Bukt

Perkara Perdata

Alat bukti elektronik saat ini bukanlah menjadi masalah lagi dalam konteks pembuktian di Pengadilan, baik secara pidana maupun perdata, sejak diberlakukannya UU ITE. Hal tersebut juga sekaligus memberi kepastian hukum bagi para pihak untuk melakukan berbagai hal di dunia elektronik, termasuk transaksi elektronik. Hanya saja aspek kerahasiaan harus terus dilakukan dengan berbagai cara. Terlebih di dunia maya misalnya, dimana kadang tidak dapat terdeteksi adanya mata-mata melalui spyware terhadap data komputer yang

dimiliki. Dan para hakim juga dituntut untuk dapat mengaplikasikan penggunaan bukti elektronik ini dalam penanganan berbagai perkara.

Materi penting dalam UU ITE adalah pengakuan terhadap perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah pengakuan terhadap informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti. Artinya, kini telah bertambah satu lagi alat bukti yang dapat digunakan di pengadilan. Informasi maupun dokumen elektronik serta tanda tangan elektronik yang merupakan bagian di dalamnya dapat menjadi alat bukti yang sah sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) UU ITE. Adapun kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber ( cyber space ), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja karena jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya juga harus dikualifikasikan sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dengan diberlakukannya UU ITE, maka secara yuridis terciptalah suatu dasar hukum bagi transaksi- transaksi elektronik dan informasi yang terjadi di wilayah hukum Indonesia. Setiap kegiatan yang berurusan dengan sistem elektronik harus mendasarkan hubungan tersebut pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang- undang ini. Oleh karena itu UU ITE ini mengatur suatu dimensi baru yang belum

pernah diatur sebelumnya maka muncullah beberapa istilah maupun karakteristik baru yang bersesuaian dengan kegiatan di dunia siber. Salah satu hal yang baru adalah adanya bentuk alat bukti elektronik yang sah secara hukum, yaitu informasi dan dokumen elektronik, ataupun hasil cetak dari informasi dan dokumen elektronik, dan juga tanda tangan elektronik yang merupakan alat yang digunakan untuk menentukan keabsahan dari suatu informasi atau dokumen elektronik. Alat bukti elektronik ini benar-benar merupakan hal yang baru dalam dunia hukum mengingat belum adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan dan mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. Pengakuan secara yuridis melalui Pasal 5 ayat ( 1 ) UU ITE terhadap alat bukti elektronik ini membawa akibat yuridis diakuinya alat bukti elektronik tersebut sebagai bagian dalam alat bukti yang selama ini berlaku. Pengakuan alat bukti elektronik ini merupakan suatu langkah maju dalam hukum pembuktian. Apabila terjadi suatu perkara perdata yang mempersengketakan suatu dokumen elektronik dalam bentuk kontrak elektronik, maka dokumen tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi para pihak untuk menyelesaikan perkara atau hakim yang nantinya memutus perkara. Melihat hal ini, maka timbul suatu pertanyaan, termasuk dalam kelompok alat bukti manakah alat bukti elektronik dalam hukum acara perdata? Pemahaman kedudukan alat bukti elektronik ini sangat penting mengingat dalam memeriksa perkara perdata, hakim memberikan putusannya dengan mempertimbangkan alat bukti yang sah dan diakui dalam hukum perdata. Menjawab pertanyaan ini, berdasarkan pada penjelasan sebelumnya mengenai kedudukan dan kekuatan hukum informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik sebagai alat bukti telah

diuraikan bahwa bukti elektronik dalam suatu perkara perdata diakui dan diterima sebagai alat bukti tulisan di persidangan. Oleh karena itu, hakim dalam memeriksa suatu perkara perdata yang menggunakan bukti elektronik haruslah memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai alat bukti tulisan, baik itu berupa tulisan bukan akta maupun akta, terhadap alat bukti elektronik.

Tidak sembarang informasi atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi atau dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut :

1. dapat menampilkan kembali informasi atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan,

2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut,

3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut, 4. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,

kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Dan seperti telah disinggung dalam bab pendahuluan bahwa ada beberapa jenis dokumen yang tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila dibuat

dalam bentuk informasi ataupun dokumen elektronik. Dokumen-dokumen tersebut adalah surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Transaksi elektronik adalah segala data, catatan, informasi ataupun dokumen elektronik yang berkenaan dengan dua orang atau lebih yang memiliki implikasi hukum. Kegiatan tersebut akan membutuhan kerahasiaan dan pembuktian dari pihak-pihak yang terkait dalam melakukan transaksi tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode elektronik yang dikenal dengan tanda tangan elektronik, tanda tangan yang dimaksud merupakan teknik penandatanganan secara elektronik yang tidak dapat ditiru.

Kebutuhan-kebutuhan formal dari suatu transaksi legal, termasuk kebutuhan akan tanda tangan , berbeda-beda dalam setiap sistem hukum legal. Meskipun hal-hal mendasar mengenai suatu transaksi tidak berubah, hukum hanya memulai untuk mengadaptasi terhadap perkembangan teknologi. Hal ini dapat dilihat dengan diterimanya tanda tangan elektronik sebagai alat bukti terhadap keabsahan suatu dokumen seperti halnya tanda tangan biasa. Umumnya, sebuah tanda tangan elektronik disertakan pada dokumennya dan juga disimpan dengan dokumen tersebut. Tanda tangan elektronik dapat juga dikirim maupun disimpan sebagai dokumen terpisah, sepanjang masih dapat diasosiasikan dengan dokumennya. Namun karena tanda tangan elektronik bersifat unik pada dokumennya, maka pemisahan tanda tangan elektronik dengan dokumennya tidak perlu dilakukan. Proses pembentukan dan verifikasi tanda tangan elektronik

memenuhi unsur-unsur penting yang diharapkan dalam suatu tujuan legal yaitu:108 1. Otentifikasi penanda tangan : jika pasangan kunci publik dan kunci privat berasosiasi dengan pemilik sah yang telah didefinisikan, maka tanda tangan elektronik akan dapat menghubungkan/mengasosiasikan dokumen dengan penanda tangan. Tanda tangan elektronik tidak dapat dipalsukan, kecuali penanda tangan kehilangan kontrol dari kunci privat miliknya. 2. Otentikasi dokumen : tanda tangan elektronik juga mengidentikkan

dokumen yang ditandatangani dengan tingkat kepastian dan ketepatan yang jauh lebih tinggi daripada tanda tangan di atas kertas.

3. Penegasan : membuat tanda tangan elektronik memerlukan penggunaan kunci privat dari penanda tangan. Tindakan ini dapat menegaskan bahwa penanda tangan setuju dan bertanggung jawab terhadap isi dokumen. 4. Efisiensi : Proses pembentukan dan verifikasi tanda tangan elektronik

menyediakan tingkat kepastian yang tinggi bahwa tanda tangan yang ada merupakan tanda tangan yang asli dari pemilik kunci privat. Dengan tanda tangan elektronik, tidak perlu ada verifikasi dengan membandingkan antara tanda tangan yang terdapat di dokumen dengan contoh tanda tangan aslinya seperti yang biasanya dilakukan dalam pengecekan tanda tangan secara manual.

Tanda tangan elektronik merupakan teknik yang sangat tepat digunakan untuk menjamin keaslian suatu dokumen elektronik serta menghindari adanya penyangkalan bahwa seseorang telah menandatangani suatu dokumen. Teknik ini

108 Ronald Makaleo Tandiabang, Tomy Handaka Patria, Anang Barnea, op cit, 8 April 2009.

jauh lebih canggih dan lebih efisien daripada tanda tangan yang dilakukan secara manual. Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa tanda tangan elektronik harus diterima keabsahannya sebagai tanda tangan sebagaimana halnya tanda tangan biasa dengan alasan sebagai berikut :109

1. tanda tangan elektronik merupakan tanda-tanda yang dapat dibubuhkan oleh seseorang atau beberapa orang yang diberikan kuasa oleh orang lain yang berkehendak untuk diikat secara hukum,

2. tanda tangan elektronik dapat dibuat atau dibubuhkan dengan menggunakan peralatan mekanik seperti halnya tanda tangan biasa,

3. sebuah tanda tangan elektronik sangat mungkin bersifat lebih aman atau lebih tidak aman sebagaimana kemungkinan tersebut terjadi pada tanda tangan biasa,

4. pada saat membubuhkan tanda tangan elektronik, niat si penanda tangan yang menjadi keharusan juga dapat dipenuhi sebagaimana pada tanda tangan biasa,

5. sebagaimana tanda tangan biasa, tanda tangan elektronik dapat diletakkan di bagian mana saja dari suatu dokumen dan tidak harus berada di bagian bawah dokumen, kecuali hal tersebut disyaratkan oleh mekanisme legalisasi.

Orang yang menggunakan tanda tangan elektronik atau terlibat di dalamnya mempunyai kewajiban untuk mengamankan tanda tangan agar tanda tangan tersebut tidak dapat disalahgunakan oleh orang yang tidak berhak. Adapun

109 Marianne Magda Ketaren, Keabsahan Tanda Tangan Secara Elektronik dalam Proses

pengamanan tanda tangan elektronik tersebut diantaranya meliputi syarat sebagai berikut :110

1. sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak,

2. penanda tangan harus waspada terhadap penggunaan yang tidak sah dari data pembuatan tanda tangan oleh orang lain,

3. penanda tangan harus menggunakan cara atau intruksi yang dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik. Penanda tangan harus memberitahukan kepada orang yang mempercayai tanda tangan tersebut atau kepada pihak pendukung layanan tanda tangan elektronik apabila ia percaya bahwa :

a) data pembuatan tanda tangan telah dibobol, atau

b) tanda tangan dapat menimbulkan resiko, sehingga ada kemungkinan bobolnya data pembuatan tanda tangan.

4. jika sertifikat digunakan sebagai pendukung tanda tangan elektronik, maka semua informasi yang disediakan haruslah benar dan utuh.

Tanda tangan elektronik secara tidak langsung mempunyai fungsi yang sama dengan tanda tangan biasa, maka hakim dapat menggunakan tanda tangan elektronik sebagai alat bukti dalam memutus suatu perkara perdata dengan bantuan seorang ahli dalam bidang teknologi, karena suatu tanda tangan elektronik dapat memberikan jaminan yang lebih terhadap keamanan suatu dokumen atau data elektronik, dibandingkan dengan tanda tangan biasa, dikarenakan penerima dapat memeriksa kembali apakah pesan yang datang dari

pengirim adalah benar-benar berasal dari pengirim.

Untuk pengakuan bukti elektronik di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang baru. Meskipun masih sedikit kasus yang menggunakan bukti elektronik dalam bentuk informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti di pengadilan, hal tersebut dikarenakan rentannya kemauan hakim untuk mempelajari hal-hal baru. Khususnya, berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Secara teknis, bila terdapat satu standar keamanan untuk memberikan jaminan keotentikan suatu informasi maupun dokumen elektronik, selayaknya transaksi yang dilakukan oleh para pihak haruslah dinyatakan valid dan memiliki nilai pembuktian di pengadilan. Hal ini sangat penting, karena menyangkut persoalan siapa yang mengirimkan informasi atau dokumen elektronik tersebut. Dengan mengetahui siapa yang mengirimkan informasi ataupun dokumen tersebut, tergugat dapat menjadikan bukti tersebut sebagai dasar untuk melakukan gugatan. Selain itu, untuk lebih memudahkan perlu diperhatikan juga keberadaan tanda tangan elektronik dalam dokumen elektronik tersebut, tanpa adanya tanda tangan elektronik mungkin agak sulit untuk mendapatkan kepastian siapa sebenarnya pengirim dokumen elektronik maupun informasi elektronik yang menjadi pokok sengketa. Dalam memutus suatu perkara, tentu saja hakim harus beradasarkan pada ketentuan hukum acara yang mengatur masalah pembuktian. Demikian juga dalam perkara-perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dalam bentuk informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik, hakim juga harus memperhatikan hukum pembuktian dimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa bukti elektronik ini merupakan perluasan dari alat bukti yang

telah ada diatur dalam hukum acara di Indonesia, dan dalam penerapannya alat bukti elektronik berupa informasi, dokumen serta tanda tangan elektronik termasuk dalam alat bukti tulisan.

Dalam penyelesaian sengketa elektronik secara litigasi, maka tetap harus diperhatikan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Di Indonesia, sesuai ketentuan hukum acara perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum harus dibuktikan melalui proses pemeriksaan di lembaga peradilan mulai dari Pengadilan Negeri sampai Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung dengan syarat adanya putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti ( inkracht van gewijsde ). Gugatan yang diajukan juga harus didasari ketentuan hukum perdata yaitu Pasal 1365 KUHPerdata. Selanjutnya, pada proses pembuktian harus dapat dibuktikan unsur-unsur yang menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum melalui alat-alat bukti yang diakui dalam Pasal 284 RBg/164 HIR, baik bukti tertulis, yang dalam suatu sengketa elektronik dapat terdiri dari informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik maupun hasil cetak dari informasi ataupun dokumen yang berhubungan dengan transaksi elektronik tersebut, saksi-saksi termasuk saksi ahli seperti ahli dalam bidang teknologi informasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 181 RBg/154 HIR, persangkaan, pengakuan dan sumpah, seperti pada perkara-perkara perdata pada umumnya.