TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bentonit
2.2.2 Penggunaan Polipropilena
Polipropilena merupakan suatu polimer ideal yang sering digunakan sebagai lembar kemasan. Polipropilena memiliki sifat kelembaban yang baik kecuali terjadi kontak dengan oksigen. Oksigen yang masuk kedalam sistem akan dapat mempengaruhi makanan atau materi lain yang ditutup dengan polipropilena. Lapisan yang terlindung oleh polipropilena tersebut diharapkan dalam kondisi kedap udara agar dapat dengan maksimal melindungi kandungan materi yang terbungkus di dalamnya. Untuk pemanfaatan kegunaan dari polipropilena tersebut, dapat dilakukan modifikasi terhadap polipropilena. Lembar propilena yang sangat tipis dipakai sebagai dielektrik dalam pulsa berdaya tinggi tertentu serta
Kebanyakan barang dari plastik polipropilen juga untuk digunakan untuk keperluan medis atau labolatorium karena mampu menahan panas di dalam autoklaf. Sifat tahan panas ini menyebabkannya digunakan sebagai bahan untuk membuat ketel ditingkat konsumen. PP merupakan sebuah polimer utama dalam barang-barang tak tertenun. Sekitar 50 % digunakan dalam popok atau berbagai produk sanitasi yang dipakai untuk menyerap air (hidrofil), bukan yang secara alami menolak air (hidrofobik). Penggunaan tak tertenun lainnya yang menarik adalah saringan udara, gas, dan cairan dimana serat bisa dibentuk menjadi lembaran atau jaring yang bisa dilipat atau lapisan yang menyaring dalam batas-batas 0,5 sampai 30 mikron. Aplikasi ini bisa ditemukan di dalam rumah sebagai saringan air atau saringan tipe pengondisian udara. Wilayah permukaan tinggi serta polipropilena hidrofobik alami yang tak tertenun merupakan penyerap tumpahan minyak yang ideal dengan perintang apung yang biasanya diletakkan di dekat tumpahan minyak di sungai.
PP digunakan pula sebagai pengganti polivinil klorida (PVC) sebagai insulasi untuk kabel listrik LSZH (Low Smoke Zero Halogen) dalam lingkungan ventilasi rendah, terutama sekali diterowongan. Ini karena PP mengeluarkan sedikit asap serta halogen yang tak bertoksik, yang akan menghasilkan asam dalam kondisi suhu tinggi. PP dibentuk dalam pencetakan plastik dimana ia disuntikkan ke dalam cetakan keadaan meleleh, membentuk berbagai bentuk yang kompleks pada volume yang tinggi dan
biaya yang relatif rendah. Hasilnya bisa berupa tutup botol, botol, dll. Polipropilena yang diproduksi dalam bentuk lembaran telah digunakan secara meluas untuk produksi stationary folder, pengemasan, dan kotak penyimpanan. Warna yang beragam, durabilitas, serta sifat resistensi PP terhadap debu membuatnya ideal sebagai sampul pelindung untuk kertas serta berbagai bahan yang lain. Sedangkan polipropilena daur ulang dapat digunakan untuk membuat sikat gigi, corong minyak, dan kabel baterai.
Karakteristik di atas juga membuat PP digunakan dalam stiker Expanded polipropilena (EPP) merupakan bentuk busanya polipropilena. Karena kekakuannya yang rendah, EPP tetap mempertahankan bentuknya sesudah mengalami benturan. EPP digunakan secara luas dalam miniatur pesawat dan kendaraan yang dikontrol radio lainnya. Dikarenakan kemampuannya menyerap benturan, EPP menjadi bahan yang ideal untuk pesawat RC bagi para pemula dan amatir
2.3 Nanoteknologi
Nanoteknologi secara teori adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena atau sifat- sifat sebuah material atau objek dalam skala nanometer, besarannya adalah besaran panjang, ruang, bukan detik, atau waktu atau nano yang lain, ini nanoruang. Nanoteknologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena karakteristik, sifat- sifat objek atau material.
Nanoteknologi adalah ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengontrol zat, material dan system pada skala nanometer, sehingga menghasilkan fungsi baru yang belum pernah ada. Menurut Kawai, nanoteknologi merupakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyusun satu persatu atom atau molekul, sehingga tercipta dunia baru (Nurul, 2008).
Nanosains adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari fenomena atau sifat-sifat suatu objek atau material dalam skala nanometer (1 nm = 1/1.000.000.000 m). dapat dipahami bahwa 1 per 1.000.000.000 meter adalah sebuah ukuran yang sangat kecil sekali. Perbandingan antara 1 meter dengan 1 nanometer adalah seperti halnya perbandingan antara bola bumi dengan bola pimpong.
Banyak industri yang menggunakan teknologi nano, misalkan saja industri keramik, industri-industri yang tidak terlalu tinggi/besar, industri polymer, ban,
kosmetik, pangan, otomotif. Pada industri otomotif, 95% teknologi nano dapat diterapkan, juga pada industri cat, kimia, dan lampu. Pada industri elektrik 35% telah menggunakan nano meskipun impor, namun sebenarnya peluang penelitian nano untuk memperbaiki kreasi-kreasinya sangat besar.
Sebagai contoh, perkembangan nanoteknologi dalam dunia computer telah mengubah tidak hanya ukuran computer semangkin ringkas, namun juga peningkatan kemampuan dan kapasitas yang luar biasa. Sehingga memungkinkan penyelesaian program-program raksasa dalam waktu yang singkat. Seperti halnya computer, poduk
hand phone telah di-upgrade sedemikian rupa dengan nanoteknologi sehingga berharga lebih murah dengan kemampuan dan kapasitas yang jauh lebih baik.
Ball mill biasa digunakan untuk mencampur dan meratakan. Di tahun 70-an Ball mill ditemukan oleh Hock dengan temannya. Ball mill dapat membuat partikel amofus dan partikel nano, maka di luar negeri hampir semua peneliti nano pasti memiliki Ball mill, karena ini adalah cara yang cepat untuk mendapatkan partikel nano. Pada saat ini, di seluruh dunia telah mengeksplorasi karakter dan sifat-sifat nano dengan cepat. Oleh karena itu cara yang cepat dan sederhana adalah melalui penggunaan alat Ball mill (milling berenergi tinggi).
Di China dan India, perindustriannya banyak menggunakan teknologi nano. Industri mereka dapat mengejar ketertinggalan dari negara maju. Dahulu di awal tahun 90-an, barang-barang produksi China memiliki kualitas yang buruk tapi saat ini dengan menggunakan teknologi nano, China dan India dapat mengejar ketertinggalan mereka dari negara maju terutama di bidang otomotif.
Negara-negara di Asia seperti Cina, Korea dan Thailand, secara nasional telah menerapkan strategi pengembangan nanoteknologi. Dalam rangka peningkatan daya saing produk industri Indonesia, maka salah satu focus pengembangan nanoteknologi yang perlu dilakukan berdasarkan potensi yang dimiliki adalah pengembangan nanomaterial. Ada tiga isu dalam pengembangan nanomaterial, yaitu:
1. Bagaimana membuat partikel yang berukuran nano (nanomaterial) sebagai bahan baku produk nano,
2. Bagaimana mengkarakterisasi (sifat-sifat dan fenomena) nanopartikel yang telah dibuat,
3. Bagaimana manyusun kembali nanopartikel dan mensintesanya menjadi produk akhir yang sesuai dengan yang diinginkan.
Pembuatan nanomaterial dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan top-down dan botton-up. Dalam pendekatan top-down, pertama bulk material dihancurkan dan dihaluskan sedemikian rupa sampai berukuran nano meter. Kemudian dari partikel halus yang diperoleh, dibuat material baru yang mempunyai sifat-sifat dan performa yang lebih baik dan berbeda dengan material aslinya. Pendekatan top-down dapat meliputi teknik pembuatan peralatan elektronik dari semikonduktor silicon yang dibentuk sesuai pola tertentu.
Pendekatan top-down dapat dilakukan dengan teknik MA-PM (mechanical alloying-powder metallurgy) atau MM-PM (mechanical milling-powder metallurgy), dimana material dihancurkan sampai menjadi bubuk dan dilanjutkan dengan penghalusan butiran partikelnya sampai berukuran puluhan nm. Kemudian, bubuk yang telah halus disinter (bakar) dengan kondisi tertentu sehingga didapatkan material final yang memiliki sifat-sifat dan performan yang sangat unggul berbeda dengan bulk material aslinya.
Sebagai contoh, nanobaja diperoleh dari penghalusan partikel bubuk besi dan karbon dengan teknik MA sampai berukuran 30 nm, kemudian disinter pada suhu mendekati suhu eutectoid (A1: 723o
Dalam pendekatan bottom-up, material dibuat dengan menyusun dan mengontrol atom demi atom atau molekul demi molekul sehingga menjadi suatu bahan yang memenuhi suatu fungsi tertentu yang diinginkan. Misalnya kumpulan atom karbon didesain sedemikian rupa sehingga membentuk struktur heksagonal sehingga menghasilkan berlian yang memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Pada saat yang bersamaan, sekumpulan atom karbon dapat disusun membentuk struktur segienam C) pada tekanan 41 MPa dalam suasana gas nitrogen. Nanobaja berstruktur halus (mencapai beberapa puluh nm) memiliki kekuatan dan umur 2 kali lipat. Teknologi ini sangat sederhana dan tidak memerlukan peralatan tertentu untuk pembuatannya.
rombik sehingga menjadi arang yang sangat lunak sekali. Dengan nanoteknologi dimungkinkan membuat berlian buatan sesuai yang diinginkan (Nurul, 2008).
Penerapan nanoteknologi pada bahan baku local dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan nilai ekonominya secara signifikan. Sebagai contoh adalah pada proses pengolahan mineral pasir besi. Produk samping dari pasir besi setelah dipisahkan secara magnetik, menghasilkan mineral silica dan alumina, yang jika dibuat dalam ukuran nano dapat diterapkan untuk beton berkekuatan tinggi, bahan sensor, membran, dan lain-lain.
Untuk mengolah mineral alam yang dimiliki sebelum memasuki proses sintesa nano, maka penguasaan berbagai teknologi penunjang yang meliputi teknik separasi, purifikasi, ekstraksin dan lain sebagainya harus menjadi prioritas untuk dikembangkan. Dengan memadukan teknologi sintesa nanomaterial dan teknologi penunjang dimungkinkan diperoleh sebuah produk awal nanomaterial yang bernilai tinggi (Nurul, 2008).
2.4 Nanokomposit
Polimer nanokomposit merupakan material yang terbentuk melalui penggabungkan material polimer organik dengan material lain dalam skala nanometer. Polimer nanokomposit sangat menarik perhatian karena seringkali mempunyai sifat mekanik, termal, elektrik, dan optik yang lebih baik dibandingkan dengan makro ataupun mikropartikelnya.
Dalam pembuatan nanokomposit, suatu matriks harus diisikan dengan bahan penguat dan penghubung lainnya supaya dapat memiliki sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan dengan sifat-sifat bahan tunggal. Sering matriks yang berasal dari bahan organik dengan pengisinya yang berasal dari bahan anorganik tidak mampu menjadi homogen, disebabkan oleh berbedanya energi permukaan dari kedua bahan tersebut. Untuk menyelesaikan permasalahan di atas, maka pengisinya dapat dimodifikasi dengan bahan organik dalam hal ini surfaktan, seperti alkylammonium (Jin, 2003).
Secara umum polimer nanokomposit terbentuk dengan mendispersikan nanopartikel organik atau anorganik pada matriks polimer. Nanopartikel dapat berupa material tiga dimensi berbentuk sferis atau polihedral seperti silika, material dua
dimensi berupa padatan berlapis seperti clay, grafit, dan hidrotalsit ataupun nanofiber satu dimensi seperti nanotube.
Polimer – nanokomposit biasanya merupakan bahan penggabungan antara polimer dan bahan komposit sebagai penguat (reinforcement), seperti silika, zeolit, dan bentonit. Reinforcement yang digunakan biasanya juga sebagai pengisi (filler) pada matriks polimer. Antara Karet alam dan bentonit mempunyai sifat yang berbeda. Untuk mempersatukan kedua bahan yaitu karet alam yang bersifat nonpolar dan bentonit yang bersifat polar dibutuhkan zat pemersatu yang biasa disebut compatibilizer.
Compatibilizer yang biasa digunakan adalah zat yang identik dengan matriks polimer serta dapat mengikat filler itu sendiri. Bahan compatibilizer yang sering digunakan dalam pembuatan polimer–nanokomposit adalah PP–g–MA. Compatibilizer memegang peranan penting dalam proses compounding. Peran compatibilizer sama seperti peran emulsifier dalam teknologi emulsi. Compatibilizer yang paling banyak
digunakan adalah kopolimer baik tipe blok maupun graft (Liza, 2005; dan Dhena, 2011).
Dalam pembuatan komposit, suatu matriks harus diisikan dengan bahan penguat dan penghubung lainnya supaya dapat memiliki sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan dengan sifat-sifat bahan tunggal. Sering matriks yang berasal dari bahan organik dengan pengisinya yang berasal dari bahan anorganik tidak mampu menjadi homogen, disebabkan oleh berbedanya energi permukaan dari kedua bahan tersebut. Untuk menyelesaikan permasalahan di atas, maka pengisinya dapat dimodifikasi dengan bahan organik dalam hal ini surfaktan, seperti alkylammonium (Jin, 2003).
Nanokomposit digunakan juga dalam pengolahan limbah cair yang dikeluarkan oleh industri tekstil mengandung berbagai zat pewarna berbahaya. Semikonduktor oksida logam seperti TiO2, ZnO, Fe2O3, sering digunakan sebagai katalis dalam penanganan berbagai polutan organik dan zat pewarna. Fotoaktivitas oksida-oksida logam tersebut dapat ditingkatkan dengan cara menurunkan ukuran partikel hingga 1-
10 nanometer. Semikonduktor yang dibuat hingga ukuran tersebut dikenal sebagai nanopartikel (Wijaya, 2005).
Nanopartikel dapat dibuat dengan cara mengembankan oksida logam dalam bahan inang, seperti polimer, lempung dan zeolit. Sebagai bahan inang, lempung lebih mudah diperoleh dan lebih murah dibandingkan dengan bahan lain karena keberadaannya yang melimpah dan tersebar luas di alam terutama di Indonesia. Lempung yang digunakan adalah jenis bentonit yang memiliki kemampuan mengembang serta kapasitas tukar kation yang tinggi. Modifikasi dapat dilakukan dengan penambahan surfaktan, dimana lempung yang semula bersifat hidrofilik berubah menjadi organofilik. Lempung hasil modifikasi disebut organoclay (Syuhada, dkk, 2009).
Pada sistem konvensional, sebagai penguat polimer digunakan bahan pengisi dengan ukuran mikron. Biasanya bahan pengisi dalam ukuran mikro tidak dapat menghasilkan produk yang baik, karena pendispersiannya yang tidak merata di dalam matriks polimer. Polimer nanokomposit merupakan alternative yang lebih menjanjikan dibandingkan sistem konvensional.
Pola pendispersian bahan pengisi di dalam matriks polimer terdiri dari tiga tipe. Pada matriks polimer Jika polimer tidak dapat memenuhi ruang (interkelasi) di antara lapisan silikat, maka komposit yang dihasilkan adalah (a) mikrokomposit. Mikrokomposit ini memiliki sifat yang sama dengan komposit konvensional. Dua tipe komposit yang lain (b dan c) adalah nanokomposit. Jika salah satu atau beberapa rantai polimer masuk (menyisip) di antara lapisan silikat maka terbentuk struktur interkelasi.
Pembentukan nanopartikel dari beberapa penelitian memiliki aktivitas yang lebih besar sebagai katalis Selective Catalytic Reduction (SCR) dibandingkan Bulk (Fatimah, 2009). Penyebaran clay berukuran nanometer membentuk nanokomposit menunjukkan sifat superior dibandingkan komposit yang dibuat serat. Hanya penambahan clay yang sangat sedikit (<5% berat) ke dalam matrik polimer, dapat meningkatkan kekuatan, kekakuan, sifat gas barrier, kestabilan dimensi, dan tidak mudah terbakar (Kusmono, 2010).
Nanokomposit yang dihasilkan mempunyai struktur multi layer, yaitu alternasi polimer dan lapisan silika. Struktur eksfoliasi atau delaminasi terbentuk jika lapisan silikat seluruhnya terdispersi di dalam matriks polimer. Konfigurasi dimana nanokomposit tersebar di dalam matriks polimer menghasilkan perubahan yang signifikan dalam sifat gas barrier, heatdeflection temperature, dimensi, dan ketahanan api karena terjadi interaksi yang maksimum antara polimer dan clay (Manias, 2001).
Ada tiga metoda yang biasa digunakan untuk sintesa polimer – clay nanokomposit (Utracki, 2002), yaitu: