Manusia dalam aktifitas kesehariannya selalu ditampilkan dengan menggunakan simbol, karena itu manusia disebut sebagai makhluk simbolik. Perhatikan dalam kehidupan keluarga, entah status sosialnya terpadang, atau tidak terpandang, setidaknya dalam rumah masing-masing pasti terdapat sejumlah simbol yang digunakan, walau mereka tidak merasakan bahwa mereka sementara hidup dengan menggunakan simbol. Jika mereka menyadari akan hal itu, dengan jujur mereka akan mengatakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa simbol.
Contoh sederhana yang mungkin tidak mereka sadari, ketika anda masuk di rumah seorang kristen yang cukup kaya (terpandang), ditemukan pada pintu depan terpasang indah sebuah simbol salib, tidak jauh dari rumahnya, ada keluarga kristen sederhana (tidak terpandang),
pada bagian depan pintu rumahnya juga terpasang simbol salib yang sama. Kedua keluarga yang berbeda status sosial ini, sama-sama memiliki kendaraan, yang kaya menggunakan roda empat, sementra yang sederhana menggunakan roda tiga (becak). Pada bagian depan kendaraan, masing-masing memasang simbol salib, dan yang tidak kalah penting dibagian leher kedua orang tersebut melingkar rantai dengan simbol salib. Perbedaannya, yang kaya menggunakan simbol salib dengan bahan dasar logam mulia (emas), sementara yang sederhana menggunakan simbol salib dari bahan dasar kayu.
Ternyata, antara kaya dan miskin, keduanya memiliki ketergantungan yang sama terhadap simbol yang digunakan. Tidak peduli asal-usul bahan dasar simbol yang mereka gunakan, yang penting bagi mereka adalah simbol berbentuk salib. Sepertinya ada rasa aman yang mereka temukan di balik penggunaan simbol tersebut, karena itu ketika simbol itu diambil orang, sikap kegelisaan akan mereka nampakkan dan mulai berpikir negatif, pasti sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri mereka.
Sikap ini sudah ada jauh sebelum simbol salib hadir dalam kehidupan manusia, perhatikan ungkapan ini:
―sebenarnya simbol-simbol adat yang dimiliki suku Irarutu3
cukup banyak termasuk nama marga. Sama juga dengan marga-marga yang digunakan oleh beberapa suku yang lain. Nama marga memiliki tujuan masing-masing sesuai dengan asal-usul marga yang digunakan. Tujuan penggunaan marga untuk kita suku Irarutu sebenarnya memiliki tujuan untuk menunjukan asal suku, batas wilayah dan asal-usul leluhur masing-masing. Kalau tidak ada marga yang kita gunakan, maka kita menjadi orang asing disuatu tempat. Misalnya, kalau marga yang saya gunakan seperti marga ruwe, maka orang akan mengetahui bahwa saya berasal dari suku Irarutu, kalau saya dari suku Irarutu, maka semua orang mengetahui asal-usul saya dan saya punya milik tanah sampai di mana. Karena itu, marga yang kami gunakan memiliki tujuan tentang kejelasan asal usul, batas-batas wilayah agar tidak menguasai hak milik orang lain atau suku lain.
3 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Irarutu
berasal dua kata yaitu Iraru = bahasa/bicara tuturan, dan Tu = benar, sesungguhnya dengan demikian, kata Irarutu mengandung pengertian bahasa yang benar, bicara yang benar
241 Informasi yang disampaikan hendak memberi kejelasan bahwa penggunaan simbol memiliki hubungan dengan leluhur dan alam. Karena itu terkait kebijakan pemerintah yang menjadi sasaran gerakan perlawanan simbol, maka tujuan gerakan perlawanan tersebut pada satu sisi memiliki kaitan dengan gerakan perlawanan yang memiliki kemiripan dengan gerakan sosial berbasis etnis, namun pada sisi lain, gerakan perlawanan simbol adat bertujuan untuk mengingatkan pemerintah bahwa perlawanan yang dilakukan memiliki hubungan dengan konteks masa lalu. Gerakan perlawanan simbol merupakan gerakan kolektif yang tidak hanya melihat pada masa depan yang akan lebih baik, tetapi pada prinsip tertentu, gerakan perlawanan simbol ingin menunjukan keterikatan mereka dengan para leluhur.
Munculnya gerakan kolektif seperti gerakan perlawanan simbol adat yang berbasis pada kekuatan simbol masyarakat adat, hal itu merupakan sebuah gerakan yang tidak mengarah pada upaya melawan pemerintah (menurunkan pemerintahan yang sah), dan tidak bisa disamakan dengan gerakan sosial kelas bawah. Sebab yang ingin ditunjukan dari penggunaan simbol adat adalah otoritas masyarakat adat, mereka ingin menyampaikan pesan-pesan kultur kepada pihak pemerintah bahwa mereka adalah pemilik alam.
Disaat yang sama, melalui simbol adat yang digunakan oleh masyarakat adat, masyarakat lokal secara tidak langsung telah memberi garis beda antara institusi adat dengan institusi pemerintah, bahwa sebenarnya sejak awal keduanya memang beda. Namun perbedaan itu tidak berkaitan dengan konteks kelas dalam kehidupan sosial seperti teorinya Karl Marx.
Menggunakan simbol adat sebagai tameng
Cara memainkan simbol adat oleh masyarakat lokal memiliki tujuan untuk menata keteraturan hidup secara internal dan eksternal. Secara internal simbol adat digunakan untuk setiap upacara ritual (upacara perkawinan, kelahiran, kematian dll). Sementara untuk kegunaannya secara eksternal, simbol adat digunakan untuk mempertahankan keberadaan komunitas mereka dari berbagai ancaman yang datang dari luar komunitas mereka (perang antar suku,
gangguan alam gaib). Pertanyaannya adalah: kapan simbol-simbol masyarakat adat terbentuk dan mulai digunakan.
Hadirnya simbol adat dan penggunaannya dalam diri manusia, dimulai dari setiap individu berkeinginan hidup bergabung menjadi satu komunitas. Karena terjadi penggabungan setiap individu, dan jumlah manusia semakin bertambah melalui perkawinan, maka untuk menjaga dan mengatur manusia, mereka membutuhkan sejumlah aturan dalam rangka mengatur ketertiban dalam komunitas mereka. Untuk tujuan tersebut, maka aturan-aturan diciptakan hanya bersifat simbol dan tanda-tanda. Saat itu, manusia belum bisa menciptakan huruf, saat itu yang bisa dilakukan manusia hanya sebatas simbol.
Dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖, C. A. van Peursen menguraikan pengertian dan proses terwujudnya simbol atau lambang dalam kebudayaan manusia antara lain: Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai: ―di mana ada asap, di sana ada api‖, asap merupakan tanda adanya api. Namun menurutnya, antara tanda dan apa yang ditandai, tak ada lagi suatu pertalian alamiah. Api hanya bisa diketahui kalau ada asap, keduanya berbeda secara natural tetapi saling berhubungan satu dengan yang lain.
Untuk menandai sesuatu yang dilarang, masyarakat adat di Kabupaten Kaimana menggunakan beragam simbol seperti ―utie ro
-kakur‖ dan simbol ―nggama‖. Simbol ―utie ro-kakur‖ dan simbol ―nggama‖ secara fisik diambil dari beberapa jenis pohon seperti ―utie ro
- kakur‖ diambil dari daun sagu dan bambu, sedangkan simbol ―nggama‖ diambil dari janur kelapa. Kedua jenis simbol ini hanya boleh digunakan untuk menandai sesuatu yang berhubungan dengan kepemilikan hak ulayat masyarakat lokal. Misalnya, pada lokasi/tempat tertentu yang memiliki potensi alam, terkadang karena kecerobohan dan sifat tamak manusia, alam digarap hingga menimbulkan kerusakan bahkan berpotensi menghancurkan alam sekitar sehingga berdampak punahnya habitat di sekitar lingkungan masyarakat, untuk menjaga kepunahan alam tersebut, maka masyarakat menggunakan simbol adat untuk menandai lokasi tersebut. Wilayah tersebut akan diolah jika dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan masyarakat adat, maka
243 simbol adat kembali dilepaskan. Pada saat itulah potensi alam bisa digarap kembali. Kebiasaan ini biasanya masyarakat lokal menyebutnya dengan istilah ―sasi nggama‖.
Secara alamiah, antara simbol ―nggama‖ dengan apa yang ―dilarang/ditandai‖ tidak memiliki hubungan alamiah. Keterhubungan keduanya hanya saling menerangkan satu dengan yang lain. ―Jadi
simbol yang terlihat hanya berfungsi menerangkan sesuatu yang tidak
sama dengan dirinya sendiri‖. Hal ini sejalan dengan pernyataan R. M. Maclver, ia menjelaskan bahwa: ―Kesatuan sebuah kelompok, seperti
semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud simbol...
pengungkapan simbol tidak hanya bertujuan memberi keterangan tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, ―simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu‖, simbol dijadikan sebagai pusat perhatian tergantung pada makna dan tujuan penggunaannya, selain untuk melesteraikan alam, tetapi juga sebagai sumber kehidupan dari apa yang mereka tandai. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa simbol sebagai ―sebuah sarana komunikasi‖.
Alasan simbol sebagai sarana komunikasi karena simbol yang digunakan merupakan wujud kesepakatan bahasa bersama. Kesepakatan bahasa bersama sudah mencakup komunikasi, yang oleh Maclver memperjelasnya sebagai ―landasan pemahaman bersama‖... simbol pada sisi yang lain, digunakan dan dilihat sebagai bentuk dan cara masyarakat berkomunikasi dengan alam sekitar dengan menggunakan media yang berada di alam sekita seperti simbol ―nggama‖, maka ―setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang
lain, masyarakat adat di Kabupaten Kaimana selalu ―menggunakan
simbol-simbol, sebab ―masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa
simbol-simbol‖.
Karena itu, kegunaan simbol adat ―nggama‖ dimanfaatkan sebagai alat komunikasi dan informasi antara kelompok atau individu, baik yang berada dalam satu wilayah, maupun yang berada di wilayah yang berbeda. Namun dalam penggunaana simbol adat, mereka dapat disatukan. Hal tersebut oleh Hartoko dan Rakhmanto (1998:133) memahaminya dari sisi etimologi, dalam bahasa Yunani ―sym-ballein‖,
yang berarti: ―melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan),
yang berhubungan dengan ide.
Dalam kehidupan manusia, ide seringkali dihubungkan dengan konsep-konsep. Sejumlah konsep tersebut melebur dalam diri manusia secara individu, dan disebut kekuatan atau potensi. Potensi atau kekuatan dalam diri manusia, lalu dituangkan menjadi buah-buah pikir manusia dalam bentuk simbol-simbol.
Untuk memahami hal ini, kita harus membedakan tuangan ide-ide masa lalu dengan tuangan ide-ide-ide-ide masa sekarang. Pada masa lalu ide-ide dibuat dalam bentuk simbol-simbol, karena pada zamaan itu manusia belum mengenal huruf serta membaca dan menulis, maka ide-ide hanya dilahirkan dari pikiran mereka sebatas berbentuk simbol.
Melalui sejumlah simbol masyarakat adat, manusia dapat membaca maksud-maksud tertentu yang tertuang dalam simbol. Pada masa sekarang, simbol didesain lebih modern dan mengalami perubahan bentuk sesuai zaman. Manusia mulai mendesain simbol yang dikenal dengan sebutan abjad (a-z), dan dari desain simbol berbentuk abjad, maka untuk menandai sesuatu lokasi yang dianggap terlarang, cukup dengan menulis seperti begini: ―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖.
Sesungguhnya tujuan menggunakan simbol adat secara fisik, dan merangkain tulisan larangan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu ―dilarangan menebang pohon‖. Yang membedakan kedua hal tersebut adalah: pertama, simbol adat dalam bentuk apapun penggunaannya hanya sebatas pada komunitas tertentu dan tidak bersifat universal, sementara untuk simbol bahasa seperti ―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖, berlakunya universal; kedua, secara fisik simbol adat seperti simbol ―nggama‖, sangat mudah ditiru pihak lain, maka simbol adat tidak berlaku universal. Sementara simbol bahasa berlaku universal, sebab abjad (huruf) memiliki sifat universal dan siapa saja boleh menggunakan simbol abjad (huruf). Karena sifat universalnya tidak mengganggu dan mengurangi fisik simbol bahasa tersebut.
245 Kebebasan berbahasa dan simbol kuasa dalam bahasa
Berbahasa yang baik haruslah dimulai dari niat mempelajari bahasa. Tidak ada orang yang bisa berbahasa tanpa dimulai dari niat mempelajari bahasa. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi antar manusia, dalam penggunaan bahasa, manusia dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dengan alam dan makhluk hidup yang berada di sekitar manusia, termasuk berkomunikasi dengan alam gaib.
Karena itu, dengan mempelajari bahasa, seseorang dapat menggunakan bahasa yang dipelajarinya untuk berbagai maksud, bisa untuk hal-hal yang postif tetapi ada orang yang mempelajari bahasa untuk tujuan negatif. Hal ini disebabkan karena bahasa mengandung unsur kekuatan. Dengan bahasa setiap individu bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi dalam nilai-nilai yang positif, sementara dalam nilainya yang negatif, bahasa bisa digunakan untuk menghancurkan orang lain. Hal-hal yang mungkin tidak kita sadari dengan bahasa yang digunakan, orang bisa saja memuji dan menghina orang lain, dengan bahasa pula manusia bisa membangun dan meruntuhkan sebuah kekuatan. Pernakah kita bayangkan bagaimana jika pembangunan yang dilakukan tidak menggunakan bahasa. Kisah pembangunan menara babel oleh desainer terkenal bernama Nimrod hancur berantakan hanya karena kekacauan bahasa.
Tidak bisa disangkal, bahwa untuk memulai proses pembangunan, bahasa sangat memainkan peran utama. Tanpa bahasa, komunikasi untuk memulai pembangunan tidak akan pernah berjalan. Dengan kesadaran itulah, maka sebelum republik ini terbentuk, pada tahun 1928 para pemuda dengan kesadaran nasionalis, mereka meletakan bahasa sebagai dasar utama.
Di antara simbol-simbol negara yang dimiliki bangsa Indonesia, kita lebih mengedepankan Simbol Pancasila sebagai unsur kekuatan negara, dan mengabaikan peran Bahasa Indonesia sebagai salah satu unsur terpenting dalam kehidupan berbangsa, padahal Simbol Pancasila bisa dipahami dengan baik, karena menggunakan Bahasa Indonesia, perhatikan ke lima sila yang memuat falsafa bangsa,
bayangkan saja jika ke lima sila tidak menggunakan Bahasa Indonesia, maka saya sangat yakin, kita tidak pernah memahami secara benar apa maksud dan tujuan dari ke lima sila tersebut. Ke lima sila memiliki kekuatan dikarenakan menggunakan Bahasa Indonesia.
Republik ini terbentuk dari beragam suku bangsa dan bangsa. Menyadari kemajemukan suku bangsa dan bahasa, maka sangat tepat jika keberagaman bangsa bisa diikat menjadi satu kekuatan. Untuk maksud tersebut, cetusan ikrar ―sumpah pemuda‖, tentang ―berbahasa satu bahasa Indonesia‖, sangatlah tepat jika simbol bahasa Indonesia dijadikan wadah pemersatu perekat keberagaman dalam melaksanakan pembangunan.
Indonesia menjadi bangsa yang besar karena dalam sejarah bangsa, Indonesia mampu mengukir sejumlah sejarah yang besar. Tidak ada dalam sejarah sebuah bangsa yang besar menghadirkan catatan sejarah sederhana. Tentu masih teringat dalam sejarah bangsa Indonesia, bagaimana bangsa ini hadir dengan tahapan-tahapan orde dengan bahasa simbol yang sangat memengaruhi masyarakat. Pada era ORLA, kita mengenal berbagai bahasa simbol seperti NASAKOM, bapak Proklamator dll. Pada era ORBA, kita juga mengenal bahasa simbol yang digunakan seperti bapak pembangunan, REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan era Reformasi masa SBY-JK (Susilo Bambang Yudoyono–Yusuf Kalla) mereka berdua tampil dengan bahasa simbol ―good governance‖ dan ―katakan tidak pada korupsi‖, tidak ketinggalan era JOKOWI (Joko Widodo) dan JK (Jusuf Kalla), keduanya menggunakan bahasa simbol ―kerja, kerja, kerja‖.
Dalam skala daerah, penggunaan bahasa simbol hampir tak terhitung jumlahnya. Simbol-simbol tersebut diciptakan dan digunakan berdasarkan kebutuhan, misalnya ketika mengawali masa kampanye pemelihan kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Ada yang menggunakan istilah seperti: ―penyambung lidah rakyat‖, ―putra daerah‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖, ―pemimpin yang merakyat‖, dan ―bersama rakyat kita bisa‖, ―membangun dari kampung‖.
247 Sepintas kedengaran indah, keren dan masuk akal. Rakyat seakan melayang-layang mendengar sejuta istilah tersebut, tetapi yang utama dari sejumlah bahasa simbol seperti ini, perancang dan penggunanya sementara membangun relasi kekuatan dan kekuasaan melalui bahasa itu sendiri, John B. Thompson menyebutnya sebagai ―As competent speakers we are aware of the many ways in which linguistic exchanges can express relation of power‖... karena itu, dalam penggunaan bahasa simbol, tidak secara lengsung menerangkan hubungan komunikasi antara kelompok politik dengan masyarakat, tetapi di dalamnya terkandung makna berbeda yang mengarah pada tujuan membangun relasi kekuasaan.
Di Tanah Papua, provinsi hingga daerah-daerah kabupaten/kota, berbagai istilah bahasa simbol dilahirkan atas nama rakyat. Beberapa istilah yang sangat indah digunakan, misalnya ―OAP‖, ―putra daerah‖, dan ―menjadi tuan di negeri sendiri‖. Penggunaan bahasa simbol seperti ini, ditujukan kepada masyarakat Papua, dengan tujuan untuk mengingatkan mereka sebagai pemilik atau tuan tanah di atas tanah mereka. Selain itu, bahasa simbol seperti ini memberi gambaran jelas bahwa rakyat sangat diutamakan dalam pembangunan. Namun hal itu menurut Thompson hanyalah ―We are sensitive to the variation in
accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in
the social hierarchy‖.
Peranan bahasa dalam kehidupan manusia, khsusnya bahasa Indonesia sangat penting. Boleh jadi kita dapat menyebutnya sebagai bahasa pembangunan, karena kegiatan pembangunan yang berlangsung di Indonesia secara menyeluruh menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu tercermin dari sistem operasioanl pelayanan pemerintah dan sistem pelaporan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan selalu menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi ada dua hal yang diperhatikan, Thompson menjelaskannya sebagai berikut: Bahasa seringkali menjadi ―aparatus hegemoni‖ dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara; pertama, ketika ia (bahasa) tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang plural), karena dianggap sebagai ancaman; dan kedua,
ketika ia (bahasa) digunakan untuk menyampaikan informasi (atau versi informasi), yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan.
Dari pendapat Thompson, dipahami bahwa pada saat para pemuda mencetuskan sumpah pemuda, maka di saat itulah bahasa-bahasa lokal terancam. Ancaman terhadap bahasa-bahasa-bahasa-bahasa daerah yang dimiliki suku bangsa dan bahasa di nusantara, bisa terlihat ketika bahasa lokal tidak diakomodir dalam sistem pendidikaan nasional. Keadaan ini terkesan menempatkan bahasa lokal menjadi bahasa nomor dua di negerinya sendiri. Jika kita menjadi tuan di negeri sendiri, maka bahasapun harus menjadi tuan di negeri-nya juga.
Kekuasaan bahasa tidak selalu positif, dan juga tidak selamanya negatif, karena kekuasaan bahasa tidak tampil dalam bentuk fisik. Dalam tampilannya yang tidak berwujud fisik, maka terkadang kekuasaan bahasa sulit untuk dideteksi, sejauh mana dampak yang akan ditimbulkan.
Salah satu bentuk kehadiran kekuasaan bahasa tanpa fisik, selalu menyerupai simbol yang kehadirannya terkadang menggunakan bahasa slogan yang berkiblat kepada rakyat, misalnya; ―bersama rakya kita bisa‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖ dll. Bahasa simbol seperti ini merupakan bahasa pengagungan semu kepada masyarakat, rakyat seakan diberi legalitas, ―seolah-olah tanpa rakyat mereka tidak bisa buat apa-apa‖ bahkan ―suara rakyat diberi pengakuan adalah suara Tuhan‖, sesungguhnya ada alasan dibalik pengagungan semu tersebut, karena rakyat sebagai pemegang mandat dalam sistem demokrasi, maka penggunaan bahasa simbol bertujuan untuk menarik simpati rakyat.
Ada saja cara yang dibuat oleh manusia untuk menghadirkan dirinya di tengah-tengah rakyat sebagai penguasa. Jelmaannya didesain sedemikian rupa melalui bahasa simbol dan ditaburi jutaan makna, hal ini dilakukan dengan harapan agar hati masyarakat bisa direbuat.
Pada sisi lain, desain simbol bahasa menunjukan bahwa manusia memang makhluk pencipta simbol. Cara manusia mendesain simbol-simbol untuk mencapai tujuan yang diharapkan memang patut diberi apresiasi. Perhatikan saja, walaupun makhluk manusia itu belum
249 pernah bertemu dengan Allah, namun dengan daya imajinasi yang dimiliki, makhluk manusia mampu mendesain wajah dan nama Allah yang jauh di luar batas kemampuan manusia. Hal ini menunjukan betapa hebat makhluk yang satu ini. Bourdieu menyebutkan bahwa ―what creates the power of words and slogans, a power capable of
maintaining or subverting the social order, is the belief in the
legitimacy of words and of those who utter them‖.
Begitu kuatnya bahasa simbol dalam berbagai bentuk slogan, tatanan sosial masyarakat yang begitu kuat mampu diobrak abrik untuk mendapat simpati mereka. Perhatikan bagaimana penjual obat di pasar, dengan bahasa dan berbahasa yang dia gunakan untuk menawarkan hasil prodaknya yang tidak berlabel SNI (Standar Nasional Indonesia), bahkan tidak memiliki nomor registrasi dari BPOM (Badan pengawas Obat dan Makanan), apalagi sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), tetapi dari kekuatan bahasa, semua orang mampu didoktrin, bahkan mungkin saja dokterpun bisa terbuai membeli obat yang dijualnya. Itulah kreatifitas manusia dalam menghadirkan beragam simbol bahasa yang dia ciptakan. Dan itulah manusia sebagai makhluk pencipta simbol.