• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL MASYARAKAT ADAT - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL MASYARAKAT ADAT - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

215

BAB VI

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL

MASYARAKAT ADAT

Gerakan sosial yang terjadi secara global, selalu dimulai dari individu yang bergabung membentuk kelompok. Gerakan sosial yang terjadi tentu memiliki indikator penyebab, serta target yang hendak dicapai. Karena itu tidak ada sebuah gerakan sosial tanpa indikator dan dan tujuan yang hendak dicapai. Secara simbolik dapat diungkap dengan bahasa sederhana, ―tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api‖, dan ―tidak mungkin pucuk janur bergoyang kalau tidak ada angin‖.

Merunut sejarah gerakan sosial secara global dan nasional, ditemukan di sana, terjadinya sejumlah gerakan sosial tidak dipicu oleh sejumlah indikator. Jika gerakan sosial dilakukan oleh para buruh pabrik, maka pemicu atau indikatornya memiliki kaitan dengan hak-hak buruh (upah kerja, jaminan kesehatan dll). Tujuannya jelas, para buruh menginginkan kenaikan upah, dan adanya jaminan kesehatan buruh.

Jika gerakan sosial berhubungan dengan masyarakat dalam suatu daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Kaimana, terakit dengan demonstrasi masyarakat adat tentang implementasi kebijakan, maka indikatornya berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah terhadap masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

(2)

gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan di tahun 1970-an dan 1980-an. Dalam konteks ini, lahirlah berbagai macam pendekatan dan teori tentang gerakan sosial.

Masih teringat kuat dalam ingatan umat manusia tentang gerakan sosial yang terjadi di Afrika Selatan yang dikenal dengan nama gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach),

yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh negara melalui apa yang disebut sebagai pembangunan (development).

Pada tahun 1998 Indonesia digemparkan dengan gerakan reformasi. Gerakan reformasi saat itu tidak mungkin terhapus dalam benak setiap anak bangsa, sebab hasil dari gerakan reformasi mampu melahirkan sejarah baru yang patut kita catat bersama, bahwa hanya melalui gerakan reformasi, riwayat orang kuat di Indonesia dengan sebutan ―bapak pembangunan‖ yang terkenal dengan rezim simbol ORBA berhasil diruntuhkan.

Dari runutan sejarah tersebut, tergambar jelas bahwa gerakan demonstrasi massa mengatasnamakan rakyat tidak boleh dipandang sebelah mata, sebab telah terbukti keampuhannya dalam mencapai sebuah cita-cita yang diinginkan. Pada sisi lain, gerakan sosial tidak boleh dipandang sebagai ancaman dalam konteks berbangsa dan bernegara, sebab berdemokrasi yang baik selalu merujuk pada kebebasan, dan kebebasan merujuk pada terbukanya ruang-ruang demokrasi bagi setiap warga negara. Dengan kebebasan berdemokrasi pula, rakyat bisa menyalurkan apa yang dirasakan kepada pemerintah, atau kepada atasan mereka. memahami konteks tersebut lahirlah UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN I998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM.

(3)

217 berkiblat pada rakyat. Pada sisi yang lain, diharapkan rakyat dapat menggunakan hak ―kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka

umum‖ secara baik dan tertanggungjawab.

Perlawanan simbol adat terhadap kebijakan pemerintah merupakan bagian dari gerakan sosial yang sudah lama terjadi di wilayah Papua. Gerakan sosial yang terjadi di Papua jika dikelompokan menurut jenis serta tujuan, masing-masing memiliki perbedaan, namun yang pasti gerakan sosial terjadi karena adanya indikator penyebab dan tujuan yang hendak dicapai.

Sejumlah indikator tersebut tidak hadir begitu saja, jika dikaji secara baik, dampak yang ditimbulkan sangat berkaitan dengan sejumlah implementasi kebijakan yang tidak menjawab substansi masalah sosial, sehingga pada akhirnya melahirkan gerakan perlawanan sosial tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan gerakan perlawanan sosial mendatar (horizontal) antara masyarakat lokal dengan kaum migran/pendatang dari luar Papua.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa dari gerakan pelawanan sosial tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan gerakan perlawanan sosial mendatar (horizontal) antara masyarakat lokal dengan kaum migran/pendatang dari luar Papua, terkadang dilakukan tanpa menggunakan kekerasan (non fisik), tetapi ada pula yang dilakukan dengan cara kekerasan (fisik).

(4)

Dari kedua hal tersebut, jika dihubungkan dengan gerakan perlawanan simbol adat di ―Negeri 1001 Senja‖, maka gerakan perlawanan dengan menggunakan simbol adat merupakan bagian dari gerakan sosial. Yang membedakan gerakan ini dengan sejumlah gerakan sosial yang lain ada pada indikator awal, serta tujuan yang hendak mereka capai. Salah satu indikator gerakan perlawanan simbol adat di ―Negeri 1001 Senja‖ dilatarbelakangi oleh sejumlah konsep pembangunan masadepan yang berkaitan dengan konsep-konsep atau pesan-pesan leluhur. Pesan-pesan leluhur ini diterima dalam bentuk cerita tuturan dan dijadikan barometer terhadap implementasi kebijakan pemerintah. Yang mengkhawatirkan dari konsep ini adalah, ketika implementasi kebijakan tidak merujuk pada konsep leluhur mereka, maka konsep kebijakan pemerintah dianggap tidak sejalan dan bisa menimbulkan dampak

Tujuan dari sejumlah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan di ―Negeri 1001 Senja‖ adalah, adanya keinginan yang kuat dari pihak pemerintah untuk menciptakan pemerataan pembangunan dari sejumlah kebijakan yang dibuat. Sementara itu dari tujuan gerakan perlawanan masyarakat adat menggunakan simbol dapat diindikasikan memuat sejumlah pesan kepada pemerintah dan pihak-pihak lain, bahwa terdapat sejumlah penyimpangan kebijakan yang terjadi di atas wilayah otoritas adat.

Membaca artikel jurnal terdahulu khususnya pada artikel jurnal volume 4/nomor 1/April 2011 tentang Masalah Sosial: ―Konflik

Masyarakat Adat Papua (Amume dan Kamoro) dengan Freeport pada

tahun 1969‖, dapat dipastikan bahwa perlawanan fisik dan non fisik masyarakat Papua terhadap pemerintah sudah berlangsung cukup lama. Dan hal itu terjadi disebabkan pada faktor intimidasi, kekerasan fisik dan pemerkosaan terhadap hak dasar OAP.

(5)

219 mengakibatkan masyarakat lokal terpinggirkan atas nama pembangunan. Karena itu, terkadang sikap masyarakat lokal mempertahankan hak-hak, bahkan menolak sejumlah kebijakan pembangunan karena telah terbukti, pembangunan tidak selamanya membawa dampak positif bagi mereka. Dalam konteks ini, tidak segan-segan pemerintah melalui aparatur pemerintah (TNI POLRI) dilibatkan untuk memuluskan jalannya kebijakan pembangunan atasnama pembangunan itu sendiri.

Uraian bab ini merupakan kajian analisis yang berkaitan dengan temuan penulis selama melaksanakan penelitian di Kabupaten Kaimana yang dimuat pada bab empat dan bab lima.

Kebijakan Publik

Masih dalam penekanan soal kebijakan publik. Pada bagian awal, penulis telah menguraikan definsi menurut Thomas R. Dye (1995 : 2), bahwa ―kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan

pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda(what government do, why

do it, and what diffirence it makes)‖. Dengan demikian, kebijakan publik adalah ―fakta strategis‖ dari pada ―fakta politis‖ ataupun teknis. Sebagai ―fakta strategi‖, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khsusnya pada proses perumusan.

Sebagai sebuah ―strategi‖, kebijakan publik tidak saja bersifat ―positif ― namun juga ―negatif‖, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat ―menerima salah satu‖ dan ―menolak yang lain‖. Meskipun terdapat ruang bagi ―win-win‖ dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi,

pada akhirnya ruang bagi ―win-win‖ sengat terbatas sehingga kebijakan

publik lebih banyak pada ranah ―zero-sum-game‖, yaitu ―menerima

yang ini, dan menolak yang lain‖.

(6)

sangat ditentukan oleh rakyat dalam konteks demokrasi ―dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat‖. Karena itu, kebijakan seorang kepala daerah tidak melulu berkiblat pada arah kebijakan politik. Dalam kedudukanya sebagai seorang pejabat politik, kebijakan yang dibuat harus dipadukan dan disetarakan dengan kebutuhan publik, sehingga dalam jabatan politik, seorang kepala daerah dapat melakukan kebijakan publik yang akan menyentuh persoalan yang dihadapi masyarakat. Jika kebijakan publik menyentuh kebutuhan publik, maka Dye menyebutkan hal itu sebagai kebijakan ―strategi‖ karena menyentuh kebutuhan publik.

Banyak kebijakan strategis yang telah dibuat pemerintah daerah, namun banyak pula yang tidak menjawab kebutuhan publik. Hal ini harus diluruskan secara baik, karena untuk mengukur sebuah kebijakan publik, harus didasarkan pada fakta yang memiliki kaitan dengan sejumlah masalah sosial yang dialami publik. Hal ini penting, karena dalam implementasi kebijakan publik, terkadang terikut serta sejumlah kepentingan politik yang memberi dampak, dan memengaruhi kebijakan publik. Walaupun dalam implemetasi kebijakan publik hal itu berjalan secara normal, namun dampak dari kebijakan publik yang telah dipolitisir, akan mengalami permasalahan. Dengan demikian kebijakan publik yang dibuat dapat dikategorikan sebagai ―kebijakan politis‖.

(7)

221 sebab jika hal itu terjadi, maka satu dari dua hal tersebut akan terkena dampak atau menjadi korban.

Menghadapi sejumlah permasalahan yang terjadi di Kabupaten Kaimana, sejumlah kebijakan telah dibuat dengan dalil kepentingan dan kebutuhan masyarakat (publik). Dalam penekanan awal penulis telah memberi penjelasan, bahwa kebijakan tidak bisa disalahkan karena berkaitan dengan hak seorang kepala daerah. Dye menjelaskan hal itu sebagai berikut, bahwa: ―kebijakan adalah sikap pemerintah untuk membuat atau tidak membuat kebijakan‖. Artinya, untuk membuat kebijakan publik, atau tidak membuat kebijakan, hal itu merupakan sikap pemerintah. Namun masyarakat selalu memahami bahwa kebijakan publik merupakan tindakan riil pemerintah, yang berhubugan dengan masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Pemahaman masyarakat ini bertolak dari sejumlah masalah yang mereka rasakan, karena itu, jika seorang kepala daerah tidak membuat keputusan nyata, hal itu dianggap tidak membuat keputusan.

Pertanyaannya adalah, apa yang membedakan seseorang dikatakan membuat dan atau tidak membuat kebijakan. Ilustrasi berikut ini akan memudahkan kita untuk memahami hal tersebut:

(8)

Contoh ini memberi penjelasan bahwa kebijakan tidak selalu logis bagi semua pihak. Ada kebijakan yang logis bagi pihak pembuat kebijakan, tetapi pada sisi lain, hal itu tidak logis bagi pihak lain. Namun inti dari sebuah kebijakan publik haruslah berdampak positif bagi semua pihak.

Belajar di negeri der Panzer

Menjalankan roda pemerintahan, kebijakan publik menjadi sangat penting. Kebijakan publik tidak hanya sebatas memberi arahan terhadap sejumlah program kerja yang telah ditetapkan oleh setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sebagai eksekutor kebijakan, melainkan tujuan dibuatnya kebijakan publik agar setiap SKPD memiliki kesamaan dan keseragaman visi untuk mewujudkan dan merealisasikan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Penegasan ini disebut oleh Robert Eyestone secara luas, kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai ―hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya‖.

Penjelasan Eyestone memberi penekanan pada kebijakan sebagai relasi dalam sebuah unit kerja. Bisa juga dipahami sebagai perekat birokrasi yang memiliki tujuan bersama yaitu melayani masyarakat. Kita bisa membayangkan bagaimana jika dalam birokrasi pemerintahan yang begitu sibuk dengan sejumlah program kerja, jika tidak diimbangi dengan kebijakan publik dari seorang kepala daerah, maka hal itu akan menimbulkan kekacauan dalam birokrasi pemerintah. Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah daerah Kabupaten Kaimana misalnya: terkait dengan pendidikan delapan anak asli Kaimana ke Jerman.

Setiap kebijakan publik memiliki dampak atau konsekwensi. Dampak serta konsekwensi tersebut sangat berhubungan dengan keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah kebijakan yang dicapai. Heidenheimer (1930:1) menjelaskan bahwa kebijakan publik merupakan sebuah studi tentang ―bagaimana, mengapa, dan apa

konsekwensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖.

(9)

223 jawaban terhadap masalah yang dihadapi publik (masyarakat). Penekanan ―bagimana‖ juga bertujuan mempertanyakan cara mendesain dan merancang sebuah kebijakan publik. Misalnya, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia di Kabupaten Kaimana, pemerintah menginginkan anak-anak asli Kaimana harus bersekolah di luar negeri. Mengawali konsep ini, Heidenheimer menawarkan langkah pertama yang harus dilakukan adalah ―bagaimana‖ mendesain konsep menjadi program yang bisa dituangkan dalam sebuah kebijakan publik. Untuk mendasain konsep tersebut dibutuhkan figur atau individu yang memiliki kecakapan khusus. Selain itu juga, tindakan ―bagaimana‖ merujuk pada membangun ANT (Aktor Network)-nya, baik di daerah, pusat hingga di Jerman. Tawaran Heidenheimer ini sangat penting dilakukan mengawali peluncuran sebuah kebijakan publik.

Lebih lanjut Heidenheimer memberi penekanan studi tentang ―mengapa‖ jika dihubungkan dengan kebijakan untuk menyekolahkan delapan anak asli Kaimana di Jerman, maka alasan mendasarnya harus jelas. Penjelasan tentang alasan mendasar pemerintah menyekolahkan delapan anak asli Kaimana ke negeri ―derPanzer‖. Untuk mengetahui alasan mendasar pemerintah Kabupaten Kaimana menyekolahkan delapan anak asli Kaimana ke negeri ―der Panzer‖, penulis menemukannya melalui lansiran berita Online Radar Sorong yang di unduh pada tanggal 26 Desember 2017, hal itu dijelaskan sebagai berikut:

...―tujuan kuliahkan anak-anak di Jerman merupakan harapan saya, supaya anak-anak Kaimana ini pun besok-besok bisa bersaing dengan anak-anak lain di Papua. Kaimana ini tidak ada orang hebat, sama seperti daerah lainnya. Kita tidak punya orang di Provinsi bahkan di Negara ini, kita tidak punya orang. Karena itulah, harapan saya ingin menyekolahkan anak-anak Kaimana ini agar kita juga bisa mengangkat muka kalau berbicara di provinsi dan di Negara ini. Kenapa yang lainnya bisa, kita tidak bisa?‖...

(10)

yang bisa memainkan peran pada tingkat provinsi maupun tingkat pusat di masa yang akan datang. Jika hal ini yang menjadi target, maka apa yang ditawarkan oleh Heidenheimer terkait dengan ―apa

konsekuensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖,

bisa terjawab.

Dari sejumlah kebijakan yang dibuat, ternyata setiap kebijakan memiliki dampak dan konsekuensi masing-masing. Itu berarti, bahwa tidak ada satu pun kebijakan yang sempurna. Karena itu, lebih awal sebelum melakukan sebuah kebijakan publik, pembuat kebijakan sudah harus berpikir tentang bagaimana menghadapi konsekuensinya. Hal ini penting! Ketika pemerintah berani membuat kebijakan publik, maka pemerintah harus memiliki keberanian untuk menerima kegagalan, karena suksesnya kebijakan publik yang diimplementasikan adalah kebijakan yang mampu meminimalisir konflik, bukan sebaliknya menghindari konflik.

Untuk meminimalisir konflik, haruslah dimulai dari cara memahami inti dari konflik yaitu ―bagaimana hubungan masyarakat dapat berjalan sesuai dengan tujuan bermasyarakat‖. Dalam hal ini, pertikaian dan konflik dilihat sebagai bagian dari sistem sosial yang tidak dapat dihindari. Selain itu pula, konflik menjadi petunjuk bahwa di dalam hubungan atau relasi sosial masyarakat terdapat dominasi, kohesi, serta kekuasaan. Lewis A. Coser memandang ―konflik dapat

direkayasa untuk menciptakan kohesi atau keteraturan sosial‖.

(11)

225 Sesuai keterangan Bupati Kaimana yang dilansir koran Online Radar Sorong yang di unduh pada tanggal 27 Desember 2017 sebagai berikut:

KAIMANA- Pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak mampu lagi bersekolah di Jerman. Hal itu ditegaskan Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma, pada saat konferensi pers yang berlangsung kemarin di Ruang Rapat Bupati Kaimana. Konferensi pers tersebut bertujuan untuk memberikan klarifikasi atas informasi keliru yang saat ini tengah dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Kaimana.

Lebih lanjut dijelaskan: ―Jadi tidak pernah pemerintah daerah

mengirimkan anak-anak asli Kaimana ke luar negeri lalu memulangkan

mereka‖... pernyataan seperti ini menunjukan bahwa pemerintah sangat konsisten dengan tujuan menyekolahkan delapan anak asli Kaimana ke Jerman. Sikap ini secara tidak langsung menunjukan sikap idealisme dalam sebuah program kerja dan hal itu menjadi sangat penting.

Pada sisi lain, fakta dikembalikannya empat orang anak asli Kaimana dari Jerman ke Indonesia, memberi gambaran jelas masih terdapat sejumlah kelemahan dari kebijakan yang dibuat. Karena itu, hal yang sangat penting dan yang harus diperhatikan adalah idealisme harus realistis. Idealisme yang realistis seharusnya memperhatikan semua faktor, lebih khusus pada konteks lapangan yang menjadi arena implementasi kebijakan. Hal ini jelas terukur dari penjelasan Bupati Kaimana:

(12)

Sangatlah manusiawi, kalau keempat anak meminta kembali ke Indonesia. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa mereka ―tidak mampu lagi bersekolah di Jerman‖... dari sejumlah penjelasan ada hal yang harus dikatahui bahwa, sistem ANT yang dibangun memiliki kekurangan dan menyebabkan empat anak tersebut meminta untuk dikembalikan ke Indonesia, hal itu terekam dari penjelasan kepala daerah yang dilansir koran daerah Online Radar Sorong sebagai berikut:

―Pihak yang berhak merekomendasikan anak-anak sekolah di Jerman ini sudah lepas tangan. Akhirnya, keempat anak ini pulang, karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya. Memang ini merupakan program primadona saya, kalau buat jalan, semua Bupati bisa lakukan, tetapi karena 4 anak ini harus dipulangkan, maka saya menyerahkan kepada Tuhan saja, mungkin ini ujian buat kami pemerintah daerah. Tetapi kemarin saya baru terhibur dengan diterimanya ketiga anak kita yang saat ini masih di Jerman di Student Collage. Ini sebuah mujizat yang Tuhan beri buat kami pemerintah daerah, yang bekerja dengan niat yang tulus untuk membangun negeri ini, tetapi ada pihak-pihak lain yang menilainya dengan persepsi mereka sendiri,‖ ujar Bupati Mairuma panjang lebar.

Penjelasan ini menitikberatkan pada sistem ANT yang digunakan untuk menangani program studi ke Jerman. Perbedaan sistem ANT di Indonesia berbeda dengan sistem yang berlaku di Jerman. Gambaran dari penjelasan di atas, bahwa: ...―akhirnya, keempat anak ini pulang,

karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan

lain sebagainya‖...

(13)

227 (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖, menjadi sangat penting untuk diperhatikan, sehingga implementasi kebijakan publik yang seringkali menimbulkan gesekan konflik harus diminimalisir dengan cara yang ditawarkan Heidenheimer bahwa kebijakan harus lebih dahulu diuji; ―mengapa‖ kebijakan dibuat, ―bagaimana‖ harus dibuat dan ―apa konsekuensi logis dari kebijakan tersebut‖.

Dalam kenyataannya, implementasi kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kaimana mengalami masalah. Hal ini terjadi karena ruang cipta suatu kebijakan berbeda dengan ruang implementasi kebijakan. Perbedaan kedua ruang tersebut dapat diukur dari tempat masing-masing, ruang cipta kebijakan berada pada ruang birokrasi yang tidak bersentuhan dengan kehidupan sosial. Sementara pada ruang implementasi kebijakan, di sana terjadi kontak dengan sejumlah indikator permasalahan sosial.

Dari perbedaan kedua ruang tersebut, sangatlah wajar jika kebijakan pada tataran implementasinya muncul sejumlah permasalahan, karena itu Richard Rose menyarankan agar kebijakan publik haruslah dipahami sebagai ―serangkaian kegiatan yang sedikit

banyak berhubungan beserta konsekwensi-konsekwensi-nya bagi mereka yang bersangkutan, ketimbang sebagai suatu keputusan

tersendiri‖. Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Artinya, Rose ingin menyampaikan bahwa kebijakan publik, merupakan sejumlah kegiatan yang memiliki konsekwensi yang berhubungan dengan sejumlah pihak, karena itu kebijakan/keputusan yang dibuat tidak berdiri sendiri.

Pelayanan birokrasi pendidikan dasar dan prilaku gerakan kolektif

(14)

Mengatasi masalah pendidikan, pemerintah telah melakukan sejumlah kebijakan diantaranya, penambahan tenaga guru PNS yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Kaimana. Kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan kontrak tenaga guru, baik yang berada dalam wilayah maupun dari luar wilayah Kabupaten Kaimana. Selain menambah aparat tenaga guru, pemerintah juga melakukan penerimaan pegawai kontrak untuk dipekerjakan pada dinas-dinas yang masih sangat membutuhkan. Salah satu SKPD yang menjadi sasaran penembahan tenaga pegawai kontrak adalah dinas kesehatan dan dinas pendidikan Kabupaten Kaimana.

Dampak dari kebijakan penambahan tenaga pegawai kontrak, khususnya pada dinas kesehatan, maka sebagian masyarakat atas nama suku Mairasi melakukan pemalangan terhadap kantor dinas kesehatan dan kantor rumah sakit. Sikap pemalangan ini dilakukan karena beberapa nama anggota masyarakat dari suku Mairasi tidak diakomodir dalam SK (Surat Keputusan) penerimaan pegawai kontrak. Pemalangan tersebut sempat melumpuhkan aktifitas pegawai dinas kesehatan dan pegawai kesehatan yang bertugas sebagai pagawi di kantor RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Kaimana.

Penerimaan pegawai tidak hanya sebagai peluang bagi para pencari kerja, sisi lain dari kebijakan pemerintah adalah, bagaimana pemerintah bisa menjawab persoalan masyarakat, baik menyangkut kuantitas (jumlah) pegawai, maupun kualitas (mutu/hasil) pelayanan pemerintah terhadap sejumlah masalah yang dihadapi pemerintah.

Menghadapi persoalan ini, pemerintah melakukan langkah-langkah riil, yaitu dengan memprioritaskan anak-anak asli, dan hal itu dijelaskan oleh kepala daerah saat menghadiri kegiatan RAKERSIS (Rapat Kerja Klasis) Gereja Protestan Indonesia di Papua, tahun 2014 di Jemaat Imanuel Kensi mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut:

(15)

229 tidak lakukan interfensi, maka sangat kasihan sekali, anak-anak negeri tidak banyak yang bisa menjadi pegawai negeri sipil‖.

Penjelasan yang disampaikan memberi keterangan terkait sikap pemerintah daerah dalam melakukan perimbangan penerimaan tenaga Pegawai Kontrak dan CPNS. Dalam konsep kebijakan, ―tindakan kebijakan ―policy‖ digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor

(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah), atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan

tertentu‖. Dengan demikian, apa yang dilakukan pemerintah merupakan sikap yang sangat tepat mewakili birokrasi pemerintah.

Selain upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan menambah jumlah PNS dan pegawai kontrak, pada sisi yang lain, pemerintah berhadapan dengan sejumlah persoalan terkait dengan pengabdian ANS di lingkungan kerja pemerintah daerah Kabupaten Kaimana, khusus untuk PNS yang melaksanakan fungsi sebagai guru.

Kebiasaan meninggalkan tempat tugas mengakibatkan masyarakat melakukan pemalangan terhadap gedung sekolah, dan rumah kepala sekolah.

―masyarakat dorang (mereka) palang sekolah, karena guru-guru selalu tidak berada di tempat tugas. Kalau kita bandingkan guru-guru masa sekarang ini paling berbeda dengan guru-guru-guru-guru pada waktu dulu, waktu kami sekolah, hanya ada satu dua tenaga guru yang ajar kami, tetapi mereka bisa mengajar enam kelas, bahkan dorang (mereka) bisa lakukan les pelajaran malam hari di rumah pastori. Sekarang ini, guru-guru yang dinas pendidikan kasih untuk kitorang (kita) di kampung-kampung, ada guru pemerintah PNS, guru kontrak, tapi tidak sama dengan pace-pace1 (bapa-bapa) guru dulu, pace-pace (bapa-bapa) guru itu

mengajar di depan kelas, mereka ajar masyarakat berkebun, mereka bisa jadi mantri, mereka ajar masyarakat kerja rumah (tukang kayu). Tetapi tenaga guru yang sekarang ini, su tra (sudah tidak) mengajar baik-baik, su tra (sudah tidak) betah di tempat tugas. Coba kalau dinas mau ganti tenaga guru itu dorang (mereka) lihat yang pas di kampung baru kasih tugas, kalau begini-begini sama saja, kitorang pung (kita punya) anak-anak tidak bisa pintar. Kalau tidak percaya bapa lihat ada beberapa

(16)

keluarga yang sudah bawa turun mereka punya anak di kota untuk sekolah di sana, karena guru-guru tidak ada, mungkin ada tenaga honor satu orang dari kampung yang mengajar saja‖.

Hal ini menunjukan kinerja birokrasi pemerintah di lapangan belum mencapai target yang diharapkan. Kebiasaan guru meninggalkan tempat tugas berbulan-bulan, bahkan hingga mencapai satu tahun ajaran. Fenomena ini menunjukan betapa lemahnya fungsi kontrol pemerintah, khususnya instansi penanggungjawab penyelenggaraan pendidikan.

Menghadapi persoalan seperti ini, masyarakat setempat mengambil langkah-langkah konkrit, menyampaikan laporan kepada pihak kepolisian, dalam hal ini POLSEK (Kepolisian Sektor) terdekat dan melakukan pemalangan sekolah dan rumah dinas guru kepala sekolah. Setelah itu, masyarakat menyampaikan tindakan mereka kepada dinas terkait (dinas pendidikan) di Kabupaten Kaimana.

Menanggapi laporan masyarakat, pihak dinas pendidikan melakukan mutasi terhadap kepala sekolah yang selalu meninggalkan tempat tugas. Kebijakan ini menurut Charles O. Jones. merupakan sikap yang memiliki hubungan dan kesamaan dengan tujuan (goals),

program, keputusan, (decision), standard, proposal, dan grand design.

Pada sisi lain, pemerintah telah memenuhi hak-hak pegawai (guru), hak-hak tersebut diuraikan sebagai berikut:

―untuk hak-hak pegawai sudah kami berikan dengan memperhatikan lokasi atau wilayah kerja pegawai di daerah. Untuk mereka-mereka yang bertugas di daerah terpencil atau terisolir, selain gaji kami berikan insentif zona yang lumayan besar, tidak saja itu, ada uang lauk pauk dan masih ada tambahan-tambahan pengasilan yang lain. Tujuan dari semuanya itu, kita berharap tidak ada alasan yang dibuat-buat untuk tidak melaksanakan tugas di kampung-kampung‖.

(17)

231 Pemilihan kepala daerah merupakan pesta rakyat di tingkat daerah. Menghadapi pelaksanaan pesta demokrasi pemelihan kepala daerah, rakyat secara bebas ingin menyatakan pilihan mereka kepada kandidat yang dipercaya rakyat, maka dampak yang muncul di atas permukaan adalah terjadinya pengkotak-kotakan. Realitas seperti ini sangatlah logis, karena setiap individu memiliki kebebasan dan menggunakan kebebasan secara individu untuk memilih figur kepala daerah.

Tidak saja rakyat, ternyata pengaruh pemilihan kepala daerah memengaruhi kebijakan politik pemerintah. Menjelang akhir periode pertama 2005-2010, kepala daerah Kabupaten Kaimana membuat kebijakan memutasikan beberapa kepala distrik. Kabijakan ini di pandang sebagai kebijakan politik dalam rangka untuk menjawab kepentingan sang petahana untuk periode berikut 2010-2015.

Jelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah Kabupaten Kaimana, pemenang pemilihan kepala daerah Kabupaten Kaimana periode 2010-2015 dimenangkan oleh wakil bupati periode 2005-2010. Sebagai pemenang, berbagai kebijakan pun dilakukan. Dari sejumlah kebijakan yang dibuat, mutasi/pergeseran Kepala Distrik Teluk Arguni mendapat sorotan hangat dari masyarakat lokal. Sikap masyarakat tersebut, dinampakkan dengan cara menandatangi surat penolakan oleh sejumlah kepala kampung, disertai dengan sikap pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni menggunakan simbol adat ―kakur-utie ro‖.

(18)

kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang.

Sangatlah benar, bahwa dampak demonstrasi massa selalu dinilai sebagai bentuk awal sebuah kegiatan yang berdampak pada KAMTIBMAS, pengerusakan sejumlah infrastruktur pemerintah. Wajah demonstrasi massa dengan sikap arogan inilah, maka Le Bon menyamakan hal tersebut sebagai prilaku kolektif menyerupai emosi binatang. Namun fakta yang digunakan Le Bon untuk membangun teori gerakan sosial didasarkan pada fakta gerakan Revolusi Prancis. Karena itu, ketika melakukan perbandingan dengan gerakan sosial di Indonesia, khususnya gerakan sosial menggunakan simbol adat di Kabupaten Kaimana tentu memiliki perbedaan.

Penulis melihat perbedaan tersebut didasarkan pada fakta-fakta empiris sebagai berikut: pertama, secara kultur, masyarakat Prancis berbeda dengan masyarakat di Papua dan Papua Barat, khususnya masyarakat adat delapan suku besar di Kaimana. Perbedaan kultur ini menjadi landasan kuat ketika dijadikan sebagai dasar membangun sebuah teori gerakan sosial; kedua, bentuk kesamaan gerakan sosial yang terjadi di Prancis dan di Kabupaten Kaimana hanya berada pada kerumunan massa, sementara yang membedakan kedua gerakan sosial ada pada ANT (Aktor Network)-nya; dan ketiga, gerakan sosial yang terjadi di Kabupaten Kaimana tidak bersifat menghancurkan infrastruktur, perebutaan kekuasaan dan atau penggulingan rezim. Karena substansi dari gerakan sosial di Kabupaten Kaimana adalah upaya menunjukan identitas dan pemerataan keadilan dari prespektif kultur masyarakat adat.

(19)

233 Kabupaten Kaimana tidak bisa disamakan dengan ―gerakan kolektif‖ yang terjadi pada saat Revolusi Prancis.

―waktu itu kami hanya disuruh untuk tanda tangan surat oleh pace distrik, tetapi pace (bapak) distrik tidak kasih jelaskan kalau untuk tolak kepala distrik yang baru, pace (bapak) distrik hanya bilang karena para petugas tidak melaksanakan tugas di kampung-kampung dengan baik jadi bapa dong tanda tangan supaya bapak Bupati bisa perhatikan apa yang bapa-bapa sampaikan‖.

Ajakan ini menggambarkan ada upaya dari pihak pemerintah (kepala distrik) untuk mengajak masyarakat adat terlibat dalam pusaran masalah yang dia hadapinya, terkait dengan kebijakan mutasi terhadap yang bersangkutan. Konteks inilah yang menjadi substansi yang membedakan gerakan sosial di Prancis pada abad pencerahan dengan gerakan pelawanan sosial di Kabupaten Kaimana.

Perbedaan Gerakan Revolusi Prancis dan Gerakan Perlawanan Simbol Adat di Kaibupaten Kaimana haruslah diukur dari indikator pemicu serta dampak yang ditimbulkan. Indikator pemicu Gerakan Revolusi Prancis, dipicu oleh sistem kepemimpinan Monarki (Kerajaan) yang dipimpin oleh raja yang berlaku tidak adil dalam mengatur kerajaan Prancis saat itu, seperti: ―kekuasaan raja tidak terbatas; kekuasaan raja tidak diatur dan tidak dibatasi oleh undang-undang; kekuasaan raja tidak diawasi oleh parlemen; raja menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan sehingga tidak pernah salah; raja memerintah secara turun temurun; raja bertindak sewenang-wenang‖.

Konteks ini menjadi wajah yang memicu ―gerakan kolektif‖ Revolusi Prancis.

(20)

Ketika kekuasaan raja tidak lagi terbatasi oleh undang-undang, maka menurut Blumer, ―masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian sendiri-sendiri, sehingga ―tindakan kolektif‖ adalah tindakan yang didahului dari penafsiran pribadi atas situasi sosial yang mereka alami‖ (Irving Zetlin, 1995:332). Dalam konteks ini,

sesungguhnya lembaga-lembaga sosial dalam kehadirannya, sudah harus memberi perhatian atas situasi sosial yang tidak seimbang (situasi yang memberi dampak keuntungan bagi penguasa sementara rakyat berada dalam situasi yang sangat menderita). Namun, dalam kenyataan tersebut lembaga-lembaga sosial tidak bisa berbuat banyak. Di sinilah letak titik lemah kehadiran sejumlah lembaga-lembaga sosial, Neil Smelser (1962), Donatella Della Porta dan Mario Diani (1999: 4).

Mungkin saja kehadiran lembaga-lembaga sosial, keagamaan, mahasiswa tidak mampu berbuat banyak karena dampak tekanan penguasa, akan tetapi ―perilaku kolektif‖ tidak akan pernah berhenti, Ralph H. Tuner dan Lewis M.Killian (1972) dalam (Popenoe 1977:404).

Ibadah haji di antara kebijakan dan religious symbols

Kebijakan pemerintah untuk mengirim CJH asal Kaimana menunaikan rukun Islam ke lima merupakan program rutin pemerintah setiap tahun. Sejak berdirinya Kabupaten Kaimana tahun 2005, pemerintah daerah membuat kebijakan mengirim masyarakat Kaimana yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik ke kota-kota suci, Mekah dan Yerusalem.

Kebijakan yang mengantar manusia untuk memenuhi rukun Islam yang ke lima di tahun 2012, ternyata terbentur dengan masalah ketika tiba di Jakarta. Dari tiga puluh sembilan CJH yang diberangkatkan ke Mekah, hanya delapan belas CJH yang memiliki kelengkapan dokumen, dua puluh satu CJH lainnya tidak memiliki kelengkapan dokumen. Mereka lalu bersepakatan bersama untuk tidak melakukan perjalanan haji alias batal berangkat.

(21)

235 ―KAIMANA - Ratusan warga asli Kaimana melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Bupati Kaimana, sekitar pukul 11.00 WIT siang kemarin (22/10). Aksi itu dilakukan menyusul pembatalan keberangkatan 39 calon jemaah haji asal Kaimana, yang diprogramkan oleh pemerintah daerah selama dua tahun anggaran dan dibiayai APBD tahun 2011 dan 2012. Saat ini, ke-39 CJH asal Kaimana yang batal berangkat, masih berada di Wisma Sayidah Inn, Kompleks Universitas Islam Negeri, Ciputat Jakarta Selatan. Menurut rencana, mereka akan kembali ke Kaimana, Rabu (24/10) mendatang. Ke-39 warga Kaimana batal berangkat karena 18 calon jemaah haji tidak memiliki visa‖.

Dari lansiran berita tersebut, ditemukan beberapa catatan penting, antara lain; bahwa program keberangkatan menunaikan ibadah haji yang diikuti oleh tiga puluh sembilan CJH merupakan bagian dari program tahun 2011 dan 2012, maka diperkirakan setiap tahun pemerintah Kabupaten Kaimana mengirim kurang lebih delapan belas hingga sembilan belas CJH, biaya perjalanan CJH bersumber dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).

Dari lansiran berita koran Rada Sorong, ditemukan titik lemah kebijakan yang berdampak pada gagal berangkat CJH ke tanah suci disebabkan pada masalah kelengkapan dokumen visa, itu berarti, titik lemah kebijakan tersebut sangat berkaitan dengan jaringan ANT yang digunakan oleh pemerintah Kabupaten Kimana. Kondisi ini tidak saja menggambarkan kegagalan sebuah kebijakan, melainkan terkesan jajaran birokrasi tidak memahami secara baik regulasi, baik dalam bentuk kebijakan maupun undang-undang ibadah haji. Keterkaitan dengan ―kebijakan itu sendiri merupakan suatu arahan atau usulan

yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah untuk

digunakan mencapai tujuan‖... Carl Friedrik.

(22)

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI MENJADI UNDANG-UNDANG. Pada bagian kedua, tentang ―KEWAJIBAN PEMERINTAH‖ bahwa:

Pasal 6

―Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan

perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji‖. Bagian Ketiga

―Hak Jemaah Haji‖ dan:

Pasal 7

Jemaah Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam menjalankan Ibadah Haji, yang meliputi: (a) pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di tanah air, di perjalanan, maupun di Arab Saudi; (b) pelayanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan yang memadai, baik di tanah air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi; (c) perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia; (d) penggunaan Paspor Haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah Haji; dan (e) pemberian kenyamanan Transportasi dan pemondokan selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah air.

Jika dijelaskan bahwa CJH asal Kabupaten Kaimana mengalami masalah (gagal berangkat) disebabkan karena ketiadaan dokumen, maka berdasarkan uraian regulasi undang-undang yang berlaku, kegagalan berangkat telah menyalahi ketentuan pada pasal enam dan pasal tujuh, UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2009.

(23)

237 ke lima. Dampak dari kelalaian tersebut akhirya mengakibatkan demonstrasi massa terhadap kebijakan yang dibuat. Seperti yang lansir oleh koran daerah Radar Sorong bahwa:

―massa yang berjumlah ratusan orang datang dengan konvoi kendaraan roda dua maupun roda empat. Sampai di Kantor Bupati, massa yang membawa ―KERANDA MAYAT‖ dan meletakannya di loby ruang tunggu Bupati dan Wakil Bupati. Aparat keamanan dari Polres Kaimana dan Satpol PP tidak bisa berbuat banyak. Usai meletakan KERANDA MAYAT, massa menyegel ruang kerja Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma. Massa juga menyegel ruang kerja wakil Bupati, Burhanudin Ombaier, S.Sos, dan Assisten I Setda Kaimana, Rita Teurupun, S.Sos. Setelah melakukan aksi pemalangan ruang kerja Bupati, Wakil Bupati dan Asisten I Setdakab Kaimana, sebagian besar massa keluar menggelar orasi di halaman Kantor Bupati, sementara sejumlah warga lainnya bergerak menyegel tiap-tiap ruang kerja di Kantor Bupati Kaimana ini. Aksi itu menyebabkan sejumlah PNS yang sedang berada di dalam ruangan, langsung berhamburan keluar dan memilih untuk berada di luar ruangan. Selain menyegel kantor Bupati Kaimana, massa yang kecewa ini juga menyegel ruang Gedung DPRD Kaimana dan ruang Setwan. Koordinator aksi, Muhammad Karet, dalam orasinya di depan wakil rakyat yang menerima mereka, menegaskan kedatangan pihaknya ke Kantor Bupati dan DPRD sebagai bentuk kekecewaan terhadap proses pengurusan ke 39 calon jemaah haji asal Kaimana yang akhirnya batal berangkat menunaikan ibadah haji. Kami minta DPRD agar membuat laporan ke pihak-pihak terkait soal permasalahan ini. Warga asli Kaimana mempertanyakan mengapa pemerintah melakukan hal ini, memberikan pengurusan haji kepada mereka yang tidak berpengalaman dalam pengurusan keberangkatan haji,• tegasnya. Rusli Ufnia, orator lainnya juga mendesak DPRD Kaimana segera memanggil Bupati Kaimana. Jika pemanggilan tersebut tidak diindahkan, maka DPRD segera membuat sidang paripurna istimewa untuk menidaklanjuti persoalan ini hingga tuntas,• tukasnya2.

2 Sumber

(24)

Sikap masa seperti ini merupakan bagian dari kekecewaan terhadap keberangkatan CJH yang tidak bisa menjalankan Rukun Isalam ke lima di Tanah Suci.

Berbeda dengan sikap massa yang melakukan pemalangan terhadap infrastruktur dengan menggunakan simbol adat. Kemarahan massa terkait gagal berangkat CJH ke tanah suci, tidak menampakkan kekecewaan mereka dengan menggunakan simbol adat, massa lebih memilih menggunakan simbol yang memiliki nilai relijius.

Ada pesan penting dari penggunaan simbol relijius tersebut, bahwa sebenarnya demonstrasi massa yang mereka lakukan tidak memiliki kaitan dengan sejumlah demonstrasi massa yang menggunakan simbol adat, selain itu pula, fungsi simbol reliji (keranda mayat) yang berhubungan dengan fungsinya (tempat mengusung mayat), memberi pengertian tentang ketidakberdayaan pemerintah dalam mengurusi perjalanan CJH ke Tanah Suci. Dalam konteks ini, rakyat berada pada posisi sebagai pihak yang menyampaikan keluhan mereka terhadap pemerintah.

Ditinjau dari sisi teori gerakan sosial, demonstrasi massa merupakan bagian dari sikap keluhan masyarakat kepada pemerintah atas berbagai persoalan sosial yang mereka hadapi. Dalam teori keluhan yang besumber dari ―The Manifesto of the Communist Party, Karl Marx dan Frederick Engels mengutarakan bila sejarah setiap perkembangan peradaban masyarakat yang ada sampai dengan saat ini, tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas (Fargains, 2000: 31).

(25)

239 Dalam kaitannya dengan substansi pokok bahasan ini, maka demonstrasi massa terhadap gagal berangkat tiga puluh sembilan CJH merupakan bagian dari sikap kekesalan dan keluhan massa yang mengakibatkan munculnya gerakan perlawanan menggunakan simbol ―keranda mayat‖. Gerakan demonstrasi ini tidak mewakili struktur kelas sosial dalam kehidupan masyarakat.

Penggunaan simbol menurut R. M. Maclver bahwa simbol ―keranda mayat‖ melambangkan ―Kesatuan sebuah kelompok...

sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian dan sarana komunikasi, sebagai landasan pemahaman bersama... penggunaan simbol ―keranda mayat‖ pada prespektif Edmund Leach (1950:340), hal itu dilihat sebagai ―tindakan-tindakan ekspresif‖ yang bisa menimbulkan presepsi

yang berbeda, bisa berhubungan dengan ―tatanan dunia sebagaimana

adanya, atau ―bermaksud untuk mengubah tatanan itu secara

metaforis‖.

Inti dari penggunaan simbol ―keranda mayat‖, merupakan simbol reliji yang menggambarkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kaum yang menunaikan ibadahnya.

Penggunaan Simbol dalam Kehidupan Manusia

Manusia dalam aktifitas kesehariannya selalu ditampilkan dengan menggunakan simbol, karena itu manusia disebut sebagai makhluk simbolik. Perhatikan dalam kehidupan keluarga, entah status sosialnya terpadang, atau tidak terpandang, setidaknya dalam rumah masing-masing pasti terdapat sejumlah simbol yang digunakan, walau mereka tidak merasakan bahwa mereka sementara hidup dengan menggunakan simbol. Jika mereka menyadari akan hal itu, dengan jujur mereka akan mengatakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa simbol.

(26)

pada bagian depan pintu rumahnya juga terpasang simbol salib yang sama. Kedua keluarga yang berbeda status sosial ini, sama-sama memiliki kendaraan, yang kaya menggunakan roda empat, sementra yang sederhana menggunakan roda tiga (becak). Pada bagian depan kendaraan, masing-masing memasang simbol salib, dan yang tidak kalah penting dibagian leher kedua orang tersebut melingkar rantai dengan simbol salib. Perbedaannya, yang kaya menggunakan simbol salib dengan bahan dasar logam mulia (emas), sementara yang sederhana menggunakan simbol salib dari bahan dasar kayu.

Ternyata, antara kaya dan miskin, keduanya memiliki ketergantungan yang sama terhadap simbol yang digunakan. Tidak peduli asal-usul bahan dasar simbol yang mereka gunakan, yang penting bagi mereka adalah simbol berbentuk salib. Sepertinya ada rasa aman yang mereka temukan di balik penggunaan simbol tersebut, karena itu ketika simbol itu diambil orang, sikap kegelisaan akan mereka nampakkan dan mulai berpikir negatif, pasti sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri mereka.

Sikap ini sudah ada jauh sebelum simbol salib hadir dalam kehidupan manusia, perhatikan ungkapan ini:

―sebenarnya simbol-simbol adat yang dimiliki suku Irarutu3

cukup banyak termasuk nama marga. Sama juga dengan marga-marga yang digunakan oleh beberapa suku yang lain. Nama marga memiliki tujuan masing-masing sesuai dengan asal-usul marga yang digunakan. Tujuan penggunaan marga untuk kita suku Irarutu sebenarnya memiliki tujuan untuk menunjukan asal suku, batas wilayah dan asal-usul leluhur masing-masing. Kalau tidak ada marga yang kita gunakan, maka kita menjadi orang asing disuatu tempat. Misalnya, kalau marga yang saya gunakan seperti marga ruwe, maka orang akan mengetahui bahwa saya berasal dari suku Irarutu, kalau saya dari suku Irarutu, maka semua orang mengetahui asal-usul saya dan saya punya milik tanah sampai di mana. Karena itu, marga yang kami gunakan memiliki tujuan tentang kejelasan asal usul, batas-batas wilayah agar tidak menguasai hak milik orang lain atau suku lain.

3 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Irarutu

(27)

241 Informasi yang disampaikan hendak memberi kejelasan bahwa penggunaan simbol memiliki hubungan dengan leluhur dan alam. Karena itu terkait kebijakan pemerintah yang menjadi sasaran gerakan perlawanan simbol, maka tujuan gerakan perlawanan tersebut pada satu sisi memiliki kaitan dengan gerakan perlawanan yang memiliki kemiripan dengan gerakan sosial berbasis etnis, namun pada sisi lain, gerakan perlawanan simbol adat bertujuan untuk mengingatkan pemerintah bahwa perlawanan yang dilakukan memiliki hubungan dengan konteks masa lalu. Gerakan perlawanan simbol merupakan gerakan kolektif yang tidak hanya melihat pada masa depan yang akan lebih baik, tetapi pada prinsip tertentu, gerakan perlawanan simbol ingin menunjukan keterikatan mereka dengan para leluhur.

Munculnya gerakan kolektif seperti gerakan perlawanan simbol adat yang berbasis pada kekuatan simbol masyarakat adat, hal itu merupakan sebuah gerakan yang tidak mengarah pada upaya melawan pemerintah (menurunkan pemerintahan yang sah), dan tidak bisa disamakan dengan gerakan sosial kelas bawah. Sebab yang ingin ditunjukan dari penggunaan simbol adat adalah otoritas masyarakat adat, mereka ingin menyampaikan pesan-pesan kultur kepada pihak pemerintah bahwa mereka adalah pemilik alam.

Disaat yang sama, melalui simbol adat yang digunakan oleh masyarakat adat, masyarakat lokal secara tidak langsung telah memberi garis beda antara institusi adat dengan institusi pemerintah, bahwa sebenarnya sejak awal keduanya memang beda. Namun perbedaan itu tidak berkaitan dengan konteks kelas dalam kehidupan sosial seperti teorinya Karl Marx.

Menggunakan simbol adat sebagai tameng

(28)

gangguan alam gaib). Pertanyaannya adalah: kapan simbol-simbol masyarakat adat terbentuk dan mulai digunakan.

Hadirnya simbol adat dan penggunaannya dalam diri manusia, dimulai dari setiap individu berkeinginan hidup bergabung menjadi satu komunitas. Karena terjadi penggabungan setiap individu, dan jumlah manusia semakin bertambah melalui perkawinan, maka untuk menjaga dan mengatur manusia, mereka membutuhkan sejumlah aturan dalam rangka mengatur ketertiban dalam komunitas mereka. Untuk tujuan tersebut, maka aturan-aturan diciptakan hanya bersifat simbol dan tanda-tanda. Saat itu, manusia belum bisa menciptakan huruf, saat itu yang bisa dilakukan manusia hanya sebatas simbol.

Dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖, C. A. van Peursen menguraikan pengertian dan proses terwujudnya simbol atau lambang dalam kebudayaan manusia antara lain: Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai: ―di mana ada asap, di sana ada api‖, asap merupakan tanda adanya api. Namun menurutnya, antara tanda dan apa yang ditandai, tak ada lagi suatu pertalian alamiah. Api hanya bisa diketahui kalau ada asap, keduanya berbeda secara natural tetapi saling berhubungan satu dengan yang lain.

Untuk menandai sesuatu yang dilarang, masyarakat adat di Kabupaten Kaimana menggunakan beragam simbol seperti ―utie ro

-kakur‖ dan simbol ―nggama‖. Simbol ―utie ro-kakur‖ dan simbol ―nggama‖ secara fisik diambil dari beberapa jenis pohon seperti ―utie ro

(29)

243 simbol adat kembali dilepaskan. Pada saat itulah potensi alam bisa digarap kembali. Kebiasaan ini biasanya masyarakat lokal menyebutnya dengan istilah ―sasi nggama‖.

Secara alamiah, antara simbol ―nggama‖ dengan apa yang ―dilarang/ditandai‖ tidak memiliki hubungan alamiah. Keterhubungan keduanya hanya saling menerangkan satu dengan yang lain. ―Jadi

simbol yang terlihat hanya berfungsi menerangkan sesuatu yang tidak

sama dengan dirinya sendiri‖. Hal ini sejalan dengan pernyataan R. M. Maclver, ia menjelaskan bahwa: ―Kesatuan sebuah kelompok, seperti

semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud simbol...

pengungkapan simbol tidak hanya bertujuan memberi keterangan tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, ―simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu‖, simbol dijadikan sebagai pusat perhatian tergantung pada makna dan tujuan penggunaannya, selain untuk melesteraikan alam, tetapi juga sebagai sumber kehidupan dari apa yang mereka tandai. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa simbol sebagai ―sebuah sarana komunikasi‖.

Alasan simbol sebagai sarana komunikasi karena simbol yang digunakan merupakan wujud kesepakatan bahasa bersama. Kesepakatan bahasa bersama sudah mencakup komunikasi, yang oleh Maclver memperjelasnya sebagai ―landasan pemahaman bersama‖... simbol pada sisi yang lain, digunakan dan dilihat sebagai bentuk dan cara masyarakat berkomunikasi dengan alam sekitar dengan menggunakan media yang berada di alam sekita seperti simbol ―nggama‖, maka ―setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang

lain, masyarakat adat di Kabupaten Kaimana selalu ―menggunakan

simbol-simbol, sebab ―masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa

simbol-simbol‖.

(30)

yang berarti: ―melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan),

yang berhubungan dengan ide.

Dalam kehidupan manusia, ide seringkali dihubungkan dengan konsep-konsep. Sejumlah konsep tersebut melebur dalam diri manusia secara individu, dan disebut kekuatan atau potensi. Potensi atau kekuatan dalam diri manusia, lalu dituangkan menjadi buah-buah pikir manusia dalam bentuk simbol-simbol.

Untuk memahami hal ini, kita harus membedakan tuangan ide-ide masa lalu dengan tuangan ide-ide-ide-ide masa sekarang. Pada masa lalu ide-ide dibuat dalam bentuk simbol-simbol, karena pada zamaan itu manusia belum mengenal huruf serta membaca dan menulis, maka ide-ide hanya dilahirkan dari pikiran mereka sebatas berbentuk simbol.

Melalui sejumlah simbol masyarakat adat, manusia dapat membaca maksud-maksud tertentu yang tertuang dalam simbol. Pada masa sekarang, simbol didesain lebih modern dan mengalami perubahan bentuk sesuai zaman. Manusia mulai mendesain simbol yang dikenal dengan sebutan abjad (a-z), dan dari desain simbol berbentuk abjad, maka untuk menandai sesuatu lokasi yang dianggap terlarang, cukup dengan menulis seperti begini: ―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖.

(31)

245 Kebebasan berbahasa dan simbol kuasa dalam bahasa

Berbahasa yang baik haruslah dimulai dari niat mempelajari bahasa. Tidak ada orang yang bisa berbahasa tanpa dimulai dari niat mempelajari bahasa. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi antar manusia, dalam penggunaan bahasa, manusia dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dengan alam dan makhluk hidup yang berada di sekitar manusia, termasuk berkomunikasi dengan alam gaib.

Karena itu, dengan mempelajari bahasa, seseorang dapat menggunakan bahasa yang dipelajarinya untuk berbagai maksud, bisa untuk hal-hal yang postif tetapi ada orang yang mempelajari bahasa untuk tujuan negatif. Hal ini disebabkan karena bahasa mengandung unsur kekuatan. Dengan bahasa setiap individu bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi dalam nilai-nilai yang positif, sementara dalam nilainya yang negatif, bahasa bisa digunakan untuk menghancurkan orang lain. Hal-hal yang mungkin tidak kita sadari dengan bahasa yang digunakan, orang bisa saja memuji dan menghina orang lain, dengan bahasa pula manusia bisa membangun dan meruntuhkan sebuah kekuatan. Pernakah kita bayangkan bagaimana jika pembangunan yang dilakukan tidak menggunakan bahasa. Kisah pembangunan menara babel oleh desainer terkenal bernama Nimrod hancur berantakan hanya karena kekacauan bahasa.

Tidak bisa disangkal, bahwa untuk memulai proses pembangunan, bahasa sangat memainkan peran utama. Tanpa bahasa, komunikasi untuk memulai pembangunan tidak akan pernah berjalan. Dengan kesadaran itulah, maka sebelum republik ini terbentuk, pada tahun 1928 para pemuda dengan kesadaran nasionalis, mereka meletakan bahasa sebagai dasar utama.

(32)

bayangkan saja jika ke lima sila tidak menggunakan Bahasa Indonesia, maka saya sangat yakin, kita tidak pernah memahami secara benar apa maksud dan tujuan dari ke lima sila tersebut. Ke lima sila memiliki kekuatan dikarenakan menggunakan Bahasa Indonesia.

Republik ini terbentuk dari beragam suku bangsa dan bangsa. Menyadari kemajemukan suku bangsa dan bahasa, maka sangat tepat jika keberagaman bangsa bisa diikat menjadi satu kekuatan. Untuk maksud tersebut, cetusan ikrar ―sumpah pemuda‖, tentang ―berbahasa satu bahasa Indonesia‖, sangatlah tepat jika simbol bahasa Indonesia dijadikan wadah pemersatu perekat keberagaman dalam melaksanakan pembangunan.

Indonesia menjadi bangsa yang besar karena dalam sejarah bangsa, Indonesia mampu mengukir sejumlah sejarah yang besar. Tidak ada dalam sejarah sebuah bangsa yang besar menghadirkan catatan sejarah sederhana. Tentu masih teringat dalam sejarah bangsa Indonesia, bagaimana bangsa ini hadir dengan tahapan-tahapan orde dengan bahasa simbol yang sangat memengaruhi masyarakat. Pada era ORLA, kita mengenal berbagai bahasa simbol seperti NASAKOM, bapak Proklamator dll. Pada era ORBA, kita juga mengenal bahasa simbol yang digunakan seperti bapak pembangunan, REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan era Reformasi masa SBY-JK (Susilo Bambang Yudoyono–Yusuf Kalla) mereka berdua tampil dengan bahasa simbol ―good governance‖ dan ―katakan tidak pada korupsi‖, tidak ketinggalan era JOKOWI (Joko Widodo) dan JK (Jusuf Kalla), keduanya menggunakan bahasa simbol ―kerja, kerja, kerja‖.

(33)

247 Sepintas kedengaran indah, keren dan masuk akal. Rakyat seakan melayang-layang mendengar sejuta istilah tersebut, tetapi yang utama dari sejumlah bahasa simbol seperti ini, perancang dan penggunanya sementara membangun relasi kekuatan dan kekuasaan melalui bahasa itu sendiri, John B. Thompson menyebutnya sebagai ―As competent speakers we are aware of the many ways in which linguistic exchanges can express relation of power‖... karena itu, dalam penggunaan bahasa simbol, tidak secara lengsung menerangkan hubungan komunikasi antara kelompok politik dengan masyarakat, tetapi di dalamnya terkandung makna berbeda yang mengarah pada tujuan membangun relasi kekuasaan.

Di Tanah Papua, provinsi hingga daerah-daerah kabupaten/kota, berbagai istilah bahasa simbol dilahirkan atas nama rakyat. Beberapa istilah yang sangat indah digunakan, misalnya ―OAP‖, ―putra daerah‖, dan ―menjadi tuan di negeri sendiri‖. Penggunaan bahasa simbol seperti ini, ditujukan kepada masyarakat Papua, dengan tujuan untuk mengingatkan mereka sebagai pemilik atau tuan tanah di atas tanah mereka. Selain itu, bahasa simbol seperti ini memberi gambaran jelas bahwa rakyat sangat diutamakan dalam pembangunan. Namun hal itu menurut Thompson hanyalah ―We are sensitive to the variation in

accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in

the social hierarchy‖.

(34)

ketika ia (bahasa) digunakan untuk menyampaikan informasi (atau versi informasi), yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

Dari pendapat Thompson, dipahami bahwa pada saat para pemuda mencetuskan sumpah pemuda, maka di saat itulah bahasa-bahasa lokal terancam. Ancaman terhadap bahasa-bahasa-bahasa-bahasa daerah yang dimiliki suku bangsa dan bahasa di nusantara, bisa terlihat ketika bahasa lokal tidak diakomodir dalam sistem pendidikaan nasional. Keadaan ini terkesan menempatkan bahasa lokal menjadi bahasa nomor dua di negerinya sendiri. Jika kita menjadi tuan di negeri sendiri, maka bahasapun harus menjadi tuan di negeri-nya juga.

Kekuasaan bahasa tidak selalu positif, dan juga tidak selamanya negatif, karena kekuasaan bahasa tidak tampil dalam bentuk fisik. Dalam tampilannya yang tidak berwujud fisik, maka terkadang kekuasaan bahasa sulit untuk dideteksi, sejauh mana dampak yang akan ditimbulkan.

Salah satu bentuk kehadiran kekuasaan bahasa tanpa fisik, selalu menyerupai simbol yang kehadirannya terkadang menggunakan bahasa slogan yang berkiblat kepada rakyat, misalnya; ―bersama rakya kita bisa‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖ dll. Bahasa simbol seperti ini merupakan bahasa pengagungan semu kepada masyarakat, rakyat seakan diberi legalitas, ―seolah-olah tanpa rakyat mereka tidak bisa buat apa-apa‖ bahkan ―suara rakyat diberi pengakuan adalah suara

Tuhan‖, sesungguhnya ada alasan dibalik pengagungan semu tersebut, karena rakyat sebagai pemegang mandat dalam sistem demokrasi, maka penggunaan bahasa simbol bertujuan untuk menarik simpati rakyat.

Ada saja cara yang dibuat oleh manusia untuk menghadirkan dirinya di tengah-tengah rakyat sebagai penguasa. Jelmaannya didesain sedemikian rupa melalui bahasa simbol dan ditaburi jutaan makna, hal ini dilakukan dengan harapan agar hati masyarakat bisa direbuat.

(35)

249 pernah bertemu dengan Allah, namun dengan daya imajinasi yang dimiliki, makhluk manusia mampu mendesain wajah dan nama Allah yang jauh di luar batas kemampuan manusia. Hal ini menunjukan betapa hebat makhluk yang satu ini. Bourdieu menyebutkan bahwa ―what creates the power of words and slogans, a power capable of

maintaining or subverting the social order, is the belief in the

legitimacy of words and of those who utter them‖.

Begitu kuatnya bahasa simbol dalam berbagai bentuk slogan, tatanan sosial masyarakat yang begitu kuat mampu diobrak abrik untuk mendapat simpati mereka. Perhatikan bagaimana penjual obat di pasar, dengan bahasa dan berbahasa yang dia gunakan untuk menawarkan hasil prodaknya yang tidak berlabel SNI (Standar Nasional Indonesia), bahkan tidak memiliki nomor registrasi dari BPOM (Badan pengawas Obat dan Makanan), apalagi sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), tetapi dari kekuatan bahasa, semua orang mampu didoktrin, bahkan mungkin saja dokterpun bisa terbuai membeli obat yang dijualnya. Itulah kreatifitas manusia dalam menghadirkan beragam simbol bahasa yang dia ciptakan. Dan itulah manusia sebagai makhluk pencipta simbol.

Gunakan Manusia Dalam Membangun Jangan Gunakan

Janji

Mungkin sudah menjadi kebiasaan dalam mengawali sebuah proses pembangunan, janji harus diikutsertakan dalam proses itu. Karena itu, rasanya kalau janji tidak diikutertakan maka proses pembangunan akan terasa hambar. Benarkah demikian? Mungkin iya! bagi mereka yang suka memberi janji kepada rakyat, sementara pada pihak lain, janji selalu dikonotasikan sama dengan utang dari pihak yang menerima janji kepada pihak yang memberi janji. Walau demikian, orang masih suka memulai proses pembangunan didahului dengan menyampaikan sejumlah janji-janji kepada masyarakat.

(36)

kepentingan, baik dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan dll, mereka berusaha mendapatkan dukungan serta simpati masyarakat, maka solusi yang ditempuh dengan cara memberi harapan berupa janji kepada masyarakat.

Membangun masyarakat dengan janji merupakan solusi di luar logika (nir-logis), masyarakat merupakan fakta pembangunan, masyarakat itu merupakan makhluk sosial yang bisa di lihat, diraba, diajak berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama, sementara janji merupakan daya imajinatif manusia, alat pembujuk yang tidak berwujud. Kedua hal ini menjadi sangat tidak logis jika janji (nir-logis) digunakan untuk membangun yang logis (masuk akal) seperti manusia.

Apa yang dijanjikan mungkin bagi anda masuk akal, mungkin juga bagi anda dan dia masuk akal, tetapi sebaiknya yang logis adalah masuk akan untuk kau, aku dan mereka. Pada bagian ini, penulis akan menggambarkan hasil temuan penulis terkait dengan dampak pembangunan yang selalu dimulai dari janji. Bagaimana hal itu berdampak dalam kehidupan masyarakat lokal dan pembangunan terhadap Orang Asli Papua di Kabupaten Kaimana.

Bilang kitong (kita) sekolah supaya jadi tuan di negeri sendiri terus kalau tidak sekolah?

―walaupun saya staf Distrik Teluk Arguni, namun sebagai anak

(37)

251 sikap penolakan dan kantor distrik kami palang menggunakan simbol

adat‖.

Bahasa sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia, karena itu dalam menggunakan bahasa, manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Begitu kuatnya peranan bahasa dalam kehidupan manusia, sampai-sampai manusia lupa kalau bahasa dapat membuat dirinya terjerat dalam berbagai masalah.

Menghadapi persoalan pembangunan di Papua, khususnya pembangunan di ―Negeri 1001 Senja‖, faktor utama yang dihadapi adalah manusia. Karena yang dihadapi adalah manusia, maka yang harus dilakukan adalah pembinaan terhadap manusia, sebab manusia merupakan indikator utama dalam pembangunan.

Terkadang tanpa sadar dalam melaksanakan pembinaan, terjadi kesalahan-kesalahan dalam pembentukan karakter manusia. Kesalahan tersebut erat kaitannya dengan bahasa yang digunakan saat melakukan komunikasi.

Penjelasan responden pada paragrap pertama, terindikasi terjadi kesalahan dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Tanpa sadar, dalam melaksanakan pembangunan pada bidang pemberdayaan masyarakat atau peningkatan kualitas hidup masyarakat, sejumlah pihak yang bertanggung jawab dalam program-program tersebut, entah sadar atau tidak, mereka mendesain cara berkomunikasi dengan cara seperti misalnya: ―kamu harus sekolah supaya bisa menjadi tuan di

negeri sendiri‖. Pesan bahasa simbol yang disampaikan dengan cara seperti ini, tidak sebatas sebagai bahasa spirit/penyemengat semata. Seharusnya disadari bahwa suatu saat masyarakat akan meminta pertanggungjawaban atas apa yang kita sampaikan kepada mereka.

(38)

pihak-pihak lain. Mungkin saja pemerintahan saat ini bisa saja membantah bahwa kami tidak memberi janji dan harapan seperti itu, namun satu hal yang pasti, bahwa pemerintahan saat ini adalah juga bagian dari pemerintahan masa lalu, yang berhadapan dengan konteks yang sama. Karena itu sikap masyarakat jelas. John B. Thompson menjelaskan bahwa:

―bahasa tak sekedar menjadi alat komunikasi yang mencakup sekumpulan kata-kata bermakna dalam sebuah proses pemahaman. Ia juga bisa berubah menjadi instrumen kekerasan yang mengeksploitasi semesta simbolik dalam jejaring kekuasaan. Bahasa—sebagai salah satu ruang produksi dan diaspora simbol— didapati oleh pelbagai kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan otoritas guna menanamkan otoritas‖.

Bahasa seringkali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang plural) karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, ketika ia digunakan untuk menyampaikan informasi yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Dalam pertarungan simbolik, selalu terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama yang diakui secara resmi, monopoli visi yang sah terhadap dunia sosial, dan memaksa pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam pertarungan simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi dengan tujuan akhir memperoleh kekuasaan.

Dari teori ini, dapat dipahami bahwa pesan-pesan berupa dorongan terthadap masyarakat lokal di Papua ―kamu sekolah supaya bisa jadi tuan di negeri sendiri‖, pada satu sisi sangatlah tepat karena memberi motifasi terhadap masyarakat, namun pada sisi lain tersirat sikap pemerintah bahwa ―selama kamu tidak mau sekolah, kamu tidak akan bisa menjadi tuan di negerimu sendiri‖.

(39)

253 asalkan dia berpendidikan. Jika berangkat dari konteks seperti ini, maka sampai kapanpun, OAP di ―Negeri 1001 Senja‖, tidak akan pernah mendapat kesempatan menjadi tuan di atas negerinya sendiri, karena pendidikan dijadikan syarat utama.

Jika pendidikan menjadi syarat untuk menjadi tuan di atas tanah mereka sendiri, maka masyarakat diperhadapkan dengan pilihan yang amat berat. Pilihan jalur pendidikan menjadi sebuah syarat utama mungkin bagi pihak lain yang memiliki kemapanan ekonomi hal itu tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi masyarakat kecil, menempuh pendidikan tinggi bukan persoalan mudah bagi mereka hidup di kampung-kampung terpencil di Papua khususnya di Kabupaten Kaimana.

Jika pendidikan itu semudah aktifitas masyarakat seperti memancing, pangkur sagu dan berburu hewan hutan, maka hal itu tidak masalah. Tidak disuruhpun mereka langsung melakukannya. Tingkat kesulitan pelaksanan pendidikan di Kabupaten Kaimana sangat jelas dari cerita responden yang satu ini:

(40)

sama dengan wilayah yang satu, nanti ada masyarakat di wilayah lain cemburu dan mengatakan bahwa pemerintah tidak adil‖.

Dari tingkat kesulitan seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa kriteria menjadi tuan di negeri sendiri seharusnya dievaluasi kembali. Penekanan terhadap ―diveluasi kembali‖ tidak berarti mengabaikan jalur pendidikan. Sebab pendidikan sudah menjadi keputusan dan janji para pendiri bangsa bahwa ―mencerdaskan kehiduan bangsa‖ sudah menjadi tugas pemerintah terhadap masyaraktanya (lihat baid keempat UUD 1945).

Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam konteks nasional, biaya pendidikan masih teramat mahal dan sulit dijangkau oleh kaum papah di wilayah terpencil. Dalam skala daerah, ada kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang sudah menggratiskan biaya pendidikan namun masih sebatas SMU/SMK sederajat. Bahkan di Tanah Papua hak-hak pendidikan OAP sangat jelas tersalur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001. Tetapi dalam faktanya, biaya pendidikan yang tersalur dari UU OTSUS Papua, belum bisa membiayai seluruh OAP yang mengikuti pendidikan tinggi. Karena itu, motifasi terhadap OAP untuk mengikuti pendidikan agar ―bisa menjadi tuan di negeri sendiri‖ seharusnya motifasi tersebut tidak digunakan. Carilah motifasi yang lain, sebab untuk menjadi tuan di negeri sendiri sampai kapanpun jika OAP mau hal itu dapat terealisasi, sayangnya mereka masih memberi kesempatan bagi saudara-saudara mereka yang jauh-jauh datang di Tanah Papua.

Antara janji dan kenyataan (dua sisi yang berbeda)

Penulisan bagian ini menekankan pada aspek perencenaan dan aspek implementasi (realitas). Artinya, pembangunan yang dirancang di ―Negeri 1001 Senja‖, selalu berhadapan dengan sejumlah persoalan. Munculnya sejumlah persoalan tersebut tidak ditemui pada saat awal perencanaan, tetapi pada tahapan implementasi.

(41)

255 perencanaan hanya dipandang sebagai tanggungjawab birokrasi; kedua, keterbatasan pengetahuan akademik pada pihak masyarakat; dan ketiga, yang paling penting adalah terdapat perbedaan konsep pembangunan antara pemerintah dan masyarakat lokal. Dalam konteks ini, masyarakat hanya terlibat atau dilibatkan pada saat implementasi kebijakan.

Seharunya, secara ideal dalam mengonsepkan pembangunan, masyarakat telah dilibatkan sejak awal. Hal ini penting, sebab kekuatan pendidikan secara akademis tidak bisa dianggap memiliki kekuatan semata, tanpa diimbangi dengan kekuatan spiritualitas pengalaman masyarakat. Jika keduanya tergabung menjadi satu, maka muncul kekuatan yang sempurna dalam upaya mewujudkan desain pembangunan.

Masyarakat lokal yang berada dalam lingkup berbagai wilayah pembangunan merupakan subyek pembangunan. Menjadi subyek pembangunan mengisyaratkan bahwa seharusnya masyarakat menjadi desainer pembangunan. Namun dalam faktanya, subyek pembangunan tersebut mengalami pergeseran menjadi obyek pembangunan, dampak pergeseran posisi masyarakat dari subyek menjadi obyek, secara langsung menunjukan bahwa, masyarakat telah diposisikan pada akhir kebijakan publik, yaitu sebagai penerima atau pemohon kebijakan pembangunan.

Sebagai penerima atau pemohon kebijakan, maka ada kemungkinan permintaan atau permohonan masyarakat terkait kebijakan pembangunan tidak akan diterima. Hal ini bisa saja terjadi karena terkadang kebijakan publik seringkali dipolitisir menjadi kebijakan politik. Dampak yang berbeda dari konteks seperti ini adalah masyarakat berada pada posisi pasif terhadap suatu kebijakan pembangunan. Sikap pasif ini dengan sendirinya memunculkan gerakan-gerakan perlawanan masyarakat adat dengan menggunakan simbol adat terhadap sejumlah kebijakan pembangunan. Hal tersebut dijelaskan oleh responden bahwa:

Referensi

Dokumen terkait

“Kesimpulan dari gerakan kemarin bagi saya tidak belum sesuai target, tapi cukup menjadikan suatu perhatian semua pihak (Pemerintah dan Indomart) untuk