• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN KEBIJAKAN PUBLIK - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN KEBIJAKAN PUBLIK - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

23

BAB II

GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI

GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN

KEBIJAKAN PUBLIK

Gerakan demonstrasi massa yang dimunculkan di tengah-tengah masyarakat merupakan sebuah gerakan sosial. Setiap gerekan sosial dalam bentuk demonstrasi massa, pawai, dan mimbar bebas, pasti digerakan oleh manusia dan memiliki tujuan tertentu.

Setiap gerakan sosial memiliki dasar serta tujuan yang berbeda-beda. Dasar serta tujuan dari suatu gerakan sosial tentu memiliki faktor-faktor penyebab yang sangat beragam. Hal ini menyebabkan setiap gerakan sosial yang terjadi pada tiap-tiap wilayah akan sangat berbeda-beda, akan tetapi setiap gerakan sosial selalu menginginkan perubahan entah perubahan yang diinginkan mengarah pada hal-hal yang positif atau negatif, hal itu tidak bisa dipastikan. Namun dari fakta riil, sebuah gerakan dapat diberi nilai positif atau negatif, hal itu sangat tergantung pada suatu keadaan. Misalnya dalam konteks bernegara, Indonesia merupakan negera hukum, karena itu jika ada gerakan sosial yang menentang hukum yang berlaku, maka kita dapat memberi nilai negtif terhadap tujuan gerekan tersebut. Atau sebaliknya, jika dalam praktek pemerintahan terjadi pelanggaran atas hukum, dan muncul gerakan sosial menentang sikap pemerintahan, maka tujuan sebuah gerakan sosial dapat dipastikan positif.

(2)

24

gerakan tersebut merupakan gerakan perlawanan, atau bukan gerakan perlawanan, hal itu sangat tergantung pada substansi gerakan tersebut. Jika terjadi gerakan sosial atas dasar menentang ketidakadilan, maka gerakan tersebut termasuk gerakan perlawanan karena menentang ketidakadilan untuk tujuan keadilan. Hal ini berbeda dengan gerakan sosial untuk tujuan kemanusiaan. Gerakan sosial untuk kemanusiaan secara langsung diarahkan pada masalah sosial yang dihadapi oleh sekelompok orang yang membutuhkan pelayanan kemanusiaan.

Reaksi gerakan perlawanan simbolik adat terhadap kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kaimana, merupakan dua sisi yang berada dalam satu arena realitas masyarakat lokal. Antara kebijakan publik dan gerakan perlawanan simbol keduanya saling bersinggungan secara negatif. Pada konteks realitas obyektif, gerakan perlawanan simbol adat menginginkan adanya keadilan dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan. Tuntutan obyektif masyarakat lokal, didasarkan pada fakta kebijakan pembangunan yang dirasakan mengalami kepincangan disaat kebijakan pembangunan diimplementasikan.

Sesungguhnya, substansi kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kaimana, merupakan bagian dari sikap pemerintah yang bertujuan untuk menjawab persoalan sosial yang dialami masyarakat. Hal ini memiliki hubungan erat dengan mandat rakyat dipegang oleh seorang kepala daerah yang berasal dari rakyat. Mandat yang diberikan tidak hanya dilihat dari sisi manusia sebagai makhluk politik yang menyalurkan hak politiknya, pada sisi yang lain, mandat rakyat dititipkan kepada seorang kepala daerah merupakan titipan dari rakyat sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia butuh pihak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka dalam hal ini pemerintah sebagai penerima mandat rakyat dianggap mampu menjawab kebutuhan manusia yang tidak bisa dipenuhinya sendiri. Dalam konteks tersebut, ternyata melahirkan fakta berbeda dan menimbulkan ketegangan masyarakat versus pemerintah.

(3)

25 berkomunikasi dan berprilaku, manusia selalu menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan pesan-pesan yang dirasakannya kepada pihak lain. Interaksi manusia dengan sesama dalam menggunakan simbol telah terjadi sejak manusia hadir di dunia, karena itu ukuran usia manusia dengan usia simbol adalah sama, tidak ada yang lebih duluan satu dengan yang lain. Dalam konteks inilah, manusia disebut juga sebagai makhluk pengguna simbol. Untuk menyampaikan pesan-pesan dalam bentuk simbol, pesan-pesan yang disampaikan bisa bermaksud positif tetapi juga negatif, hal tersebut sangat tergantung pada masalah yang dirasakan manusia untuk disampaikan kepada pihak lain.

Simbol selalu dipahami dan dimaknai sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, maka setiap penggunaan simbol pasti dilakukan berdasarkan pada tujuan yang ingin disampaikan. Hal ini dimaksudkan agar menjadi jelas pada pihak lain sebagai sasaran atau tujuan penerima simbol. Untuk itu, setiap simbol yang digunakan harus diperjelas tujuan penggunaan simbol, mulai dari pengirim maupun kepada penerima simbol agar tidak menimbulkan prasangka serta penilaian buruk. Pada sisi lain dalam situasi tertentu simbol terkadang dapat dimodifikasi dan dipolitisir untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Pada bagian ini penulis akan mendudukan kajian literatur gerakan sosial, simbol dan kebijakan publik yang memiliki kaitan dengan implementasi kebijakan pemerintah daerah yang dijuluki ―Negeri 1001 Senja‖.

Gerakan Perlawanan Simbol

(4)

26

diartikan ―lambang‖,1 dari kedua kata jika digabung maka narasinya akan menjadi begini ―pergerakan simbol‖ dan memberi arti sebagai berikut: dalam suatu keadaan tertentu simbol/lambang mengalami pergerakan, atau digerakan oleh ―sesuatu‖.

Sangat tidak mungkin simbol mengalami pergerakan tanpa ada yang menggerakan. Yang dimaksud penulis tentang ―sesuatu‖ dalam konteks ini adalah manusia sebagai penggerak simbol, sebab manusia adalah makhluk simbol dan makhluk pengguna simbol. Setiap gerakan tentu memiliki tujuan, artinya tidak ada gerakan/pergerakan yang dilakukan manusia tanpa memiliki dasar serta tujuan. Berdasarkan tujuan tersebut maka sebuah gerakan/pergerakan dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan yang dijadikan sebagai target pencapaian tujuan.

Dalam catatan sejarah pergerakan sosial, munculnya berbagai gerakan di mana-mana selalu didasarkan atas nama kebebasan demokrasi. Tidak ketinggalan pula di Indonesia, bahkan sampai ke pelosok daerah terpencil sekalipun. Misalnya, pergerakan sosial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an yang dikenal dengan nama ―komunitas gerakan hak-hak sipil di kalangan Kulit Hitam‖. Gerakan mahasiswa tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Kesemuanya itu membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori tentang gerakan sosial (Fakih, 1966:35).

Gerakan sosial dalam beberapa catatan dunia, misalnya perjuangan etnis atau nasionalis di negara-negara bagian (bekas) Uni Soviet, dan gerakan anti apartheid di Afrika Selatan. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh negara, melalui apa yang disebut sebagai pembangunan (development).

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan an pengembangan bahsa

(5)

27 Kebijakan pembangunan oleh pemerintah, merupakan bagian yang menampakan eksistensi/keberadaan pemerintah, sebagai institusi penerima kuasa/mendat rakyat dalam konteks berdemokrasi. Dalam pandangan masyarakat, pembangunan tidak selamanya menghadirkan pemerataan, karena dalam benak masyarakat, penyebab kemacetan, krisis ekonomi, ekologis yang mencekik kehidupan masyarakat, dipandang oleh masyarakat sebagai kekeliruan kebijakan pemerintah dalam mengelola dan menjalankan mandat rakyat. Menyikapi konteks tersebut, pergerakan perlawanan simbol masyarakat adat, dinilai sebagai bagian dari kritik terhadap skenario modernisasi yang memiliki asumsi merancang kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu negara. Menurut pendapat Bonner, dalam konteks gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah ―pembangunan‖2.

Gerakan Sosial

Sejarah gerakan sosial yang terjadi di pelosok dunia, bahkan di Indonesia merupakan bagian dari masalah sosial yang dihadapi oleh umat manusia. Tentu setiap gerakan sosial memiliki dasar dan tujuan tersendiri, misalnya rangkaian revolusi yang melanda jazirah Eropa Barat pada akhir abad tujuh belas sampai abad sembilan belas. Kondisi tersebut pada sisi substansi, tentu memiliki perbedaan dengan yang terjadi di belahan dunia yang lain, namun indikator pergerakan yang memainkan peran dalam suatu gerakan sosial tentu memiliki kesamaan. Dalam kesamaan tersebut muncul berbagai teori dan analisa yang bertujuan untuk mengidentifikasi setiap gerakan sosial. Tujuan dilakukannya identifikasi setiap gerakan sosial dan penyebab munculnya gerakan sosial, telah dikelompokan oleh para ahli dan para akademisi yang memiliki kompetensi dalam memahami sebuah gerakan sosial, serta mampu menghasilkan pendapat dan teori-teori gerakan sosial. Dari sekian banyak teori gerakan sosial yang telah dibuat, pada bagian ini penulis mengedepankan beberapa pendapat

(6)

28

para ahli dan akademisi tentang bagaimana mereka memandang berbagai gerakan sosial tersebut.

Teori Perilaku Kolektif

Sidney Tarrow (1998) berpendapat, bahwa ahli-ahli sosiologi terdahulu seringkali mengaitkan dampak negatif Revolusi Prancis dan kemarahan massa pada periode abad pencerahan sebagai akar perkembangan teori gerakan sosial. Salah satu teorinya adalah teori ―prilaku kolektif‖, kemudian menjadi salah satu teori klasik dalam mempelajari fenomena gerakan sosial di Eropa Barat dan Amerika Utara. Gustave Le Bon (1895) perintis utama teori prilaku kolektif menginterpretasikan kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang. Yang dilihat oleh Gustave Le Bon dari Revolusi Prancis adalah, dalam sebuah kerumunan massa, setiap individu yang terbentuk dalam komunitas pergerakan massa, tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengontrol diri, dan kemampuan untuk bertindak secara positif. Yang ada dalam diri setiap individu adalah mengikuti keinginan massa. Dengan kata lain, individu-individu di dalam kerumunan massa tidak lagi menjadi individu yang rasional dan taat terhadap tatanan norma-norma standar yang ada di masyarakat.

David Popenoe (1977:259) melihat prilaku kolektif seringkali muncul sebagai sebuah respon atau stimulus terhadap sebuah situasi yang tidak stabil secara spontan dan tidak terstruktur. Dengan kata lain, prilaku kolektif merupakan tindakan yang tidak mencerminkan struktur sosial yang ada. Yang dimaksudkan dengan struktur sosial oleh David Popenoe berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan pemerintah dan lembaga formal dan non formal, seperti yang diuraikan oleh Herbert Blumer:

(7)

29

individu yang disebabkan oleh penafsiran individu/pertimbangan

individu terhadap setiap tindakan yang lainnya‖.(Irving Zetlin, 1995:332).

Neil Smelser (1962) prilaku kolektif dalam bentuk gerakan sosial merupakan efek samping dari transformasi sosial yang berjalan begitu cepat. Bagi Smelser seperti yang diinterpertasi ulang oleh Donatella Della Porta dan Mario Diani (1999: 4) kemunculan perilaku-perilaku kolektif seperti gerakan sosial dan berbagai bentuk protes masyarakat memiliki makna ganda dalam periode transformasi sosial yang berlaku begitu cepat dan dalam skala besar. Pada satu sisi mencerminkan ketidakmampuan lembaga-lembaga dan mekanisme kontrol sosial mereproduksi keretakan sosial, dan di sisi lain merefleksikan berbagai upaya masyarakat untuk bereaksi atas krisis sosial melalui berbagai keprihatinan kepada kelompok yang lebih luas, kemudian menjadi dasar baru terbentuknya solidaritas sosial.

Ralph H. Tuner dan Lewis M. Killian (1972) menegaskan bahwa ―prilaku kolektif hanya terjadi meskipun tidak harus selalu,

ketika organisasi negara dan mahasiswa berhenti memberikan

arahan dan menyediakan saluran bagi masyarakat‖ (Popenoe

1977:404).

Teori pilihan rasional

(8)

30

pengalaman-pengalaman yang tersedia dan observasi mereka sendiri, bahwa hanya dengan cara kekerasan tujuan individu-individu dalam aksi-aksi kolektif seringkali cukup efektif dalam mencapai tujuan.

Olson berpendapat:

―jika anggota-anggota dalam beberapa organisasi memiliki kepentingan dan tujuan bersama, jika mereka akan menjadi lebih baik jika tujuan bersama tersebut dapat dicapai, mereka akan bertindak untuk mencapai tujuannya, sebagai bentuk rasionalitasnya dan kepentingan pribadinya‖.

Teori perjuangan kelas vanguard dan hegemoni budaya

(9)

31 dengan menggantikannya menjadi masyarakat sosialis dalam bergerak menuju ke masyarakat komunis (Giddens, 2000:12).

Konsep perjuangan kelas Karl Marx ini menempatkan aksi-aksi kolektif dalam bentuk revolusi, gerakan sosial dan bentuk perlawanan merupakan rangkaian tindakan dari sebuah kelompok masyarakat yang rasional untuk keluar dari situasi buruk penindasan. Menurut Karl Marx, hanya dengan cara perjuangan kelas kelompok yang tertindas bisa keluar dari jebakan penindasan. Kelompok yang tertindas tidak bisa berharap dari lembaga-lembaga negara atau kerajaan, peradilan dan lembaga-lembaga sosial seperti organisasi keagamaan untuk mengeluarkan mereka dari situasi penindasan karena lembaga-lembaga tersebut telah menjadi alat yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Perjuangan kelas akan tumbuh dengan sendirinya secara spontanitas, ketika penderitaan berkepanjangan dari sebuah kelompok yang ditindas dan tidak bisa dikompromikan antara kedua kelas yang sedang bertentangan. Situasi penindasan ini menumbuhkan kesadaran kelas baru, dan kesadaran ini menjadi faktor pemicu sebuah revolusi sosial untuk menumbangkan kelas yang sedang berkuasa.

Teori gerakan sosial modern

(10)

32

Teori keluhan

Mempergunakan analisa Karl Marx berkenan dengan penyebab utama perjuangan kelas, Sidney Tarrow dan sejumlah akademisi gerakan sosial memodifikasi konsep eksploitasi kelas menjadi teori keluhan dan kemudian dipergunakan sebagai pisau analisa dalam mempelajari gerakan sosial dan berbagai bentuk politik perlawanan lainnya (Tarrow 1998:11). Teori keluhan ini juga digunakan untuk menjembatani perdebatan para ahli gerakan sosial dalam menganalisa pemicu utama gerakan sosial dari bingkai produk eksploitasi, ketidakadilan dan ketimpangan yaitu keluhan.

Donatella Della Porta dan Mario Diani mengutarakan ―kebangkitan berbagai bentuk gerakan pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah sebuah kritik terhadap model interpertasi Marxis atas konflik kelas. Model tersebut telah menemui sejumlah masalah dalam menjelaskan perkembangan gerakan sosial. Transformasi sosial yang terjadi setelah perang dunia kedua meletakan pusat konflik antara buruh dengan pemilik modal dalam pertanyaan besar.

(11)

33 Joe Fowerker mengutip Mouffe, juga sependapat dengan beberapa ahli gerakan sosial, keluhan baru mendorong gerakan sosial baru dalam konteks negara-negara di Eropa Barat. Keluhan itu berupa bentuk baru subordinasi kapitalisme, komersialisasi kehidupan sosial, ekspansi kapitalisme yang mengkooptasi budaya, kebahagiaan dan seksualitas, birokratisasi masyarakat, hegemonisasi kehidupan masyarakat melalui intervensi media massa. Gagalnya pembangunan, tindakan represif militer, penolakan kebijakan populis atau dukungan terhadap kebijakan populis seperti pendidikan gratis bagi masyarakat miskin adalah bentuk-bentuk keluhan baru yang dipergunakan oleh

para aktor dalam membangun gerakan sosial (Fowareker, 1995: 41-42).

Dari pandangan teori para ahli dan akademisi tentang gerakan sosial menunjukan bahwa, terjadinya gerakan sosial diakibatkan pada tingkatan strata dalam kehidupan manusia. Atau, dalam kehidupan manusia telah tercipta tingkatan strata yang didasarkan pada tingkatan kedudukan sosial (jabatan, kekayaan dan kepemilikan harta) yang mengakibatkan munculnya tekanan pada kaum jelata yang menjadi pekerja rendahan. Akibat dari kedudukan dan tekanan kaum borjuis dan birokrasi pemerintah atau organisasi terhadap kelompok masyarakat jelata memungkinkan munculnya gerakan-gerakan pelawanan yang mengakibatkan konflik sosial.

Simbol Dan Tanda Dalam Tindakan Manusia

Simbol dan tanda dalam sejarah manusia sangat memainkan peran penting. Peran simbol dan tanda diibaratkan sebagai alur yang memungkinkan seseorang dapat memulai dari mana dia datang dan kemana dia pergi. Karena itu, memahami simbol dan tanda merupakan keharusan bagi manusia, baik secara individu, marga/klan, bahkan dalam suatu komunitas masyarakat.

(12)

34

Rambu-rambu lalulintas yang terpasang misalnya, jika tidak diakui dan ditaati oleh manusia, tentu akan menimbulkan kekacauan, bahkan dapat mengakibatkan manusia kehilangan nyawa disaat seseorang mengabaikan rambu-rambu lalulintas. Minimal akibat dari ketidaktaatan mematuhi rambu-rambu lalulintas, seseorang akan dikenai sanksi hukum sebagai rujukan untuk diproses berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan. Contoh ini merupakan bagian kecil dari kekuatan simbol dan tanda yang diciptakan dan disepakati manusia dengan tujuan mengatur manusia saat beraktifitas di jalan raya.

Dalam komunitas manusia yang berada di wilayah-wilayah terpencil sekalipun, simbol dan tanda dibuat untuk disepakati dan ditaati bersama. Tidak berbeda jauh dengan simbol dan tanda di wilayah perkotaan, di wilayah pedalaman atau wilayah-wilayah terpencil, simbol dan tanda memainkan peran penting untuk mengatur manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam, hal ini dilakukan dengan tujuan agar tercipta keseimbangan antar manusia dengan sesama dan manusia dengan alam yang bertujuan pada keselamatan manusia itu sendiri.

Salah satu tujuan mulia dibuatnya simbol dan tanda oleh manusia, tidak hanya untuk ditaati dan dilaksanakan, tetapi ada hal penting dan menjadi keinginan bersama yang kuat, yaitu untuk menciptakan keteraturan hidup setiap individu. Keteraturan hidup yang diinginkan dalam konteks ini adalah, kedamaian hidup antar individu, antar sesama komunitas, dan antara komunitas dengan alam.

Pada bagian ini, akan diuraikan peran simbol dan tanda, makna dan tindakan simbolik manusia dalam kehidupan (individu dan komunitas) bersama.

Simbol dan tanda

(13)

35 Secara etimologi simbol berasal dari bahasa Yunani ―sym-ballein‖ yang berarti melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan) yang dikaitkan dengan ide (Hartoko dan Rakhmanto, 1998 : 133). Ada pula yang menyebutkan ―syimbolos‖, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10). Biasanya simbol terjadi berdasarkan metanoia (metonimy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya (misalnya si kaca mata untuk seseorang yang berkaca mata) dan metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia) (Kridalaksana, 2001:136-138).

Semua simbol melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, suatu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbol. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Karena itu, Peirce mengemukakan bahwa:

―A symbol is a sign which refers to the object that it denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as

referring to that object‖ (Peirce 1931-58, 2.249).

Dalam konsep Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandai (petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya, ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya.

(14)

36

hubungan antara manusia dan obyek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut‖.3

Berger (2000a:85) mengklasifikasikan simbol-simbol menjadi tiga bagian: (1) konvensional. Konvensional adalah kata-kata yang kita pelajari yang berdiri/ada untuk (menyebut/menggantikan) sesuatu; (2) aksidental (accidental), adalah bentuk kontras dari konvensional, dia lebih individu, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan seseorang; dan (3) universal adalah sesuatu yang berakar dari pengalaman semua orang4.

Sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan manusia (simbol), maka simbol itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan manusia. Kata budaya, menurut perbendaharaan bahasa Jawa, berasal dari kata budi dan daya. Penyatuan dua kata menjadi satu kata membentuk satu pengertian baru yang dalam bahasa Jawa adalah:

a. Kata budi mengandung arti:

1. akal, dalam arti ―batin‖ untuk menimbang baik dan buruk, benar dan tidak; dalam bahasa Jawa : ditimbang-timbangin batin;

2. tabiat, watak, akhlak, perangai; dalam bahasa Jawa: berbudi bawa laksana;

3. kebaikan, perbuatan baik; dalam bahasa Jawa; budi luhur; 4. daya upaya, ikhtiar; dalam bahsa Jawa: mangulir budi;

5. kecerdikan untuk mencari pemecahan masalah; dalam bahasa Jawa: hambudi daya;

b. Kata daya mengandung arti:

1. kekuatan, tenaga; dalam bahasa Jawa : Dayaning batin; 2. pengaruh; dalam bahasa Jawa : Daya pangaribawa; 3. akal, jalan/cara, ikhtiar; dalam bahasa Jawa : Daya upaya; 4. muslihat, tipu; dalam bahasa Jawa : Hambudi daya.

Kedua kata tersebut kalau diperhatikan memiliki beberapa persamaan dalam arti yang dikandungnya. Setelah dijarwodosokan menjadi ―budaya‖ memperoleh pengertian yang baru yaitu: ―kekuatan

3 Semiotika Komunikasi. Alex Sobur P.T. Remaja Rosdakarya-Bandung, 2009,hlm.156. 4 Tanda-tanda dalam kebudayaan Kontemporer. Arthur Berger Asa. Penerjemah M. Dewi

(15)

37 batin dalam daya upayanya menuju kebaikan‖ atau ―kesadaran batin menuju kebaikan‖. Ada pula yang mengartikan ―daya upaya manusia untuk menciptakan sesuatu keindahan5.

Konsep humanistik mengenai budaya menyebutkan dengan kata ―cultura animi‖ (kebudayaan dari budi)6, menurut Koentjaraningrat kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhaya, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan itu dapat diartikan: ―hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal‖. Zoetmulder dalam bukunya ―Cultuur, Oost en West‖ berpendapat bahwa asal kata budaya itu merupakan perkembangan dari majemuk ―budi-daya‖, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.)7

Ki Sarino Mangunpranoto berpendapat, bahwa budaya manusia itu terwujud karena adanya perkembangan norma hidupnya atau lingkungannya. Norma hidup itu terwujud dalam bentuk: alam pikir, alam budi, alam karya, alam tatasusila, alam seni yang meliputi: (seni rupa: pahat, sungging, lukis dan sebagainya; seni sastra; seni suara; seni tari; seni musik, seni drama, olah raga dan sebagainya).

Keseluruhan sifat-sifat hidup ini melahirkan adanya rasa budaya manusia. Kalau rasa budaya ini dilaksanakan maka terjadilah kebudayaan atau budaya manusia.8 Begitu eratnya hubungan manusia dengan kebudayaannya, disebabkan oleh karena kebudayaan merupakan lingkup di mana manusia harus hidup. Aktifitas mulai dari rohani, jasmani, merupakan bagian dari kehidupan manusia yang menggunakan akal budi logika manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan.

Pernyataan bahwa manusia merupakan makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal

5 Pakem Pengetahuan tentang Keris, Koesni, penerbit C.V. Aneka Semarang, 1979, hlm. 33 6 Suatu Konsepsi Kearah Penerbitan Bidang Filsafat, The Liang Gie Penerbit Karya Kencana,

Yogyakarta, 1979,hlm.128.

7 Kebudayaan, mentalitet dan Pembangunan, Koencaraningrat,Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta

hlm.19.

8 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta,

(16)

38

bagaimana manusia memberi tanggapan terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan untuk mendasari setiap langkah yang hendak dan harus dilakukannya, sehubungan dengan pola hidup dan tata cara kemasyarakatannya. Konteks ini sejalan dengan pikiran Michael Landman dalam bukunya ―Filosofische Antropologie‖ menyatakan bahwa setiap karya dari manusia dilaksanakan dengan sesuatu tujuan, yaitu bahwa setiap benda alam di sekitarnya yang disentuh dan dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu nilai. Nilai yang diperoleh manusia dapat bermacam-macam, misalnya nilai sosial, ekonomis keindahan, kegunaan dan sebagainya. Dengan demikian, berkarya berarti menciptakan nilai, atau dalam setiap karya terwujud sesuatu idea dari manusia. Dengan demikian, manusia disebut ―homo creator‖, karena dalam setiap karyanya, setiap manusia memberi bentuk dan isi yang manusiawi secara pribadi pada setiap benda budaya yang menandakan nilai tertentu, menunjukan maksud serta gagasan-gagasan penciptanya.9

Dalam konteks manusia sebagai makhluk yang berbudaya/memiliki budaya, lahirlah konsep-konsep manusia yang diwujudkan dengan simbol (abstrak dan non abstrak). Simbol lahir sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang mampu berkreasi tanpa dinding pembatas dalam budayanya, sehingga budaya itu sendiri terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan prilaku manusia. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa: ―begitu eratnya kebudayaan manusia itu dengan simbol-simbol sehingga manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol‖. Dengan perkataan lain dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol, manusia menciptakan dan menggunakan simbol. Ungkapan-ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas dari mansia, yang dengan jelas membedakannya dari hewan. Maka Ernst Cassirer cenderung menyebut manusia:

9 Menuju Kepada Manusia Seutuhnya, Soerjanto Poespowerdojo, dalam buku Sekitar Manusia

(17)

39

―The great thinkers who have defined man as an animal rationale,‖ writes Ernst Cassirer,―were not empiricists, nor did

they ever intend to give an empirical account of human nature. By this definition they were expressing rather a fundamental moral imperative. Reason is a very inadequate

term with which to comprehend the forms of man‘s cultural

life in all their richness and variety. But all these forms are symbolic forms. Hence, instead of defining man as an animal

rationale, we should define him as animal symbolicum‖

(Cassirer 1974, 25-26) Digunakan untuk menyebutkan

manusia sebagai: ―animal symbolicum‖ atau hewan yang

bersimbol‖10.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan WJS Poewadarminta disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan suatu hal, atau mengandung suatu maksud tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesucian, padi lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda mengenal warga Negara Republik Indonesia.

Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantara pemahaman terhadap obyek. Untuk mempertegas pengertian simbol atau lambang dibedakan antara pengertian-pengertian isyarat, tanda dan simbol atau lambang. Isyarat ialah sesuatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh si subyek kepada obyek, artinya subyek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahukan keadaan si obyek yang diberi isyarat agar si obyek mengetahuinya pada saat itu juga. Isyarat tidak dapat ditangguhkan pemakaiannya, ia hanya berlaku pada saat dikeluarkan atau dilakukan oleh subyek. Isyarat yang dapat ditangguhkan atau disimpan penggunaannya akan berubah bentuk menjadi tanda. Sedangkan tanda ialah sesuatu hal atau keadaan yang menerangkan atau memberitahukan sesuatu kepada si obyek, sedangkan simbol atau lambang ialah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subyek kepada obyek. Tanda selalu menunjukan kepada sesuatu yang

10 An Essay on Man. An Introduction to a Philosophy of Human Culture, Ernst Cassire, New

(18)

40

riil atau benda, kejadian atau tindakan, misalnya guntur selalu ditandai dengan adanya kilat yang mendahuluinya. Tanda-tanda alamiah ini merupakan suatu bagian dari hubungan alamiah tertentu, dan menunjukan pada bagian yang lain yaitu hubungan sebab akibat (asap menandakan ada api). Tanda-tanda yang dibuat oleh manusiapun menunjukan sesuatu yang terbatas artinya dan menunjukan hal-hal yang tertentu, misalnya rambu-rambu lalulintas, tugu-tugu jarak jalanan seperti kilometer, tanda baca, tanda pangkat atau jabatan dll.11

C.A. van Peursen dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖ yang diterjemahkan oleh Dick Hartono, menguraikan tentang pengertian dan proses terwujudnya simbol atau lambang dalam kebudayaan manusia antara lain sebagai berikut: 12

1. Sejumlah pengarang membedakan antara tanda dan simbol atau lambang. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai: ―di mana ada asap, di sana ada api‖, asap merupakan tanda adanya api. Seekor hewan dapat diajari menghafalkan tanda-tanda, maka bukan hanya tanda-tanda yang diikutsertakannya. Ia sendiri dapat menciptakan tanda-tanda, dan tanda-tanda ciptaannya kita namakan simbol-simbol. Antara tanda dan apa yang ditandai tak ada lagi suatu pertalian alamiah. Huruf a—p—i itu merupakan sebuah simbol. Dengan cepat kita memahami tanda-tanda tersebut: suatu perjanjian lisan dan sederhana sudah cukup untuk itu. Terdapat juga simbol-simbol yang semata-mata berdasarkan perjanjian serupa itu, seperti misalnya tanda-tanda dalam ilmu aljabar atau petunjuk-petunjuk disebuah stasiun.

2. Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad. Lambang-lambang purba seperti ―api‖, ―air‖, ―matahari‖, ―ikan‖ dan sebagainya mempunyai fungsi yang kadang relijius, kadang-kadang seni dan kadang-kadang-kadang-kadang teknis semata-mata sebagai alat komunikasi. Sebetulnya aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dan

11 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta,

1984.hlm.11.

12 Strategi kebudayaan, C.A. van Peursen, Yayasan Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia

(19)

41 dalam lingkungan kebudayaan kuno memang berjalan bersama-sama. Contoh yang bagus kita jumpai dalam huruf-huruf hiroglif di Mesir kuno. Huruf-huruf tersebut menggambarkan sesuatu, jadi mengandung berita, tetapi tidak lewat huruf-huruf biasa, satu huruf satu bunyi misalnya, melainkan lewat lambang-lambang keagamaan kuno yang sekaligus merupakan ekspresi seni yang indah sekali.

3. Lambang-lambang mengejawantahkan proses belajar, sehingga kita seolah-olah dapat naik menara dan memandang daerah-daerah yang luas yang dulu tidak pernah kita kenal, kita lalu tahu arah mana kita harus berkiblat. Manusia lalu tidak lagi seperti hewan terkurung dalam lingkungan alam, alam itu diangkat ke dalam daya-daya cetusan simbol-simbolnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia tidak hanya mendirikan menara-menara yang memperluas pandangan sendiri diubahnya. Lambang-lambang merupakan penunjuk jalan di tengah-tengah kesimpangsiuran perbuatan manusiawi. Lambang itu melontarkan pertanyaan kepada kita: bagaimana kita menanggapi situasi sekeliling kita? Simbol-simbol merupakan tugu-tugu yang menandai proses belajar umat manusia, penunjuk jalan ke arah pembaharuan dan penyusunan kembali. Bahkan lambang-lambang purba yang sepenjang segala abad kita jumpai dalam dunia mitos kesenian, khayalan, impian dan dunia bawah sadar, bukanlah batu-batu yang berdiri tegak tanpa perubahan, melainkan selalu harus ditafsirkan kembali. Baru lewat penafsiran kembali itu lambang-lambang tadi tetap berlaku, seperti misalnya, dalam psikoterapi seperti kesenian. Daya simboliknya tetap sama, asal disusun kembali dijadikan kaidah-kaidah baru.

(20)

42

semacam teka-teki silang. Lambang-lambang harus dipraktekkan, merupakan penunjuk jalan yang memberi arah kepada perjalanan kita, alat-alat terinformasi, untuk merubah sesuatu. Semua aktivitas manusia berlangsung lewat kaidah-kaidah tertentu, entah dalam suatu mekanisme teknis, kebijaksanaan politik, perwujudan artistik, atau argumentasi ilmiah. Kaidah-kaidah tadi mengakomodir lambang-lambang.

5. Lambang-lambang terdapat di luar badan manusia dan tidak terikat oleh naluri jasmaniah. Manusia dapat menangani simbol-simbol. Simbol dimana manusia sedang belajar, atau bila proses belajar sedang berlangsung. Belajar berarti memperoleh suatu kepandaian baru, pengertian baru, atau kaidah kelakuan yang baru. Seluruh kebudayaan manusia merupakan proses belajar yang besar. Untuk menampung hasil pelajarannya, manusia memiliki dan menggunakan media yaitu bahasa. Dengan bahasa itu manusia meneruskan hasil pelajarannya, bahkan mewariskannya kepada ingatan penerusnya. Dengan demikian apa yang dipelajari setiap angkatan terus menambah khasana pelajaran dari angkatan-angkatan sebelumnya, sehingga pengetahuan manusia terus bertambah. Tradisi belajar dengan lisan diikuti dengan tradisi belajar secara tertulis. Dan kemudian pengetahuan manusia meneruskan dan dialihkan dengan menggunakan lambang-lambang atau simbol-simbol abstrak yang disandikan/bahasa sandi, maka pengertian bahasa menjadi meluas, tidak hanya meliputi bahasa dalam arti kata yang sempit, melainkan meliputi segala macam bentuk lambang atau simbol berupa: kata, tarian, gambar-gambar isyarat.

I. Kuntara Wiryamartana seorang ahli filsafat berpendapat bahwa bentuk lambang dapat berupa: bahasa, (cerita, perumpamaan, pantun, syair, peribahasa), gerak tubuh (tari), suara atau bunyi (lagu

musik), warna dan rupa (lukisan, hiasan, ukiran, bangunan).13

13 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta,

(21)

43 Memaknai sesuatu itu (simbol), tersirat sikap individu dan kelompok tertentu untuk melakukan apa yang ada pada simbol tersebut. Memaknai menunjukan sikap yang relevan antara makna dan pemakna. Terjadinya perlawanan antara makna (maksud simbol) dan pemakna (pengguna simbol), akan muncul sikap perlawanan yang mengakibatkan hilangnya tujuan pada sesuatu itu (simbol). Karena itu, memaknai simbol dibutuhkan rasa kolektiv, cara padang kolektiv, cara bertindak kolektiv pada tujuan yang akan dicapai. Jika pada komunitas tertentu, tujuan atau hasil dari simbol yang dilakukan tidak tercapai, maka hal tersebut akan berdampak pada kekacauan individu, dan berakibat pada kesuraman simbol di masa depan. Pada uraian berikut, akan diuraikan makna dan tindakan simbolik manusia.

Makna dan tindakan simbolik manusia

Manusia dan simbol yang digunakan merupakan dua sisi yang memiliki kaitan, dan sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan, keduanya saling memberi pemaknaan. Untuk mengetahui manusia bersama seluruh aspek hidupnya, simbol menjadi pintu masuk. Dari simbol yang dimunculkan melalui perilaku manusia, pada saat yang sama pula, manusia sementara menyampaikan pesan kepada pihak lain tentang apa yang sementara dipikirkan dan dikerjakan. Dalam konteks tersebut, menurut sosiolog R.M. Maclver bahwa:

―Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud simbol... Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama... Setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol‖14.

Dalam bukunya berjudul, Culture and Communication, Edmund Leach (1950:340), memasukan tanda dan isyarat (sinyal) sebagai operator dalam proses komunikasi; ketiganya merupakan ―tindakan -tindakan ekspresif‖ yang ―entah hanya mengatakan sesuatu tentang tatanan dunia sebagaimana adanya, entah bermaksud untuk mengubah

(22)

44

tatanan itu secara metaforis‖. Operator-operator seperti isyarat, tanda, dan simbol, menurut Leach, bersifat deskriptif atau transformatif.15

F.W. Dillistone, menjelskan pendapatnya tentang beberapa istilah umum yang berkaitan dengan gambaran, penunjuk, ikon, kiasan, bahwa simbol agak terpisah dari dunia, sedangkan penunjuk dan tanda-tanda pertama-tama diterapkan pada dunia sebagaimana adanya. Menurutnya, penunjuk dan tanda-tanda beroperasi dalam lingkungan yang relativ statis, di mana kata-kata atau gerak-gerik yang sudah dikenal digunakan untuk mendeskripsikan suatu barang atau peristiwa. Biasanya ada kesesuaian langsung, satu lawan satu; tugas penguraian kode (decoding), apabila pemberi dan penerima berada dalam masyarakat yang sama dan tetap, hanya sedikit yang menimbulkan kesulitan. Ia menjelaskan juga, bahwa sinyal memiliki perbedaan, kata sinyal mengisyaratkan permintaan perhatian atau tindakan, yang dengan suatu cara untuk mengubah (mentransformasikan) suatu keadaan atau duduk perkara yang ada. Kata ini lebih tepat digunakan dan sesuai dalam konteks-konteks kemiliteran, perdagangan, dan cara modern dalam menyampaikan pesan-pesan dengan sarana elektronik. Meskipun demikian, dalam banyak hal, baik dalam deskripsi maupun dalam tindakan transformatif, komunikasi dimaksudkan untuk mencapai suatu hasil langsung, dengan menggunakan tanda dan sinyal yang ada, dalam peristilahan umum suatu sisitem budaya khusus. Dalam situasi yang sangat kompleks, apabila bahasa simbol dan simbolisme digunakan, ―simbol‖ dan ―simbolis‖ dalam iklan, berita, pidato politik, prakiraan cuaca, dan analisis ekonomi, semakin tidak menunjukan ketidaksesuaian dengan istilah-istilah yang digunakan.16

Symbollein17, memberi penekanan pada sebuah benda yang

dipecahkan menjadi dua bagian dan masing-masing pihak memegang

15 Culture and Communication, Edmund Leach, Cambridge University Press, 1976

16 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius

2002.hlm.

17 Pada waktu dua orang Yunani kuno mengadakan perjanjian, mereka kerapkali memeteraikan

(23)

45 kedua bagian merupakan satu kekuatan yang mengikat kedua pihak. Walaupun dalam kenyataannya kedua pihak tidak berada dalam satu wilayah, namun patahan benda tersebut sewaktu-waktu dapat dapat disatukan atau ―dicocokan‖ kembali. Pada saat kedua patahan benda tersebut ―dicocokan‖ maka kata ―dicocokan/disatukan‖ itu disebut simbol. Kata ini lambat laun berarti tanda pengenalan, dalam pengertian yang lebih luas, misalnya, untuk anggota-anggota masyarakat, rahasia atau minoritas yang dikejar-kejar... Sebuah simbol pada mulanya adalah sebuah benda, sebuah tanda, atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan ―arti‖ yang sudah dipahami oleh kedua pihak.

Dari kata symbollein, Edmund Leach memberikan pernyataan bahwa:

―kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti

diungkapkan dengan memakai simbol... Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama... Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol, mengisyaratkan bahwa masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol18.

A.N. Whitehead menulis dalam bukunya symbolisim ―pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya‖. Perangkat komponen terdahulu adalah ―simbol‖ dan perangkat komponen yang kemudian adalah ―makna‖ simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut ―referensi‖19.

wakilnya akan mengidentivikasikan diri dengan mencocokan bagian dari barang yang telah dipecah itu dengan bagian yang lain. ―Mencocokan‖ dalam bahasa Yunani adalah symbollein dan atau kedua bagian atau kepingan itu disebut ―syimbola‖.

18 Culture and Communication, The logich by which symbols are connected and introduction to

the use of structuralist analysis in social anthropology, Edmund Leach,Published by the press syndicate of the university of cambridge,2003.hlm.23.

(24)

46

Goethe menyatakan bahwa dalam simbolisme sejati, yang khusus mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan, melainkan sebagai wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga, sedangkan Coleridge menandaskan bahwa sebuah simbol sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti. Pengambil bagian, atau partisipasi ini dilukiskan kemudian hari pada abad ke sembilan belas dengan istilah ―substansi‖ seperti misalnya oleh George MacDonald, putranya menulis tentang ―ujaran simbolis‖. Baginya sebuah simbol jauh melebihi tanda lahir dan terlihat arbiter untuk sebuah konsepsi yang abstrak: nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama ide yang disajikan‖20.

Berbeda dengan Arnold Toynbee yang memusatkan perhatiannya pada dunia intelek, menurutnya; ―sebuah simbol tidak identik atau koekstensif dengan obyek yang disimbolkannya‖. Seandainya demikian halnya, simbol tersebut tidak dapat menjadi simbol barang itu, melainkan barang itu sendiri. Adalah salah anggapan bahwa sebuah simbol dimaksudkan untuk menjadi reproduksi barang; sebenarnya simbol dimaksudkan bukan untuk merepro objeknya, melainkan untuk meneranginya. Pengujian yang menunjukan bahwa sebuah simbol berhasil atau gagal bukan karena simbol merepro atau tidak merepro dengan setiap obyek yang ditunjukannya; pengujiannya adalah, apakah simbol itu memberi tarang atas obyek itu, atau mengaburkan pemahaman kita tentangnya. Simbol yang efektif adalah simbol yang memberi terang, dan simbol efektif merupakan bagian mutlak perlengkapan intelektual kita. Jika sebuah simbol harus bekerja dengan efektif sebagai alat untuk tindakan intelektual – artinya, sebagai ―model‖ – simbol itu harus disederhanakan dan dipertajam sehingga menjadi seperti sesuatu yang mirip peta-sketsa, jadi bukan sebuah fotograf yang diambil dari pesawat terbang U-2‖21.

Erwin Goodenough dalam telaahannya yang panjang lebar, Jewish symbols in graeco-roman period, mendefinisikan simbol sebagai berikut:

20 Lois Macneice, Varietis Cambridge University Press, 1965.hlm.94,97.

(25)

47 ―simbol adalah barang atau pola yang apa pun sebabnya, bekerja

pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah

dalam bentuk yang diberikan itu‖. ―Simbol memiliki maknanya sendiri, atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini, daya

kekuatan sendiri untuk menggerakan kita‖. Singkatnya, referensi yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima. Malahan, daya kekuatan simbol yang bersifat emotif, yang merangsang

orang untuk bertindak dipandang sebagai ciri hakikinya‖22.

Fungsi simbol menurut Erwin Goodenough merangsang daya imajinasi, dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan relasi. Sementara Whitehead menjelaskan bahwa ‗simbol mengacu pada makna‘; bagi Goethe ‗simbol menggambarkan yang universal‘; bagi Coledrige ‗simbol berpartisipasi dalam realitas‘; bagi Toynbee ‗simbol menyinari realitas‘; bagi Goodenaugh ‗simbol mendatangkan transformasi atas apa yang harafiah dan lumrah‘; dan bagi Brown ‗simbol menyelubungi ke -Allah-an‘.

F.W. Dillistone menggambarkan simbol dalam tiga bagian diantaranya adalah:

1. sebuah kata, atau barang, atau obyek, atau tindakan, atau peristiwa, atau pola, atau pribadi, atau hal yang konkrit;

2. yang mewakili, atau menggambarkan, atau mengisyaratkan, atau menandakan, atau menyelubungi, atau menyampaikan, atau mengunggah, atau mengungkapkan, atau mengingatkan, atau merujuk kepada, atau berdiri menggantikan, atau mencorakan, atau menunjukan, atau berhubungan dengan, atau bersesuaian dengan, atau menerangi, atau mengacu kepada, atau mengambil bagian dalam, atau menggelar kembali, atau berkaitan dengan;

3. sesuai yang lebih besar, atau transenden, atau tertinggi, atau terakhir: sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.

22 Erwin Goodenough, Jewish Symbols in the Graecho-Roman Period, jilid 4, Pantheon Press,

(26)

48

Dari ke tiga hal yang dijelaskan; poin nomor satu lebih dapat dilihat, lebih dapat didengar, lebih dapat diraba, lebih dekat, lebih konkret dari pada nomor tiga. Fungsi simbol menurut defenisi-defenisi ini ialah, untuk menjembatani jurang antara dunia nomor satu dan dunia nomor tiga, dan hal ini teramat penting demi berfungsinya hidup masyarakat. Fariasi yang mungkin timbul dalam defenisi-defenisi itu diakui secara umum, bahwa sebuah simbol sedikit banyak menghubugkan dua entitas.23

Raymond Firth ―Hakikat simbolisme terletak dalam pengakuan,

bahwa hal yang satu mengacu pada (mewakili) hal yang lain, dan hubungan antara keduanya, pada hakikatnya adalah hubungan yang konkret dengan hal yang abstrak, hal yang khusus dengan hal yang umum. Hubungan ini sedemikan rupa, sehingga simbol dari dirinya tampak mempunyai kemampuan, untuk menimbulkan dan menerima akibat-akibat yang dalam keadaan yang lain, hanya diperuntukan bagi obyek yang diwakili oleh simbol itu—dan akibat-akibat itu kerap kali mempunyai muatan

emosional yang kuat‖.

Simbol mempunyai peranan yang sangat penting dalam urusan-urusan manusia:

―manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol

-simbol, dan bahkan merekonstruksi realitasnya dengan simbol‖.

Simbol menurut pandanganya, tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan – fungsi yang dapat dianggap pertama-tama bersifat intelektual‖. Sebuah simbol dapat berhasil memusatkan pada dirinya sendiri, seluruh semangat yang semestinya hanya

menjadi milik realitas terakhir (tertinggi) yang diwakilinya‖.

Sesungguhnya menurut Firth, sebuah simbol dapat menjadi sarana, untuk menegakkan tatanan sosial, atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial; selain itu, sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi, yang dapat bersifat privat dan individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol, yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman sosial yang lebih luas.

23 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius

(27)

49 Pada bagian akhir, buku yang ditulis oleh Firth ―symbol and substance‖, Firth memusatkan perhatian pada soal yang asasi bagi semua teori simbolisme, dia menyatakan dengan terus terang; apa itu simbol? Jika dalam masyarakat bentuk-bentuk simbolis digunakan, apakah yang diwakili oleh bentuk-bentuk simbol itu, apa fungsinya, makna apa yang termaktub, apa akibatnya pada hidup orang-orang yang menggunakan bentuk-bentuk simbol itu? Dua istilah yang digunakan oleh Firth penting artinya: ―simbol‖ mencakup dua entitas: ―substansi‖ berarti zat atau bahan yang mendasari, tidak terbagi. Suatu pandangan hidup yang meliputi simbol-simbol bersifat biner (berpasangan): tidak ada perpaduan kristalisasi penuh, menjadi sebuah masa yang kuat padat, melainkan antar hubungan yang tetap unsur-unsur satu sama lain. Suatu pandangan hidup yang berdaya upaya untuk mendefenisikan substansi-substansi bersifat uniter (kesatuan): mungkin ada banyak substansi, tetapi masing-masing atomis, mandiri, final. Maka dari itu, substansi hanyalah substansi; tidak dapat berkaitan secara hidup dengan sesuatu yang lain dan dengan demikian tidak dapat membangun hubungan simbolis apapun (Firth 1973:105)24

Mary Douglas dalam bukunya Natural Symbolis, pada bagian yang diberi judul; ―The Two Bodies‖. Dijelaskan ―ia sangat terkesan melihat hubungan erat yang ada antara tubuh manusia dan masyarakat manusia‖... Tubuh merupakan anologi yang cocok sekali untuk diterapkan pada masyarakat umum: susunan, tata kerja dan tata hubungan antara pelbagai bagian tubuh dapat disejajarkan dengan hidup setiap masyarakat tertutup. Oleh karena adanya korelasi ini maka dijelaskan bahwa: ―simbol-simbol alami tidak akan ditemukan dalam butir-butir leksikal yang individual‖. Tubuh jasmani dapat mempunyai makna universal hanya sebagai sistem yang menjawab sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai sebuah sistem. Apa yang disimbolkannya secara alamiah adalah hubungan bagian-bagian sebuah organisme dengan keseluruhan.

(28)

50

Dua tubuh itu adalah diri sendiri dan masyarakat: kadang-kadang keduanya sedemikian dekatnya sehingga hampir menjadi satu; kadang-kadang keduanya terpisah jauh. ―Tegangan antara keduanya memungkinkan pengembangan makna-makna‖. Seperti halnya manusia berusaha menciptakan tatanan dan pengendalian dalam hal-hal yang berhubungan dengan tubuhnya sendiri, demikian juga ia mengupayakan kategori-kategori stabilitas untuk kehidupan sosialnya. Sesungguhnya ia tidak dapat tumbuh berkembang mencapai kematangan badani dan budaya kalau tidak di dalam sistem simbolis yang koheren.

Demikian juga sistem simbolis yang paling memuaskan, rupanya adalah apa yang terstruktur secara organis dan yang menjaga hubungan erat antara ungkapan sosial dan ungkapan tubuh. Bahwa bahasa manusia dan tata cara dipengaruhi secara mendalam oleh susunan masyarakat dan vice versa, bahwa setiap masyarakat menemukan simbol-simbolnya yang autentik dengan menimbah dari anologi-anologi yang diberikan oleh prilaku berpola tubuh manusia. Karena keyakinannya yang mendalam bahwa simbol-simbol sangat penting, tidak hanya untuk menata masyarakat tetapi juga untuk mengungkapkan kosmologinya.

Viktor Turner (1969:15), dalam bukunya ―the forest of symbols‖ dan ―the ritual process‖ membicarakan fungsi simbol dalam mengatur kehidupan sosial. Ia menjelaskan ada dua segi yang harus dipertimbangkan: penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari, munculnya kelompok-kelompok komunal yang mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-hasrat bersama, serta yang menata dirinya dengan cara-cara yang berbeda, dari cara-cara masyarakat luas. Ia menjelaskan, bentuk-bentuk simbolis dalam ritual konteks Ndembu;

―hampir setiap barang yang dipakai, setiap gerak-gerik yang digunakan, setiap nyanyian atau doa, setiap satuan tempat dan waktu, menurut adat, berarti sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, lebih banyak dari pada tampaknya, dan kerap kali jauh

(29)

51 Suatu unsur, atau satuan ritual disebut chijikijilu. Secara harafiah kata ini berarti, suatu ―hal yang menonjol‖ atau ―nyala api‖ (untuk mencari atau membuat jalan), chijikijilu juga berarti suatu ―unsur‖ sesuatu dalam pemandangan alam yang jelas kelihatan, seperti misalnya sebuah sarang semut... Jadi, kata ini mempunyai dua artian (i) sebagai nyala api pemburu, mengartikan suatu unsur hubungan antara wilayah yang diketahui dan yang tidak diketahui; (ii) baik sebagai nyala api maupun suar, memberikan pengertian tentang, yang tersusun dan teratur, sebagai lawan yang tidak tersusun, dan kacau balau. Pemakaiannya dalam upacara sudah bersifat metaforis, menghubungkan dunia yang diketahui, yaitu dunia yang terserap pancaindra, dengan dunia yang tidak ketahui dan tidak kelihatan, yaitu dunia bayang-bayang gelap. Membuat apa yang misterius, dan juga berbahaya menjadi dapat dimengerti‖. Jika penafsiran kata chijikijilu ini benar, itu berarti ada keinginan yang kuat untuk memelihara suatu ―suar‖ kehidupan, yang teratur dan tepat suatu ruang keramat yang sentral, suatu tempat terbuka dalam semak belukar yang tanpa bentuk, di mana pribadi-pribadi simbolis dapat bekerja dengan menetapkan peraturan dan pemeliharaan siklus tata cara yang tepat.25

Namun, tidak hanya masyarakat Ndembu, tetapi juga untuk banyak masyarakat suku lainnya, fungsi rangkap bentuk-bentuk simbolis ini perlu. Di satu pihak, ada penggambaran tatanan secara simbolis, tempat yang keramat atau kuil, penataan terus menerus atas upacara-upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa puber, dan kematian, atau dengan siklus penanggalan perayaan gerakan-gerakan benda-benda langit. Di lain pihak, ada tata cara simbol yang harus dilaksanakan ketika suatu peristiwa kritis hampir terjadi: suatu perjalanan ekspedisi baru, perjumpaan dengan suku bangsa lain. Ini adalah pengalaman-pengalaman kritis, dimana kelompok-kelompok terbatas harus berpetualang masuk ke dalam dunia yang tidak diketahui. Upacara-upacara simbolis diperlukan untuk menjamin kepergian yang aman, dan kedatangan kembali yang membahagiakan.

(30)

52

Jadi, di satu pihak ada bentuk-bentuk simbolis yang diperlukan, untuk menjaga kesehatan yang berkelangsungan dan kehidupan teratur seluruh masyarakat. Seiring dengan itu, Turner membuat perbedaan antara simbol dan tanda: dalam simbol-simbol, ada semacam kemiripan (entah bersifat metafora atau bersifat metanomia), antara hal yang ditandai maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai kemiripan seperti itu... Tanda-tanda hampir selalu ditata dengan sitem-sistem ―tertutup‖, sedangkan simbol-simbol, khususnya simbol yang dominan dari dirinya sendiri bersifat ―terbuka‖ secara semantis. Makna simbol sama sekali tidaklah tetap... Makna-makna baru, dapat saja ditambahkan oleh ―arbriter‖26, pada wahana-wahana simbolis yang lama. Lagi pula, individu-individu dapat menambahkan makna pribadi pada makna umum sebuah simbol.27

Clifford Geertz selama beberapa tahun menetapkan tujuan utama hidupnya untuk menafsirkan kebudayaan-kebudayaan. Dalam bukunya berjudul ―Anthropological Approaches to the Study of Religion‖ yang disunting oleh Michael Banton (1968:3), Geertz menyatakan, bahwa

―dalam praktek-praktek keagamaan yang ditelaah oleh para ahli

antropologi budaya ―kebudayaan‖ telah menjadi istilah yang

kabur dan kerap kali ambigu dibanyak tempat. Menurut

penggunaan Geertz, ―kebudayaan‖ berarti ―suatu pola yang

ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan penge-tahuan mereka, sikap-sikap terhadap hidup‖28.

26 ...disepakati oleh dua belah pihak yang bersengketa untuk memberikan keputusan yang akan

ditaati oleh kedua belah pihak. Dalam hubungannya dengan kesepakatan terhadap pemaknaan penggunaan simbol, terkadang simbol mengalami perubahan desain berdasarkan konteks,maka ―arbriter‖ menjadi pilihan bersama dan semua pihak diminta untuk menaati perubahan penambahan atau pengurangan terhadap simbol bersama. Konteks ini dalam kehidupan suku Mairasi di Kabupaten Kaimana, komunitas suku telah mengubah sikap lama yang terikat kental dengan sikap masa lalu ―nyawa ganti nyawa‖ jika ada anggota suku yang terbunuh. Masa sekarang,tuntutan tersebut mengalami perubahan, anggota suku yang terbunuh diganti dengan seorang anak (dalam keadaan hidup-bukan dalam bentuk membalas membunuh).

27 F.W. Dillistone, Relegious Experience and Christian Faith, SCM Press, 1983.

(31)

53 Jadi, makna yang diejawantahkan dalam simbol, konsep yang terungkap dalam bentuk simbolis, merupakan pusat minat dan pilihannya. ―Geertz memberikan paradigma; simbol keagamaan ―berfungsi mensintesiskan etos suatu bangsa – nada, watak, mutuhidup mereka, gaya, rasa moral, dan estetisnya – serta pandangan hidup yang mereka punyai tentang cara hal ikhwal apa adanya, gagasan mereka yang paling komprehensip tentang tatanan‖. Cara hidup dan pandangan hidup saling melengkapi, kerap kali melewati satu bentuk simbolis. Hal ini memberikan gambaran tatanan yang komprehensif, dan pada waktu yang sama, mewujudkan pola sintesis perilaku sosial. Ada kongruensi, atau kesesuaian antara gaya hidup dan tatanan universial, dan hal ini terungkap dalam sebuah simbol yang terkait dengan keduanya.

Setiap obyek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi; dan konsepsi ini adalah, ―makna‖ simbol. Jadi penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, terserap, umum, dan konkret. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensintesiskan ―dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan‖, dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan. Dengan memegang pandangan ini, Geertz menyingkirkan semua teori mentalitas primitif, atau evolusi budaya. Yang diinginkan Geertz adalah, memahami apa arti atau makna tindakan-tindakan simbolis, bagi orang-orang yang melakukannya, membeberkan ― struktur-struktur konseptual yang dinyatakan oleh tindakan-tindakan ritual‖29.

Kekuasaan Simbolik Dalam Bahasa Dan Prilaku Manusia

Dalam kehidupan sosial, wujud kekuasaan seringkali terpatri dalam gagasan politik formal seperti negara, dan kekerasan diidentikkan dengan aktivitas fisik yang merugikan. Perwujudan relasi

29 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius

(32)

54

kekuasaan dan kekerasan dilihat sebagai peristiwa yang melibatkan entitas-entitas fisik, seperti tubuh para aktor, sarana prasarana fisik, institusi, dan lainnya.

Seiring dengan globalisasi dan teknologi informasi, wujud kekuasaan dan kekerasan mengalami perubahan secara radikal. Keduanya hadir dalam sebuah ruang yang seolah-olah tidak terjadi apa-apa, atau seakan-akan kosong dari segala kepentingan. Kekuasaan dan kekerasan dipikirkan sebagai suatu entitas yang terpisah, dimana kekuasaan sepertinya tak bersinggungan dengan kekerasan, dan begitupun sebaliknya. Perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan pada era sekarang ini tidak lagi tampil dalam ruang konkrit yang melibatkan aktivitas fisik, keduanya beroperasi dalam sebuah ruang representasi, yang menjadikan sumber daya simbol sebagai kekuatan abstrak, untuk menciptakan kebenaran.

Melalui representasi, sebuah realitas yang sebelumnya tidak dapat dihadirkan, bisa dipresentasikan kembali melalui mobilisasi sistem simbol, entah itu bahasa, wacana, gambar, dan semacamnya. Representasi kebenaran melalui semesta simbolik mampu menciptakan mekanisme sosial yang di dalamnya terdapat pertautan antara kekuasaan dan kekerasan. Representasi yang seharusnya mengandung keselarasan antara tanda-tanda yang diproduksi dengan apa yang dipresentasikannya, seringkali mengaburkan realitas yang sebenarnya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya patahan-patahan dalam sistem representasi tersebut, di mana sistem simbolik sebagai medium representasi telah didominasi oleh sistem kekuasaan tertentu. Pengambilalihan sistem simbol ini terjadi sedemikian rupa, sehingga menyebabkan mereka yang menerimanya tidak merasakan apa-apa. Penerimaan begitu saja oleh mereka yang didominasi terhadap segala bentuk tata simbol itulah yang menandakan berlangsungnya praktik kekerasan dalam ruang sosial. Dengan kata lain, relasi kekuasaan dan kekerasan senantiasa hadir dalam bilik-bilik kehidupan, walaupun pola, teknik, dan mekanismenya mengambil bentuk yang berbeda.30

(33)

55 Setiap rezim yang muncul dalam menjalankan kekuasaannya, tentu menghadirkan pula simbol-simbol yang menjadi tujuan dan mewarnai kebijakan yang menjadi tujuan.

Orde politik era Sukarno misalnya, memproduksi gagasan NASAKOM31 (Nasionalisme Agama Komunis) sebagai gugus simbolik yang bertujuan menyatukan komponen kekuatan politik yang terbelah pada masa itu. Di era Orde Baru32, sistem simbolik bersarang pada wacana pembangunan. Begitu pula pada masa SBY-JK, wacana good

31 Konsepsi ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh Sukarno muda di tahun 1926, melalui artikel berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga aliran itu, kata Sukarno, merupakan kekuatan politik utama dalam pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Nah, dalam kerangka melawan kolonialisme, penyatuan tiga aliran itu menjadi mutlak adanya. Dalam Suluh Indonesia Muda, tahun 1926, Sukarno sudah mengemukakan gagasan Nasakom ini. ―Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah azas-azas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat diseluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan diIndonesia-kita ini,‖ kata Sukarno. Bukan tanpa alasan Sukarno mengatakan demikian. Memang sejak awal perjuangan kemerdekaan, kita memang sudah mengenal tiga aliran politik ini mewarnai berbagai organisasi pergerakan zaman itu. Semisal Indsche partij dan Sarekat Hindia yang ―Nasionalis‖, Sarikat Islam yang berideologi islam, dan kemudian ISDV/PKI yang berideologi marxisme. Dalam surat kabar pemandangan, melalui artikel berjudul Menjadi Pembantu Pemandangan, tahun 1941. Sukarno menganggap dirinya sebagai perasaan dari nasakom. Nasakom menjadi konsepsi Sukarno untuk menyatukan berbagai barisan perjuangan dalam merebut dan menegakkan kemerdekaan. Saat memberi amanat di Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia, di Istana Negara, 23 Oktober 1965, Sukarno terang-terangan menyebut dirinya sebagai perasan dari nasakom. ―Ik ben nasionalist, ik ben islamiet, socialist. Tiga in one. Three in one, Sukarno. Lain kali disini, dimuka Istana merdeka saya pernah berkata, aku

adalah perasan dari pada Nasakom‖ (Sumber Artikel:

http://www.berdikarionline.com/sukarno-dan-konsep-persatuan-nasakom/. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2018.

32 Pemerintahan Orde Baru adalah suatu penataan kembali seluruh kehidupan bangsa dan negara

(34)

56

governance dijadikan simbol utama untuk mendayung visi besar pemerintahan. Rezim politik juga seringkali melukiskan dirinya dalam bahasa simbolik seperti ―penyambung lidah rakyat‖, ―bapak pembangunan‖, atau ―anak bangsa‖. Pemilik simbol dapat mengejewantahkan dirinya seperti apa yang disimbolkan. Jika demikian, rezim politik bisa menjalankan praktik kekuasaan-nya, atas nama simbol yang diciptakan sendiri. Ia memiliki wewenang untuk menjadikan simbol itu nyata, dan mendapatkan pengakuan bahwa rezim politik memiliki mandat untuk bertindak sesuai dengan karakter yang disimbolkan.

Simbol mengandung kekuatan untuk membentuk wajah realitas. Kekuatan itu tersimpan dalam proses kategorisasi, penilaian, dan pemaksaan ide-ide tertentu kepada obyek yang menafsirkan simbol. Dalam dunia politik, operasi kerja kekuatan tak bisa dilepaskan dari kekuatan struktur aktor politik yang berkepentingan mengonstruksi realitas. Wacana good governance yang digulirkan pemerintah SBY-JK sebagai visi besar pengelolaan negara. Mangacu pada pandangan Edward Said di bagian pendahuluan Magnum Opus-nya, menyatakan bahwa ―there is no such things as a delivered presence; there is onli re -presence, or representation‖ di balik pewacanaan good governance terdapat upaya menyembunyikan relasi kuasa yang tak tampak, seolah-olah objektif. Wacana terorisme, misalnya, digunakan oleh pemerintah untuk menentukan kelompok mana yang disebut teroris dan mana yang bukan. Terorisme sebagai wacana simbolik dijadikan modal politik bagi pemerintah dalam mengesahkan Undang-Undang Terorisme yang memberikan payung hukum sah untuk melakukan praktik politik, seperti membuat kategori teroris hingga ke proses penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dikategorikan terorisme33.

Niccolo Mechiavelli dalam karyanya ―The Prince‖, kekuasaan harus dilestarikan melalui cara apapun agar kedaulatan sang penguasa (negara) tetap tegak. Karenanya penggunaan kekerasan yang bersifat fisik pun dapat dibenarkan, seperti intimidasi, penyiksaan penculikan,

(35)

57 dan sebagainya. Dengan kata lain, negara memiliki kewenangan melakukan politik kekerasan untuk mempertahankan dominasinya terhadap yang dikuasainya. Antonio Gramsci seorang pemikir neomarxis dari Itali–menyatakan, bahwa kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang dimaksudkan oleh Gramsci ialah: peran kepemimpinan intelektual dan moral (intellectual and moral leadership) untuk menciptakan ide-ide dominan. Kekuasaan yang dimaksudkan diperoleh lewat hegemoni ide-ide (dalam wilayah budaya) didasarkan atas mekanisme konsensus. Melalui hegemoni, ide-ide yang diciptakan penguasa menentukan struktur kognitif masyarakat34.

Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan dan relasi kekuasaan, Louis Althusser menyatakan, negara sebagai institusi sentral yang berperan mempersatukan dan memaksa masyarakat dalam reproduksi kekuasaan, Ia membedakan antara kuasa negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara) sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatus negara di sisi lain.

Pada bagian ini, uraian simbol kuasa dalam bahasa dan prilaku simbolik manusia akan diuraikan lebih lanjut oleh penulis.

Simbol kuasa dalam bahasa manusia

Bahasa berperan positif bagi pembentukan makna, dalam bentuk-bentuk kekuasaan di balik beroperasinya/penggunaan bahasa. Artinya, bahasa menempati posisi strategi bagi penyemaian ideologi yang ada di baliknya, serta mengandaikan modus kekuasaan tertentu dalam setiap praktik bahasa, pilihan kata, gaya mengungkapkan dan perbendaharaan kata, hingga kandungan pengetahuan yang diungkapkan, atau disamarkan oleh suatu bahasa. Karena itu, bahasa menjadi begitu penting bagi individu maupun kelompok tertentu untuk meraih, melanggengkan, bahkan melawan suatu kekuasaan. Perkara ini digambarkan oleh John B. Thompson sebagai berikut:

(36)

58

―As competent speakers we are aware of the many ways in

which linguistic exchanges can express relation of power. We are sensitive to the variation in accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in the social hierarchy. We are aware that individuals speak with differing degrees of authority, that words are loaded with unequal weights, depending on who utters them and how they are said, such that some word uttered in certain circumstances have a farces and a conviction that they wauld not have elsewhere. We are experts in the innumerable and subtle strategies by which words can be used as instruments of coercion and constrain, as tools of intimidation and abuse, as

signs politeness, condescension and contempt‖.35

Bahasa tak sekedar menjadi alat komunikasi yang mencakup sekumpulan kata-kata bermakna, dalam sebuah proses pemahaman. Ia juga bisa berubah menjadi instrumen kekerasan yang mengeksploitasi semesta simbolik dalam jejaring kekuasaan. Bahasa—sebagai salah satu ruang produksi dan diaspora simbol—didapati oleh pelbagai kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan otoritas guna menanamkan otoritas. Bahasa seringkali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang plural), karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, ketika ia digunakan untuk menyampaikan informasi (atau versi informasi), yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Dalam pertarungan simbolik, selalu terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama yang diakui secara resmi, monopoli visi yang sah terhadap dunia sosial, dan memaksa pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam pertarungan simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi dengan tujuan akhir memperoleh kekuasaan.

Kekuasaan simbolik—dalam pengertian Bourdieu—merupakan suatu kekuasaan untuk mengonstruksi realitas, melalui tatanan gneosological, yaitu melalui pemaknaan yang paling dekat mengenai dunia sosial untuk kelompok atau orang. Kekuasaan simbolik ialah kekuasaan tak tampak dan hanya dikenali dari tujunnya untuk memperoleh pengakuan. Sebuah kekuasaan simbolik meski tidak

Gambar

Gambar  2.1. Semiotic Triangle Ogden Richards

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dengan telah diundangkannya Peraturan Daerah Kabupaten Musi Rawas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Musi Rawas, maka perlu

Kondisi inilah yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak, pemerintah sebagai regulator, dan masyarakat petani sebagai pelaksana, serta masyarakat industri harus

The spectra of pectin from Bis183 sweet potato (Fig. 12) show that extraction using NaOH containing SHMP had a resonance at ~53 ppm, representing the methyl carbon of

2) Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 3) Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan

A resistant vanilla plantlet to Fov has been initiated by in vitro selection on MS medium containing fusaric acid (FA) on selective concentration. The purpose of research were

Bagi orang tua anak retardasi mental hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan agar orang tua yang memiliki anak retardasi mental memiliki koping

Sebagai bangsa yang telah memiliki pandangan hidup Pancasila, maka tidak berlebihan apabila pengembangan ipteks didasarkan atas paradigma Pancasila.. Oleh karena itu,

This research was aimed to study the inoculation effects of microbial N 2 -fixers ( Azotobacter sp. and Azospirillum sp. ) and microbial P-solubilizers ( A. fluorescens ) in