• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap gerakan sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat disebabkan karena adanya indikator awal yang memengaruhi situasi sosial disertai dengan adanya tujuan (target) dari gerakan sosial yang ingin dicapai. Haruslah dibedakan bahwa gerakan sosial memiliki ciri masing-masing. Ada gerakan sosial yang melakukan perlawanan terhadap pimpinan/atasan atau badan tertentu, tetapi ada gerakan sosial yang memainkan peran pelayanan sosial. Tentu kedua-duanya memiliki perbedaan didasarkan pada indikator penggerak/pemicu dan pada tujuan akhir yang hendak dicapai.

Gerakan sosial yang terjadi di Kabupaten Kaimana Papua Barat, dikategorikan sebagai gerakan yang berkiblat pada gerakan perlawanan, sebabnya didasarkan pada implementasi kebijakan pemerintah yang mengalami benturan dengan konsep-konsep masyarakat lokal. Fenomena munculnya gerakan perlawanan dengan menggunakan simbol adat di Kabupaten Kaimana sesungguhnya didasarkan pada fakta-fakat pembangunan yang dinilai dari prespektif masyarakat adat.

59 Yakobus Ranjabar Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pngantar. ALFABETA c.v. Bandung

2014.hlm.221.

79 Prespektif masyarakat tersebut sangat tergantung pada konsep- konsep adat berupa cerita tuturan yang seringkali dibahasakan dalam bahasa adat ―tete nene moyang punya janji‖, sementara pemerintah berangkat dari konsep pembangunan modern. Dari perbedaan konsep inilah, muncul gesekan antara pemerintah dan masyarakat adat.

Beberapa teori tantang kebijakan dan gerakan sosial, ditemukan di sana bahwa gerakan sosial yang dikemas dalam bentuk perlawanan seringkali terjadi disebabkan karena, ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat dari kebijakan yang dibuat oleh pemerinta atau kaum buruh sebagai pekerja pabrik. Dari konteks inilah, muncul sejumlah gerakan sosial yang dikemas dalam bentuk perlawanan, dalam bentuk fisik maupun non fisik.

Dalam catatan sejarah dunia tentang gerakan sosial, pada tahun 1950-an dan 1960-an terjadi sejumlah gerakan, salah satunya dikenal dengan nama ―komunitas gerakan hak-hak sipil di kalangan Kulit Hitam‖. Lahirnya gerakan ini disebabkan karena faktor diskriminasi terhadap kaum kulit hitam dan gerakan apartheid di Afrika Selatan. Menurut pendapat Bonner, dalam konteks gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah ―pembangunan‖.

Dalam konteks pembangunan, seringkali muncul diskriminasi terhadap kaum minoritas, jika sebuah kaum hanya sebagai kelompok minoritas dalam sebuah wilayah, kiblat pembangunan hanya diarahkan kepada kaum mayoritas. Dalam penyusunan aturan-aturan misalnya, hak-hak kaum mayoritas lebih akomodir.

Di Indonesia, gerakan-gerakan perlawanan yang muncul disetiap daerah, tidak terlepas dari kasus intimidasi, hak asasi manusia, yang marak terjadi terhadap masyarakat sipil khususnya di wilayah Timur Indonesia Tanah Papua. Kondisi ini pada akhirnya membangun kesadaran masyarakat lokal untuk membuat gerakan perlawanan yang ditujukan kapada pemerintah.

Lahirnya teori gerakan sosial yang dimulai dari teori gerakan sosial klasik hingga teori keluhan, tidak didasarkan pada daya

80

imajinatif dan hasil khayalan para ahli. Lahirnya teori gerakan sosial didasarkan pada fakta-fakta empiris sosial yang dimulai dari gerakan Revolusi Prancis.

Teori yang didasarkan pada fakta Revolusi Prancis disebut sebagai teori klasik yang dipelopori oleh beberapa ahli seperti Sidney Tarrow (1998), dia melihat gerakan sosial tersebut dan menyebutnya sebagai ―prilaku kolektif‖. Gustave Le Bon (1895), ia melihat prilaku kolektif dan menginterpretasikan kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang. David Popenoe (1977:259) melihat prilaku kolektif merupakan tindakan yang tidak mencerminkan struktur sosial yang ada. Struktur sosial yang dimaksuda oleh David Popenoe berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan pemerintah dan lembaga formal dan non formal.

Berbeda dengan Herbert Blumer ―….masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri), tindakan individu itu merupakan suatu konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja.

Yang dipahami oleh Blumer adalah, bahwa setiap gerakan sosial yang lakukan oleh masyarakat tidak terlepas dari apa yang mereka pikirkan, atinya apa yang dilakukan oleh masyarakat itulah yang dipikirkan oleh mereka secara individu.

Penekanan Blumer lebih jauh menegaskan bahwa: keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan individu yang disebabkan oleh penafsiran individu/pertimbangan individu terhadap setiap tindakan yang lainnya‖.(Irving Zetlin, 1995:332).

Pandangan para ahli yang berlatar pada gerakan Revolusi Prancis disebutan dengan gerakan kolektif. Dari cara pandang mereka, ―terbentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang‖, ―tidak mencerminkan struktur sosial yang ada‖, ―mengikuti kemaunnya sendiri‖.

81 Jika teori klasis gerakan sosial mengidentifikasi gerakan sosial seperti emosi binatang dan tidak mencerminkan struktur sosial, maka hal itu berbeda dengan pendapat Mancur Olson dalam bukunya The Logic Of Collective Action: Public Goods And The Theory Of Groups.

Yang ingin disampaikan oleh Mancur Olson bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh individu-individu tersebut, mereka melakukannya secara sadar sebagai bentuk kerasionalannya.

Pendapat Olson lebih melihat pada awal mula sebuah tindakan, bukan pada tindakan yang sudah terjadi. Sebab tindakan yang sudah terjadi, selalu berawal dan berhubungan dengan kesadaran awal sebelum seorang secara individu bergabung melakukan gerakan perlawanan.

Dalam keseharian makhluk yang satu ini (manusia), mulai dari gerakan, tutur kata, selalu menggunakan simbol. Simbol yang digunakan bisa berupa material (benda-benda disekitarnya) dan non material, seperti seluruh gerakan anggota badan ―whole movement of limbs‖.

Simbol yang digunakan manusia, tidak berasal dari luar, ia (simbol) yang digunakan manusia merupakan hasil ciptaannya sendiri, karena itu cara menggunakan simbol sebagai alat perlawanan, diibaratkan sebagai senjata pamungkas untuk menjawab dan menghadapi serangan dan tantangan dari luar. Dari konteks inilah, sejumlah teori simbol dan perlawanan simbol dibangun oleh para ahli.

Hartoko dan Rakhmanto (1998 : 133), menggambarkan teori secara etimologi dari bahasa Yunani ―sym-ballein‖ yang berarti melemparkan bersama suatu yang dikaitkan dengan ide, tetapi ada pula yang menyebut ―syimbolos‖, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10).

Dalam konsep Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandai (petanda) sifatnya konvensional. Berger (2000a:85) mengklasifikasikan simbol-

82

simbol menjadi tiga bagian: (1) konvensional. (2) aksidental (accidental), (3) universal.

Sebagai ―sym-ballein‖ atau ―syimbolos‖, masyarakat mencipta- kannya untuk tujuan mengartikan sesuatu atau mewakili sesuatu berdasarkan apa yang digunakan dan disepakati bersama. Walaupun tanda yang menandai sesuatu itu terkadang tidak sama, serupa dan segambar, namun dalam hal ini simbol merupakan hasil pikir bersama dan karya bersama dalam kehidupan manusia.

Kebijakan sangat memainkan peran penting dalam menjalankan roda kepemimpinan. Karena itu, kepemimpinan yang tidak melahirkan kebijakan-kebijakan untuk menjawab permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat, maka kepemimpinan tersebut terkesan kehilangan roh.

Artinya, setiap organisasi memiliki kelengkapan program kerja dengan sejumlah peralatan pendukung, tetapi jika tidak ada komando atau dibijaki oleh pimpinan, maka setiap anggota akan menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan apa yang mereka mau. Karena itu, jangan salah ketika melihat seorang pegawai hanya memainkan HP- nya dalam ruang kerja, pada saat anada bertanya: apa kerja anda hari ini, jika dia menajwab tidak ada kerja, maka yang dimaksudkan bukan tidak ada kerja, tetapi tidak ada kebijakan dari pimpinan, karena itu kerjanya hanya mengotak atik HP-nya.

Kebijakan terkadang dipahami sebagai sesuatu yang terlalu luar biasa. Dengan pemahaman seperti itu, maka orang selalu mengidentikan kebijakan dengan status sosial. Sementara tidak disadari bahwa seorang petani, nelayan buruh serabutan, dan tukang beca dalam kehidupan sehari-hari, mereka selalu membuat kebijakan.

Cara pandang kita yang keliru tentang kebijakan, dikarenakan teori-teori kebijakan lahir dari konsep orang putih, mata kucing dan mereka yang memiliki gelar akademik atau jabatan. Di sinilah terlihat bagaimana kita memosisikan kebijakan itu, bukan sebaliknya kebijakan merupakan sesuatu yang biasa terjadi di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja.

83 Cara kita memahami dan menempatkan kebijakan pada status sosial yang tinggi telah membuat kita salah dalam menilai, kalau ternyata selama para leluhur di Papua, walu hanya menggunakan cawat dan koteka, ternyata sebelum republik ini ada, mereka sudah membuat kebijakan.

Dari kasus gerakan perlawanan dengan menggunakan simbol- simbol adat, hal ini menyadarkan kita semua bahwa, kebijakan pun sudah lama dibuat oleh leluhur kita di Papua. Yang menjadi permasalahan adalah, pada saat mereka membuat kebijakan, saat itu belum ada alat tulis, komputer yang bisa digunakan untuk menulis dan menyimpan apa yang mereka buat. Hanya dengan mengandalkan otak, mereka menyimpan segala sesuatu yang telah mereka lakukan.

Mereka hanya hidup dengan mengandalkan kemampuan cerita- certia tuturan (cerita berantai) lintas generasi. Sayangnya, kebijakan yang dibuat oleh para leluhur di Papua, secara khusus delapan suku asli di ―Negeri 1001 Senja‖, tidak tertulis, sehingga dunia tidak bisa membaca konsep-konsep itu.

Karena itu, pada kesimpulan ini, beberapa teori kebijakan yang digunakan penulis akan disimpulkan sebagai berikut:

Indikator manusia menggunakan simbol untuk menata kehidupan mereka, karena manusia adalah makhluk yang selalu menimbulkan masalah dan berjumpa dengan masalah. Menghadapi kondisi itu, manusia mulai mencari solusi untuk menata keteraturan hidupan.

Untuk menata keteraturan hidup tersebut, manusia berupaya dengan kreasinya sendiri untuk menciptakan simbol-simbol yang digunakan sebagai aturan. Hal ini dilakukan karena dalam diri manusia sebagai makhluk sosial ada keinginan untuk ingin hidup teratur.

Keinginan untuk hidup teratur tidak datang begitu saja, harus ada upaya atau kreasi dari manusia. Maka diciptakanlah simbol-simbol untuk tujuan yang diharapkan. Berangkat dari sikap keaslian manusia, maka dapat disimpulkan bahwa hidup teratur, damai, santun dengan sesama adalah bagian dari cara manusia mendesain situasi.

84

Dalam hubungannya dengan pemerintah, telah banyak teori yang dibuat dalam rangka untuk menata birokrasi pemerintah, sehingga mandat yang diterima dari rakyat dapat dijalankan dengan baik. Dalam menjalankan pembangunan tersebut, pemerintah selalu berjalan dengan sejumlah konsep dan teori dari luar dirinya tentang kebijakan publik seperti:

Carl Friedrik, ia memandang kebijakan sebagai ―suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah, dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan- hambatan dan peluang-peluang, terhadap kebijakan yang diusulkan, untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran, atau suatu maksud tertentu‖.

Melihat kebijakan sebagai suatu arahan yang berasal dari pimpinan atau badan, maka sudah seharusnya kebijakan tersebut dilaksanakan atau diimplementasikan sesuai dengan arah kebijakan yang telah dibuat.

Terkadang pula sebagai bawahan, dalam melaksanakan kebijakan yang diterima dari atasannya, banyak orang takut pada dampak atau pada konflik yang seringkali muncul akibat dari diimplementasikannya kebijakan tersebut. Karena itu, terkadang dalam menindaklanjuti kebijakan, banyak anggota atau bawahan menjadi ragu bahkan mereka bisa menolak untuk mengimplementasikan kebijakan dimaksud. Hal ini disebabkan karena terkadang manusia takut berhadapan dengan konflik. Sikap seperti ini pada akhirnya memunculkan kegagalan dari sebuah kebijakan.

Terkadang kita memahami bahwa konflik tidak dibutuhkan, bahkan dihindari oleh manusia, namun dalam kondisi apapun, situasi sosial selalu menghadirkan konflik. Karena kondisi sosial tidak dihuni oleh sekumpulan manusia robot, gaya gerak, gaya berbicara, cara jalanya selalu dipandu dengan sistem kontrol.

Lingkungan sosial merupakan kumpulan manusia yang terdiri dari sejumlah individu yang memiliki kedirian bebas, mereka tidak bisa dipandu seperti robot. Karena itu, konflik menjadi sangat penting dan

85 sangat dibutuhkan dalam situasi sosial di mana manusia ada. Konflik menjadi penting, karena konflik memiliki dampak negatif dan positif untuk mengembalikan situasi sosial yang tidak kondusif menjadi jauh lebih baik.

Dari berbagai teori konflik yang dibangun oleh para ahli, mereka memahami inti dari konflik ialah ―bagaimana hubungan masyarakat dapat berjalan sesuai dengan tujuan bermasyarakat‖. Dalam hal ini, pertikaian dan konflik dilihat sebagai bagian dari sistem sosial yang tidak dapat dihindari, yang bisa dilakukan adalah konflik hanya bisa diminimalisir melalui beberapa konsensus yang disepakati bersama.

Dokumen terkait