• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V LAWAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: MASYARAKAT PALANG KANTOR DAN INFRASTRUKTUR MILIK PEMERINTAH MENGGUNAKAN SIMBOL ADAT - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB V LAWAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: MASYARAKAT PALANG KANTOR DAN INFRASTRUKTUR MILIK PEMERINTAH MENGGUNAKAN SIMBOL ADAT - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan "

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

171

BAB V

LAWAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN:

MASYARAKAT PALANG KANTOR DAN

INFRASTRUKTUR MILIK PEMERINTAH

MENGGUNAKAN SIMBOL ADAT

Pembangunan tidak melulu pada membangun infrastruktur, tidak pula hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata dalam melaksanakan pembangunan, sementara masyarakat hanya ditempatkan pada posisi pengguna, penikmat hasil pembangunan. Keutamaan dalam pembangunan adalah bagaimana manusia dilibatkan dalam proses pembangunan sebagai subyek, artinya masyarakat diberi ruang untuk berproses sejak dini dalam merancang strategi pembangunan di daerah. Kekeliruan yang terjadi hingga saat ini adalah masyarakat dipandang sebagai obyek pembangunan, dalam hal ini masyarakat dipandang memiliki ketidaktahuan dalam segala hal, bukan sebaliknya masyarakat dilihat sebagai makhluk yang memiliki keinginan mengetahui, ingin terlibat berproses bersama pemerintah untuk merancang serta melaksanakan pembangunan. Kenyataannya, masyarakat masih dijadikan sebagai makhluk penunggu dalam wilayah mereka untuk membeli atau bertransaksi dengan pemerintah soal program pembangunan suatu daerah. Sebagai pembeli program, terkadang masyarakat berada pada posisi tawar yang sangat lemah sehingga membuka sejumlah peluang masalah bisa terjadi dalam proses pembangunan.

(2)

172

Pengaruh Simbol dalam Diri Manusia

Setiap gerakan manusia pasti memberi arti dan makna menurut apa yang dia rasakan. Penulis meminjam bahasa iklan kecap bango“karena rasa tidak pernah bohong”1. Seorang bayi yang belum

bisa berbicara, ketika ingin menyampaikan apa yang dia rasakan kepada orang lain, cara menyampaikan tentu berbeda dengan orang yang sudah bisa berbicara. Dengan cara menangis, seorang bayi menyampaikan pesan simbol kepada orangtuanya bahwa mungkin dia lapar, atau mungkin popoknya basah, atau mungkin si bayi masuk

angin. Penulis menggunakan kata “mungkin” karena hanya si bayi

itulah yang tauh bersama ibunya yang bisa mengerti bahasa bayi tersebut.

Setelah anak itu mulai belajar berbicara, dengan mengucap kata-kata yang tidak habis terucap, maka pesan simbol yang disampaikan akan mengalami perubahan dengan berbagai macam cara. Misalnya, ketika seorang anak mulai belajar berbicara dan dia meminta makan saat lapar, maka bahasa yang digunakan lebih kurang seperti ini, ma’ am (ma=mama am=makan), di wilayah Timur Indonesia seorang bayi cenderung menggunakan pesan simbol seperti ini. Setelah anak tersebut bisa berbicara dengan jelas, maka pesan bahasa simbol akan semakin jelas.

Dari uraian ini dipastikan, bahwa simbol yang digunakan manusia untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain, selalu mengalami evolusi berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhan yang diinginkan. Walaupun terjadi evolusi terhadap simbol-simbol yang digunakan oleh manusia, namun yang pasti adalah, bahwa simbol yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain akan selalu berhubungan dengan sesuatu dalam diri manusia.

Bagitu kuatnya pengaruh simbol dalam diri manusia, hal itu menunjukan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa simbol. Jika

(3)

173

ditelusuri secara mendalam, maka peran simbol dapat disamakan dengan “password”2 rahasia yang dipasang pada setiap file atau folder,

maka untuk membuka file atau folder diharuskan penggunannya mengetahui dengan benar kode “password” yang digunakan.

Simbol yang oleh penulis menyamakannya seperti “password” dalam kehidupan masyarakat adat, tidak hanya terdiri dari satu macam simbol, berbagai macam simbol ada dan dimiliki oleh mereka, salah satunya adalah simbol marga/klan. Pada bagian ini penulis akan menguraikan beberapa sub judul terkait dengan penggunaan simbol oleh masyarakat lokal di “Negeri 1001 Senja” atas implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Marga sebagai simbol identitas masyarakat adat

Penggunaan nama pada sebagian masyarakat di “Negeri 1001

Senja” rasanya tidak lengkap jika tidak disertai dengan sebutan

marga/klan pada bagian akhir nama seseorang. Mungkin pada orang yang tidak menggunakan nama marga/klan akan menganggap hal tersebut biasa-biasa saja, namun pada komunitas lain yang menggunakan marga/klan, nilai dari sebutan marga sangat mulia dan

2 Pada awal tahun 1960-an, Fernando Corbato mengubah dunia. Ia mengembangkan sistem password komputer pertama untuk sebuah proyek di Massachusetts Institute of Technology (MIT), di mana beliau mencoba untuk menciptakan akun terpisah di antara para peneliti yang ada di sana. Dari situlah terciptanya sebuah password di komputer. Perubahan ini tak hanya memberikan pemahaman tentang bagaimana kita menggunakan teknologi, tetapi juga memaksa kita untuk memikirkan tentang privasi ketika menggunakannya. Tapi sekarang, di era Internet, mantan profesor MIT ini percaya bahwa password telah menjadi mimpi buruk yang nyata. Dalam sebuah wawancara dengan The Wall Street Journal, Corbato mengatakan bahwa sistem password menjadi `mimpi buruk` untuk World Wide Web. Ia pun percaya bahwa password telah menciptakan masalah yang tak hanya untuk hacker, tetapi juga kepada

pemilik password itu sendiri. “Sulit membayangkan bahwa ada orang yang bisa mengingat semua password yang mereka miliki. Ini menimbulkan masalah besar,” kata

Corbato seperti dikutip dari blog The Wall Street Journal. Sumber: http://tekno.liputan6.com/read/2060472/mengenal-si-pencipta-password-di-komputer

(4)

174

memiliki maksud yang luar biasa. Ada alasan mendasar yang menyebabkan mengapa nama marga/klan tidak bisa dihilangkan pada komunitas penggunanya. Jika hal itu ditanyakan kepada komunitas yang paham benar tentang alasan penggunaan marga/klan, maka jawaban yang disampaikan adalah “marga/klan kami adalah nama

leluhur kami, ada pula yang mengatakan bahwa marga/klan yang kami gunakan itu berasal dari nama gunung, ada pula yang menjelaskan nama kami berasal dari pohon, unggas, binatang melata, dan ada banyak hal bisa mereka sampaikan, tetapi ada pula yang tidak bisa menjelaskan, hal itu dikarenakan pada kalangan masyarakat tertentu, penjelasan merga/klan terhadap orang yang berada di luar komunitas mereka, hal itu masih dianggap sakral jika disampaikan pada orang

yang berada di luar komunitas mereka”.

Menurut salah satu tokoh masyarakat berinisial DM, saat dilakukan wawancara menjelaskan sebagai berikut:

“sebenarnya simbol-simbol adat yang dimiliki suku Irarutu3 cukup

banyak termasuk nama marga. Sama juga dengan marga-marga yang digunakan oleh suku Kuri4dan Mairasi5. Nama marga memiliki tujuan

masing-masing sesuai dengan asal-usul marga yang digunakan. Tujuan penggunaan marga untuk kita suku Irarutu sebenarnya memiliki tujuan untuk menunjukan asal suku, batas wilayah dan asal-usul leluhur masing-masing. Kalau tidak ada marga yang kita gunakan, maka kita menjadi orang asing disuatu tempat. Misalnya, kalau marga yang saya gunakan seperti marga Ruwe, maka orang akan mengetahui bahwa saya berasal dari suku Irarutu, kalau saya dari suku Irarutu, maka semua orang mengetahui asal-usul saya dan saya punya milik tanah sampai di mana. Karena itu, marga yang kami gunakan memiliki tujuan tentang kejelasan asal usul, batas-batas wilayah agar tidak menguasai hak milik

orang lain atau suku lain”6.

3 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Irarutu berasal dua kata yaitu Iraru = bahasa/bicara tuturan, dan Tu = benar, sesungguhnya dengan demikian, kata Irarutu mengandung pengertian bahasa yang benar, bicara yang benar

4 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Kuri artinya perempuan/ibu

5 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Mairasi artinya laki-laki hitam keriting.

(5)

175

Penjelasan ini memberi gambaran bahwa penggunaan nama marga tidak hanya sebatas pada sebuah tanda yang menjelaskan asal-usul komunitas tertentu, melainkan melalui nama marga/klan, seseorang dapat mengetahui asal-usul dirinya (dari mana dia berasal), otoritas marga (kewenangan dan kekuasaan marga), milik pusaka (kepemilikan tanah adat), dan batas-batas kekuasaan (hak-hak dalam komunitas).

Karena itu dipahami pula, bahwa nama marga/klan merupakan alat kontrol yang berfungsi sebagai pengingat yang menandai seseorang bahkan komunitas tertentu untuk tidak serakah, tidak mementingkan diri sendiri, tidak berlaku semena-mena terhadap orang lain. Pada fungsi yang lain, nama marga/klan juga berfungsi sebagai sabuk pengikat suatu komunitas. Dalam fungsi tersebut, penggunaan nama marga/klan bertujuan memberi kepastian hidup yang berhubungan dengan harapan-harapan akan masa depan, yang mengharuskan seseorang dalam komunitasnya untuk wajib tunduk dan mengamankan segala kekayaan yang dimiliki dalam sebuah komunitas marga tertentu. Fenomena yang masih terlihat hingga sekarang ini, bahwa dalam kehidupan masyarakat adat di beberapa kampung, masih ada masyarakatnya yang menggunakan hanya satu marga/klan. Walaupun mungkin telah ada tambahan beberapa marga/klan dalam satu komunitas tertentu, namun secara pasti dijelaskan oleh DM bahwa:

“dulu setiap kampung hanya ada satu marga dalam suatu komunitas, dari marga tersebut menunjukan bahwa mereka hanya memiliki satu moyang atau leluhur. Sekarang ini muncul juga beberapa marga lain dalam sebuah komunitas tertentu, ceritanya begini; dulu itu, leluhur kita mengembara, pada saat mengembara mereka selalu lakukan

(6)

176

bisa mengambil bagian dalam komunitas baru, dan bisa mendapat hak waris dari marga yang dia gunakan7”.

Melalui penjelasan tersebut dipahami bahwa penggunaan marga/klan pada masa lalu sangat selektif, seorang bisa saja bergabung dalam suatu komunitas namun ada persyaratan yang harus dipatuhi, yaitu harus disetujui dan disepakati bersama oleh komunitas penerima. Jika komunitas penerima setuju menerima individu tersebut maka nama marga/klan asal yang digunakan tetap melekat dalam diri individu tersebut, dalam konteks ini muncul kesepakatan bersama

“saling menerima dan mengakui”

Tetapi jika seseorang diterima dalam satu komunitas yang baru dan diubah nama marga/klan sesuai dengan marga/klan yang berlaku dalam komunitas tersebut maka orang tersebut merupakan hasil dari peristiwa honge (perang keseimbangan antar suku).

Ada beberapa hal yang membuat seseorang mengubah atau diubah marga/klan aslinya, pertama: agar dia bisa diterima dalam komunitas baru, kedua: seseorang menjadi pemilik hak waris dari marga/klan dari komunitas baru, ketiga: menjadi bagian dari janji leluhur tentang masa depan berdasarkan cerita sakral yang dipelihara dan dijaga oleh komunitas baru.

Dalam penjelasan lanjut, DM menuturkan sejarah marga

“Ruwead – Farisa”,8 Cerita sejarah RuweadFarisa, sebagai sebuah

7 Wawancara tanggal 8 Januari 2017

8 Mengapa marga Farisa memanggil kakak terhadap kami marga Ruwe, ceritanya pada masa lalu, sebenarnya moyang Farisa ini dia punya nama asli itu ada tapi saya tidak bisa cerita untuk anak pendeta, moyang ini orang sebut dia Farisa karen kalau dia perang honge dia selalu bergoyang seperti orang kemasukan. Pada masa honge,

leluhur Farisa melakukan perang dari kepala air sampai ke muara Teluk Arguni, dan turun sampai masuk wilayah Rauna. Di wilayah Rauna, Farisa bertemu dengan seorang perempuan bernama Maru, dia punya mama namanya Weni.Weni memiliki sifat kanibal, pada saat Farisa bertemu dengan Maru yang sementara menebang pohon untuk berkebun, Maru mengajak Farisa untuk tinggal bersama, karena mamanya memiliki sifat kanibal, maka Maru menyembunyikan Farisa dalam gulungan tikar. Pada saat Wenu kembali dari perjalanan mencari makan, dia mencium bauh manusia

dan menanyakan kepada anaknya, “maru ko simpan manusia di mana, mama ada cium bau manusia di sekitar ini”, tetapi Marubilang untuk dia pung mama, “mama jangan

(7)

177

model dari sejarah masa lalu yang memiliki kaitan dengan simbol marga/klan di mana seorang individu tidak mengubah marganya ketika diminta bergabung dengan komunitas baru.

Asal mula marga digunakan sebagai simbol

Penggunaan marga/klan dalam suatu komunitas tertentu tidak bisa terpisah dari sisi cerita tentang asal mulanya. Hal ini menjadi sangat penting karena cerita asal mula penggunaan marga/klan selalu identik dengan muatan aturan-aturan atau kaidah-kaidah tertentu yang menjadi alasan bagi komunitas tersebut untuk menggunakannya.

Jika diperhatian secara baik maka marga/klan yang digunakan merupakan potongan sebuah kata yang menerangkan sesuatu benda dan memiliki kaitan dengan benda-benda yang berada disekitar lingkungan penggunanya. Kondisi seperti ini memberi gambaran seakan manusia atau komunitas pengguna marga/klan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan alam, alam menjadi sahabat, alam menjadi petunjuk, alam menjadi sumber kehidupan, bahkan alam dan manusia keduanya merupakan representasi satu dengan yang lain (alam Papua merupakan representasi dari manusia Papua begitu pula manusia Papua merupakan representasi dari alam Papua).

saya”, walaupun begitu, mamanya terus mencari dan menghancurkan tempat tinggal

mereka untuk mencari Farisa yang disembunyikan oleh Maru, pada saat itu Farisa

berdiri dan bilang sama Maru,“ko bilang sama ko punya mama, saya jalan keliling

hutan besar ini tidak ada orang yang biking (buat) susah saya”, walaupun Maru sudah bilang sama dia punya mama, tetapi mamanya terus melempar Farisa dengan tombak (bahasa Irarutu = gaim, akirnya pace farisa pung (punya) papan pele-pele badan seperti pace-pace (bapa-bapak) polisi biasa pakai kalau ada demo (tameng) yang digunakan

Farisa pecah, saat itu juga Farisa marah dan melempar gaim (tobak) di Weni dan akirnya Weni mati. Setelah itu Farisa mengambil Maru menjadi istrinya. Pada saat mereka dua mau kembali ke hulu sungai, tiba-tiba kabut tutup mereka dua punya jalan, lalu dorang dua ingat Maru pung mama, kalau menurut kepercayaan kita suku

Irarutu, berarti mereka harus kembali untuk menyimpan Weni pung mayat baik-baik barulah nereka lanjutkan. Pada saat mereka dua melakukan perjalanan pulang, dekat

Jasu mereka bertemu dengan Ruwead. Ruwead ini sementara kerja dia punya busur, lalu Farisa bilang sama Maru, ooo.. ko lihat negeri di atas sana, itu gunung Sawi, lalu

(8)

178

Dalam konteks masyarakat asli, alam dimaknai dapat memberi pesan-pesan khusus bagi mereka. Pesan-pesan ini dibawa dan disampaikan lewat sejarah asal mula nama marga/klan yang mereka gunakan. Misalnya, jika komunitas tertentu pengguna marga/klan yang berhubungan dengan nama hewan, dan tanpa sengaja bertemu dengan hewan tersebut dalam hutan belantara, maka mereka akan memaknai peristiwa itu sebagai sesuatu yang berbeda (peristiwa tersebut bisa dipahami positif tetapi bisa juga negatif) berdasarkan cerita asal mula mereka tentang cerita hewan tersebut. Untuk mengetahui maksud serta pesan yang muncul dari persitiwa tersebut, maka peristiwa itu dicocokan dengan cerita leluhur masa lalu.

Menurut DR saat dilakukan wawancara menjelaskan sebagai berikut:

“marga yang kami gunakan punya cerita sendiri-sendiri, ada nama marga yang berasal dari binatang, pohon, dll, misalnya: kalau marga

Ruwe9, kita pakai moyang punya nama, nama ini diambil dari nama

pohon. Ada juga marga yang diambil dari nama binatang seperti marga

Kambesu10. Selain itu, ada marga yang diambil dari jenis unggas seperti

marga Wamburye11, penggunaan marga masing-masing didasarkan pada

cerita leluhur. Kalau kami yang menggunakan marga Ruwe, dasarnya karena nenek moyang kami selalu menggunakan pohon kayu ruwe

sebagai senjata. Dulu moyang kami kalau mau honge dia (moyang) hanya potong dahang pohon kayu ruwe lalu dia bicara-bicara dengan kayu itu, trus nanti potongan kayu itu cari musuh dan berperang sendiri, bunuh musuh yang datang.12

Ada pesan khusus dari cerita penggunaan marga/klan yang digunakan oleh komunitas tertentu di “Negeri 1001 Senja”. Jika dilihat dari sisi sejarah, penggunaan marga/klan oleh komunitas tertentu, sebutan itu datang dari pihak lain yang disesuaikan dengan kebiasaan

9 Pohon kayu yang termasuk jenis pohon yang sangat keras. Dulu saat berperang, leluhur mereka hanya memotong sebagian dari batang pohon kayu ruwe lelu menyruh potongan pohon kayu tersebut berperang melawan musuh.

10 Nama marga/klen yang diambil dari nama jenis binatang kanguru yang disebut dalam bahasa suku Irarutu artinya Amor.

11 Nama marga/klen ini diambil dari jenis unggas kelewar, dalam bahasa suku Irarutu disebut Kakuri.

(9)

179

leluhur tersebut. Hal ini terlihat jelas dari sebutan nama Ruwe yang diambil dari kebiasaan leluhur yang selalu menggunakan pohon kayu ruwe sebagai senjata pada masa perang honge. Tujuan menyebut nama

Ruwe sesungguhnya memberi keterangan bahwa: pertama, terkait dengan kebiasaan leluhur Ruwe yang selalu menggunakan kayu ruwe sebagai senjata; kedua, secara etis untuk menyebutkan nama asli leluhur hal itu dianggap sangat tabu dan bisa dihukum atau kena sanksi adat, karena itu lebih etis mereka menyebutkan nama yang berhubungan dengan kebiasaannya; tiga, keterkaitan dengan hal kedua, menyebut tokoh tersebut dengan kebiasaannya, maka mereka menjaga identitas keaslian leluhur tersebut dari pihak lain di luar komunitas mereka. Keadaan ini masih kuat terasa dalam kehidupan sosial budaya

masyarakat adat di “Negeri 1001 Senja”.

Dalam perkembangan lebih lanjut, nama marga/klan yang digunakan tidak hanya sebatas melengkapi sebuah nama dari setiap individu dan komunitas tertentu. Dalam sejarah penggunaan simbol marga/klan oleh sebagian komunitas suku di Kabupaten Kaimana, dapat diistilahkan dengan simbol aksidental yang oleh Arthur Asa Berger menjelaskan sifatnya lebih individual, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan seseorang Berger (2000a:85). Dengan demikian penggunaan marga/klan sebagai simbol baru hanya digunakan setelah komunitas pengguna marga/klan terbentuk dalam satu komunitas dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain13. Pesan-pesan simbolik yang disampaikan dengan

menggunakan simbol marga/klan, secara prinsip merupakan tindakan

13 Misalnya, saya ini kan marga Ruwe, dengan demikian kalau saya ambil salah satu keluarga punya barang di kabun, mungkin pisang, atau sayur, maka untuk kasih tahu saya punya sodara, tidak perlu saya pergi ke sodara itu punya kampung, cukup saya ambil daun pohon kayu ruwe dan saya letakan pada tempat di mana saya mengambil barang milik sodara saya itu. Trus saya buat busur kecil dua, dan gata-gata papeda dua saya taruh sama-sama dengan daun pohon kayu ruwe, nanti kalau saya punya sodara datang di kebun dia akan lihat tanda simbol yang saya pasang. Mengapa saya pasang daun pohon kayu ruwe, karena saya punya marga ruwe, lalu mengapa saya pasang busur kecil dua, karena saya punya anak laki-laki dua trus kenapa saya pasang gata-gata papeda, karena saya punya anak perempua dua. Nah dari tanda simbol itu, maka sodara itu akan tahu kalau orang yang ambil dia punya hasil kebun itu marga ruwe

(10)

180

etis yang pada satu sisi menyampaikan pesan kepada orang lain, tetapi pada sisi lain karena berhubungan dengan pengalaman leluhur, maka pesan simbol itu sendiri menunjukan sifat komunitas pengguna yang sangat menghargai leluhur mereka.

Pada saat dilakukan wawancara DM menjelaskan sebagai berikut:

“penggunaan marga yang kami pakai dalam komunitas, kami sadar bahwa hal itu berkaitan dengan leluhur kami, sehingga dalam penggunaannya kami harus menjaga nama baik marga tersebut. Hal penting yang harus kami perhatikan adalah ketika kami menggunanakn marga sebagai nama dalam keluarga, hal itu menunjukan bahwa kami memiliki hubungan darah dengan leluhur kami. Pengakuan ini penting karena itu, kami dalam keluarga harus menjaga nama baik leluhur kami. Ada juga kalau kami mengambil sesuatu barang dari keluarga, entah di kebun atau di tempat lain, kami gunakan marga kami sebagai tanda, hal itu menunjukan bahwa kami ada kasih tinggal leluhur kami di tempat itu, seperti yang saya katakan pada bagian awal tadi, karena kami marga

Ruwe maka kalau kami ambil sesuatu di kebun orang lain, maka kami harus taruh tanda dengan cara begini; kami ambil ranting kayu ruwe

taruh di tempat itu artinya yang ambil hasil kebun itu marga ruwe, setelah itu kami buat juga busur panah artinya yang ambil hasil kebun itu marga ruwe yang punya anak laki-laki, kalau anak laki-laki dua, maka busurnya harus dua, seandainya keluarga tersebut punya anak perempuan ada maka harus buat tanda entong nasi atau tanda lain yang menampakan ciri khas perempuan. Cara membaca tada yang di taruh itu begini: “yang ambil hasil kebun keluarga marga ruwe, punya anak laki-laki dua dan anak perempuan” pemilik kebun akan mengetahui secara pasti siapa sesungguhnya yang ambil hasil kebun14.

Lebih lanjut dijelaskan oleh DM bahwa melalui simbol yang digunakan maka orang lain akan membaca simbol tersebut dan memastikan bahwa yang mengambil hasil kebun adalah keluarga ruwe,

hal itu terbaca dari material simbol yang digunakan.

Penjelasan tersebut menunjukan betapa kuatnya aspek keterikatan manusia dengan alam, antara generasi masa lalu dengan generasi masa sekarang. Dalam konteks ini, simbol memiliki

(11)

181

kemampuan untuk meredam konflik, sebagai rujukan dan jalan keluar serta memiliki kekuatan pengikat antar generasi.

Permainan Simbol Anak Negeri

Sebagai sebuah wilayah pemerintahan yang baru, sudah tentu persoalan yang dihadapi oleh pemerintahan di “Negeri 1001 Senja”

sangat multi dimensi, bahkan untuk membedakan mana masalah prioritas dan bukan prioritas sangatlah sulit diidentifikasi. Karena itu pemerintah mengupayakan berbagai solusi untuk mengatasi persoalan multi dimensi yang menjadi tantangan bagi pemerintah.

Salah satu upaya yang dibuat oleh pemerintah dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi adalah peningkatan SDM (Sumber Daya Mansia) melalui jalur pendidikan, baik pendidikan dalam daerah maupun pendidikan di luar daerah termasuk mengirim anak-anak asli dari delapan suku untuk belajar di luar negeri. Optimisme pemerintah melalui kebijakan di dunia pendidikan diharapkan dapat menjawab persoalan multi dimensi yang dihadapi.

Walau demikian, kebijakan yang dibuat selalu di pandang oleh masyarakat dengan cara pandang yang berbeda. Ada sebagian masyarakat yang memandang kebijakan dengan sudut pandang oposisi, ada pula yang memandang kebijakan pemerintah dari sudut pandang kualisi. Artinya, cara pandang oposisi masyarakat selalu diidentikan sebagai cara pandang yang mengontrol kebijakan pemerintah, sementara cara pandang kualisi adalah cara pandang masyarakat yang memiliki keinginan bersama pemerintah mendukung dan menjalankan program perencanaan pembangunan.

Dua pandangan yang berbeda ini ketika bertemu pada satu muara yang sama maka muncullah perbedaan dan gesekan arus yang kuat. Berangkat dari fenomena tersebut, muncul reaksi dan gelombang protes terhadap berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di

(12)

182

Palang rumah di sudut sekolah

Permasalahan pendidikan merupakan persoalan yang diakibatkan pada multi faktor, dalam pengertian bahwa penyebab persoalan dalam dunia pendidikan tidak disebabkan hanya pada satu atau dua faktor persoalan semata. Dalam hal ini permasalahan selalu dititikberatkan pada kesadaran orang tua murid diperkampungan. Sederhananya begini, kalau seorang guru ditanya, bagaimana dengan perkembangan pendidikan di sekolah, jika guru tersebut bertugas di wilayah pedalaman, maka jawabannya akan seperti ini “anak-anak

negeri di sini belum memiliki kesadaran tentang pendidikan”. Tidak ada yang salah dari cara guru tersebut memberi jawaban, sebab jawaban tersebut merupakan bagian dari 1001 macam keluhan yang sudah dan akan disampaikan oleh guru.

Menghadapi persoalan pendidikan yang multi faktor, terkadang pemerintah lebih senang menempuh solusi yang sangat klasik seperti melakukan mutasi ketimbang mengambil langkah-langkah pembinaan dan penyadaran terhadap oknum guru yang tidak betah melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang guru di tempat tugas.

Mutasi merupakan hal yang sangat penting, namun terkadang mutasi yang dilakukan jika telah terjadi persoalan-persoalan antara guru dan masyarakat, jika tidak terjadi persoalan maka segala sesuatu dianggap aman-aman saja, sementara pada sisi lain, terkadang banyak guru mengeluh terhadap persoalan-persoalan yang mereka rasakan.

Jika didalami secara baik, penempatan tenaga guru SD di wilayah Distrik Teluk Arguni dan Distrik Teluk Arguni Bawah (SD YPK Barari, SD YPK Jawera dan SD Inpres Bofuwer) banyak mengalami persoalan. Persoalan yang seringkali terjadi adalah berkaitan dengan fungsi serta tugas guru sebagai kepala sekolah yang seringkali meninggalkan tempat tugas.

(13)

183 “pemalangan rumah kepala sekolah sebenarnya disebabkan kepala

sekolah SD Inpres Bofuwer empat bulan tidak menjalankan tugas, sebagai orang tua kami merasa rugi kalau anak-anak kami tidak mendapat pelayanan pendidikan dengan baik, kitong (kita) orang tua ini sudah bodoh jadi kitong (kita) berharap jangan sampai anak-anak kami ini bodoh seperti kami. Bapa guru kepala sekolah ini tra (tidak) tahu dia kemana sampai empat bulan tra (tidak) tugas, bukan saja itu guru-guru lain juga sama saja. Tetapi kalau kepala tenang di tempat

tugas tentu ekor juga bisa tenang”15.

Menyikapi kebiasaan kepala sekolah bersama beberapa guru bantu yang sering meninggalkan tempat tugas, masyarakat mengambil sikap tegas dengan melakukan pemalangan terhadap rumah kepala sekolah, hal tersebut dijelaskan oleh AK sebagai berikut:

“untuk masalah ini saya dengan beberapa orang tua buat rencana pemalangan, hari itu saya pergi lapor di POLSEK Bofuwer, saya ketemu

dengan pak RR saya bilang “mohon ijin komandan, kami mau melapor

bahwa hari ini kami akan melakukan pemalangan sekolah SD Inpres Bofuwer, setelah keluar dari dari kantor POLSEK Bofuwer kami sama-sama menuju sekolah, saat itu anak-anak sementara sekolah, dan sementara hanya ada satu guru (ibu guru AS). Karena anak-anak

sementara belajar, ibu guru bilang “jangan kamu palang sekolah sebab ada aktivitas belajar”. Akhirnya kami batal melakukan pemalangan

sekolah, kami langsung menuju sudut sekolah ada rumah kepala sekolah dan kami palang rumah itu16”.

Aksi pemalangan yang dilakukan para orang tua terhadap rumah kepala sekolah SD Inpres Bofuwer merupakan aksi kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Hal ini dilakukan ketika fungsi kontrol pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan terasa kendor. Mungkin saja aksi pemalangan dinilai brutal atau tidak beretika, tetapi terlepas dari etis atau tidak etis suatu tindakan, hal tersebut sangat tergantung pada situasi di mana tindakan itu terjadi.

Masalah pemalangan rumah kepala sekolah pada titik penyelesaiannya harus berada di meja pimpinan POLSEK Teluk Arguni. Dalam pengurusan permasalahan tersebut AK menjelaskan sebagai berikut:

(14)

184

“waktu beliau lapor ke POLSEK Bofuwer lalu kami urusan, kepala

sekolah mengancam kami dan dia bilang akan malapor di POLRES Kaimana, saya katakan silahkan saya siap kalau saudara lapor di POLRES Kaimana. Lalu dia menjelaskan bahwa dia tidak berada di tempat tugas karena dia menjalankan tugas perjalanan dinas dan ada Disposisi Kepala Dinas Pendidikan, saya katakan kepada kepala sekolah itu ko (kau) jangan pikir kami ini orang kampung jadi kami ini bodoh, ko (kau) mau tipu siapa, ko (kau) dapat aturan dari mana seorang kepala sekolah bisa menjalankan perjalanan dinas sampai empat bulan, ko (kau) kira kami masyarakat tidak tahu aturan kha, ko (kau) mau saya turun lapor ko (kau) di kepala dinas juga? Dari debat tersebut beliau

minta maaf lalu kami cabut palang itu.”17

Dari informasi yang disampaikan responden, munculkan kesan di sana seakan masyarakat dianggap sebagai individu yang masih belum paham tentang peran fungsi tugas seorang guru. Sikap seperti ini menunjukan bahwa seorang guru belum sanggup memainkan perannya sebagai pengajar yang baik bagi masyarakat di mana dia berada dan melaksanakan tugasnya sebagai aparatur pemerintah. Selain itu pula dalam kasus ini ternyata masyarakat masih dipandang sebelah mata oleh petugas pemerintah. Masyarakat dilihat sebagai makhluk sosial yang tidak paham soal aturan perjalanan dinas.

Sementara untuk pemalangan SD YPK Jawera di wilayah Distrik Teluk Arguni Bawah, menurut beberapa responden yang diwakili oleh FR, bahwa sebenarnya sudah lama masyarakat ingin melakukan pemalangan, tetapi masyarakat masih punya kesabaran, hal itu diuraikan lebih lanjut bahwa:

“kami orang tua marah saat itu karena guru-guru semua kasih tinggal sekolah selama satu tahun ajaran. Anak-anak tidak sekolah tiba-tiba mereka datang di kampung langsung bawa beberapa anak utuk ikut Ujian Nasioanl. Kami orang tua pikir-pikir apakah anak-anak bisa lulus ikut ujian atau tidak? Kalau mereka bisa saja lulus, tetapi apakah mereka bisa masuk sekolah di SMP? Jangan sampai di SMP mereka tidak bisa bertahan dan pulang kembali ke kampung, sebab banyak anak-anak yang dari kampung masuk SMP tetapi mereka pulang kembali ke kampung karena mereka belum bisa baca secara baik. Lalu kami bersama kepala Kampung Jawera menghadap kepala dinas, kami

(15)

185

lapor dan minta tenaga guru baru. Pergantian guru baru juga sama, dia naik tunjuk muka saja lalu dia pulang ke dia punya kampung sampai mau ujian baru dia naik, akhirnya kami marah dan palang itu rumah

kepala sekolah”18.

Munculnya permasalahan guru di wilayah terpencil tidak hanya disebabkan pada satu faktor, ada banyak faktor sebagai indikator penyebab yang membuat seorang guru tidak betah melaksanakan tugas. Karena itu sikap dinas dalam menyikapi laporan masyarakat dengan menggunakan solusi mutasi sebagai satu-satunya tindakan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Untuk tiba pada keputusan akhir, dinas terkait butuh kajian dan analisa yang tepat mendahului tindakan konkrit dilapangan.

Persoalan yang sama dihadapi juga di SD YPK Barari. Hal ini dijelaskan oleh para responden, mereka menggunakan istilah “duluan

libur, telat masuk”. Istilah ini mengindikasikan bahwa aktivitas belajar

mengajar selalu melenceng dari kalender pendidikan. Artinya, masa libur sekolah selalu lebih cepat dilaksanakan, sementara pada saat kalender sekolah dimulai, kegiatannya selalu telat. Inilah fenomena pendidikan di Papua khususnya di wilayah-wilayah pedalaman di

“Negeri 1001 Senja”, karena itu masyarakat tidak lagi kaget soal kebiasaan ini.

Menghadapi situasi seperti ini, responden MN yang diwawancari oleh penulis menjelaskan cara mereka menanggapi persoalan tersebut sebagai berikut.

“kami di kampung ini hanya lakukan pemalangan pada pintu pagar

masuk, karena tanah yang kami kasih untuk bangun sekolah SD YPK ini moyang-moyang kasih dengan gratis, dengan harapan guru-guru serius mengajar. Bukan sekolah yang kami palang, sekolah itu bangunan pemerintah, tetapi tanah ini kami punya. Seandainya guru-guru mengajar dengan baik, tidak mungkin kami tidak lakukan pemalangan seperti ini. Saat ini guru yang mengajar hanya ada satu guru tenaga honorer, ade perempuan dia dari kampung ini dan dibiayai oleh dana kampung. Kami hanya minta guru-guru tolong bertugas baik-baik, sebab ada beberapa anak yang telah dibawah oleh orang mereka untuk

(16)

186

turun pergi kasih sekolah di Kota Kaimana, mereka takut anak-anak mereka tidak bersekolah dengan baik.19

Menelusuri sejarah Pendidikan Dasar di Papua, khususnya di wilayah-wilayah pedalaman yang menjadi basis PI (Pekabaran Injil), pada saat itu banyak sekolah-sekolah dasar di bangun oleh YPK (Yayasan Pendidikan Kristen). Pada masa itu, masyarakat merespon dengan memberikan tanah secara gratis, dan sikap masyarakat saat itu menunjukan keinginan masyarakat menyambut kehadiran pendidikan untuk bersekolah sangat tinggi. Terlepas dari konteks masa lalu dengan munculnya persoalan-persoalan pendidikan seperti sekarang ini, masyarakat menjadi marah karena tujuan pendidikan yang digumuli bersama antara para penginjil dengan para leluhur mereka sudah tidak terlihat. Karena itulah, masyarakat mulai berpikir untung rugi dari apa yang mereka berikan dengan apa yang akan mereka terima, hal tersebut tidak lagi menjadi nilai yang berdampak postif bagi generasi mereka. Solusi akhir yang ambil oleh masyarakat adalah melakukan sikap pemalangan.

Upaya memahami sikap masyarakat tersebut, peneliti melakukan pendekatan terhadap dinas pendidikan sebagai instansi teknis yang

yang menangani pendidikan di “Negeri 1001 Senja” untuk mengetahui

sejauh mana langkah-langkah yang dibuat dalam menyikapi permasalahan pendidikan dasar. Menurut penjelasan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kaimana LR saat dilakukan wawancara menjelaskan bahwa:

“memang persoalan pendidikan di setiap kampung sangat beragam.

Kendisis ini mengakibatkan banyak guru yang bertugas di daerah-daerah terisolir terkadang tidak bisa bertahan sehingga mengakibatkan masyarakat melakukan penolakan. Namun saya perlu menjelaskan bahwa tenaga guru yang kami cari untuk ditempatkan di setiap kampung memang sangat susah, karena fasilitas untuk tenaga guru masih sangat minim dari apa yang harus disiapkan oleh pemerintah. Mulai dari fasilitas perumahan, kebutuhan sekolah dan masih banyak lagi yang menjadi kendala bagi tenaga guru yang bertugas di wilayah pedalaman. Karena itu ketika guru-guru dari kampung datang di kota, pasti mereka berlama-lama. Kalau saya bertemu dengan mereka dan

(17)

187 bertanya kapan pulang ke tempat tugas, mereka hanya menjawab “maaf pak kami masih urusan”, kalau jawaban seperti ini sangatlah manusiawi

dan kita beri waktu untuk mereka siapkan apa yang harus dibawa ke tempat tugas. Yang berikut perlu saya jelaskan bahwa kebiasaan masyarakat kita di wilayah pedalaman adalah mereka selalu meniru apa yang dibuat sodara mereka di kampung yang lain kalau berhadapan dengan kasus-kasus seperti ini”.20

Senada dengan permasalahan tersebut di atas, penulis melakukan wawancara terhadap kepala BAPPEDA Kabupaten Kaimana ARP, saat diwawancara oleh penulis beliau menjelaskan sebagai berikut:

“persoalan pendidikan dasar di Kabupaten Kaimana sangat berbeda

antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya. Jika ada fenomena orang menangis meminta tenaga guru disatu wilayah maka tidak berarti di daerah yang lainnya juga sama. Justru kita menemukan kalau satu daerah minta guru, yang lainnya menolak guru. Disatu daerah orang tua menyuruh anaknya ke sekolah, sementara pada wilayah lain mereka pergi jemput paksa anaknya keluar dari ruang kelas untuk bawa masuk ke hutan. Ini persoalan yang sulit ditangani secara merata oleh pemerintah. Karena itu pemerintah daerah khususnya instansi teknis harus lebih sabar dalam melihat aspek pendidikan yang sementara terjadi di wilayah-wilayah perkampungan. Kalau berkaitan dengan pemalangan baik dalam bentuk simbol adat maupun dalam bentuk simbol umum, secara kasar saya dapat mengatakan bahwa itu bawaan masyarakat yang sulit mereka hindari, kita jujur harus bilang bahwa itulah senjata mereka, jangankan pemerintah, agama pun di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Kaimana bahkan kalah menandingin konsep masyarakat adat tersebut. Karena itu sebagai pemerintah, kita diminta untuk tetap sabar, kalau tidak sabar maka semua petugas tidak akan betah melakukan tugas pelayanan pemerintahan di wilayah-wilayah pedalaman atau pada wilayah-wilayah masyarakat yang masih terisolir”21.

Dari penjelasan ARP, penulis menarik benang merah dari penekanan yang disampaikan, bahwa masalah pendidikan dasar yang berada di wilayah-wilayah pedalaman sangat beragam. Keberagaman masalah pendidikan dasar tersebut menyulitkan pemerintah khususnya instansi teknis untuk melakukan tindakan penanggulangan secepat

(18)

188

mungkin. Memahami konteks seperti ini, pemerintah mencoba untuk bersabar menghadapi sikap masyarakat.

Bahasa simbol “percepatan pembangunan” melirik peluang belajar di Negeri der Panzer

Kebijakan pemerintah di “Negeri 1001 Senja” untuk mengirim delapan anak asli Kaimana mengikuti pendidikan di negeri “der

Panzer” merupakan kebijakan yang harus diberi acungan jempol.

Mengapa tidak, sebab dalam sejarah delapan suku besar yang mendiami

hutan belantara “Negeri 1001 Senja” menjadi bagian dari Kabupaten Fakfak, belum pernah ada anak Kaimana diberi kesempatan mengenyam pendidikan di luar negeri.

Pemerintah Kabupaten Kaimana memang memiliki target khusus soal kebijakan mengirim delapan anak suku asli Kaimana untuk belajar di luar negeri. Target pendidikan ke luar negeri yang dibidik Pemerintah Kabupaten Kaimana tentu bermuara pada upaya peningkatkan dan pengembangkan SDM yang bertujuan untuk mengejar ketertinggalan daerah dari beberapa daerah lain di Provinsi Papua Barat.

Upaya mengejar ketertinggalan daerah, Bupati Kaimana periode 2010-2015 berupaya menciptakan program ideal untuk nemajukan dunia pendidikan di “Negeri 1001 Senja” hal itu terbukti dengan dikirimnya delapan anak bersekolah di Jerman. Dari program ideal tersebut menurut kepala BAPPEDA Kabupaten Kaimana, kami termasuk salah satu kabupaten yang memiliki kemampuan bersaing dengan kabupaten-kabupaten tua di Provinsi Papua Barat ujar kepala BAPPEDA Kabupaten Kaimana ARP22 saat dilakukan wawancara oleh

penulis.

Sesungguhnya program studi ke negara yang dijuluki“der

Panzer”, sudah diikuti oleh sebagian anak-anak Papua, namun hanya

sebatas pada keluarga yang memiliki kemampuan finansial yang mapan. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah

(19)

189

Kebupaten Kaimana yang mengandalakan keuangan APBD untuk mengirim delapan anak suku asli Kaimana berangkat studi ke luar negeri untuk mengikuti pendidikan. Kebijakan ini pada awalnya mendapat tanggapan dan respon positif dari masyarakat lokal delapan suku, walaupun dalam kenyataannya ada sebagian kelompok masyarakat tertentu yang melihat program studi ke negeri “der Panzer” sebagai bentuk kebijakan politik menjelang PILKADA (Pemelihan Kepala Daerah) 2015-2020.

Sangatlah wajar jika ada pihak yang menilai kebijakan Bupati Kaimana untuk mengirimkan delapan anak asli Kaimana mengikuti pendidikan di negeri “der panzer“ sebagai sebuah kebijakan politik untuk kepentingan politik, hal ini disebabkan karena kebijakan tersebut dilakukan menjelang akhir masa bakti 2010-2015 dan menjelang PILKADA periode 2015-2020. Karena itu, ketika memasuki periode 2016-2020 muncul gejolak masa yang memprotes kebijakan Bupati Kaimana ketika empat orang anak dipulangkan kembali ke Indonesia.

Demonstrasi massa yang dilakukan terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana dengan menggunakan simbol adat meminta Bupati Kaimana memperjelas kepulangan empat anak ke Indonesia menimbulkan ragam tanggapan masyarakat diantaranya tanggapan SA salah satu kepala suku ketika di wawancara menjelaskan sebagai berikut:

“sebenarnya kalau kita bicara soal maju mundurnya Kabupaten Kaimana ini bukan hanya tergantung pada Bupati Kaimana dan jajarannya saja, sebenarnya semua suku harus berperan. Pada waktu itu

dong (mereka) mau palang, lalu saya bilang, kamu mau palang tetapi persoalannya apa dulu, nah karena saya menghalangi mereka, lalu

mereka bilang bahwa; “ah.. kepala suku Napiti dia selalu menghalangi

pemalangan. Sebenarnya saya bukan menghalangi tetapi kita lihat persoalannya apa dulu, bukan karena Matias Mairuma Bupati Kaimana, itu anak dari suku Napiti jadi saya menghalangi, tetapi sebaiknya kita

lihat pada persoalannya dulu”23.

(20)

190

Lebih lanjut dia menegaskan duduk persoalan tersebut dengan meminta DPRD Kabupaten Kaimana untuk lebih transparan soal kepulangan keempat anak yang dipulangkan dari Jerman dengan mengatakan sebagai berikut:

“kemarin, kenapa saya salahkan DPRD, mereka terima persoalan itu

kan cuman dua anak saja, bukan semua delapan anak itu, kalau hanya dua saja, itu berarti persoalan pribadi, jadi DPR harus cek kembali. Setelah saya bicara itu baru mulai kita gali sana, gali sini baru ketemu, persoalannya anak yang satu, pencuri teman-teman punya uang, kumpul teman-teman punya kartu-kartu, dia mulai ambil satu punya, satu punya, tinggal mabok begitu, yang satu baku ikut dengan satu teman Afrika mabok, di sana kan sepeda taruh di depan rumah saja, jadi mau enak pake, pake saja, tapi kembalikan, harus taruh di situ lagi, dia tidak, bawa sepeda di situ, jatuh dan luka, karena mabok pung kerja (akibat mabok), baku ikut dengan teman, terus luka masuk rumah sakit, rumah sakit di sana itu, bukan ko (kau) masuk saja, tapi dia punya meteran pembayaran jalan, baru selesai periksa keluar bayar, tetapi dia keluar terus dia kabur, ini negara luar, dia di kejar, dia lari, akhirnya PEMDA Kabupaten Kaimana yang rugi, bayar lagi di sana, masalah rumah sakit di sana. Kalau mau kembali sekolah kan tidak mungkin,

sudah malu. Itu persoalannya”24.

Karena itu menurutnya:

“cuma DPRD Kabupaten Kaimana juga salah, dorang sedikit beban

karena dorang mau tonjokan Matias dengan berbagai persoalan. Bicara masalah dana, kita cek dana dari 22 miliar yang disidangkan dari tahun 2014, yang terpakai baru 12 milyard sekian-sekian untuk studi Jerman, bahkan dana itu bukan hanya diperuntukan untuk delapan orang itu saja, tapi untuk dokter Vivi yang kuliah di Jerman juga, itu kan dari dana itu juga. Karena itu saya paksakan untuk ketua DPRD supaya putar kaset yang dari Jerman supaya jelas semuanya, tapi ketua DPRD Kaimana tidak mau, kok bagitu? Saya bilang, kok hanya dua anak saja satu dari suku Napiti dan satunya dari suku Madewana biking Kaimana

ini goyang”25.

Berbeda dengan penjelasan DR, salah satu tokoh suku Irarutu

beliau menjelaskan bahwa;

(21)

191 “sebenarnya masalah pendidikan bagi putra putri Kaimana di Jerman

merupakan program yang sangat bagus, tetapi mengapa masyarakat lakukan demonstrasi, mereka hanya meminta kepada Bupati Kaimana untuk memperjelas dan meluruskan persoalan tersebut. Mereka demo bukan mau bunuh orang, mereka hanya minta kepada Bupati Kaimana kalau boleh datang dan dudukan serta jelaskan persoalan ini. Anak-anak yang pergi sekolah di Jerman itu pakai uang OTSUS (otonomi khusus), uang OTSUS itu untuk masyarakat Papua, karena itu mereka memiliki hak untuk menuntut bapak Bupati Matias Mairuma agar bisa hadir dan jelaskan persoalan ini, mengapa dua orang ini bisa dikembalikan. Karena Bupati tidak memberi penjelasan maka masyarakat melakukan pemalangan dengan menggunakan simbol adat daun janur kelapa. Simbol ini di bawah oleh ketua Dewan Adat dengan rencana untuk melakukan pemalangan di kantor bupati. Mungkin dorang (mereka) takut masyarakat adat bunuh orang kah, jadi pemerintah bawa aparat kepolisian, saya mau bilang bahwa kalau saat itu bapak bupati bisa penuhi permintaan masyarakat dan menjelaskan kepada masyarakat, mungin saja tidak terjadi pemalangan tersebut, tetapi pemerintah bawa polisi maka semua jadi kacau. Menurut saya kalau bapak Bupati Kaimana hadir saat itu, semua pasti berjalan aman. Jangan takut, kami masyarakat tidak bunuh orang, tetapi karena demo itu juga dalam demokrasi dibolehkan maka apakah hal itu salah? Saya kira tidak. Sekali lagi saya katakan bahwa masyarakat adat hanya menuntut keadilan dan penjelasan dari Bupati Kaimana, kalau datang dan jelaskan dengan baik-baik maka mereka akan bubarkan diri secara baik-baik pula. 26

Berdasarkan informasi dari para informen bahwa dengan adanya demonstrasi masa yang dipimpin oleh kepala suku Kuri yang mengkritisi kebijakan pemerintah telah berdampak pada pelantikan dirinya sebaga ketua Dewan Adat Kabupaten Kaimana. Hal tersebut dijelaskan oleh responden TT bahwa:

“sebenarnya masalah demonstrasi yang dilakukan oleh sebagian

masyarakat adat di Kabupaten Kaimana tahun 2016 akhir sudah berdampak juga pada proses pelantikan ketua Dewan Adat Kabupaten Kaimana. saya ini kurang mengerti, mengapa pemerintah harus melakukan pelantikan terhadap ketua Dewan Adat ini, pada hal antara pemerintah daerah dan pemerintah adat, kami sebagai masyarakat adat yang punya negeri ini, pemerintah ini kan baru datang di tanah ini, lalu mengapa seolah-olah pemerintah seakan-akan mau berkuasa dengan

(22)

192

melantik kami pemeritahan adat. Apa mungkin karena pemerintah yang kasih uang untuk kegiatan Dewan Adat. Kalau seperti ini maka kami Dewan Adat tidak memiliki kekuatan lagi, saya memang akui bahwa kami di dalam Dewan Adat Kabupaten Kaimana terpecah pada waktu PILKADA, hal ini juga yang harus menjadi perhatian Dewan Adat untuk tidak boleh memberi dukungan terhadap pasangan tertentu, kami seharunya netral dan membantu pemerintah dalam persoalan pembangunan, tetapi kalau sudah seperti ini maka memang sulit untuk bapak Bupati Kaimana lantik bapak Yohan Werfete sebagai ketua Dewan Adat Kabupaten Kaimana. Kalau menyangkut pemalangan menggunakan simbol adat, itu memang benar, ada yang bilang mereka gunakan simbol adat janur kelapa itu suku Koiwae punya simbol, teapi saya jelaskan bahwa bukan kami punya melainkan suku Napiti mereka

punya simbol adat itu”27.

Upaya penulis untuk menemukan simbol adat yang digunakan memang sangat sulit didapat, hanya yang bisa penulis tampilkan sebagai dokumentasi pada peristiwa demonstrasi massa saat itu hanya dokumen foto berupa spanduk yang berisikan tulisan sebagai berikut:

Gambar 5.1. Gambar foto Demonstrasi Masyarakat adat Kabupaten Kaimana diunduh pada tanggal 18 April 2017

Menurut Kapolres Kaimana AE memberi penjelasan berkaitan dengan demonstrasi massa terhadap Bupati Kaimana, bahwa masalah demonstrasi massa yang dilakukan disebabkan karena masyarakat hanya memahami persoalan dari sisi Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001. Di wilayah Papua, kalau ada masalah

(23)

193

masyarakat dengan pemerintah, maka undang-undang OTSUS selalu dijadikan dasar pijakan untuk berdemonstrasi menuntut hak-hak OAP. Ini masalah yang cukup rumit, sebab kalau kita dudukan semua permasalahan yang seringkali terjadi antara masyarakat adat dengan pemerintah, maka tidak hanya didasarkan pada undang-undang OTSUS yang dijadikan dasar, masih ada undang-undang yang lain yang harus diperhatikan dan ditaati oleh masyarakat. Kalau berhubungan dengan masalah pendidikan anak-anak Kaimana di Jerman, sebenarnya bisa diselesaikan, namun menangani persoalan tersebut masyarakat ingin sekali menyelesaikan dengan cara-cara mereka sendiri. Kalau saja permasalahan tersebut diserahkan kepada polisi, saya pikir bisa diselesaikan secara baik-baik. Perlu saya jelaskan juga bahwa, sebagai aparat kepolisian ketika berhadapan dengan masyarakat yang melakukan demonstrasi dan menggunakan simbol-simbol adat, tentu kami harus berhati-hati, karena hal ini berkaitan dengan adat. Karena itu menurut Kapolres Kaimana saat diwawancara juga menjelaskan bahwa Kami di Polres Kaimana sudah menyiapkan honai28, tujuannya

adalah agar ketika ada permasalahan masyarakat adat, sebelum kita masuk pada hukum yang berlaku di negara ini, kita dahulukan hukum adat, kita bicara-bicara terlebih dahulu siapa tahu ada solusi, kalau memang tidak ada kesepakatan maka anak buah saya akan mengambil langkah untuk diproses lebih lanjut. Sebab yang namanya demonstrasi kalau sudah anarkis maka tindakan hukum harus diberlakukan.

Dari Simbol Adat Hingga Simbol Keranda Mayat

Ketidakpuasan manusia dapat diekspresikan dengan berbagai cara dengan menggunakan simbol. Penggunaan simbol dalam kemunitas tertentu akan sangat membantu mereka, karena dalam simbol yang digunakan terdapat maksud serta tujuan yang hanya diketahui oleh komunitas pemiliknya, sementar orang yang berada di luar komunitas pemilik simbol tidak akan pernah mengerti tujuan

(24)

194

penggunaan simbol tersebut. Singkatnya adalah, dengan menggunakan simbol kerahasiaan komunitas tertentu akan tetap terpelihara.

Di Kabupaten Kaimana yang dijuluki sebagai “Negeri 1001 Senja” dalam perjalanan pemerintahan selama masa karakteker hingga menjadi kabupaten definitif, hampir setiap aksi demonstrasi massa selalu diakhiri dengan melakukan pemalangan dalam bentuk simbol.

Mulai dari menggunakan simbol “palang kayu biasa” hingga simbol

agama sampai simbol-simbol adat.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan beberapa bentuk pemalangan seperti simbol “keranda mayat”, simbol

“janur kelapa (nggama)” dan simbol bambu digabung bersama daun sagu yang dalam bahasa suku Irarutu disebut “kakur-utie ro”. Simbol

“keranda mayat” sesuai dengan fungsinya, berhubungan dengan konsep

kematian yang biasanya digunakan oleh umat Islam sebagai tempat untuk menempatkan jenazah sebelum dimakamkan, sementara untuk simbol janur kelapa “nggama”, digunakan oleh suku-suku asli Kaimana yang berada di dekat pesisir pantai dan simbol “kakur – utie ro” digunakan oleh suku-suku asli Kaimana yang tinggal di wilayah pesisir sungai/kali dan bagian wilayah pegunungan.

Yang menjadi permasalahan dalam menggunakan simbol-simbol tersebut, seharusnya penggunaannya disesuaikan dengan tujuan penggunaannya. Misalnya, ketika kita hendak masuk dalam sebuah gedung yang di dalamnya terdapat satu kamar yang digunakan untuk menyimpan “keranda mayat” maka sudah pasti pada bagian pintu kamar tersebut terpasang simbol “keranda mayat”. Tujuannya adalah agar setiap orang yang hendak masuk gedung tersebut ketika berdiri di

depan pintu yang telah terpasang simbol “keranda mayat” maka dia pasti tauh bahwa isi dalam kamar tersebut terdapat “keranda mayat”.

Tetapi bayangkan saja jika di depan pintu masuk seorang Pimpinan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpasang simbol “keranda

mayat”.

Selain simbol “keranda mayat”, beberapa simbol adatis milik

(25)

195

kantor distrik milik pemerintah. Beberapa simbol tersebut antara lain, simbol “nggama” digunakan oleh masyarakat untuk memalang sejumlah alat berat milik kontraktor yang mengerjakan ruas jalan dari ibukota Kaimana menuju Teluk Triton. Tidak ketinggalan pula simbol

“utie ro” yang digunakan oleh masyarakat adat di wilayah Teluk

Arguni untuk memalang kantor distrik dan kantor perusahan minyak P.T. ChrisEnergi yang melakukan eksplorasi MIGAS di wilayah tersebut.

Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan sejumlah data yang ditemukan pada saat melakukan penelitian berkaitan dengan sikap masyarakat adat terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang diimplementasikan dalam kaitan dengan pembangunan.

Keranda mayat di depan ruang kerja Bupati dan Wakil Bupati Kaimana

Simbol “keranda mayat” yang terpasang di depan pintu masuk ruang kerja Bupati Kaimana dan Wakil Bupati Kaimana pada tanggal 10 Oktober 2012 patut dipertanyakan, bukan pada pertanyaan siapa yang

memasang dan untuk apa “keranda mayat” itu diletakan pada pintu

masuk ruang kerja Bupati dan Wakil Bupati Kaimana. Tetapi yang

patut dipertanyakan adalah apa hubungan “keranda mayat” tersebut

sebagai sebuah simbol pada pintu masuk ruang kerja dengan isi ruang kerja Bupati dan Wakil Bupati Kaimana.

Manusia sebagai makhluk simbol dan karena itu, manusia sangat lihai dalam menciptakan dan memainkan simbol. Jika pada fungsi

pertama simbol “keranda mayat” hanya untuk menyimbolisasi sesuatu

yang berhubungan dengan upacara pemakaman manusia yang telah meninggal dengan identitas agamanya adalah agama Islam, maka pada penggunaannya sebagai simbol untuk menyegel ruang kerja Bupati Kaimana fungsi utamanya mengalami perubahan. Hal ini jelas terlihat dari lansiran berita media online Radar Sorong yang diunggah pada Selasa, 23 Oktober 2012 | 04:21 menjelaskan sebagai berikut:

(26)

196

melakukan aksi pemalangan ruang kerja Bupati, Wakil Bupati dan Asisten I Setdakab Kaimana, sebagian besar massa keluar menggelar orasi di halaman Kantor Bupati, sementara sejumlah warga lainnya bergerak menyegel tiap-tiap ruang kerja di Kantor Bupati Kaimana ini. Aksi itu menyebabkan sejumlah PNS yang sedang berada di dalam ruangan, langsung berhamburan keluar dan memilih untuk berada di luar ruangan. Selain menyegel kantor Bupati Kaimana, massa yang kecewa ini juga menyegel ruang Gedung DPRD Kaimana dan ruang Setwan. Koordinator aksi, Muhammad Karet, dalam orasinya di depan wakil rakyat yang menerima mereka, menegaskan kedatangan pihaknya ke Kantor Bupati dan DPRD sebagai bentuk kekecewaan terhadap proses pengurusan ke 39 calon jemaah haji asal Kaimana yang

akhirnya batal berangkat menunaikan ibadah haji. “Kami minta DPRD agar membuat laporan ke pihak-pihak terkait soal

permasalahan ini”. Warga asli Kaimana mempertanyakan

mengapa pemerintah melakukan hal ini, memberikan pengurusan haji kepada mereka yang tidak berpengalaman dalam pengurusan keberangkatan haji, tegasnya. Rusli Ufnia, orator lainnya juga mendesak DPRD Kaimana segera memanggil Bupati Kaimana. Jika pemanggilan tersebut tidak diindahkan, maka DPRD segera membuat sidang paripurna istimewa untuk

menidaklanjuti persoalan ini hingga tuntas, tukasnya”29.

Dari lansiran berita media Online Radar Sorong penulis

menggarisbawahi penggunaan simbol “keranda mayat” tidak lagi

berhubungan dengan fungsinya sebagai simbol pengusungan mayat, tetapi lebih merujuk pada situasi yang berhubungan dengan gagal berangkat tiga puluh sembilan CJH asal Kaimana. Dari simbol yang digunakan tersebut tersirat pula pesan bahwa pemerintah seakan tidak memiliki rasa kepekaan terhadap tanggungjawab kepengurusan tiga puluh sembilan CJH yang gagal berangkat. Karena itu, sikap para demonstran mencoba menampakan hal tersebut dengan menyegel sejumlah ruang kerja yang dimulai dari ruang kerja bupati dan wakil bupati hingga ruang kerja asisten satu dan ruangan kerja SETDA Kaiman. Tidak ketinggalan pula Kantor DPRD dan Kantor SETWAN Kabupaten Kaimana yang turut disegel.

(27)

197

Gambar: 5. 2 Pemalangan Ruang Kerja Bupati dan Wakil Bupati Kaimana dengan Keranda Mayat. Sumber Foto : Radar Sorong NIC diunduh pada

tanggal tanggal 14 November 2017

Jika ditelusuri kebijakan pemerintah daerah terakit dengan memberangkatkan jemaah haji setiap tahun, sesungguhnya program haji tidak pernah mengalami kegagalan. Namun di tahun 2012 baru terjadi keberangkatan tiga puluh sembilan CJH mengalami kegagalan berangkat. Melihat keadaan tersebut, banyak orang beropini kalau pemerintah daerah sengaja melalaikan tanggungjawab mengurus kelengkapan adminsitasri CJH ke tanah suci. Situasi ini berdampak pada pemalangan kantor bupati Kaimana.

Dari data yang ditemukan oleh penulis berdasarkan lansiran berita Kompas.com - 22/10/2012, 13:16 WIB Kontributor Kompas TV, Budy Setiawan dari hasil wawancara via telpon dengan kordinator aksi Mohamad Karet menjelakan bahwa:

“protes itu dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap

(28)

198

mengurus keberangkatan ini, pihak pemda tidak melibatkan

Kementerian Agama (Kemenag) Kaimana”30.

Penjelasan kordinator aksi Mohamad Karet sesuai lansiran berita Kompas.Com, memberi penekanan bahwa tiga puluh sembilan CJH asal Kaimana merupakan jumlah haji yang berasal dari tahun 2011 baru bisa diberangkatkan dengan CJH tahun 2012 karena itu biaya sebesar empat milyar merupakan dana yang cukup besar untuk membiayai perjalanan CJH ke Tanah Suci. Keterangan kordinator lapangan yang disampaikan melalui hasil lansiran berita Kompas.Com bahwa dalam mengurusi keberangkatan CJH asal Kaimana, Pemerintah daerah tidak melibatkan Kementerian Agama Kabupaten Kaimana.

Kasus gagal berangkat CJH dari tahun 2012 dalam upaya pembuktian kelemahan dari implementasi kebijakan peemerintah daerah Kabupaten Kaimana baru bisa mendapat titk terang di tahun 2017. Dari data yang diperolah penulis melalui media Online Kabartriton.Com yang diunggah “Sunday, December 3 2017” menjelaskan sebagai berikut:

KAIMANA, KT- Sidang Praparadilan terhadap Polres Kaimana atas penetapan tersangka RR dan HH dalam kasus program Bansos Haji Tahun Anggaran 2012 yang menyeret 4 tersangka, telah berlangsung di Pengadilan Negeri Kaimana Jalan PTT Telkom, dengan menghadirkan Hakim Ketua, Irvino SH. Dalam sidang lanjutan dengan agenda pembacaan dan pembuktian alat bukti dari termohon (Polres Kaimana) berlangsung dengan tertib dan lancar. Kasat Reskrim Polres Kaimana, AKP Walman S. Simalanggo SH sebagai termohon dalam kasus prapradilan ini, kepada wartawan koran ini usai persidangan mengatakan, dirinya sangat optimis untuk memenangkan prapradilan yang dilakukan tersangka RR dan HH sebagai pemohon.

“prapradilan itu adalah hak setiap warga Negara Indonesia, yang merasakan sangat dirugikan karena sesuatu kasus, sehingga

30 Sumber

(29)

199

dengan alat bukti yang kami miliki, yang lebih dari dua alat bukti, saya sangat optimis dapat memenangkan sidang ini,” katanya.

Menyinggung soal prosedur penetapan RR dan HH sebagai tersangka, lanjut dia, hal itu telah sesuai dengan mekanisme penyidikan.

”Untuk kasus ini sudah sesuai dengan prosedurnya. Olehnya,

kami penyidik bisa tetapkan RR dan HH sebagai tersangka, selain dua tersangka sebelumnya, yakni AK dan AS. Sebagai bukti tambahan, kami akan hadirkan satu saksi lagi dalam lanjutan

sidang prapradilan Bansos Haji nanti,” tambahnya.

Dirinya pun berharap dalam pengambilan kesimpulan nantinya, hakim dapat menolak prapradilan pemohon. Di tempat yang sama, Tokoh Pemuda Kaimana, Modasir Bogra, sangat berharap agar Hakim Ketua dapat menolak prapradilan pemohon.

”Kami berharap dalam putusannya, Majelis Hakim bisa menolak praparadilan pemohon dan memenangkan pihak termohon, supaya mereka bisa lanjutkan untuk melengkapi berkas-berkas yang lain, sehingga bisa P21 dan segera mengiring ke empat tersangka yang menurut kami telah menipu orang tua-tua kami ke Pengadilan TIPIKOR di Manokwari, karena memang kasus ini

sudah ada,” tegasnya.

Sidang akan dilanjutkan kembali pada Selasa (21/11) dengan agenda sidang lanjutan pembuktian berkas perkara Bansos Haji tahun anggaran 2011/2012.(eng-R1)31.

Dari lansiran berita Online Kabar Triton.Com diketahui bahwa kebijakan Bupati Kaimana untuk memberangkatkan tiga puluh sembilan CJH asal Kabupaten Kaimana sudah sesuai dengan prosedur. Yang menjadi hambatan kegagalan CJH ke tanah suci ada pada tahapan implementasi. Pada tahapan implementasi tersebut ada pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kaimana. Dengan demikian, kegagalan berangkat CJH asal Kaimana harus masuk ranah hukum.

(30)

200

Memainkan simbol adat menghalangi mutasi

Pelaksanaan PILKADA merupakan pesta rakyat di daerah yang selalu dinantikan setiap lima tahun. Menjelang pelaksanakan pesta rakyat di daerah rakyat berbenah diri untuk menyampaikan hak pilihnya kepada figur yang dirasakan pantas dipercaya menjadi pimpinan di daerahnya. Namun pada sisi lain pesta rakyat tersebut terkadang menimbulkan dampak negatif dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan dampak negatif tersebut.

Heporia menyambut pelaksanakan PILKADA terkadang membuat rakyat menjadi lupa kalau dari sejumlah pasangan yang dianggap pantas dan layak menjadi kepala daerah, hanya ada satu pasangan yang terpilih dan menjadi pemenang PILKADA. Dalam konteks ini maka seharusnya rakyat diberi wejangan agar hasil pelaksanaan PILKADA tidak dijadikan alasan pertikaian antara kelompok yang memenangkan pelaksanaan PILKADA dengan kelompok yang kalah. Sebab, dari sejumlah pelaksanaan PILKADA, masa heporia yang dilakukan rakyat berubah menjadi ajang pertikaian sehingga menggangu jalannya pelaksanaan pemerintahan terpilih. Hasil pelaksanaan PILKADA yang menimbulkan kegaduhan pada akhirnya menunjukan betapa lemahnya pendidikan politik terhadap rakyat.

Ternyata bukan saja rakyat yang harus diajar untuk menerima hasil akhir pelaksanakan PILKADA. ASN dalam konteks ini sudah seharusnya menyadari bahwa dampak PILKADA terhadap keterlibatan ASN akan turut memengaruhi mereka yang terlibat dalam politik praktis, misalnya menjadi tim sukses kandidat yang ikut bertarung dalam pesta PILKADA.

(31)

201

sementara kelompok kualitasi biasanya terdiri dari kelompok-kelompok yang memenangkan palaksanaan PILKADA dan mendukung jalannya kebijakan pembangunan.

Tahapan awal dalam menjalankan tugas pemerintahan adalah penempatan figur untuk menduduki birokrasi pemerintah, seperti penetapan kepala-kepala bagian. Untuk penetapan tersebut, yang harus dilakukan oleh orang nomor satu di Kabupaten Kaimana adalah melakukan kebijakan pergeseran/mutasi sejumlah kepala dinas dan kepala distrik. Pada posisi inilah, kebijakan pergeseran atau mutasi pegawai pemerintah mulai dinilai oleh kelompok oposisi. Tantangan terberat yang dihadapi oleh pemerintah dalam menetapkan kebijakan ini adalah, bagaimana pemerintah dapat meyakini kelompok oposisi, bahwa kebijakan pergeseran pejabat pada lingkup pemerintah untuk menduduki jabatan birokrasi pemerintah adalah benar-benar orang yang memiliki keahlian pada bidangnya. Hal ini penting diperhatikan, karena oposisi selalu menilai kebijakan rotasi pejabat yang dilakukan oleh pemerintah hanya didasarkan pada rasa suka tidak suka.

Pada sisi lain, pejabat pemerintah yang notabene adalah orang asli Kaimana selalu meminta hak-hak mereka untuk menduduki jabatan-jabatan strategi dalam birokrasi pemerintah. Dan karena itu, jika hal ini tidak terakomodir oleh pemerintah melalui sejumlah kebijakan yang dibuat, maka akan muncul masalah.

Salah satu pejabat daerah yang terkena dampak pergeseran/mutasi dalam jebatan sebagai kepala distrik adalah kepala Distrik Teluk Arguni. Kebijakan kepala daerah Kabupaten Kaimana memutasikan kepala Disterik Teluk Arguni menimbulkan kontrofersi di antara masyarakat adat sehingga melahirkan kelompok pro kontra. Kelompok pro yang berkiblat pada kebijakan kepala daerah tetap mengharapkan ada pergantian kepala distrik, sementara kelompok yang kontra tidak menghendaki adanya mutasi kepala Distrik Teluk Arguni.

(32)

202

“walaupun saya Staf Distrik Teluk Arguni, namun sebagai anak

negeri saya tidak setuju dengan cara-cara seperti ini. Memang Kepala Distrik yang diganti itu lawan politik, tetapi pesta rakyat ini sudah selesai, mengapa pemerintah masih dendam, terus lakukan pergantian. Sebagai anak negeri, kami lihat selama ini belum ada anak asli yang memimpin Distrik Teluk Arguni, hanya orang-orang luar saja yang menduduki jabatan kepala Distrik.

Trus pemerintah bilang “kita harus menjadi tuan di negeri sendiri”, tetapi orang lain yang datang lalu jadi tuan di negeri

kita, dan kita hanya sebagai penonton saja. Memang kepala distrik baru juga anak Kaimana dari kampung ini juga, tetapi dalam dirinya sudah mengalir dua macam darah, ada darah Papua dan darah Cina, jadi sebenarnya yang harus diutamakan adalah mereka yang asli dulu barulah anak-anak Papua yang peranakan. Karena Bupati Kaimana sudah buat keputusan maka kami anak negeri buat sikap penolakan dan kantor distrik kami palang

menggunakan simbol adat”32.

Uraian wawancara bersama LF memberi gambaran jelas bahwa masyarakat tidak menghendaki adanya pergantian kepala Distrik Teluk Arguni. Pertanyaan yang dimunculkan adalah apakah benar penolakan hingga pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni benar-benar merupakan aspirasi warga masyarakat? Ataukah ada permainan lain.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu responden dari kelompok yang menolak mutasi kepala Distrik Teluk Arguni AK yang bertindak sebagai salah satu eksekutor pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni, dia menjelaskan kronologis peristiwa tersebut sebagai berikut:

“sebenarnya kitong (kita) tidak tahu persoalan ini (pergantian kepala distrik), awal mulanya ada informasi bahwa akan ada pergantian kepala Distrik Teluk Arguni dan memang itu betul, cuman waktu itu kita tidak tahu kenapa sampai bisa dipalang. Saya tidak tahu ada apa dibalik itu, akhirnya waktu itu saya bilang kalau begitu kita palang saja, akhirnya saya mulai dari tokoh-tokoh pemuda, dan petuanan semua di sini, mereka merasa bahwa mereka itu punya tempat, mereka itu petuanan, distrik ini berdiri di wilayah mereka, mereka sepakat tapi palangnya pakai simbol adat, jadi waktu itu, kantor distrik di

(33)

203

palang dengan menggunakan simbol adat, daun kelapa, daun sagu

dan bambu”33.

Hasil wawancara memberi kejelasan pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni dilakukan oleh tokoh pemuda, para tua-tua kampung dan pemilik tanah adat dari Kampung Warwasi. Hal itu dilakukan dengan dasar bahwa tanah tempat kantor distrik di bangun merupakan tanah milik masyarakat adat Kampung Warwasi yang diberikan kepada pemerintah. Karena itu, sikap masyarakat dalam konteks ini merupakan klaim atas kebijakan pemerintah memutasikam Kepala Dustrik Teluk Arguni. Inilah alasan pertama masyarakat melakukan pemalangan terhadap Kantor Distrik Teluk Arguni.

Dalam wawancara lanjutan dengan responden AK

mengungkapkan bahwa:

“setelah saya coba cari tahu ada apa dibalik semua ini, ternyata yang mempropokasi kami untuk pemalangan ini itu pak MB sendiri (kepala distrik), lalau saya mencoba menanggapinya

secara positif; “oke-lah mungkin beliau merasa belum berbuat sesuatu di distrik sini, ok kami pahami itu”. Jadi pada waktu itu,

saya yang ngotot “petuanan siapapun tidak boleh buka palang ini, kecuali bapak Bupti Kaimana sendiri”. Tetapi pada pertengahan

urusan waktu itu bersama anggota DPRD Kabupaten Kaimana, muncul bahasa dari pak MB (kepala distrik), bahwa palang bisa dibuka sekarang, nanti kita punya aspirasi yang sudah kita sampaikan ke DPR nanti DPR akan sampaikan ke Bupati. Akhirnya setelah DPR dorang (mereka) turun ke kabupaten, proses pergantian kepala distrik di batalkan. Setelah dibatalkan, kitong (kami) coba telusuri kenapa sampai dibatalkan, ternyata pemalangan itu dibuat atas ajakan kepala distrik. Dan akhirnya

masyarakat tahu bahwa pemalangan itu ada maksud “ada udang dibalik batu”, artinya dia hanya memperalat kita untuk

kepentingannya”34.

(34)

204

Gambar 5.3 Foto Pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni dengan simbol adat

“KAKUR-UTI RO” Sumber foto: Karel Egu Staf Pegawai Puskesmas Teluk Arguni

Dari penjelasan responden diketahui tujuan pemalangan kantor Distrik Teluk Arguni bukan sekedar penyaluran aspirasi masyarakat adat tetapi ada upaya oknum pejabat yang berlindung di balik sikap penolakan yang dilakukan masyarakat.

Sesungguhnya penggunaan simbol adat oleh masyarakat adatis merupakan upaya komunitas tertentu untuk menunjukan identitas. Dalam kasus ini, penggunaan simbol adat sudah sangat positif karena masyarakat adat ingin menyampaikan apa yang mereka rasakan dan alami, bahwa anak negeri belum pernah menduduki jabatan kepala distrik. Dari harapan masyarakat inilah, oknum tertentu memanfaatkan situasi untuk berlindung dibalik simbol adat dengan cara-cara yang tidak etis. Sebagai ASN yang terpanggil mengabdi kepada rakyat, seharusnya yang bersangkutan tidak memanfaatkan kekuatan adat untuk tujuan serta kepentingan pribadinya.

Kami sudah terlalu sabar dan bosan dengan janjian pekerjaan jalan ini…

Gambar

Gambar 5.1. Gambar foto Demonstrasi Masyarakat adat Kabupaten Kaimana diunduh pada tanggal 18 April 2017
Gambar 5.3 Foto Pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni dengan simbol adat
Gambar. 5.5 Foto Pemalangan Alat Berat Menggunakan Simbol “NGGAMA”.

Referensi

Dokumen terkait

1) Bagi manajemen perusahaan perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia perlu memperhatikan profitabilitas perusahaan dalam menjalankan

siswa untuk berlatih bercerita di rumah agar lebih siap bercerita pada siklus II. Nilai rata-rata siswa berada pada taraf cukup. Dari data diatas, diperoleh gambaran

The spectra of pectin from Bis183 sweet potato (Fig. 12) show that extraction using NaOH containing SHMP had a resonance at ~53 ppm, representing the methyl carbon of

2) Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 3) Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan

Bagi orang tua anak retardasi mental hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan agar orang tua yang memiliki anak retardasi mental memiliki koping

Sebagai bangsa yang telah memiliki pandangan hidup Pancasila, maka tidak berlebihan apabila pengembangan ipteks didasarkan atas paradigma Pancasila.. Oleh karena itu,

This research was aimed to study the inoculation effects of microbial N 2 -fixers ( Azotobacter sp. and Azospirillum sp. ) and microbial P-solubilizers ( A. fluorescens ) in

Berdasarkan hasil yang diperoleh, kandungan logam besi (Fe), cadmium (Cd), kromium (Cr), mangan (Mg), timbal (Pb), tembaga (Cu), pada stasiun pengukuran Sungai Digoel