• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif. Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku samapai dengan tahun 167 sebelum masehi.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1991. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2008 mengatur mengenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dan badan.

Diana, Anastasia (2009:163), menjelaskan bahwa pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut disebut sebagai Wajib Pajak (WP).

1. Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak diartikan sebagai pihak yang dituju oleh Undang-Undang untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pengertian subjek pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi, badan, dan bentuk usaha tetap.

Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:

1) Subjek Pajak orang pribadi, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapa puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam jangka satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

2) Subjek Pajak badan, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi keriteria:

a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Pembiyaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

c. Penerimaannya di masukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;

d. Pembukuannya di periksa oleh aparat pengawasan fungisional Negara; 3) Subjek Pajak warisan, yaitu warisan yang belum dibagi sebagai suatu

kasatuan, menggantikan yang berhak.

2. Objek Pajak Penghasilan

Yang menjadi obek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, wahono, sugeng (2012:28).

Undang-Undang pajak penghasilan menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian luas atau basis luas (broad base), yaitu pajak yang dikenakan atas setiap tambahan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak.

Dengan demikian, dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan walaupun menyebutkan jenis penghasilan tidak bersifat limitatif dan tidak memperahatikan adanya penghasilan dari dan sumber tertentu, tapi menekankan adanya tambahan kemampuan ekonomi. dengan memperhatikan tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak (WP), penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

2) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, penghasilan dari praktek dokter, akuntan, pengacara, dan lain-lain. 3) Penghasilan dari modal yang berupa harta gerak ataupun harga yang tak

bergerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak digunakan untuk usaha dan lain-lain.

4) Penghasilan lain-lain seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain-lain (Waluyo, 2008:177).

Sedangkan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan juga digambarkan yang termasuk dalam kategori penghasilan:

a. Penggatian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh, termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang ini terhadap semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayar oleh pemberi kerja seperti gaji, premi asuransi, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk dalam pengertian penghasilan sebagai objek Pajak Penghasilan. Imbalan dalam bentuk natura pada hakikatnya termasuk penghasilan.

b. Hadiah dari undian, pekerjaan, kegiatan, atau penghargaan. Hadiah dimaksudkan termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain-lain. Penghargaan itu sendiri adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, seperti imbalan yang diterima seseorang karena menemukan benda purbakala.

c. Laba usaha. Penghasilan yang bersumber dari usaha dikategorikan sebagai laba usaha (business profit)

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:

1. Keuntungan (selisih antara nilai pasar dan harta yang diserahkan dengan nilai bukunya) karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. Wajib pajak yang memperoleh keuntungan atas pengalihan hartanya kepada pemegang sahamnya, maka keuntungan sebagai objek pajak penghasilan dan harga jual yang dipakai sebagai dasar menghitung keuntungan adalah harga pasar.

2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya Karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, dan anggota. 3. Keuntungan karena likuiditas, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan, pengambil alih usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun.

4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan kecuali yang diberikan kepada keluarga saudara dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Materi Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.

5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.

f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. Premi ini terjadi apabila obligasi dijual diatas nilai nominal, sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli dibawah nilai nominalnya (agio saham). Premi tersebut merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.

g. Deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun. Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham, pemegang polis asuransi, atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.

h. Royalti. Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri atas tiga kelompok, yaitu imbalan sumbangan dengan penggunaan:

1. Hak atas harta tidak berwujud, misalnya hak penulis, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan.

2. Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan.

3. Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan. Ciri dari informasi yang dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut.

i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak, harta tak gerak, misalnya sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.

k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijakan pemerintah dibidang moneter.

m. Selisih lebih karena penilaian kembali asset (revaluasi) aset.

n. Premi asuransi. Dalam premi asuransi ini termasuk juga premi reasuransi. Iuran yang diterima atau yang diperoleh perkumpulan dan anggotanya yang terdiri atas Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

o. Tambahan kekayaan bersih yang berasal dari penghasilan yang belum kena pajak.

p. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.

q. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penentuan umum dan tata cara perpajakan.

Untuk menentukan kapan penghasilan diterima atau diperoleh, ketentuan perundang-undangan perpajakan mewajibkan Wajib Pajak melakukanya sesuai dengan metode pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak itu sendiri, apakah berdasarkan basis akrual atau basis kas. Pendekatan akrual mengakui penghasilan pada saat diperoleh, sedangkan pendapatan kas mengakui penghasilan pada saat diterima. Kedua metode ini, dalam hal tertentu akan menimbulkan perbedaan waktu/beda waktu antara penghasilan dan beban yang diakui untuk tujuan pelaporan keuangan komersial yang disesuaikan denagan peraturan perpajakan.

3. Perhitungan Pajak Penghasilan Tahun Berjalan

Setiap Wajib Pajak badan dalam satu tahun berjalan akan melunasi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan dalam dua bentuk: a. Pembayaran pajak penghasilan pasal 25 Tahunan (PPh Pasal 25 Tahunan). b. Pembayaran pajak penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga

yang bersifat final sebagaimana yang dimaksud dalam pasal empat (dua) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu:

1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

2. Penghasilan berupa hadiah undian.

3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan dibursa, dan transaksi penjualan saham

atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.

4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, persewaan tanah dan/atau bangunan, dan

5. Penghasilan tertentu lainnya.

Untuk PPh Pasal 25 Tahunan, dilunasi dalam tiga cara, yaitu: 1) Angsuran PPh Pasal 25

2) Pelunasan melalui pemotongan dan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga yang bersifat tidak final.

3) Pelunasan melalui PPh Pasal 29.

E. Akuntansi Pajak Penghasilan

Tahun 1998 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 46 (PSAK 46) mengenai akuntansi pajak penghasilan. PSAK 46 mengenai perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan. Masalah yang timbul adalah bagaimana pengakuan pengaruh pajak pada periode berjalan dan periode mendatang terhadap transaksi yang telah diakui dalam laporan keuangan dan Surat Pemberitahuan (SPT) serta kompensasi kerugian fiskal yang belum digunakan. Penerapan PSAK 46 ini diharapakan dapat menjebatani antara peraturan perpajakan dengan ketentuan akuntansi.

1. Tujuan dan Ruang Lingkup PSAK No. 46

Tujuan PSAK No.46 adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan dan bagaimana mempertanggungjawabkannya konsekuensi pajak pada periode berjalan dan mendatang untuk hal-hal sebagai berikut:

1) Pemulihan (penyelesaian) jumlah tercatat aset (liabilitas) dimasa depan yang diakui pada laporan keuangan entitas.

2) Transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian pada periode kini diakui pada laporan posisi keuangan entitas.

Selain itu PSAK No. 46 juga bertujuan untuk mengatur aktiva pajak tangguhan yang berasal dari sisi rugi yang dapat dikompensasi ketahun berikut, penyajian pajak penghasilan pada laporan keuangan, dan pengungkapan informasi yang berhubungan dengan pajak penghasilan.

Ruang lingkup PSAK No. 46 adalah sebagai berikut:

a. Mencakup perlakuan pajak penghasilan final, yang artinya bahwa pelunasan kewajiban pajak yang telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan tidak dapat digunakan dengan penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final. Sesuai dengan peraturan perundangan perpajakan, penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak lagi dilaporkan sebagai penghasilan kena pajak, semua beban sehubungan dengan penghasilan yang dikenakan PPh final tidak boleh dikurangkan. Oleh karena itu tidak terdapat perbedaan temporer sehingga tidak diakui adanya aktiva atau kewajiban pajak tangguhan.

b. Mencakup pembatalan paragraph 77, PSAK No 16 yang menyatakan “apabila perusahaan memilih untuk menghitung pajak menurut laba akuntansi, selisih perhitungan tersebut dengan hutang pajak yang dihitung (yang dihitung menurut laba kena pajak) yang disebabkan perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban untuk tujuan akuntansi dengan tujuan pajak ditampung dalam perkiraan pajak penghasilan yang ditangguhkan, dikelompokkan sebagai aktiva lain-lain dan dialokasikan pada beban kena pajak penghasilan tahun-tahun mendatang”.

Pada PSAK No. 46 yang berkaitan dengan pelaporan Pajak Penghasilan terhadap beberapa istilah penting yang perlu diketahui, berikut pengertian pokok dari istilah-istilah tersebut:

1. Laba akuntansi adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak.

2. Penghasilan kena pajak atau laba fiskal (taxable profit) atau rugi pajak (tax

loss) adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan

peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar perhitungan pajak penghasilan. 3. Beban Pajak (tax expense) atau penghasilan pajak (tax income) adalah jumlah

agregat pajak kini (current tax) dan pajak tangguhan (deffered tax) yang diperhitungkan dalam perhitungan laba atau rugi pada suatu periode.

4. Pajak tangguhan adalah jumlah beban pajak penghasilan terhutang atau penghasilan kena pajak untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.

5. Pajak kini (current tax) adalah jumlah pajak penghasilan terhutang (payable) (dilunasi atas laba kena pajak (rugi pajak) untuk satu periode.

6. Kewajiban Pajak Tangguhan (deffered tax liabilities) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.

7. Aktiva Pajak Tangguhan (deffered tax asset) adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian.

Perbedaan Temporer (temporary differences) adalah perbedaan antara jumlah tercatat aktiva atau kewajiban dengan DPP-nya. Perbedaan temporer dapat berupa:

a. Perbedaan temporer kena pajak adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah kena pajak dalam perhitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi, atau

b. Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah yang boleh dikurangkan dalam perhitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi.

Perbedaan temporer yang diboleh dikurangkan akan mengakibatkan timbulnya aktiva pajak tangguhan, karena manfaat ekonomi yang akan diperoleh Wajib Pajak dalam bentuk pengurangan terhadap laba fiskal pada masa yang akan datang. Sedangkan perbedaan temporer kena pajak akan menimbulkan kewajiban

pajak tangguhan pada periode terjadinya beda waktu atau beda temporer, karena terdapat kewajiban pajak penghasilan pada periode yang akan datang.

2. Pengakuan Dalam PSAK No. 46

Penyebab terjadinya perbedaan temporer atau beda waktu adalah adanya perbedaan dasar pengukuran dan pengakuan aktiva dan kewajiban untuk tujuan perhitungan penghasilan kena pajak dan untuk tujuan perhitungan laba rugi komersial. Istilah dasar pengenaan Pajak atau DPP digunakan untuk menyatakan dasar pengukuran aktiva dan kewajiban berdasarkan peraturan perpajakan sedangkan istilah nilai tercatat digunakan untuk menyatakan dasar pengukuran aktiva dan kewajiban Standar Akuntansi Keuangan.

Defenisi DPP aktiva adalah jumlah yang dapat diperkurangan, untuk tujuan fiskal terhadap setiap manfaat ekonomi (penghasilan) kena pajak yang akan diterima perusahaan pada saat memulihkan nilai tercatat aktiva tersebut. Apabila manfaat ekonomi (penghasilan) tersebut tidak akan dikenakan pajak maka DPP aktiva adalah sama dengan nilai tercatat aktiva. Sedangkan DPP kewajiban adalah nilai tercatat kewajiban dikurangi dengan setiap jumlah yang dapat dikurangkan pada masa depan.

a. Pengakuan Aktiva Pajak dan Kewajiban Pajak Kini

Jumlah pajak kini yang belum dibayar haruslah diakui sebagai kewajiban pajak kini, apabila jumlah pajak yang telah dibayar untuk periode berjalan dan periode sebelumnya melebihi jumlah pajak yang terhutang untuk periode-periode tersebut, maka selisishnya diakui sebagai aktiva pajak kini.

b. Pengakuan Aktiva Pajak Tangguhan dan Kewajiban Pajak Tangguahan Aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat dari adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian (IAI 2009). Aktiva pajak tangguhan diakui untuk seluruh perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, sepanjang besar kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba fiskal pada masa yang akan datang, kecuali yang timbul dari:

1. Goodwill negatif yang diakui sebagai pendapatan tangguhan dari penggabungan usaha.

2. Pengakuan awal aktiva dan kewajiban dari suatu transaksi yang bukan transaksi penggabungan usaha dan tidak berpengaruh pada laba komersial dan laba fiskal.

Aktiva pajak yang ditangguhkan (differend tax asset) adalah konsekuensi pajak yang ditangguhkan akibat adanya perbedaan sementara yang dapat dikurangkan. Dengan kata lain, aktiva pajak yang ditangguhkan menunjukan kenaikan pajak yang dapat diminta kembali (atau dihemat) ditahun-tahun mendatang sebagai akibat dari perbedaan sementara yang dapat dikurangkan yang terdapat pada akhir tahun berjalan.

Kewajiban pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang terhutang untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak, kecuali yang timbul dari:

2) Pengakuan awal aktiva atau kewajiban dari suatu transaksi yang bukan transaksi penggabungan usaha dan tidak berpengaruh pada laba komersial dan laba fiskal.

c. Pengakuan Saldo Rugi Fiskal yang dapat Dikompensasi

Saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aktiva pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi. Namun perlu diketahui, apabila laba fiskal tidak mungkin tersedia dalam jumlah yang memadai untuk dapat dikompensasikan dengan saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi, maka aktiva pajak tangguhan tidak diakui.

d. Pengakuan Pajak Kini dan Pajak Tangguhan

Pajak kini dan pajak tangguhan diakui sebagai penghasilan atau beban pada laporan laba rugi periode berjalan, kecuali untuk pajak penghasilan yang berasal dari (IAI 2009):

1. Transaksi atau kejadian yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas pada periode yang sama atau periode yang berbeda, atau

2. Penggabungan usaha secara subtansi adalah ekuitas.

Pajak kini dan pajak tangguhan harus langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas apabila pajak tersebut berhubungan dengan transaksi yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas.

Adapun pengertian dari pajak tangguhan itu sendiri adalah merupakan dampak PPh dimasa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer

(waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan dimasa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan dalam suatu periode tertentu.

Dampak PPh dimasa yang akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan, dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil dimasa datang. Bila dampak pajak dimasa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembaca.

e. Penelahaan Metode Aktiva-Kewajiban

FASB berkeyakinan bahwa metode aktiva-kewajiban (kadang-kadang disebut sebagai pendekatan kewajiban) adalah metode yang paling konsisten dalam akuntansi untuk pajak penghasilan. Salah satu tujuan dari pendekatan ini adalah mengakui jumlah hutang pajak atau yang dapat diminta kembali selama tahun berjalan. Tujuan yang kedua adalah mengakui kewajiban dan aktiva pajak yang ditangguhkan untuk konsekuensi pajak dimasa depan dari peristiwa yang telah diakui dalam laporan keuangan atau SPT pajak.

Untuk melaksanakan tujuan-tujuan ini, prinsi-prinsip dasar berikut akan diterapkan dalam akuntansi untuk pajak penghasilan pada tanggal laporan keungan:

1. Kewajiban atau aktiva lancar diakui sebesar estimasi hutang pajak atau yang dapat diminta kembali dalam SPT pajak tahun berjalan.

2. Kewajiban atau aktiva pajak yang ditangguhkan diakui sebesar estimasi pengaruh pajak masa depan yang timbul oleh perbedaan sementara dan kompensasi kedepan.

3. Pengukuran kewajiban serta aktiva pajak lancar yang ditangguhkan didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang pajak yang ditetapkan, pengaruh perubahan undang-undang atau tarif pajak dimasa depan tidak diantisipasi.

4. Pengukuran aktiva pajak yang ditangguhkan dikurangi, jika perlu sebesar jumlah setiap manfaat pajak, yang berdasarkan bukti yang ada, tidak diharapkan akan direalisasi.

3. Penyajian Perkiraan-Perkiraan Menurut PSAK No. 46

a. Aktiva Pajak dan Kewajiban Pajak

Aktiva dan kewajiban pajak harus disajikan terpisah dari aktiva dan kewajiban lainnya, dalam neraca. Aktiva pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan harus dibedakan dari aktiva pajak kini dan kewajiban pajak kini. Apabila dalam laporan keuangan, aktiva dan kewajiban lancar disajikan terpisah dari aktiva dan kewajiban tidak lancar maka aktiva (kewajiban) pajak tangguhan tidak boleh disajikan sebagai aktiva (kewajiban) lancar.

b. Saling menghapuskan (offset)

PSAK No. 46 tidak menyatakan secara tegas mengenai aktiva pajak tangguhan boleh atau harus dikompensasi (offset) dengan kewajiban pajak tangguhan dalam penyajian neraca. PSAK No. 46 menyatakan bahwa aktiva kini

harus dikompensasi (offset) dengan kewajiban pajak kini dan jumlah netonya harus disajikan pada neraca.

c. Beban Pajak

Beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan laba atau rugi dari aktivitas normal harus disajikan tersendiri pada laporan laba rugi.

d. Pajak Penghasilan Final

Apabila nilai tercatat aktiva atau kewajiban yang berhubungan dengan pajak penghasilan final berbeda dari DPP-nya maka perbedaan tersebut tidak diakui sebagai aktiva atau kewajiban pajak tangguhan. Atas penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final, beban pajak diakui secara proporsional dengan jumlah pendapatan menurut akuntansi yang diakui pada periode berjalan. Selisih antara jumlah pajak penghasilan final yang terhutang dengan jumlah yang dibebankan sebagai pajak kini pada perhitungan laba rugi diakui sebagai Pajak Penghasilan Final Dibayar Dimuka dan Pajak Penghasilan Final yang masih harus dibayar.

Dokumen terkait