$19=”AGT”, $35=”cbr”, $39=”0” dan $41=”1” pada $1=”s”. Seperti ditunjukkan pada potongan file trace berikut ini.
s t 3.057178456 Hs 1 Hd 2 Ni 1 Nx 456.93 Ny 746.80 Nz 0.00 Ne 1.000000
-Nl AGT -Nw --- -Ma 0 -Md 0 -Ms 0 -Mt 0 -Is 1.0 -Id 2.0 -It cbr -Il 512 -If 0 -Ii 1
-Iv 32 -Pn cbr -Pi 1 -Pf 0 -Po 5
r -t 3.086723552 -Hs 2 -Hd 2 -Ni 2 -Nx 657.07 -Ny 12.23 -Nz 0.00 -Ne -1.000000 -Nl
AGT -Nw --- -Ma 13a -Md 2 -Ms 1d -Mt 800 -Is 1.0 -Id 2.0 -It cbr -Il 510 -If 0 -Ii
1 -Iv 26 -Pn cbr -Pi 1 -Pf 5 -Po 5
4.3 Penghitungan dan Analisis
Penghitungan dilakukan untuk mengukur throughput, delay, jitter, packet
data ratio, packet loss, dan routing overhead dalam jaringan menggunakan routing protocol AODV dan DSR. Dari hasil pengitungan tersebut selanjutnya
peneliti akan melakukan analisis.
4.3.1 Throughput
Rata-rata throughput pada routing protocol AODV dan DSR ditunjukkan pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.2.
Tabel 4.3 Hasil penghitungan rata-rata throughput
routing AODV dan DSR.
10 node 25 node 50 node
1k 5k 10k 1k 5k 10k 1k 5k 10k
AODV 4.231304 2.846869 2.807066 3.60439 3.141821 3.309436 4.183004 3.426892 3.553029 DSR 3.990725 2.774655 2.753153 3.910309 3.430667 3.213119 4.046492 3.293331 3.439126
43
Gambar 4.2 Grafik pengaruh penambahan jumlah node dan jumlah koneksi terhadap rata- rata throughput pada routing AODV dan DSR.
Grafik hasil simulasi pada Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa nilai
throughput AODV selalu lebih besar dari DSR untuk seluruh sekenario.
Perbedaan hanya terjadi pada skenario penambahan 25 node, terlihat bahwa
throughput AODV lebih kecil dibandingkan DSR. Hal ini dikarenakan ada
perubahan kapasitas jaringan, sehingga proses pencarian jalur pengiriman paket mengalami proses yang lama dan panjang pada AODV [12]. Pada skenario penambahan 50 node nilai troughput AODV kembali lebih besar dibandingkan DSR.
4.3.2 Delay
Delay yang di uji adalah seluruh koneksi yang terjadi selama pengujian
berlangsung. Rata-rata delay pada routing protocol AODV dan DSR ditunjukkan pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.3.
44
Tabel 4.4 Hasil penghitungan rata-rata delay
routing AODV dan DSR.
10 node 25 node 50 node
1k 5k 10k 1k 5k 10k 1k 5k 10k
AODV 0.00703 0.0067 0.00594 0.00616 0.00648 0.00625 0.00611 0.00625 0.00763 DSR 0.00574 0.00592 0.00583 0.00592 0.00598 0.0062 0.00612 0.00609 0.006s18
Gambar 4.3 Grafik pengaruh penambahan jumlah node dan jumlah koneksi terhadap rata- rata delay pada routing AODV dan DSR.
Grafik hasil simulasi pada Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa routing AODV mengalami proses pencarian jalur lebih lama dan lebih panjang dibandingkan dengan DSR. Hal ini mengakibatkan rata-rata delay pada routing AODV lebih lama karena banyaknya hop yang ditempuh dari node sumber ke
node tujuan, yang mengakibatkan delay lebih lama [12]. Routing DSR
menanggapi RREQ pengiriman pertama yang diterima dan mengabaikan RREQ selanjutnya dari sumber node yang berbeda, hal ini dapat mengurangi kemacetan dalam pencarian jalur menuju node tujuan sehingga dapat meminimalisai delay
45
[5]. Sedangkan routing AODV menanggapi semua RREQ yang datang, sehingga kemacetan tidak dapat terhindarkan yang menyebabkan delay semakin besar.
4.3.3 Jitter
Rata-rata jitter pada routing protocol AODV dan DSR ditunjukkan pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.3.
Tabel 4.5 Hasil penghitungan rata-rata packet jitter
routing AODV dan DSR
10 node 25 node 50 node
1k 5k 10k 1k 5k 10k 1k 5k 10k
AODV 0.03944 0.04955 0.05629 0.04702 0.04481 0.04254 0.05034 0.04159 0.04105 DSR 0.03826 0.04202 0.04181 0.03917 0.03983 0.04088 0.03742 0.03923 0.04122
Gambar 4.3 Grafik pengaruh penambahan jumlah node dan jumlah koneksi terhadap rata- rata jitter pada routing AODV dan DSR.
Grafik hasil simulasi pada Gambar 4.6 memperlihatkan bahwa nilai jitter pada routing AODV selalu lebih besar dari DSR untuk semua skenario. Hal ini terjadi karena waktu penerimaan paket pada node tujuan terlalu lama sebagai akibat dari proses pencarian jalur lebih lama dan panjang dibandingkan dengan
46
DSR. Selain itu banyaknya hop yang ditempuh dalam pengiriman paket dari node sumber ke node tujuan, yang mengakibatkan nilai jitter semakin besar [12].
4.3.4 Packet delivery ratio (PDR)
Rata-rata packet delivery ratio pada routing protocol AODV dan DSR ditunjukkan pada Tabel 4.6 dan Gambar 4.4.
Tabel 4.6 Hasil penghitungan rata-rata packet delivery ratio
routing AODV dan DSR.
10 node 25 node 50 node
1k 5k 10k 1k 5k 10k 1k 5k 10k
AODV 98.931 81.773 78.026 85.909 92.112 93.285 97.753 99.413 99.302 DSR 100 92.796 86.309 100 98.852 93.906 98.905 99.653 99.585
Gambar 4.4 Grafik pengaruh penambahan jumlah node dan jumlah koneksi terhadap rata- rata PDR pada routing AODV dan DSR.
Grafik hasil simulasi pada Gambar 4.5 memperlihatkan nilai paket delivery
ratio pada routing AODV selalu lebih kecil dibandingkan dengan DSR. Hal ini
47
kondisi jaringan yang memiliki pergerakan node yang cepat. Pada routing AODV tidak pernah mencapai 100% paket yang berhasil diterima. Maksimum persentase paket yang berhasil diterima adalah sebesar 98.93% dan minimum paket yang berhasil diterima adalah 78.02%. Pada skenario penambahan 50 node, kinerja
routing AODV dan DSR tidak jauh berbeda. Semakin banyak node, kinerja nilai
PDR keduanya hampir sama.
4.3.5 Packet Loss
Rata-rata packet loss pada routing protocol AODV dan DSR ditunjukkan pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.5.
Tabel 4.7 Hasil penghitungan rata-rata packet loss
routing AODV dan DSR.
10 node 25 node 50 node
1k 5k 10k 1k 5k 10k 1k 5k 10k
AODV 0.06803 10.2269 19.9738 6.09073 4.58742 4.31431 2.24656 0.58616 0.39755 DSR 0 7.20347 13.6902 0 1.14837 4.09422 1.09455 0.34637 0.33448
Gambar 4.5 Grafik pengaruh penambahan jumlah node dan jumlah koneksi terhadap rata- rata packet loss pada routing AODV dan DSR.
48
Dari grafik hasil simulasi pada Gambar 4.5 terlihat nilai paket hilang pada routing AODV selalu lebih besar. Hal ini disebabkan oleh proses pencarian jalur yang panjang dan lama. Selain itu juga dipengaruh jarak antara node pengirim dengan node penerima. Semakin jauh jarak node pengirim dengan node penerima, maka paket yang hilang akan semakin besar. Pada skenario penambahan 50 node, kinerja routing AODV dan DSR tidak jauh berbeda. Semakin banyak jmlah node, nilai packet loss keduanya hampir sama.
4.3.6 Routing Overhead
Rata-rata routing overhead pada routing protocol AODV dan DSR ditunjukkan pada Tabel 4.8 dan Gambar 4.6.
Tabel 4.8 Hasil penghitungan rata-rata routing overload
routing AODV dan DSR.
10 node 25 node 50 node
1k 5k 10k 1k 5k 10k 1k 5k 10k
AODV 0.0255 0.1511 0.1937 0.2474 0.2723 0.2139 0.8353 0.47112 0.4181 DSR 0.0112 0.1223 0.1591 0.1842 0.1529 0.1236 0.4262 0.2139 0.1737
Gambar 4.6 Grafik pengaruh penambahan jumlah node dan jumlah koneksi terhadap rata- rata packet loss pada routing AODV dan DSR.
49
Dari grafik hasil simulasi pada Gambar 4.4, terlihat bahwa routing AODV memiliki nilai routing overhead lebih besar dibandingkan dengan DSR. Tingginya nilai routing overhead pada AODV sangat dipengaruhi oleh kapasitas jaringan.
Routing overhead routing AODV semakin meningkat pada kondisi jaringan
dengan 25 node dan 50 node. Sedangkan pada routing DSR peningkatan nilai
routing overhead tidak terlalu signifikan saat terjadi peningkatan kapasitas
50
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan dapat simpulkan beberapa hal berikut :
1. Routing protocol DSR lebih baik dari routing AODV dilihat berdasarkan
parameter delay, jitter, packet delivery ratio, packet loss, dan routing
overhead jaringan, kecuali throughput.
2. Pengaruh penambahan jumlah node dan jumlah koneksi tidak terlalu signifikan pada routing protocol DSR untuk parameter jaringan delay,
jitter, dan routing overhead.
3. Penambahan jumlah node dan jumlah koneksi sangat berpengaruh terhadap kinerja routing protocol AODV untuk semua parameter jaringan yang diukur (throughput, delay, jitter, packet delivery ratio, packet loss, dan
routing overhead).
4. Pada skenario penambahan 50 node, kinerja routing AODV dan DSR untuk parameter packet delivery ratio dan packet loss hampir sama.
5.2 Saran
Beberapa saran yang dapat dipertimbangkan untuk pengembangan pengujian selanjutnya yaitu :
51
1. Melakukan pengujian dan analisis lebih lanjut dengan parameter yang berbeda, misalnya sumber trafik yang berbeda seperti tcp atau parameter yang berbeda misalnya kecepatan node, pause time, dan lain-lain.
2. Menguji lebih lanjut mengenai interval paket dan ukuran paket yang diindikasikan memiliki pengaruh terhadap kinerja routing protocol AODV dan DSR.
52
DAFTAR PUSTAKA
[1] Zheng Jun, Ad Hoc Network, Second International Conference,
ADHOCNET 2010 Victoria, BC, Canada, Revised Select Papers, 2011.
[2] Aprillando, A., 2007, Cara Kerja dan Kinerja Dynamic Source Routing
(DSR) pada Mobile Ad hoc network (MANET), Tugas Akhir. Jakarta:
Fakultas Teknik Unika AtmaJaya.
[3] Leon-Garcia A, Widjaja I., 2003, Communication Networks. McGraw-Hill: Singapore.
[4] Sajjad Ali & Asad Ali, “Performance Analysis of AODV, DSR and OLSR
in MANET”, Telcommunication Blekinge Institute of Technologi, Sweden, 2009.
[5] Olivia Kembuan, 2012, “Analisis Kinerja Reactive Routing Protocol
Dalam Mobile Ad-Hoc Network (Manet) Menggunakan Ns-2 (Network
Simulator)”, Tugas Akhir. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
[6] IEEE 802.15.4 Standard, Wireless Medium Access Control (MAC) and
Physical Layer (PHY) Specifications for Low-Rate Wireless Personal Area Networks (LR-MANETs), IEEE New York, 2003.
[7] Rendy. 2007. Cara Kerja dan Kinerja Protokol DSR (Dynamic Source
Routing) pada MANET (Mobile Ad-Hoc Network), Tugas Akhir. Jakarta:
53
[8] C. Kopp, “Ad hoc Networking”, Background Article, Published in „System‟, (2002) p.33-40.
[9] C. Perkin, E.M. Belding-Royer, S. Das, Ad hoc On Demand Distance
Vector (AODV) Routing, IETF Internet Draft, 2002.
[10] Wirawan, A.B., & Indarto, E., 2004, Mudah Membangun Simulasi dengan
Network Simulator-2, Andi Offset, Yogyakarta.
[11] Agoes S. & Putranto A., 2007, “Simulasi Kualitas Layanan VOIP Menggunakan Metode Antrian Packet CBQ Dengan Mekanisme Link
Sharing”, JeTri, Agustus 2007, volume 7, No 1, ISSN 1412-0372, 44, 41-64.
[12] Didik Imawan, Januari 2009, “Analisis Kinerja Pola-Pola Trafik Pada Beberapa Protokol Routing Dalam Jaringan MANET”, Tugas Akhir. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.
54
LAMPIRAN
1. File tcl
set val(chan) Channel/WirelessChannel ;#tipe kanal
set val(prop) Propagation/TwoRayGround ;#model propagasi
set val(netif) Phy/WirelessPhy ;#network interface
set val(mac) Mac/802_11 ;#Tipe MAC
set val(ifq) Queue/DropTail/PriQueue ;#tipe antrian
set val(ll) LL ;#tipe link layer
set val(ant) Antenna/OmniAntenna ;#model antena
set val(ifqlen) 50 ;#max paket di IFQ
set val(nn) 50 ;#jumlah node
set val(rp) AODV ;#protokol routing
set val(x) 800 ;#batas X
set val(y) 800 ;#batas Y
set val(stop) 200 ;#lamanya simulasi
#inisialisai pemangguilan skenario dari cbrgen dan RW-mobility
set val(nod) "../node/50node/50n.txt"
set val(con) "../koneksi/1k.txt"
set ns_ [new Simulator]
set tracefd [open traceAODV.tr w]
set namtrace [open namAODV.nam w]
#use newtrace format $ns_ use-newtrace
$ns_ trace-all $tracefd
$ns_ namtrace-all-wireless $namtrace $val(x) $val(y)
#Membuat objek topografi
set topo [new Topography] $topo load_flatgrid $val(x) $val(y)
proc create-god { nodes } { global ns_ god_ tracefd
set god_ [new God]
$god_ num_nodes $nodes
}
create-god $val(nn)
#konfigurasi dari node
$ns_ node-config -adhocRouting $val(rp) \ -llType $val(ll) \
55 -ifqType $val(ifq) \ -ifqLen $val(ifqlen) \ -antType $val(ant) \ -propType $val(prop) \ -phyType $val(netif) \ -topoInstance $topo \ -agentTrace ON \ -routerTrace ON \ -macTrace OFF \ -movementTrace ON \ -channelType $val(chan)\
for {set i 0} {$i < $val(nn) } { incr i } {
set node_($i) [$ns_ node]
}
#Pemanggilan skenario mobile node source $val(nod)
#Pemanggilan skenario koneksi source $val(con)
#menginisialisasi posisi node dalam NAM for {set i 0} {$i < $val(nn)} { incr i } {
#ukuran node dalam NAM
$ns_ initial_node_pos $node_($i) 50 }
#Memberitahu node bahwa simulsai telah berakhir for {set i 0} {$i < $val(nn) } { incr i } { $ns_ at $val(stop) "$node_($i) reset"; }
#Mengakhiri simulasi NAM
$ns_ at $val(stop) "$ns_ nam-end-wireless $val(stop)" $ns_ at $val(stop) "stop"
$ns_ at 200.0 "puts \"end simulation\" ; $ns_ halt" proc stop {} {
global ns_ namtrace $ns_ flush-trace close $namtrace
exec xgraph traceAODV.tr
exec nam namAODV.nam & #exit 0
}
56 2. QOS.awk BEGIN { tot_pkt_rec1=0; tot_send1=0; tot_rec1=0; start_time1 =0; stop_time1=0; receive_size1=0; rt_pkts1=0; } { event=$1; time=$3; node_id=$9; this_node=$5; next_node=$7; app=$19; pkt_type=$35; seq_num=$47; flow_id=$39; pkt_id=$41; pkt_size=$37; #--- #mencatat kejadian pada node pengirim
if (event=="s" && app=="AGT" && pkt_type=="cbr"){ #--- #koneksi ke1
if (node_id==1 && flow_id==0){ tot_send1++;
send_time1[pkt_id]=time;
#mencatat waktu paket pertama kali dikirim if (time < start_time1) { start_time1=time; } } } #--- # mencatat kejadian pada node penerima
if (event=="r" && app=="AGT" && pkt_type=="cbr"){ #--- #koneksi ke1
if (node_id==2 && next_node==2 && flow_id==0){ tot_rec1++;
receive_size1 +=pkt_size; receive_time1[pkt_id]=time;
#mencatat waktu paket terakhir diterima if (time > stop_time1) {
stop_time1=time; }
} }
57
#--- #mencatat paket routing forwarding
if ((event == "s" || event == "f") && $19 == "RTR" && ($35 =="AODV" || $35 =="message" || $35 =="DSR" || $35 =="OLSR")){ #--- if (flow_id==0){ rt_pkts1++; } if (flow_id==1){ rt_pkts2++; } if (flow_id==2){ rt_pkts3++; } if (flow_id==3){ rt_pkts4++; } if (flow_id==4){ rt_pkts5++; } if (flow_id==5){ rt_pkts6++; } if (flow_id==6){ rt_pkts7++; } if (flow_id==7){ rt_pkts8++; } if (flow_id==8){ rt_pkts9++; } if (flow_id==9){ rt_pkts10++; } } END { #koneksi ke1 count1=0;
for (i=0; i<=NR; i++) {
if (receive_time1[i]>0 && send_time1[i]>0) { delay1 +=receive_time1[i]-send_time1[i];
del_jitter[count1]=receive_time1[i]-send_time1[i]; count1++;
} }
#menghitung rata2 delay if (count1!=0) {
avg_delay1=delay1/count1; }
else {
58 }
#menghitung Jitter
for (i=1; i<count1; i++) {
jit1=del_jitter[i] - del_jitter[i-1]; if (jit1<0) { jit1=jit1*-1; } jitter1 +=jit1; } #--- # MENAMPILKAN HASIL #--- if (tot_send1>0){
# menampiklan: node sumber--node tujuan--besar paket dikirim--besar paket #diterima--delay--throughput--jitter
#koneksi ke1
printf (1 "\t" 2 "\t" tot_send1 "\t" tot_rec1 "\t" avg_delay1 "\t"); if ((stop_time1-start_time1)>0) {
printf (((receive_size1/(stop_time1-start_time1))*(8/1000)) "\t"); if ((count1-1)>0) {
printf ((jitter1/(count1-1))*1000); }
#menampilkan: nilai Routing overhead print ("\t"rt_pkts1/tot_send1); } if ((count1-1)<=0) { print (0); } } if (tot_send1<1) { printf ("\n"); } }
viii ABSTRACT
The development of computer networks now, began to shift from development wired network to a wireless network (wireless). This was the demands of the need access to information and data quickly and can be accessed anytime and anywhere. One model of the development of wireless networks is the type of ad hoc networks. One example of an ad hoc network are experiencing rapid growth now is the Mobile Ad Hoc Network (MANET).
This thesis presents the simulation result and performance analysis of reactive routing protocol Ad-hoc On Demand Vector (AODV) and Dynamic Routing Protocol (DSR). This analysis is based on average throughput, delay, jitter, packet delivery ratio, packet loss, and routing overhead by varying the number nodes and number connection. The simulation is performed using Network Simulation-2.
The results show that DSR outperforms parameters delay, jitter, packet delivery ratio, packet loss, and routing overhead than AODV for all scenarios with varying of the number of nodes and the number of connections. AODV outperforms for parameters throughput of all scenario varying number nodes and number connections.