• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

7. Penghitungan Jumlah Kromosom

Keseragaman tanaman yang dihasilkan melalui jalur embriogenesis somatik sangat diperlukan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan bibit yang seragam dan identik dengan induk. Variasi jumlah kromosom yang timbul dalam sistem regenerasi embriogenesis somatik dipengaruhi oleh lingkungan dan lamanya umur kultur. Indrayasa (2010) melaporkan bahwa umur kultur yang lama pada tanaman jeruk Siam Pontianak menyebabkan terjadinya variasi jumlah kromosom. Variasi jumlah kromosom yang muncul diduga karena pengaruh subkultur yang berulang-ulang dan berlangsung dalam tempo yang lama.

Analisis kromosom dilakukan secara acak terhadap sampel akar dari tunas ES. Tujuan dari analisis ini untuk mengetahui ada atau tidaknya variasi jumlah kromosom pada tanaman yang dihasilkan melalui regenerasi secara ES. Variasi jumlah kromosom yang timbul berdasarkan perbedaan fenotip bisa disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan sehingga perlu dilakukan pengamatan terhadap jumlah kromosom.

Gambar 13. Pengamatan kromosom pada akar tunas jeruk keprok batu 55 hasil regenerasi embrio somatik

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada sampel akar dari tunas hasil ES diketahui bahwa jumlah kromosom tanaman sampel berjumlah 2x = 18. Hal ini membuktikan bahwa pada sistem perbanyakan dengan teknologi ES ternyata tidak mempengaruhi jumlah kromosom dari pada tanaman sampel.

Gambar 13 menunjukkan bahwa jumlah kromosom pada akar 2n=2X=18 artinya bahwa secara in vitro tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah kromosom hasil ES dengan jumlah kromosom hasil in vivo. Indarayasa (2010) menyatakan bahwa umur kultur yang lama dapat mempengaruhi tingkat ploidi pada tanaman in vitro jeruk 2n = 2X=18 menjadi 2n = 3X=27.

Jumlah kromosom berhubungan dengan ukuran sel karena semakin banyak jumlah kromosom yang terdapat dalam satu sel maka akan mempengaruhi ukuran sel tersebut, selain itu jumlah kromosom juga dapat mewakili tingkat ploidi (Suryo 2007). Jumlah kromosom merupakan sarana karakterisasi pada tingkat seluler untuk identifikasi pada tanaman. Pengamatan kromosom hasil regenerasi secara ES memperlihatkan bahwa jumlah kromosom tersebut dapat mewakili tingkat ploidi dari jeruk keprok batu 55 hasil ES. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Sastrosumarjdo (2008) yang menyatakan bahwa pengamatan pada kromosom dapat digunakan untuk klasifikasi atau penggolongan dari spesies yang dilihat dari jumlah dan bentuknya.

8. Embrio Somatik Sekunder

Embrio somatik sekunder merupakan produk dari embrio somatik primer dimana pada keadaan tertentu embrio somatik primer mampu memproduksi lagi embrio somatik. Embrio somatik sekunder pada jeruk muncul ketika media kultur mengandung GA3. Tepatnya ketika proses perkecambahan dari embrio somatik primer. Tokuji dan Kuriyama (2003) melaporkan bahwa GA3 mampu memproduksi embrio somatik sekunder ketika embrio somatik primer memasuki fase globular. Kemunculan embrio somatik sekunder juga dikaitkan dengan perlakuan eksogen yang diberikan seperti pengaruh pemberian GA3 (Sutanto & Azis 2006). Banyak embrio somatik pada saat melakukan pengecambahan membentuk embrio somatik sekunder, sehingga menyebabkan jumlah embrio somatik bertambah banyak, akan tetapi untuk memperoleh planlet dari jumlah

embrio yang dihasilkan diperlukan waktu yang lama karena memerlukan waktu untuk mendewasakan embrio somatik sekunder menjadi planlet (Mujib & Samaj 2009).

Pendewasaan embrio somatik sekunder menggunakan konsentrasi media terbaik pada embrio somatik primer yaitu 2.5 mg/l ABA. Hal yang sama juga digunakan pada perkecambahan embrio somatik sekunder dimana konsentrasi terbaik terdapat pada 2.5 mg/l GA3.

Tabel 6. Pengaruh penambahan ABA terhadap pendewasaan embrio somatik sekunder dan primer pada umur 4 minggu setelah tanam

Media kultur MW dengan Penambahan 2.5 mg/l ABA

Tahap pendewasaan embrio somatik sekunder Jumlah globular awal Fase jantung Fase terpedo Fase Kotiledon Efisiensi pendewasaan (%) ES sekunder ES primer 15 15 5.4 6.2 4.2 3.6 4.3 5.0 92.6 98.6

Tabel 6 menunjukan bahwa terdapat penurunan efisiensi pendewasaan pada embrio somatik sekunder. Efisiensi pendewasaan pada embrio somatik sekunder sebesar 92.6% jika dibandingkan dengan embriosomatik primer sebesar 98.6% terjadi penurunan 0.6%. Ini berarti dengan menggunakan embrio somatik sekunder kita masih bisa mendapatkan efisiensi pendewasaan yang tinggi sehingga embrio somatik sekunder masih bisa digunakan untuk perbanyakan selanjutnya. Pola fase pendewasaan pada embrio somatik sekunder sam dengan embrio somatik primer dimana perkembangan setelah fase globular adalah fase jantung, fase terpedo dan kotiledon.

Embrio somatik sekunder pada Gambar 14 terlihat dapat tumbuh pada saat fase-fase tertentu. Gambar 14A dan 14B menjelaskan bahwa embrio somatik sekunder tumbuh pada media perkecambahan embrio somatik primer dimana pada media kultur tersebut mengandung GA3. Pada Gambar 14C kalus embrio somatik sekunder tumbuh pada fase globular hal ini diduga karena pengaruh eksogen yang diberikan mampu menumbuhkan embrio somatik sekunder. Oktavia et al. 2003 menjelaskan bahwa eksogen sangat berperan aktif dalam membantu proses pembelahan sel pada planlet yang dikulturkan.

Tabel 7. Pengaruh penambahan GA3 terhadap perkecambahaan embrio somatik sekunder dan primer pada umur 4 minggu setelah tanam

Media kultur MW dengan Penambahan 2.5 mg/l GA3

Tahap Perkecambahaan embrio somatik sekunder

Jumlah kotiledon Awal

Planlet Efisiensi perkecambahaan (%) ES sekunder ES primer 10 10 8.8 8.4 88.0 84.0

Tabel 7 menunjukan bahwa pada perkecambahan embrio somatik sekunder mengalami kenaikan sebesar 4% dimana efisiensi perkecambahan menjadi 88.0%. planlet yang terbetuk pada perkecambahan embrio somatik sekunder sebesar 8.8 sedangkan pada perkecambahan embrio somatik primer sebesar 8.4. terjadi peningkatan 0.4. Gambar 15 menjelaskan urutan fase pendewasaan embrio somatik sekunder dengan penambahan 2.5 mg/l ABA,

A B

Gambar 14. Embrio somatik sekunder (A dan B = kalus embrio somatik sekunder pada fase perkeecambahan embrio somatik primer. C= kalus embrio somatik sekunder pada fase globular)

sedangkan pada efisiensi perkecambahan embrio somatik primer hanya 84.0%. Hal serupa pernah dilaporkan Sukmadjaja (2005) yang mendapatkan embrio somatik sekunder dihasilkan relatif sama dengan embrio somatik primer pada media dengan kandungan GA3 pada cendana

9. Aklimatisasi

Tahapan akhir dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet. Akllimatisasi merupakan masa penyesuaian tanaman

in vitro yang akan dipindah ke lapang. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media aklimatisasi dengan intensitas cahaya rendah dan kelembaban nisbi tinggi, kemudian secara berangsur-angsur kelembabannya diturunkan dan intensitas cahayanya dinaikkan (Yusnita 2003). Tahap ini merupakan tahap yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca atau rumah plastik dan di lapangan sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur. Tabel 8. Pengaruh aklimatisasi pada embrio somatik 4 MST

Kondisi ES yang diaklimatisasi

Jumlah ES yang hidup Jumlah embrio somatik 2 MST 3 MST 4 MST Efisiensi aklimatisasi % ES tanpa akar ES berakar 20 20 14 19 8 19 1 18 5 90 Keterangan : Media aklimatisasi yang digunakan adalah campuran humus dan tanah dengan

penambahaan vitamin morel & wetmore.

Dari hasil percobaan didapatkan informasi bahwa ES yang berakar dapat bertahan hidup sedangkan ES tanpa akar tidak dapat bertahan hidup (Tabel 8). Gambar 15. Fase pendewasaan embrio somatik sekunder dengan penambahan 2.5 mg/l

ABA (A = fase globular, B = fase jantung, C = fase terpedo, D = fase kotiledon)

Tabel 8 memperlihatkan bahwa efisiensi aklimatisasi dari planlet ES yang berakar sebesar 90%. Hal ini sangat berbeda jauh terhadap ES tanpa akar diamana efisiensinya hanya sebesar 5%.

Tebel 9 menunjukan perbedaan yang signifikan terjadi setiap minggu pada planlet embrio somatik yang hidup. Planlet ES tanpa akar dan planlet ES berakar pada minggu pertama setelah aklimatisasi (data tidak ditampilakan) semuanya masih bertahan hidup (100%). Planlet ES yang mati pada minggu ke 2 mulai terlihat terutama pada planlet ES yang tidak memiliki akar. Hal tersebut berlangsung terus menerus hingga minggu ke 4 hanya satu planlet ES yang bertahan hidup sedangkan pada ES yang berakar mampu bertahan hidup sebanyak 18 planlet ES.

Keberhasilan aklimatisasi ES tidak terlepas dari jumlah akar yang terbentuk pada saat induksi perakaran. Semakin banyak akar yang terbentuk maka akan semakin besar peluang ES bertahan hidup ketika diaklimatisasi. ES yang mampu bertahan hidup ketika diaklimatisasi memiliki warna yang cerah dan segar (Gambar 16A, dan 16B) sedangkan ES tanpa akar umumnya batang dan daun berwarna kuning dan layu ketika diaklimatisasi (Gambar 16C dan 16D), Akibatnya daun dan batang menjadi transparan, berwarna hijau muda hingga pucat dengan kandungan klorofil yang rendah (Olmos & Hellin 1998).

Tingginya efisiensi aklimatisasi ES yang berakar dikarenakan kondisi awal ES. Hal ini didukung oleh Rohayati dan Marlina (2009) yang menyatakan keberhasilan aklimatisasi sangat tergantung dari kondisi awal planlet. Pertumbuhan ES yang diaklimatisasi akan semakin optimum sejalan dengan berkembangnya akar. Semakin berkembangnya akar maka akan semakin optimum pertumbuhan tanaman tersebut (Gambar 16E) sedangkan planlet ES tanpa akar akan mengalami kematian karena planlet ES tanpa akar tidak sanggup membentuk akar (Gambar 16F). akar pada kondisini ini akan lebih aktif dalam menyerap hara pada media tanam, hal tersebut terbukti dengan bertambahnya panjang dan jumlah akar.

Gambar 16E dan 16F menunjukan bahwa pertumbuhan akar setelah aklimatisasi selama 4 minggu bertambah panjang jika dibandingkan dengan ES sebelum diaklimatisasi (Gambar 16B, 16C, dan 16D). Hal ini diduga karena keaktifan dari hormon auksin yang terdapat pada jaringan akar yang bekerja optimal ketika ES berada didalam tanah. Dalam kondisi gelap auksin lebih aktif bekerja terutama pada akar sehingga terjadi pertambahan panjang dan jumlah dari akar tersebut . Hal tersebut menyebabkan terjadinya pemanjangan pada akar (Gambar 16E) semakin banyak akar maka semakin banyak hara yang diserap sehingga pertumbuhan ES semakin optimum.

10. Grafting

Teknik regenerasi ES dapat diterapkan juga untuk program perbaikan sifat, salah satu cara yang dapat ditempuh dengan cara grafting atau metode sambung. Garfting dilakukan dengan cara menyambungkan batang bawah yang unggul

A B C D

E F

Gambar 16. Aklimatisai tunas embrio somatik (A dan B = planlet ES yang diinduksi perakaran , C dan D = planlet ES tanpa induksi akar, E = Planlet ES berakar 4 minggu setelah aklimatisasi, F = Planlet ES tanpa induksi akar sekunder 3 minggu setelah aklimatisasi, G = planlet umur 5 minggu )

dengan tunas batang atas hasil regenersai ES. Hasil akhir dari grafting adalah didapatkan tanaman dengan batang bawah yang kompatibel dengan batang atas agar didapatkan tanaman elit.

Model yang digunakan untuk batang atas pada penelititan ini berasal dari

in vitro jeruk batu 55 dengan batang bawah yang berasal dari Jeruk JC (Japanish citroen). Batang atas yang digunakan harus bebas dari virus dan mempunyai karakter unggul. Hasil penelitian yang telah dilakuan terhadap metode grafting menunjukan bahwa dari 40 batang atas yang disambung dengan batang bawah menunjukan tingkat kompatibel yang baik. Rata –rata persentase keberhasilan batang untuk bertahan hidup sampai minggu keempat menunjukan 62.4% batang atas dapat bertahan hidup (Tabel 9).

Tabel 9. Perkembangan batang atas ES setelah grafting pada 4 mst

Pengamatan (minggu ke) Rata-rata pertambahan pertumbuhan perminggu Rata-rata jumlah daun (helai) Rata-rata Tinggi tanaman (cm) Persentase tunas Hidup (%) 1 0.58 0.16 67.4 2 1.33 0.47 65.0 3 1.99 0.97 65.0 4 2.05 1.13 52.2 Rata-rata keseluruhan 1.48 0.68 62.4

Grafting yang hidup pada minggu pertama rata-rata pertambahan daun masih relatif sedikit yaitu 0,58 helai sedangkan pertambahan tinggi hanya 0,16 cm. tunas yang disambung pada minggu pertama masih mengalami adaptasi terhadap lingkungan baru sehingga terjadi stress pada tunas baru sehinga pertmbuhan daun dan tinggi tanaman belum stabil. Untuk mengurangi penguapan tunas harus dibungkus dengan plastik transparan hal ini bertujuan mengurangi stress pada tunas akibat penguapan.

Persentase tunas yang hidup pada minggu pertama sebesar 67.4%, 65.0% pada minggu kedua, 65.0% pada minggu keempat 62.4%. Banyak tunas pada minggu pertama yang mengalami sterss akibatnya sebagian tunas mati. Adapatsi tunas ES terhadap grafting sangat dipengaruhi oleh faktor suhu. Suhu sangat menentukan keberhasilan metode dari grafting tersebut dimana tanaman in vitro

selama siklus hidupnya selalu mendapatkan suhu yang stabil ketika tunas tersebut digunakan di lapang maka akan terjadi proses adaptasi. Tunas yang dapat bertahan pada masa penyesuaian maka akan memilikin peluang untuk hidup sedangkan tunas yang tidak bisa bertahan akan mengalami stres dan akhirnya mati.

Gambar 17. Pertumbuhan tunas ES grafting pada umur 1 minggu (A = hasil grafting, B = penyungkupan dengan plastik, C & D = umur garfting 1 minggu E = tunas yang mati)

Tunas yang mampu bertahan pada saat grafting akan terlihat lebih vigor sedangkan tunas yang tidak mampu bertahan akan layu. Tunas yang tidak dapat bertahan menunjukan gejala kematian (Gambar 17E). Persentase tunas hasil grafting yang hidup pada minggu ke 3 minggu ke 4 cenderung meningkat. Hal itu disebabkan oleh tunas yang dapat bertahadan tidak lagi mengalami stres dan dapat beradaptasi dengan batang bawah. Tunas ES pada umur dua minggu yang digrafting telah mendapat menyerap unsur hara melalui batang bawah dan fotosintesis mejadi lebih optimal ketika sungkup plastik dibuka. Tunas yang vigor ditandai dengan bertambahnya jumlah daun dan tinggi tunas seperti yang terlihat pada Tabel 9. Jumlah daun dan tinggi tanaman akan terus bertambah setiap

A

B C

Gambar 18.Perkembangan tunas ES grafting. (A = tunas grafting umur 2 minggu,

B = Tunas grafting umur 3 minggu, C = tunas grafting umur 4 minggu).

minggunya jika kebutuhan hara yang tersedia di dalam tanah tersedia dengan baik. Kompabilitas antara batang bawah dan batang atas sangat menentukan keberhasilan dalam teknik grafting. Secara umum Mathius et al. (2006) menjelaskan bahwa sel-sel parenkim dari batang bawah dan batang atas saling kontak, menyatu dan membaur, sel-sel parenkima yang terbentuk dan terdiferensiasi membentuk kambium sebagai lanjutan dari lapisan kambium batang bawah dan batang atas yang lama. Dari lapisan kambium akan terbentuk jaringan pembuluh sehingga proses translokasi hara dari batang bawah ke batang atas atau sebaliknya hasil fotosintesis dari batang atas ke batang bawah berlangsung sebagaimana mestinya.

Diharapkan melalui proses grafting ini didapatkan model untuk batang atas yang berasal dari regenerasi tanaman secara embriogenesis somatik dengan batang bawah yang berasal dari biji dan stek. Selain itu dengan teknik grafting ini diharapkan akan mempersingkat masa vegetatif pada tanaman jeruk dimana tanaman ini mempunyai juvenilitas yang tinggi menyebabkan masa vegetatif yang lama. Metode grafting juga menguntungkan untuk tanaman yang memiliki perakaran yang tidak kuat, dan dapat bertahan pada berbagai kondisi yang tidak menguntungkan. Gambar 18C memperlihatkan bahwa antara batang atas dan batang bawah telah memiliki kompatibiltas yang satbil. Pertumbuhan tunas hasil grafting akan maksimal jika dilakukan pemangkasan tunas-tunas muda dari batang bawah yang tumbuh kembali dan perawatan terhadap tunas batang atas

A B

Dokumen terkait