• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Suhu Kecerahan Awan

2.2 Penginderaan Jauh untuk Pendugaan Curah Hujan

Gambar 1 Histogram suhu kecerahan awan

(0C) untuk (a) semua intensitas

hujan (b) hujan ringan (c) hujan sedang (d) hujan deras (sumber: Hanna et al. 2007)

Distribusi duhu kecerahan awan tidak seragam ketika terjadi perbedaan intensitas hujan. Gambar 1 menunjukkan besarnya suhu kecerahan awan untuk semua intensitas

hujan adalah berkisar antara -80oC sampai

10oC. Terdapat dua golongan jumlah suhu

kecerahan, pertama adalah -80oC sampai

-30oC dan kedua adalah -30oC sampai 10oC.

2.2 Penginderaan Jauh untuk Pendugaan Curah Hujan

Pendugaan curah hujan dengan aplikasi penginderaan jauh sudah dikembangkan

sejak tahun 1960 diawali dengan

pengamatan distribusi awan global di atmosfer bumi (Suseno 2009). Dalam perkembangannya terdapat empat metode dalam pendugaan curah hujan dengan menggunakan satelit, yaitu:

a. Pendugaan curah hujan menggunakan

kanal inframerah (IR) dan visible (VIS).

b. Pendugaan curah hujan dengan kanal

pasif gelombang mikro.

c. Pendugaan curah hujan dengan kanal

radar satelit.

d. Pendugaan curah hujan menggunakan

metode kombinasi kanal inframerah dan gelombang mikro (blended techniques).

2.2.1 MTSAT (Multi-functional

Transport Satellite)

MTSAT merupakan satelit pengganti satelit GMS (Geostationary Meteorological Satellite) yang mulai beroperasi tahun 2005 (JMA 2011). Generasi pertama MTSAT adalah MTSAT-1R dengan operasional dari tahun 2005 sampai dengan 2010. Generasi

kedua MTSAT yaitu MTSAT-S2

direncanakan beroperasi dari tahun 2010 sampai 2015 (JMA 2010). Pelayanan data secara visual dikelola oleh JMA (Japan

Meteorological Agency). Sedangkan

pelayanan data citra dapat diunduh secara

gratis melalui alamat website Kochi

University dan University of Tokyo.

MTSAT-1R merupakan salah satu satelit geostasioner dengan wilayah kerja di Asia Pasifik. Satelit geostasioner merupakan satelit yang orbitnya mengikuti rotasi bumi. MTSAT-1R berada di ketinggian 35.800 km

di atas ekuator dan 145oBT. Ilustrasi wilayah

kerja satelit-satelit geostasioner yang ada di bumi ditunjukkan dalam Gambar 2. Sebagai satelit geostasioner, MTSAT-1R memiliki fungsi ganda untuk bidang meteorologi sekaligus misi penerbangan.

Pada Gambar 3 dapat dilihat contoh citra satelit MTSAT-1R tanggal 2 Januari 02.00 UTC untuk kanal IR1. Sedangkan kanal satelit MTSAT-1R telah diklasifikasikan

berdasarkan panjang gelombangnya

sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Gambar 2 Wilayah kerja satelit geostasioner di bumi (sumber: Saw 2005 dalam Suseno 2009)

Tabel 1 Klasifikasi kanal satelit MTSAT-1R berdasarkan panjang gelombang

Kanal Panjang Gelombang (μm) Resolusi Spasial

Visible (VIS) 0.55-0.80 1 km

Infrared (IR1) 10.3-11.3 4 km

Infrared (IR2) 11.5-12.5 4 km

Water Vapour (IR3) 6.5-7.0 4 km

Near Infrared (IR4) 3.5-4.0 4 km

(sumber: Hong et. al. 2009)

Gambar 3 Citra satelit MTSAT-1R (sumber: http://www.jma.go.jp)

MTSAT-1R mampu memberikan

informasi suhu awan dengan resolusi temporal tinggi yaitu setiap satu jam.

Berdasarkan spesifkasi kanal dalam

mendeteksi panjang gelombang, maka MTSAT-1R terdiri dari 5 kanal. Kanal MTSAT-1R yang digunakan pada penelitian

ini ada dua yaitu kanal infrared (IR1) dan

water vapour (IR3).

2.2.2 TRMM (Tropical Rainfall

Measuring Mission)

Satelit TRMM mulai beroperasi tahun 1997. Satelit ini membawa 5 buah kanal yaitu PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIRS (Visible and Infrared Channel), CERES (Clouds and

the Earth’s Radiant Energy System), dan LIS (Lightning Imaging Kanal). Secara khusus kanal PR dan TMI mempunya misi dalam estimasi curah hujan. Kedua kanal ini mampu mengobservasi struktur hujan, jumlah dan distribusinya di daerah tropis dan sebagian sub tropis seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4 serta berperan penting untuk mengetahui mekanisme perubahan iklim global dan memonitoring variasi lingkungan. Hasil data dari kanal TMI

dikemas dalam paket data TRMM 2A12 yang selanjutnya dijadikan sebagai bahan penelitian ini. Ilustrasi cara kerja satelit TRMM digambarkan dalam Gambar 5.

TRMM merupakan satelit yang berorbit secara polar, yaitu mengelilingi bumi dengan melewati kedua kutub bumi. Satelit ini berada di ketinggian 403 km di atas permukaan bumi dan mengorbit sebanyak 16 kali setiap harinya dengan menghabiskan waktu rata–rata 92.5 menit untuk satu kali orbit. Secara khusus kanal TMI memiliki resolusi spasial 5.1 km.

Gambar 4 Orbit dan jangkauan satelit

TRMM (sumber:

http://trmm.gsfc.nasa.gov) Data hujan yang dihasilkan oleh TRMM memiliki tipe dan bentuk yang beragam yang dimulai dari level 1 sampai level 3. Level 1 merupakan data yang masih dalam

bentuk raw dan telah dikalibrasi dan

dikoreksi geometrik, level 2 merupakan data yang telah memiliki gambaran paramater geofisik hujan pada resolusi spasial yang sama akan tetapi masih dalam kondisi asli keadaan hujan saat satelit tersebut melewati daerah yang direkam, dan level 3 merupakan data yang telah memiliki nilai-nilai hujan,

khususnya kondisi hujan bulanan yang merupakan penggabungan dari kondisi hujan dari level 2 (Feidas 2010).

Gambar 5 Ilustrasi cara kerja satelit TRMM (sumber:

http://trmm.gsfc.nasa.gov) Data-data hujan yang diperoleh dari satelit TRMM telah diaplikasikan untuk berbagai kepentingan seperti pengamatan iklim/cuaca, analisis iklim, analisis anomali hujan, verifikasi model iklim, dan studi hidrologi. Berbagai produk data dari satelit TRMM dapat diunduh secara gratis melalui website http://mirador.gsfc.nasa.gov.

2.2.3 Aplikasi Pendugaan Curah Hujan dengan Data Satelit

Beberapa peneliti telah melakukan

pendugaan curah hujan dengan metode kombinasi, diantaranya adalah Jobard dan Desbois pada tahun 1992 dalam Laing et al. (1999) yang mengkombinasikan citra satelit Meteosat dengan (Special Sensor Microwave

Imager) SSM/I data di Nigeria. Pada tahun 2006 Maathuis mengkombinasikan citra

satelit Meteosat dan TRMM Microwave

Imager (TMI) untuk wilayah kajian Afrika

Tengah (Suseno 2009). Keduanya

menggunakan teknik pengklasifikasian awan potensi hujan dan menurunkannya menjadi curah hujan. Klasifikasi ini digolongkan dalam bentuk awan berpotensi hujan dan awan yang tidak berpotensi hujan.

Aplikasi ini sangat menarik

dikembangkan karena memiliki beberapa

kelebihan, diantaranya adalah dapat

menjangkau nilai curah hujan di daerah

terpencil dan lautan serta mampu

menyediakan data secara homogen secara spasial maupun temporal. Hasil akhir dari metode ini berupa data curah hujan dengan resolusi spasial 4 km atau sesuai dengan resolusi spasial satelit geostationary. Metode ini merupakan metode yang didasarkan

untuk mengisi kekurangan-kekurangan

dalam beberapa metode pendugaan

sebelumnya.

Levizzani et al. (2002) dalam

penelitiannya mengatakan bahwa salah satu metode yang sering digunakan adalah metode kombinasi (blended techniques). Metode ini merupakan pendugaan curah hujan dengan kombinasi dua kanal,yaitu antara kanal inframerah (IR) dengan kanal gelombang mikro. Data yang didapat dari kanal inframerah berupa informasi suhu puncak awan (top cloud temperature), sedangkan informasi yang didapat dari kanal gelombang mikro adalah data curah hujan setiap jam.

Kidder et al. (2005) menyatakan bahwa

pengklasifikasian awan hujan didasarkan pada perbedaan suhu antara kanal pendeteksi suhu uap air pada 6.2 µm dengan kanal pendeteksi suhu puncak awan (infrared) pada 10.8 µm. Kedua kanal ini dapat mendeteksi awan dengan klasifikasi tinggi dan tebal sehingga berpotensi menjadi hujan. Ketika terjadi penyerapan uap air maka kondisi awan menjadi gelap dan dapat dideteksi dengan panjang gelombang 6.2 µm.

Gambar 6 Suhu kecerahan awan pada 10,8 μm (kiri), (tengah) suhu uap air pada 6,2 μm, (kanan) awan potensi hujan (sumber: Kidder et al. 2005)

Gelombang 6,2 μm mendeskripsikan

keadaan atmosfer yang gelap karena ketebalan butir-butir air dan uap air yang terdapat pada awan. Awan yang terdeteksi oleh panjang gelombang tersebut merupakan awan tebal dan sulit ditembus oleh cahaya. Nilai suhu kecerahan uap air cenderung lebih kecil dibanding nilai suhu kecerahan awan pada nilai piksel yang sama. Semakin kecil selisih antara suhu kecerahan awan dan suhu kecerahan uap air menunjukkan proses kondensasi yang selanjutnya akan turun menjadi hujan. Ilustrasi pembentukan awan potensi hujan ditunjukkan dalam Gambar 6. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Kidder et al. (2005) maka awan potensi

hujan dapat dipenuhi ke dalam persamaan matematis berikut.

T10,8 μm– T6,2 μm < 11K

dimana:

T10,8 μm: suhu kecerahan awan (kanal 10,8

μm/IR1)

T6,2 μm : suhu kecerahan uap air (kanal 6,2 μm/IR3)

Mekanisme terbentuknya awan

presipitasi ditentukan oleh perbedaan proses

dinamika dan termodinamika, yang

bergantung pada variasi waktu dan tempat. Gambar 7 menunjukkan bahwa hubungan antara suhu kecerahan awan dan curah hujan bervariasi secara signifikan tergantung pada

bentuk dan ketebalan awan. Riset

sebelumnya Adler dan Negri (1988) menyimpulkan bahwa klasifikasi awan akan menunjukkan perbedaan besar terhadap nilai curah hujan dan sistem secara umum.

Gambar 7 Hubungan antara suhu kecerahan awan (kiri) dan hujan rata-rata berdasar bentuk awan (kanan) (sumber: Hong, Yang et al. 2010)

Gambar 8 Siklus awan dan hubungannya dengan suhu kecerahan awan (sumber: Hong, Yang et al. 2010)

Yang Hong et al. (2010) menjelaskan

tentang evolusi dari awan konvektif dari awal (kecil dan hangat), sebelum jatuh (sedang dan dingin), dan siap jatuh (besar dan dingin), sebelum akhirnya jatuh dan hilang ditunjukkan pada Gambar 8. Pada setiap tahapnya terlihat perubahan fungsi suhu kecerahan awan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, proses temporal antara awan dan hujan sangat behubungan dalam setiap tahap pembentukan awan hingga jatuhnya hujan, meskipun dalam hal ini proses spasialnya tidak tertangkap secara jelas (diabaikan).

III METODOLOGI

Dokumen terkait