SIGIT DENI SASMITO
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1R) and Microwave Imager (TRMM) Satellite: Case Study DAS Citarum. Supervised by Prof. Dr. HIDAYAT PAWITAN M.Sc., LELY QODRITA AVIA S.Si.
This research used blended satellite which are geostationary satellite (MTSAT-1R) and TRMM Microwave Imager (TMI). The analyze is based on the MTSAT-1R canal 1R1 with spatial
resolution (0.05o x 0.05o) for brightness temperature and TMI with hourly temporal resolution. The
research focussed which covered 462 pixels for Citarum Water Catchment Area. TMI is good enough to estimate the precipitation because using microwave to estimating volume of cloud but for temporal scale is not good enough. Assumed wind movement, atmosphere stabilization, and topography are ignored.
The relationship analysis between the brightness temperature from MTSAT-1R and the rainfall from TMI have been conducted in this research. There is a relation between brightness temperature and rainfall. Decreasing of brightness temperature is comparable by increasing of precipitation. In
the modified exponential regression between two variable, the equation is formed Rainfall
estimation = a.e(b/cloud brightness temperature) with determination coefficient 0,71. Then, this modification
is used to estimate the precipitation.
The result showed that there is an overestimate between estimation data and field measurement data. Increasing quality of data followed by the higher time dimension data (daily, 5 days, 10 days). The ratio test produce calibration factor 0.5 that can reduce overestimate data. This methods are having advantages in spatial and temporal scales as geostationary. In order to increase the accuracy, the validation of data needs to be done by completing the TMI with other parameter and sources and also taking the topography of area into consideration.
Geostasioner (MTSAT-1R) dan Gelombang Mikro Imager (TRMM): Studi Kasus DAS Citarum.
Dibimbing oleh Prof. Dr. HIDAYAT PAWITAN M.Sc., LELY QODRITA AVIA S.Si.
Penelitian ini memanfaatkan data satelit geostasioner (MTSAT-1R) dan gelombang mikro TRMM Microwave Imager (TMI). Analisis diutamakan pada nilai suhu kecerahan awan yang
didapat dari MTSAT-1R dan rain rate (laju hujan) dari TMI pada waktu yang sama di wilayah
kajian (DAS Citarum). TMI digunakan karena memiliki kelebihan pada kanal gelombang mikro yang mampu mendeteksi volume awan tetapi memiliki kekurangan pada resolusi temporal karena bentuk orbit polar. Pendugaan curah hujan metode ini dilakukan dengan mengambil beberapa asumsi, diantaranya pergerakan awan akibat angin, stabilitas atmosfer, dan topografi.
Analisis hubungan antara suhu kecerahan awan dari MTSAT-1R dan laju hujan (rain rate) dari TMI menunjukkan semakin menurunnya suhu kecerahan maka laju hujan semakin meningkat. Hubungan tersebut dapat direpresentasikan ke dalam bentuk persamaan regresi modifikasi
eksponensial, yaitu Curah Hujan Dugaan = a.e(b/suhu kecerahan awan) dengan koefisien determinasi
0,71. Selanjutnya dengan nilai masukan suhu kecerahan awan maka didapat nilai laju hujan yang kemudian dimodifikasi menjadi curah hujan dugaan.
Hasil menunjukkan bahwa masih terjadi overestimate antara data curah hujan dugaan terhadap data pengukuran stasiun. Semakin meningkatnya dimensi waktu (harian, pentad, dasarian) menunjukkan bahwa kualitas data semakin meningkat. Overestimate data dugaan dapat dikalibrasi dengan menambahkan faktor kalibrasi 0.5 yang didapat dari uji rasio. Keuntungan dari metode ini adalah data curah hujan dugaan memiliki resolusi spasial dan temporal sama dengan satelit geostasioner. Hasil akan lebih baik jika mempertimbangkan beberapa faktor seperti pergerakan awan oleh angin, stabilitas atmosfer, dan topografi.
SIGIT DENI SASMITO
Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada
Mayor Meteorologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP : G24070029
Disetujui,
Pembimbing I
Prof. Dr. Hidayat Pawitan NIP. 19500430 197412 1 001
Pembimbing II
Lely Qodrita Avia S.Si NIP.19680403 199803 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi
Dr. Rini Hidayati NIP. 19600305 198703 2 002
hidup dan terselesaikannya penelitian serta penulisan Skripsi berjudul “Pendugaan Curah Hujan
dengan Data Satelit Geostasioner (MTSAT-1R) dan Gelombang Mikro Imager (TRMM): Studi
Kasus DAS Citarum” di Departemen Geofisika dan Meteorologi sejak Desember 2010.
Kesuksesan penelitian dan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Hidayat Pawitan dan Ibu Lely Qodrita Avia selaku pembimbing, serta Bapak Bregas Budianto dan Idung Risdianto yang telah banyak memberi saran. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para dosen dan staf Departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmunya, staf Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Puslitbang Sumber Daya Air (PUSAIR) atas bantuan data, serta teman-teman Geomet angkatan 44. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis mohon maaf untuk kekurangan selama penelitian dan dalam penulisan Skripsi ini. Semoga laporan ini menjadi dasar bagi penulis untuk terus berkarya dan bermanfaat.
Bogor, Juni 2011
merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Penulis menyelesaikan studi menengah di SMA N 1 Genteng Banyuwangi tahun 2007 dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis masuk pada mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi.
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 1
2.1. Hubungan Suhu Kecerahan Awan dan Curah Hujan ... 1
2.2. Penginderaan Jauh untuk Pendugaan Curah Hujan ... 2
2.2.1. MTSAT (Multi-functional Transport Satellite) ... 2
2.2.2. TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) ... 3
2.2.3. Aplikasi Pendugaan Curah Hujan dengan Data Satelit ... 4
III. METODOLOGI ... 6
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 6
3.2. Bahan dan Alat ... 6
3.2.1. Bahan ... 6
3.2.2. Alat ... 7
3.3. Tahapan Penelitian... 7
3.3.1. Pengumpulan Bahan ... 7
3.3.1.1. Data MTSAT ... 7
3.3.1.2. Data TRMM 2A12 ... 7
3.3.1.3. Data Curah Hujan Hasil Pengukuran Stasiun... 7
3.3.2. Pengolahan Bahan ... 7
3.3.3.1. Analisis Hubungan Suhu Kecerahan Awan dan Laju Hujan (Rain Rate) ... 8
3.3.3.2. Analisis Persamaan Regresi MTSAT-TMI ... 8
3.3.3.3. Penentuan Awan Potensi Hujan ... 8
3.3.3.4. Pendugaan Curah Hujan ... 8
3.3.3.5. Perbandingan Data Dugaan dan Data Pengukuran ... 8
3.3.3.6. Perbandingan Kualitas Data dengan Parameter Statistika ... 9
1V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9
4.1. Analisis Hubungan Suhu Kecerahan Awan dan Laju Hujan (Rain Rate) ... 9
4.2. Analisis Regresi antara Suhu Kecerahan Awan dan Laju Hujan (Rain Rate) ... 11
4.3. Analisis Awan Potensi Hujan ... 11
4.4. Hasil Curah Hujan Dugaan ... 12
4.5. Perbandingan Data Dugaan dan Data Pengukuran ... 13
4.6. Perbandingan Kualitas Data Dugaan dengan Data Pengukuran ... 14
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 17
5.1. Simpulan ... 17
5.2. Saran ... 17
DAFTAR PUSTAKA ... 18
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pengelompokan kanal satelit MTSAT berdasarkan panjang gelombang ... 3
2 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE sebelum data dugaan dikalibrasi ... 17
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Histogram suhu kecerahan awan (0C) untuk (a) semua intensitas hujan (b) hujan
ringan (c) hujan sedang (d) hujan deras ... 2
2 Wilayah kerja satelit geostasioner di bumi ... 2
3 Citra Satelit MTSAT ... 3
4 Orbit dan jangkauan TRMM ... 3
5 Ilustrasi cara kerja satelit TRMM ... 5
6 Suhu kecerahan awan pada 10,8 μm (kiri), (tengah) suhu uap air pada 6,2 μm, (kanan) awan potensi hujan ... 5
7 Hubungan antara suhu kecerahan awan (kiri) dan hujan rata-rata berdasar bentuk awan (kanan) ... 5
8 Siklus pembentukan awan dan hubungannya dengan suhu kecerahan awan ... 6
9 Peta wilayah kajian DAS Citarum ... 6
10 Diagram alir pengolahan data ... 7
11 Plot data spasial antara Suhu Kecerahan MTSAT IR1 02.00 UTC dan laju hujan TRMM 2A12 pada 02.19 UTC 2 Januari 2008 setelah dilakukan proses cropping pada wilayah kajian ... 10
12 Grafik data suhu kecerahan dan laju hujan tanggal 2 (02.00 UTC), 13 (10.00 UTC), 14 (09.00 UTC), 27 (14.00 UTC), 30 (12.00 UTC), dan 31 (11.00 UTC) Januari 2008 ... 10
13 Regresi modifikasi eksponensial antara suhu kecerahan awan MTSAT (X) dengan laju hujan TRMM 2A12 (Y) ... 11
14 Proses klasifikasi awan potensi hujan: (i) suhu kecerahan awan dari MTSAT IR1; (ii) suhu kecerahan uap air dari MTSAT IR3; (iii) awan potensi hujan ... 12
15 Distribusi spasial curah hujan dugaan bulan Januari 2008: (i) dasarian ke-1; (ii) dasarian ke-2; (iii) dasarian ke-3 ... 13
16 Letak stasiun pengukuran berdasarkan ketinggiannya ... 14
17 Plot Curah Hujan Harian Dugaan dan Pengukuran di stasiun Bandung pada Januari 2008: (i) harian; (ii) pentad; (iii) dasarian ... 14
18 Rasio untuk curah hujan bulanan sebelum dan sesudah dikalikan dengan faktor kalibrasi 0.5 ... 15
19 Distribusi spasial curah hujan bulanan: (i) Januari 2008; (ii) Juli 2008 ... 15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Distribusi curah hujan dasarian dan pentad dugaan spasial bulan Januari 2008 ... 20
2 Grafik perbandingan curah hujan dugaan dan pengukuran bulan Januari 2008 ... 22
5 Data dugaan dan pengukuran harian bulan Januari 2008 ... 27
6 Data dugaan dan pengukuran harian bulan Juli 2008 ... 28
7 Data dugaan dan pengukuran pentad bulan Januari dan Juli 2008 ... 29
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Curah hujan merupakan unsur
meteorologi yang mempunyai variasi tinggi dalam skala ruang dan waktu sehingga paling sulit untuk diprediksi. Akan tetapi, informasi curah hujan sangat penting dan dibutuhkan oleh hampir semua bidang seperti pertanian, transportasi, perkebunan, hingga untuk peringatan dini bencana alam,
banjir, longsor, dan kekeringan (Parwati et
al. 2009).
Data dan informasi curah hujan masih terbatas baik untuk skala spasial yang luas maupun satuan wilayah yang lebih kecil. Akses untuk data sulit dan belum memenuhi syarat layak pakai. Jumlah stasiun penakar hujan mungkin banyak namun kelengkapan
data masih belum menjanjikan.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut menjadi penghambat bagi pengguna data curah hujan dan kegiatan yang memfokuskan diri pada implementasi analisis data hujan.
Keterbatasan ini mampu dijawab oleh data satelit penginderaan jauh. Beberapa data satelit meteorologi telah mampu memberikan informasi cuaca yang up to date setiap jam dan dapat diakses gratis. Meskipun begitu pemanfaatannya masih sangat terbatas. Pendugaan curah hujan dengan satelit diawali sekitar tahun 1960 dengan memanfaatkan kanal inframerah
serta cahaya tampak atau visible (Suseno
2009). Berbagai metode masih terus dikembangkan agar hasil penghitungan nilai
curah hujan dugaan mendekati hasil
pengukuran stasiun penakar hujan.
Griffitth et al. dalam Tahir (2009)
merumuskan adanya hubungan erat antara curah hujan dari radar dengan suhu kecerahan awan yang lebih rendah dari 235 K dalam persamaan logaritmik. Vicente (2001) mengungkapkan curah hujan rata-rata dari radar jika dihubungkan dengan nilai suhu kecerahan awan berelasi setiap 1 derajat antara 195 K sampai 260 K. Parwati et al. (2009) mengungkapkan korelasi curah hujan dari data Qmorph dan suhu kecerahan awan dari data MTSAT-1R mencapai nilai lebih dari 0,8 atau setara dengan koefisien determinasi 0,65.
Merujuk pada beberapa penelitian
tersebut, penelitian ini menggunakan metode pendugaan curah hujan gabungan data dari
kanal inframerah satelit geostasioner
(MTSAT-1R) dan kanal gelombang mikro (TRMM Microwave Imager) dari satelit
TRMM. Dilihat dari resolusi temporalnya metode tersebut merupakan salah satu metode pendugaan curah hujan satelit yang terbaik saat ini karena resolusi temporal 1 jam.
Kajian dikhususkan untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. DAS Citarum merupakan DAS terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Luas DAS Citarum 718.268,53 ha dan panjang sungai utama 269 km serta 14.346,24 km termasuk anak sungai (Indo Power 2009). Air yang mengalir di Citarum berasal dari mata air Gunung Wayang melalui 8 daerah, yaitu Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, Sumedang, Cianjur, Purwakarta, Bogor dan Karawang sebagai muara Sungai Citarum.
Studi ini diharapkan dapat menjawab keterbatasan data pengukuran curah hujan permukaan dan untuk skala mikro mampu menghitung jumlah air yang jatuh di wilayah DAS Citarum serta dapat mendukung pengelolaan DAS secara berkelanjutan.
1.2 Tujuan
Tujuan utama penelitian ini adalah:
a. Memperoleh persamaan regresi antara
suhu kecerahan awan dan curah hujan.
b. Menduga nilai curah hujan dan
perbandingannya terhadap curah hujan pengukuran pada bulan basah dan kering di DAS Citarum.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hubungan Suhu Kecerahan Awan dan Curah Hujan
Awan-awan penghasil hujan mempunyai tingkat ketebalan awan yang tinggi karena mengandung banyak uap air sehingga nilai albedonya besar. Sebaliknya, awan yang tidak potensial hujan mempunyai ketebalan rendah dan mengandung lebih sedikit uap air sehingga nilai albedonya kecil. Awan dengan albedo kecil biasanya adalah awan
cirrus dan stratus, sedangkan albedo besar
biasanya dijumpai pada awan cumulus. Estimasi curah hujan dapat dilakukan
berdasarkan suhu awan dimana
pembentukan hujan terjadi pada awan-awan
yang mempunyai suhu rendah (Handoko et.
inframerah satelit GOES-8 diplotkan dalam
persamaan eksponensial (Vicente et al.
2001). Lebih lanjut tentang karakteristik suhu kecerahan awan pada berbagai kejadian hujan ditunjukkan dalam Gambar 1.
Gambar 1 Histogram suhu kecerahan awan
(0C) untuk (a) semua intensitas
hujan (b) hujan ringan (c) hujan sedang (d) hujan deras (sumber: Hanna et al. 2007)
Distribusi duhu kecerahan awan tidak seragam ketika terjadi perbedaan intensitas hujan. Gambar 1 menunjukkan besarnya suhu kecerahan awan untuk semua intensitas
hujan adalah berkisar antara -80oC sampai
10oC. Terdapat dua golongan jumlah suhu
kecerahan, pertama adalah -80oC sampai
-30oC dan kedua adalah -30oC sampai 10oC.
2.2 Penginderaan Jauh untuk Pendugaan Curah Hujan
Pendugaan curah hujan dengan aplikasi penginderaan jauh sudah dikembangkan
sejak tahun 1960 diawali dengan
pengamatan distribusi awan global di atmosfer bumi (Suseno 2009). Dalam perkembangannya terdapat empat metode dalam pendugaan curah hujan dengan menggunakan satelit, yaitu:
a. Pendugaan curah hujan menggunakan
kanal inframerah (IR) dan visible (VIS).
b. Pendugaan curah hujan dengan kanal
pasif gelombang mikro.
c. Pendugaan curah hujan dengan kanal
radar satelit.
d. Pendugaan curah hujan menggunakan
metode kombinasi kanal inframerah dan gelombang mikro (blended techniques).
2.2.1 MTSAT (Multi-functional
Transport Satellite)
MTSAT merupakan satelit pengganti satelit GMS (Geostationary Meteorological Satellite) yang mulai beroperasi tahun 2005 (JMA 2011). Generasi pertama MTSAT adalah MTSAT-1R dengan operasional dari tahun 2005 sampai dengan 2010. Generasi
kedua MTSAT yaitu MTSAT-S2
direncanakan beroperasi dari tahun 2010 sampai 2015 (JMA 2010). Pelayanan data secara visual dikelola oleh JMA (Japan
Meteorological Agency). Sedangkan
pelayanan data citra dapat diunduh secara
gratis melalui alamat website Kochi
University dan University of Tokyo.
MTSAT-1R merupakan salah satu satelit geostasioner dengan wilayah kerja di Asia Pasifik. Satelit geostasioner merupakan satelit yang orbitnya mengikuti rotasi bumi. MTSAT-1R berada di ketinggian 35.800 km
di atas ekuator dan 145oBT. Ilustrasi wilayah
kerja satelit-satelit geostasioner yang ada di bumi ditunjukkan dalam Gambar 2. Sebagai satelit geostasioner, MTSAT-1R memiliki fungsi ganda untuk bidang meteorologi sekaligus misi penerbangan.
Pada Gambar 3 dapat dilihat contoh citra satelit MTSAT-1R tanggal 2 Januari 02.00 UTC untuk kanal IR1. Sedangkan kanal satelit MTSAT-1R telah diklasifikasikan
berdasarkan panjang gelombangnya
sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi kanal satelit MTSAT-1R berdasarkan panjang gelombang
Kanal Panjang Gelombang (μm) Resolusi Spasial
Visible (VIS) 0.55-0.80 1 km
Infrared (IR1) 10.3-11.3 4 km
Infrared (IR2) 11.5-12.5 4 km
Water Vapour (IR3) 6.5-7.0 4 km
Near Infrared (IR4) 3.5-4.0 4 km
(sumber: Hong et. al. 2009)
Gambar 3 Citra satelit MTSAT-1R (sumber: http://www.jma.go.jp)
MTSAT-1R mampu memberikan
informasi suhu awan dengan resolusi temporal tinggi yaitu setiap satu jam.
Berdasarkan spesifkasi kanal dalam
mendeteksi panjang gelombang, maka MTSAT-1R terdiri dari 5 kanal. Kanal MTSAT-1R yang digunakan pada penelitian
ini ada dua yaitu kanal infrared (IR1) dan
water vapour (IR3).
2.2.2 TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission)
Satelit TRMM mulai beroperasi tahun 1997. Satelit ini membawa 5 buah kanal yaitu PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIRS (Visible and Infrared Channel), CERES (Clouds and
the Earth’s Radiant Energy System), dan LIS (Lightning Imaging Kanal). Secara khusus kanal PR dan TMI mempunya misi dalam estimasi curah hujan. Kedua kanal ini mampu mengobservasi struktur hujan, jumlah dan distribusinya di daerah tropis dan sebagian sub tropis seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4 serta berperan penting untuk mengetahui mekanisme perubahan iklim global dan memonitoring variasi lingkungan. Hasil data dari kanal TMI
dikemas dalam paket data TRMM 2A12 yang selanjutnya dijadikan sebagai bahan penelitian ini. Ilustrasi cara kerja satelit TRMM digambarkan dalam Gambar 5.
TRMM merupakan satelit yang berorbit secara polar, yaitu mengelilingi bumi dengan melewati kedua kutub bumi. Satelit ini berada di ketinggian 403 km di atas permukaan bumi dan mengorbit sebanyak 16 kali setiap harinya dengan menghabiskan waktu rata–rata 92.5 menit untuk satu kali orbit. Secara khusus kanal TMI memiliki resolusi spasial 5.1 km.
Gambar 4 Orbit dan jangkauan satelit
TRMM (sumber:
http://trmm.gsfc.nasa.gov)
Data hujan yang dihasilkan oleh TRMM memiliki tipe dan bentuk yang beragam yang dimulai dari level 1 sampai level 3. Level 1 merupakan data yang masih dalam
bentuk raw dan telah dikalibrasi dan
khususnya kondisi hujan bulanan yang merupakan penggabungan dari kondisi hujan dari level 2 (Feidas 2010).
Gambar 5 Ilustrasi cara kerja satelit TRMM (sumber:
http://trmm.gsfc.nasa.gov)
Data-data hujan yang diperoleh dari satelit TRMM telah diaplikasikan untuk berbagai kepentingan seperti pengamatan iklim/cuaca, analisis iklim, analisis anomali hujan, verifikasi model iklim, dan studi hidrologi. Berbagai produk data dari satelit TRMM dapat diunduh secara gratis melalui website http://mirador.gsfc.nasa.gov.
2.2.3 Aplikasi Pendugaan Curah Hujan dengan Data Satelit
Beberapa peneliti telah melakukan
pendugaan curah hujan dengan metode kombinasi, diantaranya adalah Jobard dan Desbois pada tahun 1992 dalam Laing et al. (1999) yang mengkombinasikan citra satelit Meteosat dengan (Special Sensor Microwave
Imager) SSM/I data di Nigeria. Pada tahun 2006 Maathuis mengkombinasikan citra
satelit Meteosat dan TRMM Microwave
Imager (TMI) untuk wilayah kajian Afrika
Tengah (Suseno 2009). Keduanya
menggunakan teknik pengklasifikasian awan potensi hujan dan menurunkannya menjadi curah hujan. Klasifikasi ini digolongkan dalam bentuk awan berpotensi hujan dan awan yang tidak berpotensi hujan.
Aplikasi ini sangat menarik
dikembangkan karena memiliki beberapa
kelebihan, diantaranya adalah dapat
menjangkau nilai curah hujan di daerah
terpencil dan lautan serta mampu
menyediakan data secara homogen secara spasial maupun temporal. Hasil akhir dari metode ini berupa data curah hujan dengan resolusi spasial 4 km atau sesuai dengan resolusi spasial satelit geostationary. Metode ini merupakan metode yang didasarkan
untuk mengisi kekurangan-kekurangan
dalam beberapa metode pendugaan
sebelumnya.
Levizzani et al. (2002) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa salah satu metode yang sering digunakan adalah metode kombinasi (blended techniques). Metode ini merupakan pendugaan curah hujan dengan kombinasi dua kanal,yaitu antara kanal inframerah (IR) dengan kanal gelombang mikro. Data yang didapat dari kanal inframerah berupa informasi suhu puncak awan (top cloud temperature), sedangkan informasi yang didapat dari kanal gelombang mikro adalah data curah hujan setiap jam.
Kidder et al. (2005) menyatakan bahwa
Gambar 6 Suhu kecerahan awan pada 10,8 μm (kiri), (tengah) suhu uap air pada 6,2 μm, (kanan) awan potensi hujan (sumber: Kidder et al. 2005)
Gelombang 6,2 μm mendeskripsikan
keadaan atmosfer yang gelap karena ketebalan butir-butir air dan uap air yang terdapat pada awan. Awan yang terdeteksi oleh panjang gelombang tersebut merupakan awan tebal dan sulit ditembus oleh cahaya. Nilai suhu kecerahan uap air cenderung lebih kecil dibanding nilai suhu kecerahan awan pada nilai piksel yang sama. Semakin kecil selisih antara suhu kecerahan awan dan suhu kecerahan uap air menunjukkan proses kondensasi yang selanjutnya akan turun menjadi hujan. Ilustrasi pembentukan awan potensi hujan ditunjukkan dalam Gambar 6. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kidder et al. (2005) maka awan potensi
hujan dapat dipenuhi ke dalam persamaan matematis berikut.
T10,8 μm– T6,2 μm < 11K
dimana:
T10,8 μm: suhu kecerahan awan (kanal 10,8
μm/IR1)
T6,2 μm : suhu kecerahan uap air (kanal 6,2 μm/IR3)
Mekanisme terbentuknya awan
presipitasi ditentukan oleh perbedaan proses
dinamika dan termodinamika, yang
bergantung pada variasi waktu dan tempat. Gambar 7 menunjukkan bahwa hubungan antara suhu kecerahan awan dan curah hujan bervariasi secara signifikan tergantung pada
bentuk dan ketebalan awan. Riset
sebelumnya Adler dan Negri (1988) menyimpulkan bahwa klasifikasi awan akan menunjukkan perbedaan besar terhadap nilai curah hujan dan sistem secara umum.
Gambar 8 Siklus awan dan hubungannya dengan suhu kecerahan awan (sumber: Hong, Yang et al. 2010)
Yang Hong et al. (2010) menjelaskan
tentang evolusi dari awan konvektif dari awal (kecil dan hangat), sebelum jatuh (sedang dan dingin), dan siap jatuh (besar dan dingin), sebelum akhirnya jatuh dan hilang ditunjukkan pada Gambar 8. Pada setiap tahapnya terlihat perubahan fungsi suhu kecerahan awan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, proses temporal antara awan dan hujan sangat behubungan dalam setiap tahap pembentukan awan hingga jatuhnya hujan, meskipun dalam hal ini proses spasialnya tidak tertangkap secara jelas (diabaikan).
III METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian dengan kajian wilayah DAS
Citarum terletak antara 07o19’00” LS sampai
05o48’00” LS dan 106o42’00” BT sampai
107o58’00” BT dilakukan di Laboratorium
Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer -LAPAN, Bandung. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai dengan Mei tahun 2011.
3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan
Bahan penelitian yang digunakan adalah data pada bulan Januari dan Juli tahun 2008 yang dianggap mampu mewakili bulan basah dan bulan kering. Beberapa bahan serta wilayah kajian dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Citra MTSAT-1R bulan Januari dan Juli
2008
sumber data:
http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME/
Data TRMM 2A12 (TMI) bulan Januari
2008 sumber data:
http://mirador.gsfc.nasa.gov/
Data curah hujan pengukuran stasiun
bulan Januari dan Juli 2008 sumber data: PUSAIR
Wilayah kajian
Pendugaan curah hujan metode ini menggunakan wilayah kajian DAS Citarum seperti yang tampak pada Gambar 9. Perbandingan data curah
hujan dugaan dan pengukuran
difokuskan pada bagian hulu DAS Citarum.
3.2.2 Alat
Alat yang digunakan dalam melakukan penelitian adalah seperangkat komputer
dengan beberapa perangkat lunak
penunjang, diantaranya:
Ilwis Open 3.7
GrADS 2.0
CurveExpert Professional 1.2 (Trial
version)
Microsoft Office 2003
ArcGIS 10
GIMP 2.0
Note pad++ 5.9
Hdf-4.2.5-cygwin
3.3 Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan, yaitu pengumpulan bahan dan pengolahan bahan.
3.3.1 Pengumpulan Bahan
Terdapat tiga jenis data yang harus dikumpulkan sebagai bahan penelitian. Data-data tersebut bisa didapatkan dengan mengunduh melalui internet dan bantuan data dari lembaga-lembaga yang berwenang dalam mendistribusikan data curah hujan.
3.3.1.1 Data MTSAT
Data MTSAT-1R yang dikumpulkan adalah data pada IR1 dan IR3 setiap jam untuk bulan Januari dan Juli 2008. Data MTSAT bisa didapatkan dengan mengunduh
di alamat website
http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME/.
3.3.1.2 Data TRMM 2A12
Data TRMM 2A12 merupakan data rain rate yang dihasilkan dari kanal TRMM Microwave Imager (TMI) yang dapat
diunduh melalui alamat website
http://mirador.gsfc.nasa.gov. Seleksi data didasarkan pada dua faktor, pertama satelit TRMM merupakan satelit dengan sistem orbit polar/kutub sehingga data citra untuk wilayah kajian tidak berada pada waktu yang pasti, dan kedua beberapa data TRMM 2A12 tidak menunjukkan indikator hujan pada wilayah kajian, sehingga data yang diambil
adalah data-data saat terjadi hujan
didasarkan pada perlunya data hujan sebagai masukan dalam persamaan regresi.
3.3.1.3 Data Curah Hujan Hasil Pengukuran Stasiun/Lapangan
Data pengukuran stasiun merupakan data yang dihasilkan dari stasiun-stasiun cuaca yang ada di wilayah DAS Citarum khususnya bagian hulu. Data pengukuran lapangan adalah data titik yang memiliki periode pengamatan selama 24 jam. Data hasil pengukuran stasiun didapat dari instansi-instansi yang melakukan kegiatan pengumpulan data stasiun secara resmi yaitu PUSAIR.
3.3.2 Pengolahan Bahan
Alur pengolahan data penelitian
dilakukan sesuai diagram alir yang
ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10 Diagram alir pengolahan data Kesimpulan
MTSAT-IR1 TMI
Persamaan MTSAT-TMI MTSAT-IR1
CH Dugaan (mm/jam) CH Pengukuran
MTSAT-IR1 MTSAT-IR3
Awan Hujan Penggabungan
Pengolahan
Adapun secara garis besar tahapan pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.3.2.1 Analisis Hubungan Suhu Kecerahan Awan dan Laju Hujan (Rain Rate)
Analisis hubungan antara suhu kecerahan awan (MTSAT IR1) dan laju hujan (rain rate) data TRMM 2A12 dilakukan dengan cara memplotkan kedua data dalam grafik scatter.
3.3.2.2 Analisis Persamaan Regresi Data MTSAT IR1 dan TRMM 2A12
Hasil analisis hubungan antara suhu kecerahan awan (MTSAT IR1) dengan laju hujan (rain rate) (TRMM 2A12) diplotkan ke dalam persamaan regresi modifikasi
eksponensial. Regresi modifikasi
eksponensial dipilih karena memiliki fitting
yang sesuai dengan hubungan kedua data. Hubungan kedua data adalah berbanding terbalik. Pernyataan ini dikuatkan oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suseno (2009) dengan menggunakan regresi modifikasi eksponensial dalam menentukan persamaan. Regresi modifikasi eksponensial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak CurveExpert Professional 1.2 (Trial version).
3.3.2.3 Penentuan Awan Potensi Hujan
Tidak semua awan berpotensi turun
menjadi hujan, sehingga diperlukan
pengklasifikasian awan potensi hujan dan tidak hujan. Penentuan awan potensi hujan dilakukan dengan menggunkan data MTSAT
IR1 dan IR3. Berdasarkan literatur
perbedaan kemampuan kanal IR1 dan IR3 dalam menangkap panjang gelombang dapat menunjukkan nilai kemungkinan hujan. Perhitungan awan potensi hujan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Ilwis Open 3.7. Penentuan awan potensi hujan ini
menurut Kidder et. al. (2005) dapat
dideskripsikan dalam persamaan berikut. T10,8 μm– T6,2 μm < 11K dimana:
T10,8 μm: suhu kecerahan awan (kanal 10,8
μm/IR1)
T6,2 μm: suhu kecerahan uap air (kanal 6,2 μm/IR3)
3.3.2.4 Pendugaan Curah Hujan
Pendugaan curah hujan menggunakan data MTSAT IR1 dan persamaan hasil
regresi modifikasi eksponensial. Data
MTSAT IR1 yang digunakan adalah data sesudah dilakukan klasifikasi awan hujan. Selanjutnya data suhu kecerahan awan MTSAT IR1 digunakan sebagai nilai masukan dalam persamaan regresi.
Luaran dari persamaan regresi
merupakan data laju hujan dugaan dengan satuan mm/jam. Selanjutnya adalah dengan melakukan modifikasi data laju hujan menjadi data curah hujan harian, 5-harian yang selanjutnya disebut pentad, dan
10-harian selanjutnya disebut dasarian.
Modifikasi diperlukan karena data TRMM 2A12 masih menunjukkan nilai laju hujan setiap jam sesuai dengan resolusi temporal
data MTSAT IR1. Langkah-langkah
modifikasi dilakukan dalam beberapa
tahapan, yaitu:
a. Langkah awal adalah menentukan selisih
laju hujan dalam satu jam. Langkah ini dilakukan untuk melihat nilai butir air
yang turun menjadi hujan dan
direpresentasikan pada selisih data yang bernilai negatif. dengan asumsi bahwa nilai tersebut menunjukkan butiran hujan yang turun menjadi hujan. Luaran dari proses ini adalah data curah hujan dugaan setiap satu jam.
b. Data curah hujan setiap satu jam
diakumulasi sehingga mendapatkan data harian (akumulasi selama 24 jam), 5 harian (akumulasi data harian selama 5 hari), 10 harian (akumulasi data tanggal 1-10 untuk dasarian 1, akumulasi data tanggal 11-20 untuk dasarian 2, dan akumulasi data tanggal 21-30 untuk dasarian 3). Hasil curah hujan dugaan digambarkan dalam bentuk sebaran spasial curah hujan dugaan pada DAS Citarum dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.
3.3.2.5 Perbandingan Data Dugaan dan Data Pengukuran
3.3.2.6 Perbandingan Kualitas Data dengan Parameter Statistika
Parameter statistika yang digunakan sebagai alat bantu penilaian perbandingan kualitas kedua data adalah rasio, korelasi, MAE, dan RMSE.
Rasio Stasiun Pengukuran CH Data Dugaan CH Data R
Rasio merupakan salah satu uji apakah data hasil dugaan mampu mendekati data hasil pengukuran. Nilai rasio yang terbaik adalah mendekati 1 yang menggambarkan bahwa nilai kedua data sama. Selanjutnya nilai rasio
digunakan sebagai bahan dalam
menentukan nilai faktor kalibrasi. Faktor kalibrasi diperlukan agar data memiliki rasio mendekati 1.
Koefisien korelasi
ni i i
n
i i i
n i i y y y y y y y y y y r i i 1 2 1 2 1 ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ
Korelasi menunjukkan keeratan
hubungan antara data hasil dugaan dengan data hasil pengukuran lapangan. Nilai korelasi berkisar antara (-1) sampai dengan 1. Korelasi yang terbaik antara kedua data adalah mendekati 1.
MAE (Mean Absolute Error)
n
i yi yi
n MAE 1 ^ | | 1
MAE merupakan nilai absolut galat rata-rata antara data dugaan dan data pengukuran lapangan.
RMSE (Root Mean Square Error)
n y y RMSE
n
i i i
1 2 ^RMSE merupakan nilai akar kuadrat galat rata-rata dari data curah hujan dugaan dan pengukuran.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Hubungan Suhu KecerahanAwan dan Laju Hujan (Rain Rate)
Analisis data suhu kecerahan awan citra MTSAT IR1 dan nilai laju hujan (rain rate) hujan dari data TRMM 2A12 dilakukan berdasarkan wilayah kajian dan waktu yang sama atau berdekatan. Asumsi pengambilan kedua data ini adalah data yang hanya
memiliki nilai curah hujan pada waktu tertentu. Artinya beberapa data pada waktu tertentu yang sedikit mempunyai nilai curah hujan tidak diikutkan dalam analisis.
Data suhu kecerahan awan dan curah hujan yang pada selang waktu berdekatan untuk wilayah DAS Citarum diplotkan seperti terlihat pada Gambar 11 setelah dilakukan proses cropping. Walaupun satelit MTSAT-1R dan TRMM mimiliki resolusi spasial yang berdekatan antara 4-5 km, tetapi kedua data tersebut sedikit memiliki titik piksel yang sinkron. Hal ini disebabkan oleh bentuk grid data TRMM 2A12 yang tidak beraturan. Kurang sinkronnya grid MTSAT-1R dan TRMM menyebabkan jumlah piksel yang dihasilkannya tidak sama. Untuk wilayah DAS Citarum terdapat 775 piksel MTSAT IR1 dan 462 piksel TRMM 2A12 seperti terlihat pada Gambar 11. Selanjutnya seleksi data dilakukan sesuai koordinat yang sama dan berdekatan antara dua data. Jumlah piksel akhir sesuai dengan jumlah piksel TRMM, yaitu 462 piksel.
Data yang digunakan sebagai bahan analisis hubungan suhu kecerahan awan dan curah hujan adalah data tanggal 2 (02.00 UTC), 13 (10.00 UTC), 14 (09.00 UTC), 27 (14.00 UTC), 30 (12.00 UTC), dan 31 (11.00 UTC) Januari 2008. Pemilihan data ini didasarkan oleh ada tidaknya curah hujan pada seri data bulan Januari. Oleh karena itu, untuk data bulan Juli tidak diikutsertakan. Plotting data dilakukan secara berurutan sesuai tanggal dapat dilihat pada Gambar 12.
Nilai suhu kecerahan awan pada
beberapa waktu yang telah ditentukan di
bulan Januari berkisar antara 190K sampai
292 K, dengan nilai suhu rata-rata sebesar
253K. Selanjutnya nilai laju hujan TRMM
2A12 berkisar antara 0 sampai dengan 47 mm/jam, dengan nilai rata-rata sekitar 1 mm/jam. Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa terdapat pola laju hujan tinggi pada suhu kecerahan awan rendah. Tetapi tidak semua suhu kecerahan rendah yang memiliki laju hujan tinggi. Ketidaksamaan ini diantaranya disebabkan oleh waktu yang tidak sama antara satelit MTSAT dan
TRMM ketika melakukan snap shot dan
ketidakmampuan satelit dalam membedakan jenis awan. Kedua faktor tersebut sering menyebabkan
Gambar 11 Plot data spasial antara Suhu Kecerahan MTSAT IR1 02.00 UTC dan laju hujan TRMM 2A12 pada 02.19 UTC 2 Januari 2008 setelah dilakukan proses cropping pada wilayah kajian
Resolusi temporal satelit TRMM tidak dapat ditentukan secara pasti karena bentuk orbit polar, sedangkan resolusi temporal satelit MTSAT-1R yaitu 1 jam. Jenis awan sulit dibedakan oleh satelit karena cara kerja satelit cenderung mengutamakan faktor suhu puncak awan dalam melakukan pendugaan.
Awan cirrus sulit dibedakan karena jenis ini memiliki titik dasar awan tinggi sehingga suhu puncaknya juga tinggi. Meskipun memiliki suhu rendah, awan jenis ini tidak berpotensi rendah karena volume awan kecil serta berada pada lapisan atmosfer tinggi.
0,000 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000
Data Tanggal 2, 3, 14, 27, 30, 31 Januari 2008
S
uh
u
K
e
c
e
ra
ha
n
A
w
a
n
(oK
)
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
C
H
TR
M
M
2
A
1
2
(
m
m
/j
a
m
)
Suhu Kecerahan Awan (oK) CH TRMM 2A12 (mm/jam)
4.2 Analisis Regresi antara Suhu Kecerahan Awan dan Laju Hujan
(Rain Rate)
Analisis regresi dilakukan pada pasangan data suhu kecerahan awan dan laju hujan tanggal 2 (02.00 UTC), 13 (10.00 UTC), 14 (09.00 UTC), 27 (14.00 UTC), 30 (12.00 UTC), dan 31 (11.00 UTC) Januari 2008 untuk DAS Citarum. Sebelum memasuki analisis regresi, keseluruhan data diseleksi
berdasarkan beberapa asumsi karena
beberapa data memiliki nilai eror. Pemilihan
data dilakukan analisis regresi yang
didasarkan oleh dua asumsi (Parwati 2009), pertama setiap piksel dengan nilai suhu
kecerahan awan kurang dari 225K dan curah
hujannya di bawah 5 mm/jam tidak diikutkan dalam analisis, hal ini merupakan
kondisi awan cirrus yang tidak berpotensi
hujan, dan kedua adalah tidak menyertakan nilai piksel dengan suhu kecerawan awan
lebih tinggi dari 260K dan laju lebih dari 50
mm/jam, kondisi ini diasumsikan tidak mengikuti kondisi alam ketika semakin tinggi suhu awan maka proses pembentukan butir hujan akan sulit terjadi.
Menurut Hong et. al. (2010) hubungan
antara suhu kecerahan awan dan laju hujan berbanding terbalik tetapi keduanya tidak mengikuti pola linier. Pernyataan ini didukung bahwa besarnya curah hujan yang jatuh di suatu titik permukaan tidak hanya dipengaruhi oleh suhu awan saja, melainkan masih banyak faktor lain, seperti arah dan kecepatan angin, stabilitas atmosfer, dan topografi. Analisis regresi yang dianggap
mewakili hubungan keduanya adalah
modifikasi eksponensial (Suseno 2009). Analisis regresi modifikasi eksponensial pada Gambar 13 menghasilkan koefisien
determinasi (R2=0.71). Artinya sebesar 71%
model mampu menjelaskan hubungan antara suhu kecerahan awan dan laju hujan. Regresi
modifikasi eksponensial tersebut
menghasilkan persamaan berikut:
y = a . exp(b/x)
dimana:
y = Laju hujan dugaan (mm/jam) x = Suhu kecerahan awan (K)
a = 1.11 x 10-6
b = 3.24 x 103
Selanjutnya persamaan tersebut
digunakan untuk menduga curah hujan dengan menggunakan data suhu kecerahan awan satelit MTSAT IR1 sebagai nilai masukan.
4.3 Analisis Awan Potensi Hujan
Awan memiliki bermacam-macam jenis berdasarkan perbedaan ketinggiannya, yaitu awan rendah, sedang , dan tinggi. Tidak
semua jenis awan memiliki potensi
menurunkan hujan ke permukaan bumi. Awan yang memiliki potensi hujan termasuk pada golongan awan rendah (Handoko et. al. 1994). Awan rendah secara umum memiliki ketinggian sekitar 2.000 meter.
Awan berpotensi menjadi hujan ketika memiliki butir air yang lebih besar dan banyak sehingga gaya dorong ke atas lebih kecil dari gaya gravitasi serta memiliki suhu puncak awan yang lebih rendah dibanding awan yang tidak berpotensi hujan. Teknologi
satelit geostasioner cenderung
mendeskripsikan obyek dalam nilai suhu dan belum mampu mendeteksi volume dan
bentuk awan. Pengklasifikasian awan
potensi hujan didasarkan pada perbedaan suhu kecerahan awan (MTSAT IR1 10.8 µm) dan suhu kecerahan uap air (MTSAT IR3 6.8 µm).
Gambar 13 Regresi modifikasi eksponensial antara suhu kecerahan awan MTSAT IR1 (X) dengan
(i) (ii)
(iii)
Gambar 14 Proses klasifikasi awan potensi hujan: (i) suhu kecerahan awan dari MTSAT IR1; (ii) suhu kecerahan uap air dari MTSAT IR3; (iii) awan potensi hujan
Suhu kecerahan awan yang terdeteksi pada kanal IR1 dengan panjang gelombang 10.8 µm direpresentasikan sebagai suhu puncak awan. Sedangkan pada gelombang 6.8 µm pada kanal IR3 mampu mendeteksi suhu kecerahan uap air yang selanjutnya merepresentasikan jumlah butiran hujan. Pada kanal IR1 dapat diklasifikasikan bahwa awan yang berpotensi menjadi hujan adalah awan yang bersuhu rendah. Suhu puncak awan rendah menunjukkan bahwa awan memiliki tingkat kondensasi tinggi dan siap turun menjadi hujan. Semakin cerah atau semakin tinggi suhu uap airnya maka uap air yang terkandung dalam sebuah piksel citra adalah semakin sedikit dan sebaliknya.
Penentuan awan yang berpotensi hujan didasarkan pada persamaan Kidder (2005) yang menggunakan perbedaan nilai suhu kecerahan awan dan uap air. Persamaan
tersebut diturunkan berdasarkan hasil
observasi secara history. Proses klasifikasi
awan potensi hujan ditunjukkan pada Gambar 14.
4.4 Hasil Curah Hujan Dugaan
Luaran data curah hujan hasil dugaan dikelompokkan berdasarkan tingkatan waktu dalam melakukan akumulasi jumlah hujan, yaitu, harian, 5-harian (pentad), dan 10-harian (dasarian). Berdasarkan data curah hujan dasarian maka curah hujan dugaan pada bulan Januari 2008 dapat dipetakan secara spasial seperti terlihat pada Gambar 15.
(i) (ii)
(iii)
Gambar 15 Distribusi spasial curah hujan dugaan bulan Januari 2008: (i) dasarian ke-1; (ii) dasarian ke-2; (iii) dasarian ke-3
Berbeda dengan dasarian pertama,
wilayah terjadinya hujan tinggi pada dasarian kedua secara merata terletak pada bagian hulu DAS. Pola spasial curah hujan dasarian ketiga memiliki nilai tertinggi 240 mm sampai 260 mm dan sebagian besar terjadi pada bagian hulu serta tengah DAS. Nilai ini lebih tinggi jika dibanding dengan nilai-nilai curah hujan pada dua dasarian sebelumnya. Kejadian hujan pada dasarian kedua dan ketiga lebih banyak tejadi di
bagian hulu DAS sehingga sangat
berpengaruh terhadap jumlah air yang tertampung pada tiga bendungan utama yang terdapat di DAS Citarum, yaitu Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Curah hujan yang
berada di hulu DAS menjadi input utama
dari ketiga bendungan tersebut.
4.5 Perbandingan Data Dugaan dan Data Pengukuran
Pendugaan curah hujan metode ini adalah menduga data hujan setiap jam. Data curah hujan setiap jam selama 24 jam dijumlahkan sehingga menjadi data harian. Penurunan dimensi data setiap jam menjadi data harian dilakukan untuk mengikuti
dimensi data pengukuran lapangan.
Perbandingan data dilakukan secara visual dengan melihat kedekatan nilai dan pola
time series di semua stasiun pengukuran.
Gambar 16 menunjukkan letak geografis
stasiun pengukuran berdasarkan
ketinggiannya.
Gambar 16 Letak stasiun pengukuran berdasarkan ketinggiannya
0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari
ke-C
H
(
m
m
)
(i)
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad
ke-C
H
(
m
m
)
(ii)
0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0
1 2 3
Dasarian
ke-C
H
(
m
m
)
(iii)
CH Dugaan CH Pengukuran
Gambar 17 Plot curah hujan dugaan dan pengukuran di stasiun Bandung pada Januari 2008: (i) harian; (ii) pentad; (iii) dasarian
4.6 Perbandingan Kualitas Data Dugaan dengan Data Pengukuran
Perbandingan kualitas dua data
dilakukan dengan melihat nilai koefisien rasio, korelasi, MAE (Mean Absolute Error), dan RMSE (Root Mean Square Error). Data yang dilakukan uji adalah data pada bulan Januari saja karena semua data bulan Juli tidak memiliki nilai hujan. Perbandingan data dilakukan berdasarkan dimensi data
yaitu harian, pentad, dan dasarian. Jumlah titik atau stasiun sampel pengukuran yang dilakukan uji kualitas data adalah 19 titik di DAS Citarum Hulu bagian dalam maupun luar DAS. Selain itu dilakukan juga uji pengaruh ketinggian terhadap nilai curah hujannya.
perbandingan antara data dugaan terhadap data pengukuran. Nilai rasio yang terbaik adalah 1 merepresentasikan bahwa data dugaan sama dengan data pengukuran. Terdapat dua jenis rasio yang diplotkan pada Gambar 18, yaitu rasio data sebelum dikalikan dengan faktor kalibrasi dan sesudah dikalikan faktor kalibrasi.
Faktor kalibrasi diperlukan untuk
menurunkan nilai data dugaan. Proses kalibrasi yang dilakukan adalah dengan mengalikan data dugaan dengan 0.5. Nilai 0.5 didapat agar nilai rasio mendekati 1. Penggunaan faktor kalibrasi ini lebih cocok digunakan pada data bulanan karena pada data harian tidak bisa dihitung rasionya ketika kejadian bukan hari hujan.
Rasio sebelum dikalikan faktor kalibrasi mayoritas lebih dari 1, sehingga dapat dikatakan bahwa secara umum data dugaan
mengalami overestimate terhadap data
pengukuran. Nilai rasio data yang sudah memperhitungkan faktor kalibrasi pada Gambar 24 lebih cenderung mendekati 1.
Artinya pendugaan curah hujan metode ini
cenderung overestimate dan lebih baik
mengalikan data dugaan dengan faktor kalibrasi 0.5.
Curah hujan bulanan yang sudah dikalikan dengan faktor kalibrasi 0.5 dapat ditunjukkan pada Gambar 19. Curah hujan
pada bulan Januari yang merupakan
perwakilan dari bulan basah secara umum bernilai tinggi. Curah hujan tertinggi menyebar secara merata dari hulu sampai bagian tengah DAS Citarum. Nilai tertinggi curah hujan bulanan pada Januari 2008 adalah berkisar antara 270 mm sampai 300 mm tiap bulan. Untuk bulan Juli secara merata di dalam DAS Citarum tidak terdapat nilai curah hujan. Tetapi terdapat satu titik di luar DAS yang bernilai curah hujan berkisar antara 5 mm sampai 10 mm, sehingga perbandingan data tidak dilakukan karena tidak tersedianya data pengukuran di titik tersebut. 0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 M o n ta ya C iso m a n g S a g u li n g D a m C il il in S u ka w a n a C ip a n a s-P e n g a le n g a n C h in ch o n a K a yu A m b o n L e m b a n g B a n d u n g C ica le n g ka C ih e ra n g C isa m p ih C iso n d a ri C ib e u re u m U ju n g B e ru n g C ip a ra y C isa la k P a se h Stasiun R a s io
rasio normal rasio (FK 0.5)
Gambar 18 Rasio untuk curah hujan bulanan dugaan terhadap pengukuran sebelum dan sesudah dikalikan dengan faktor kalibrasi 0.5
(i) (ii)
Koefisien korelasi menunjukkan keeratan hubungan antar dua data. Nilai koefisien korelasi antara data curah hujan dugaan dan pengukuran harian, pentad, dan dasarian untuk data yang sudah dikoreksi lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 20. Nilai koefisien korelasi pada data sebelum dan sesudah dilakukan koreksi tidak jauh
berbeda karena korelasi hanya
memperhitungkan faktor hubungan pola keeratan antar dua data bukan nilai data. Selang nilai koefisien korelasi adalah -1 sampai +1. Nilai negatif menunjukkan jika
data tersebut memiliki hubungan keeratan yang saling berkebalikan. Terlihat pada Gambar 20 jika korelasi curah hujan harian rata-rata kurang dari 0.5 dan meningkat pada curah hujan pentad serta dasarian. Curah hujan harian memiliki variasi nilai yang tinggi sehingga nilai korelasinya kecil. Semakin besar nilai dimensi waktunya maka
koefisien korelasinya semakin besar.
Sehingga pendugaan curah hujan ini baik digunakan pada data yang memiliki dimensi waktu besar seperti dasarian, bulanan, dan tahunan. 0,09 0,27 0,15 0,30 0,29 0,51 0,13 0,60 0,35 0,32 0,43 0,26 0,07 0,05 -0,07 -0,03 -0,03 -0,14 -0,13
-1 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 M o n ta y a C is o m a n g S a g u lin g D a m C ili lin S u k a w a n a C ip a n a s -P e n g a le n g a n C h in c h o n a K a y u A m b o n L e m b a n g B a n d u n g C ic a le n g k a C ih e ra n g C is a m p ih C is o n d a ri C ib e u re u m U ju n g B e ru n g C ip a ra y C is a la k P a s e h Stasiun Cuaca K o e fi s ie n K o re la s i Korelasi (i) 0,28 0,69 0,42 0,29 0,62 0,53 0,73 0,10 0,90 0,26 0,79 0,48 0,36 0,49 0,03 0,22 -0,09 -0,04 -0,06
-1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 M o n ta y a C is o m a n g S a g u lin g D a m C ili lin S u k a w a n a C ip a n a s -P e n g a le n g a n C h in c h o n a K a y u A m b o n L e m b a n g B a n d u n g C ic a le n g k a C ih e ra n g C is a m p ih C is o n d a ri C ib e u re u m U ju n g B e ru n g C ip a ra y C is a la k P a s e h Stasiun Cuaca K o e fi s ie n K o re la s i Korelasi (ii) 0,24 0,92 0,75 0,49 0,56 0,94 0,78
1,00 0,99 0,98 0,82
0,41
0,98 0,97 0,98
0,62 -0,71 -0,97 -0,10 -1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 M o n ta y a C is o m a n g S a g u lin g D a m C ili lin S u k a w a n a C ip a n a s -P e n g a le n g a n C h in c h o n a K a y u A m b o n L e m b a n g B a n d u n g C ic a le n g k a C ih e ra n g C is a m p ih C is o n d a ri C ib e u re u m U ju n g B e ru n g C ip a ra y C is a la k P a s e h Stasiun Cuaca K o e fi s ie n K o re la s i Korelasi (iii)
Selanjutnya adalah uji MAE dan RMSE data dugaan terhadap data pengukuran. Uji MAE bertujuan untuk mengetahui nilai rataan dari absolut galat, sedangkan RMSE untuk mengetahui akar dari rataan kuadrat galat. Nilai yang paling baik untuk MAE dan RMSE adalah mendekati 0. Perhitungan MAE dan RMSE dilakukan pada data bulan Januari sebelum dan sesudah dilakukan koreksi seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan 3. Penggunaan faktor kalibrasi 0.5 mampu menurunkan MAE dan RMSE rata-rata setengahnya pada data harian, pentad, maupun dasarian.
Tabel 2 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE sebelum data dugaan dikalibrasi
Harian Pentad Dasarian
Korelasi 0,18 0,37 0,56
MAE 13,62 51,41 77,01
RMSE 21,48 70,59 97,83
Tabel 3 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE sesudah data dugaan dikalibrasi
Harian Pentad Dasarian
Korelasi 0,18 0,40 0,56
MAE 8,70 30,82 42,48
RMSE 15,45 44,50 59,62
V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SimpulanPenelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan eksponensial antara suhu kecerahan awan dan curah hujan ketika dilakukan analisis regresi. Klasifikasi awan
potensi hujan dilakukan dengan
menggunakan data suhu kecerahan awan pada MTSAT IR1 dan suhu uap air pada MTSAT IR3. Hasil dari persamaan regresi
adalah laju hujan yang selanjutnya
dimodifikasi menjadi curah hujan harian, pentad, dasarian, dan bulanan.
Berdasarkan analisis curah hujan spasial, pada bulan Januari terjadi tiga pola spasial distribusi hujan, yaitu dasarian ke-1 kejadian hujan cenderung terjadi di daerah hilir, dasarian ke-2 hulu, dan dasarian ke-3 pada bagian tengah DAS. Selama bulan Juli tidak terjadi hujan karena pada bulan tersebut terjadi kemarau. Selanjutnya analisis ini
diharapkan mampu membantu dalam
pengelolaan DAS Citarum secara
berkelanjutan.
Nilai curah hujan yang didapat
overestimate dan koefisien determinasi kecil
karena beberapa faktor penghambat
pendugaan, diantaranya adalah terjadi selang waktu ketika melakukan plot data suhu kecerahan awan dan curah hujan padahal awan bergerak mengikuti pergerakan angin serta mampu berpindah lebih dari 5 km dalam waktu kurang dari 1 jam, serta tidak
dimasukkannya faktor-faktor stabilitas
meteorologi seperti angin, titik dasar awan, dan topografi.
Pada uji kualitas data ditunjukkan bahwa kualitas data menjadi lebih baik ketika terjadi peningkatan dimensi data dari harian, pentad, dan bulanan. Uji kualitas data yang dilakukan adalah dengan melihat nilai rasio, korelasi, MAE, dan RMSE. Faktor kalibrasi 0.5 ditentukan dari hasil uji rasio selanjutnya dapat menurunkan nilai curah hujan dugaan yang overestimate.
5.2 Saran
Penelitian ini hanya menggunakan faktor suhu kecerahan awan dan suhu kecerahan uap air dalam melakukan pendugaan curah hujan. Curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca kompleks dan sangat erat
dengan stabilitas serta termodinamika
atmosfer. Metode pendugaan curah hujan sebaiknya memasukkan semua komponen yang mempengaruhinya sesuai kejadian di alam.
Data TRMM 2A12 merupakan data yang dikeluarkan oleh NASA, sehingga perlu dilakukan validasi dengan data pengukuran lapangan khususnya untuk wilayah kajian. Klasifikasi Awan potensi hujan dilakukan menggunakan persamaan Kidder (2005) yang seharusnya perlu dikaji lagi untuk wilayah Indonesia. Beberapa kekurangan
tersebut kemungkinan besar yang
menyebabkan munculnya faktor kalibrasi 0.5 dan selanjutnya diharapkan mampu
menjadi masukan untuk penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Adler RF, Andrew JN. 1988. A Satellite
Infrared Technique to Estimate Tropical Convective and Stratiform Rainfall. American Meteorological Society 27: 30–51.
Feidas H. 2010. Validation of satellite
rainfall products over Greece.
Theoretical and Applied Climatology 99: 193–216.
Handoko et al. 1994. Klimatologi Dasar.
Pustaka Jaya.
Hanna JW, David MS, Antonio RI. 2008.
Cloud-Top Temperature for
Precipitating Winter Cloud. American
Meteorological Society 47: 351–359. Hong K, Suh MS, Kang JH. 2009.
Development of Land Surface
Temperature-Retreival Algorithm from MTSAT-1R Data. Asia-Pacific Journal of Atmospheric Science 45: 411-421. Hong Y, Kuo-lin H, Soroosh S. 2010. Cloud
Patch-Based Rainfall Estimation Using A Satellite Image Classification Aproach.
2nd Workshop of The International
Precipitation Working Group.
[Indo Power] Indonesia Power. 2009. DAS
Citarum, Kondisi, dan Rencana
Penanganannya.
http://www.indonesiapower.co.id/index.p hp?option=com_content&view=article&i d=462:das-ccitarum-kondisi-dan-
rencana-penanganannya&catid=1:beritaterkini&It emid=18. [4 Juni 2011]
[JMA] Japan Meteorological Agency.
Meteorological Satellite MTSAT Series.
http://www.jma.go.jp/jma/jma-eng/satellite/. [15 Maret 2011]
Kidder SQ, Kankiewicz JA, Eis KE. 2005. Meteosat Second Generation Cloud Algorithms for Use at AFWA. Bacimo Monterey.
Laing AG, J Michael F, Andrew JN. 1999. Contribution of Mesoscale Convective
Complexes to Rainfall in Sahelian Africa: Estimates from Geostationary Infrared and Passive Microwave Data. American Meteorological Society 38: 957–964.
Levizzani V, Amorati R, Meneguzzo F.
2002. A Review of Satellite-based
Rainfall Estimation Methods. Bologna: Consiglio Nazionale delle Ricerche, Istituto di Scienze dell’Atmosfera e del Clima.
[NASA] National Aeronautic and Space Administration. Goddard Space Flight
Center: Mirador Data Access.
http://mirador.gsfc.nasa.gov/. [15 Maret 2011]
[NASA] National Aeronautic and Space Administration. Goddard Space Flight
Center: Tropical Rainfall Measurement
Mission. http://trmm.gsfc.nasa.gov/. [15 Maret 2011]
Parwati, Suwarsono, Kusumaning ADS, Mahdi K. 2009. Penentuan Hubungan antara Suhu dan Kecerahan Data MTSAT dengan Curah Hujan Data QMOPRH. Jurnal Penginderaan Jauh 6: 32-42.
Suseno DPY. 2009. Geostationary Satellite
Based Rainfall Estimation for Hazard Studies and Validation: A case study of
Java Island, Indonesia [tesis].
Yogyakarta: Double Degree M.Sc. Programme, Gajah Mada University and ITC.
Vicente GA, Rederick AS, W Paul M. 1998. The Operational GOES Infrared Rainfall
Estimation Technique. Buletin of The
American Meteorological Society 79: 1888-1898.
Lampiran 2 Grafik perbandingan curah hujan dugaan dan pengukuran bulan Januari 2008 A. Harian Montaya 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cisomang 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Saguling Dam 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cililin 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Sukawana 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cipanas-Pengalengan 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Chinchona 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Kayu Ambon 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Lembang 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Bandung 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cicalengka 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Ciherang 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cisampih 0,0 50,0 100,0 150,0 200,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cisondari 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
Cibeureum 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Ujung Berung 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Ciparay 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cisalak 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Paseh 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hari ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
B. Pentad Montaya 0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cisomang
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Saguling Dam
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cililin
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Sukawana
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cipanas-Pengalengan
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Chinchona
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Kayu Ambon
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
Lembang
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Bandung
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cicalengka
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Ciherang
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cisampih 0 50 100 150 200 250 300
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cisondari
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cibeureum
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Ujung Berung
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Ciparay
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cisalak
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Paseh
0 50 100 150
1 2 3 4 5 6
Pentad ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
C. Dasarian Montaya 0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0
1 2 3
Dasarian ke-C H ( m m )
CH Dugaan CH Pengukuran
Cisomang 0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0
1 2 3 4
Dasarian ke-C H ( m m )
Saguling Dam