• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Penginderaan Jauh

Pemanfaatan citra penginderaan jauh satelit paling banyak digunakan di Indonesia adalah Landsat (51%), disusul citra SPOT (19%), Foto udara (13%), Radarsat (9%), JERS (8%), GMS (0.4%), dan jenis citra lain (0.6%), dengan pengguna dari pemerintah, lembaga perguruan tinggi/peneliti dan pihak swasta (Hanggono, et al. 2000). Penggunaan Landsat yang relatif tinggi karena beberapa keunggulannya (EROS, 1995), seperti cakupan datanya yang luas (185 x 185 km) dapat dipakai untuk kajian regional, memberikan informasi permukaan setiap 16 hari sehingga terjaga kekontinuan datanya, dengan resolusi (30 x 30 m), cukup baik bagi kajian karakteristik permukaan dengan data lebih rapat secara spasial, serta dengan multi spektral, objek yang sama diambil dengan multi kanal menghasilkan keluaran beberapa parameter permukaan untuk sekali pengambilan data. Sehingga hubungan dan penyusunan persamaan secara kuantitatif dapat dilakukan antara RTH dengan suhu udara.

Prinsip dasar penginderaan jauh yaitu menangkap energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh suatu permukaan yang dipilah-pilah dalam sensor panjang gelombang. Suhu permukaan diperoleh

dari energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi pada satelit adalah sensor thermal Infrared.

Permukaan bumi dengan suhu sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9.7 μm, merupakan kisaran radiasi

infrared. Itulah sebabnya maka penginderaan jauh thermal banyak dilakukan pada spektrum antara 8–14 μm (Sutanto, 1999).

Hasil riset dalam negeri telah banyak mengungkapkan keunggulan penggunaan data satelit penginderaan jauh dalam hal cakupan spasial yang luas, historis data terjaga serta pengamatan yang tidak terlalu banyak, Risdiyanto (2001) telah memonitor data cuaca di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan data satelit NOAA, Khomarudin (2005) menduga evapotranspirasi skala regional menggunakan data satelit penginderaan jauh dipadukan antara data NOAA dan Landsat TM untuk wilayah Surabaya.

Kajian spesifik menggunakan penginderaan jauh dan teknik model GIS (Geographic Information System) untuk menganalisa UHI skala lokal dilakukan oleh Vukovich (1983), Balling dan Brazel (1998), Weng (2001), Streutker (2002) serta Xu dan Chen (2004). Penggunaan penginderaan jauh pada wilayah perkotaan untuk mengevaluasi besaran UHI dilakukan oleh Johnson et al. (1994), Nichol (1996), dan Weng (2003). Klasifikasi tutupan lahan serta kaitannya dengan UHI dikaji oleh Kim (1992), Lo dan Quattrochi (2003), Hawkins et al. (2004) dan Weng dan Yang (2004). Semua penelitian mengungkapkan potensi penggunaan penginderaan jauh untuk menganalisis fenomena UHI mendapatkan hasil yang baik dan akurat, meskipun tetap harus didukung oleh data observasi lapang di stasiun klimat sebagai data referensis. Bahkan Yang (2000) menggunakan penginderaan jauh dengan alasan membutuhkan data spasial yang rapat dan akurat bagi kajian simulasi keseimbangan neraca energi permukaan desa-kota di Nebraska timur. Sementara data dari stasiun yang ada dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengkalibrasi hasil pendugaan data dari ekstraksi Landsat.

Voogt dan Oke (2003) mencatat penggunaan satelit saat ini dengan peningkatan pada resolusi spektral dan spasial, sehingga detil permukaan perkotaan penyebab UHI dapat dikaji, serta peningkatan pada resolusi kanal

termal digunakan untuk mengkaji iklim wilayah perkotaan. Bahkan BenDor dan Saaroni (1997) di Tel Aviv, Israel dengan menggunakan spasial kanal termal dengan resolusi sangat tinggi dapat mengkaji mikrostruktur permukaan kota, sehingga dapat dilakukan kajian iklim mikro perkotaan.

Penginderaan jauh digunakan juga untuk mengkaji hubungan vegetasi dengan suhu permukaan oleh Gallo et al. (1993), Friedl dan Davis (1994), Gallo dan Owen (1999) serta Gallo et al. (2002). Kajian tentang hubungan vegetasi dengan suhu permukaan menggunakan NDVI dilakukan oleh Nichol (1994), Gallo dan Tarpley (1996), Owen et al. (1998), Quattrochi dan Ridd (1998). Kaitan NDVI dengan suhu permukaan didapatkan hasil yang nyata, sehingga dengan menggunakan data NDVI dapat digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan. Hasil ini tentunya sangat membantu bagi aplikasi di lapang yang membutuhkan waktu singkat dengan hanya mengekstraksi citra akan didapat data NDVI, dari data NDVI digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan.

Kajian model pendugaan berdasarkan persamaan empiris untuk menghitung komponen neraca energi, dilakukan oleh Xinmei et al. (1993), Dibella et al. (2000) dan Pielke Sr, et al. (2002). Hasil kajian neraca energi cukup akurat bila luasan wilayah kajian mencakup kawasan yang luas (regional) dengan tutupan lahan homogen misalnya bila mengkaji skala perkebunan yang luas, areal padang pengembalaan dan kawasan hutan dengan tanaman sejenis, kawasan kota besar. Sedangkan penggunaan lahan dengan tanaman campuran, skala kajian yang lokal, dan areal pedesaan didapatkan hasil hitungan komponen neraca energi yang kurang akurat. Hal ini terjadi karena pengideraan jauh didasarkan pada satuan pengamatan terkecil berupa pixel, apabila dalam satu pixel dijumpai berbagai tipe tutupan, maka akan dianggap mewakili tutupan lahan tertentu yang secara rata-rata lebih menonjol jumlahnya dari tipe lainnya, misalkan pixel tersebut dianggap sebagai RTB padahal di dalamnya ada RTH, ada badan air, namun secara rata-rata lebih dominan RTB.

Pada kurun waktu 11 tahun sejak 1990 hingga tahun 2000 Voogt dan Oke (2003) membuat intisari tentang kajian iklim perkotaan yang menggunakan penginderaan jauh, khususnya mengekstrak data Landsat, disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Studi aplikasi citra Landsat yang dikaitkan dengan iklim kota Peneliti (tahun) Aplikasi

Carnahan and Larson (1990)

Perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural

Kim (1992) Model neraca energi urban

Aniello, et al. (1995) Distribusi spasial suhu permukaan urban dan suhu permukaan vegetasi

Iino dan Hoyano (1996) Model neraca energi perkotaan menggunakan pengideraan jauh dan GIS

Lougeay, et al. (1996) Pola suhu berkaitan dengan tipe lahan

Nichol (1996) Bentuk spasial suhu permukaan kaitannya dengan morfologi urban

Gallo dan Owen (1998) Identifikasi multispektral ruang perkotaan untuk menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar

Nichol (1998) Pendugaan suhu permukaan dinding dengan remote sensing menyusun suhu urban secara tiga dimensi Parlow (1999) Model neraca energi urban menggunakan metode

spektral Wald and Baleynaud

(1999)

Evaluasi kualitas udara menggunakan metode remote sensing

Sumber: Voogt dan Oke (2003)

Berdasarkan Tabel 8 ada tiga tema utama dalam kajian penggunaan data Landsat. Pertama, penggunaan penginderaan jauh termal untuk mengkaji karakterstik UHI dikaitkan dengan karakteristik permukaan. Dimulai dari kajian Carnahan dan Larson tahun 1990 dengan menggunakan Landsat TM mengkaji perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural dengan memanfaatkan kanal 6 sebagai kanal untuk mendeteksi suhu permukaan. Lalu Aniello (1995) mengkaji distribusi spasial suhu permukaan urban dan wilayah bervegetasi. Dilanjutkan Nichol (1996) mengenai suhu permukaan dan kaitannya dengan morfologi urban dilanjutkan pada tahun 1998 dengan kajian tiga dimensi suhu urban. Lougeay (1996) menggunakan Landsat dalam kajian kaitan pola suhu dan tipe lahan. Kajian pada tema pertama hanya mungkin dilakukan karena fasilitas penginderaan jauh yang dilengkapi dengan multikanal, sehingga satu data dapat diekstrak menjadi banyak output, di mana setiap output dapat dikaji korelasi atau kaitan ouput yang satu dengan output yang lain.

Tema kedua, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kajian neraca energi perkotaan. Dimulai oleh Kim (1992) menyusun model neraca enerji khusus untuk

wilayah urban, sehingga dari kajian ini muncul ide untuk mengekstrak nilai suhu udara dan nilai evapotranspirasi dari penggunaan neraca energi. Dilanjutkan oleh Iino dan Hoyano (1996) memodelkan neraca energi perkotaan menggunakan pengideraan jauh dan GIS, serta Parlow (1999) mengkaji pola neraca energi urban dengan pendekatan spektral. Pada tema kedua aplikasi pengideraan jauh dikombinasikan dengan GIS serta data observasi lapang sebagai data referensis masih dominan digunakan. Output yang diperoleh dari tema kedua adalah dapat dilakukan penghitungan evapotranspirasi dari suatu tipe kawasan lahan sehingga kajian potensi kekeringan dapat dilakukan.

Tema ketiga, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kaitanya dengan kajian UHI baik di atmosfer maupun UHI permukaan. Dimulai oleh Gallo dan Owen (1998) mengidentifikasi ruang perkotaan dengan multispektral untuk menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar. Bahkan kajian lebih jauh yakni menilai kualitas udara menggunakan citra Landsat TM dilakukan oleh Wald dan Baleynaud (1999). Dari tema ketiga diperoleh hasil bahwa penggunaan data penginderaan jauh berpotensi besar sebagai pelengkap monitoring kualitas udara perkotaan di samping masih tetap diperlukan stasiun pemantau di setiap sudut perkotaan, sebagai data pengkalibrasi hasil ekstraksi data penginderaan jauh.

Hasil kajian terbaru menggunakan penginderaan jauh khususnya citra Landsat pada wilayah Los Angelas, USA tahun 1988 dan 2003 oleh Hardegree (2006). Hasil kajian disajikan secara spasial merupakan hasil olahan ekstraksi Landsat pada dua periode data. Landsat 1988 sebagai data awal dan Landsat 2003 sebagai data akhir, sehingga perubahan karakteristik permukaan kota Los Angeles dan kaitannya dengan UHI dapat dipelajari secara mendalam. Seperti makin luasnya RTB dengan perubahan karakteristik permukaan yang makin kering, akan meningkatkan potensi penyerapan panas, penggunaan panas terasa dengan proporsi yang makin besar dibandingkan untuk penguapan (panas laten), semuanya menjadikan fenomena UHI makin terasa di perkotaan.

Dokumen terkait