• Tidak ada hasil yang ditemukan

konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

29

6 Tinggi tanaman dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

30

7 Berat kering tajuk dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

31

8 Berat kering akar dengan pemberian abu boiler pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

32

9 Serapan N tanaman dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

33

10 Serapan P tanaman dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

34

11 Serapan K tanaman dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

DAFTAR LAMPIRAN

No Uraian Hal

1 Analisis awal tanah 34

2 Analisis konsentrat 34

3 Analisis abu boiler 34

4 Bagan Penelitian 35

5 pH tanah Ultisol dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

36

6 Daftar Sidik Ragam pH tanah Ultisol 36

7 Kadar C-organik tanah Ultisol dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

37

8 Daftar Sidik ragam Kadar C-organik tanah Ultisol 37

9 Kandungan P-tersedia tanah Ultisol dengan pemberian

konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

38

10 Daftar Sidik ragam Kandungan P-tersedia tanah Ultisol 38

11 Kandungan N-total tanah Ultisol dengan pemberian

konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

39

12 Daftar Sidik ragam Kandungan N-total tanah Ultisol 39

13 Kandungan K-tukar tanah Ultisol dengan pemberian

konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

40

14 Daftar Sidik ragam Kandungan K-tukar tanah Ultisol 40

15 Tinggi tanaman dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

41

16 Daftar Sidik ragam Tinggi tanaman 41

17 Berat kering tajuk dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

18 Daftar Sidik ragam Berat kering tajuk 42 19 Berat kering akar dengan konsentrat limbah cair pabrik

kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

43

20 Daftar Sidik ragam Berat kering akar 43

21 Serapan N tanaman dengan pemberian konsentrat limbah dan abu boiler pabrik kelapa sawit cair pabrik kelapa sawit

44

22 Daftar Sidik ragam Serapan N tanaman 44

23 Serapan P tanaman dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

45

24 Daftar Sidik ragam Serapan P tanaman 45

25 Serapan K tanaman dengan pemberian konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit dan abu boiler pabrik kelapa sawit

46

ABSTRAK

Penelitian rumah kaca bertujuan untuk mengkaji peluang konsentrat limbah cair dan abu boiler sebagai penambah unsur hara tanah Ultisol. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan dua faktor yaitu pemberian konsentrat (0, 10, 20, 30 ton/ha) dan abu boiler (0, 50, 100, 150 kg K2O/ha).

Parameter yang diamati adalah pH, C-organik, N-total, P-tersedia, dan K-tukar,sedangkan sesudah panen masa vegetatif parameter yang diamati yaitu berat kering tajuk, berat kering akar, dan serapan N,P,K tanaman. Konsentrat dapat meningkatkan pH menjadi 5,63, C-organik 0,64%, N-total 0,11%, P-tersedia 30,49 ppm, K-tukar 0,552 me/100, tinggi tanaman 142,83 g, berat kering tajuk 11,70 g, berat kering akar 2,86 g, serapan N tanaman 22,132 mg N/tanaman, serapan P 0,752 mg P/tanaman, serapan K 23,453 mg K/tanaman dan abu boiler mampu meningkatkan pH menjadi 5,73, P-tersedia 23,98 ppm, K-tukar 0,715 me/100, serapan P 0,638 mg P/tanaman. Dosis yang terbaik pada aplikasi konsentrat limbah cair adalah 150 g/pot dan pada abu boiler adalah 27,3 g/pot. Kata kunci: abu boiler, konsentrat, ultisol

ABSTRACT

Greenhouse study aims to assess the chances of concentrated wastewater and boiler ash as an nutrient source Ultisol. This study using a complete block randomized design with two factors, namely the provision of concentrate (0, 10, 20, 30 ton / ha) and boiler ash (0, 50, 100, 150 kg K2O / ha). Parameters measured were pH, organic C, N-total, P-available, and K-exchange, while the post-harvest period of vegetative parameters observed were plant height, shoot dry weight, root dry weight, and the uptake of N, P, K plants. Concentrate can raise the pH to 5.63, 0.64% organic C, N-total 0.11%, P available 30.49 ppm, K-exchange 0.552 me / 100, 142.83 g plant height, dry weight 11.70 g canopy, root dry weight of 2.86 g, N uptake 22.132 mg N / plant uptake P 0.752 mg P / plants, absorption K 23.453 mg K / plant and boiler ash is able to increase the pH to 5.73, P -available 23.98 ppm, K-exchange 0.715 me / 100, P uptake of 0.638 mg P / plant. The best dosage to the application of liquid waste concentrate was 150 g / pot and boiler ash is 27.3 g / pot.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2011) cenderung meningkat selama tahun 2000-2011 Perkebunan Besar Swasta (PBS) mendominasi luas areal kelapa sawit, diikuti oleh Perkebunan Rakyat (PR) dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Tahun 2011 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 8,91 juta ha, dengan rincian luas areal PBS sebesar 4,65 juta ha (52,22%), luas areal PR sebesar 3,62 juta ha (40,64%), dan luas areal PBN sebesar 0,64 juta ha (7,15%).

Perkebunan kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang diolah menjadi minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO). Pada produksi CPO akan dihasilkan juga limbah, berupa limbah padat (cangkang, serat, dan tandan kosong) dan limbah cair. Pengolahan 1 ton TBS akan menghasilkan 23% tandan kosong, 6,5% cangkang, 13% serabut (serat), dan 50% limbah cair. Dari pengolahan 1 ton CPO akan menghasilkan 24 ton/jam atau 1,667 m3 limbah cair (Ditjen PPHP, 2006). Apabila kapasitas pengolahan TBS adalah 10 ton/jam, maka limbah cair yang dihasilkan sebesar 6 m3/jam. Limbah cair kemudian dialirkan pada kolam limbah di lahan aplikasi dan dibiarkan mengendap. Endapan limbah cair pada kolam inilah yang disebut konsentrat (Rahardjo, 2006). Cangkang dan serat yang dihasilkan dari pengolahan 100 ton TBS digunakan sebagai bahan bakar ketel uap (boiler) pada penggilingan minyak sawit yang akan menghasilkan 5% atau 1 ton abu boiler (Fauziah dan Henri, 2013).

Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang cukup luas di Provinsi Sumatera Utara, namun tanah Ultisol memiliki masalah bila digunakan sebagai lahan budidaya. Ultisol memiliki kandungan hara rendah akibat pencucian basa

yang berlangsung secara intensif, dan kandungan bahan organik pada tanah Ultisol rendah karena adanya proses dekomposisi yang berlangsung cepat dan sebagian terbawa erosi. Peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan

dengan perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik (Prasetyo danSuriadikarta, 2006).

Produksi limbah cair PKS lahan aplikasi dan abu boiler yang cukup banyak dan belum dimanfaatkan dengan baik dan mengandung berbagai unsur hara yang berguna bagi tanah yang miskin seperti ultisol. Dengan demikian perlu dilakukan pemanfaatan limbah cair di lahan aplikasi dan abu boiler PKS sebagai penambah unsur hara tanah Ultisol.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peluang konsentrat limbah cair dan abu boiler pabrik kelapa sawit serta interaksi sebagai sumber hara tanah Ultisol.

Hipotesa Penelitian

- Pemberian konsentrat limbah cair dari lahan aplikasi dapat meningkatkan kadar hara tanah Ultisol.

- Pemberian abu boiler pabrik kelapa sawit dapat meningkatkan kadar hara tanah Ultisol.

- Interaksi antara pemberian konsentrat limbah cair dan abu boiler dapat meningkatkan kadar hara tanah Ultisol.

Kegunaan Penelitian

Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan mengenai dosis konsentrat limbah cair lahan aplikasi dan abu boiler pabrik kelapa sawit untuk menambah unsur hara tanah Ultisol, dan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Program studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol

Ultisol adalah tanah dengan horizon subpermukaan yang berasal dari akumulasi liat. Ultisol memiliki kejenuhan basah kurang dari 35% pada kedalaman 125 cm di bawah batas atas dari horizon argilik atau kandik (tidak lebih dari 200 cm di bawah permukaan tanah mineral) atau 180 cm di bawah permukaan tanah mineral jika epipedon kelas – butir berpasir dan paling dangkal terdapat pada 125 cm di bawah batas atas horizon argilik atau kandik atau 180 cm di bawah permukaan tanah mineral (Soil survey staff. 2014). Horizon bawah tanah ultisol berwarna merah dan kuning dan terlihat jelas timbunan oksida besi bebas. Ultisol masih mempunyai mineral yang dapat melapuk dan terbentuk di atas permukaan tanah tua (Buckman dan Brady, 1982).

Ultisol memiliki memiliki tingkat kemasaman kurang dari 5,5, bahan organik rendah sampai sedang,dan nutrisi rendah. Ultisol memiliki kandungan Al yang tinggi dan menyebabkan terfiksasinya unsur fosfat sehingga ketersediaan fosfat di dalam larutan tanah berkisar 0-3 ppm (Munir, 1996). Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada Ultisol yang berasal dari bahan sedimen dan granit yaitu >60% dan paling rendah terdapat pada Ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping yaitu 0%. Bahan sedimen merupakan hasil dari proses pelapukan dan pencucian. Proses pelapukan terjadi pada saat pembentukan batuan sedimen dan saat pembentukan tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Ultisol memiliki sifat fisik tanah yaitu daya pegang air rendah, tekstur berlempung liat, permeabilitas tanah yang semakin rendah dari lapisan atas tanah ke lapisan bawah tanah (Junaedi, 2010). Ultisol memiliki solum dengan

kedalaman sedang, berwarna merah sampai kuning, dan memiliki struktur berbentuk blocking pada horizon Bt (Munir, 1996).

Ultisol merupakan jenis tanah yang banyak tersebar di indonesia hingga mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan indonesia (Subagyo, dkk. 2004). Sebaran terluas tanah Ultisol terdapat di Kalimantan (21.938.000), Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha),

Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha) (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Tanah Ultisol yang sangat luas merupakan lahan kering. Tanah Ultisol ini biasanya dimanfaatkan sebagai lahan permukiman, perluasan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri. Hal ini berdampak pada timbulnya masalah baru yaitu hilangnya lapisan top soil akibat pemerataan permukaan tanah dan yang tersisa adalah lapisan sub soil yang kurang subur. Ultisol berpotensi menjadi lahan persawahan apabila tersedia air yang cukup. Ultisol lebih sesuai digunakan untuk tanaman kelapa sawit yang dikombinasikan dengan tanaman pakan ternak berupa legume sebagai pengendali limpasan permukaan (Munir, 1996).

Limbah Pabrik Kelapa Sawit

Limbah kelapa sawit adalah limbah yang berasal dari sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk dala produk utama atau merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan kelapa sawit. Berdasarkan tempat pembentukannya, limbah digolongkan menjadi limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah industri kelapa sawit. Limbah perkebunan kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada saat proses pengolahan kelapa sawit dan terbagi menjadi tiga golongan yaitu limbah padat, limbah cair dan gas.

Kelapa sawit yang diolah akan menghasilkan daging buah, biji sawit, dan tandan kosong. Daging buah yang diolah akan diperoleh minyak sawit (CPO), sludge yang berupa minyak kasar atau padatan dan juga serat atau sabut yang digunakan sebagai bahan bakar. Biji sawit akan menghasilkan minyak inti yang digunakan sebagai bahan pembuat minyak goreng, margarin dan lain-lain serta bungkil sebagai pakan ternak. Biji sawit juga akan menghasilkan cangkang atau tempurung yang digunakan pabrik sebagai bahan bakar. Tandan kosong digunakan sebagai sumber bahan organik.

Hasil pengolahan tandan buah segar akan menghasilkan limbah. Limbah ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat yang berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS), cangkang, serabut atau serat, sludge atau lumpur dan bungkil. Limbah cair berupa limbah yang dihasilkan dari pengolahan minyak sawit (CPO) dan inti sawit (kernel). Limbah gas berasal dari gas cerobong dan uap air buangan pabrik kelapa sawit. Salah satu pemanfaat dari pengolahan limbah kelapa sawit adalah sebagai pupuk organik (Prayitno,dkk, 2008).

1. Limbah Cair

POME (Palm Oil Mill Effluent) merupakan hasil dari pengolahan pabrik kelapa sawit berupa limbah yang berasal dari stasiun klarifikasi dan hidroksikon. POME yang dihasilkan dari pengolahan pabrik kelapa sawit sekitar 40-70 % dari TBS dan yang masih mengandung minyak sekitar 0,5%, air 95% dan padatan 5% sehingga perlu dilakukan pengolahan limbah dengan baik agar tidak mencemari lingkungan (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).

Proses pengolahan limbah cair yang disarankan oleh Pusat Penelitian Perkebunan (RISPA) adalah

• Kolam Pembiakan. Kolam ini digunakan untuk mengaktifkan bakteri.

Karena limbah cair dari Fatpit masih asam, maka dilakukan penetralan dengan penambahan kausatik soda. Pembiakan bakteri juga dilakukan dengan proses seeding dengan lama pembiakan 3-7 hari.

• Kolam Pengasaman. Kolam ini juga dapat berfungsi sebagai kolam

pendingin tetapi fungsi utamanya adalah proses pengasaman, dimana terjadi kenaikan kadar asam dan komponen – komponen asam yang mudah menguap yaitu dari 1000 mg/l menjadi 5000 mg/l. Lamanya limbah cair dalam kolam ini adalah 5 hari.

• Kolam Netralisasi. Suhu limbah cair akan semakin menurun sampai

sekitar 400C dan nilai pH dinaikkan dari 4,0 menjadi 7,0 dengan penambahan Kausatik Soda sebanyak 5-6 kg/ton limbah cair.

• Kolam Perombakan Anaerob Primer I. Pada kolam ini raksi

mikrobiologi berlangsung. Penguraian bahan – bahan organik majemuk dalam limbah cair menjadi asam – asam organik yang mudah menguap. Dengan terbentuknya asam maka pH akan kembali turun, namun dapat dinetralisasi. Waktu penahan hidrolis pada kolam ini sekitar 40 hari.

• Kolam Perombakan Anaerob Primer II. Proses yang terjadi pada kolam

ini sama dengan Kolam Perombakan Anaerob Primer I sehingga total penahan hidrolis adalah 80 hari. BOD dapat diturunkan dari 25.000 mg/l menjadi 5.000 mg/l (penguraian 80%).

• Kolam Pematangan Anerob Sekunder I. Pengubahan asam yang

mudah menguap menjadi gas – gas seperti metanan, karbon dioksida, hidrogen sulfida. Waktu penahan hidrolis selama 20 hari.

• Kolam Pematangan Anerob Sekunder II. Proses pengubahan asam –

asam mudah menguap dilanjutkan dalam kolam kedua. Apabila pH menurun maka dilakukan resikulasi. Waktu penahanan hidrolis selama 20 hari, maka total penahanan hidrolis adalah 40 hari. Pertumbuhan bakteri penghasil metana lebih lambat dibandingkan bakteri penghasil asam karena kurangnya energi. BOD turun dari 5.000 mg/l menjadi 1.750 mg/l dengan efisiensi penguraian 65%.

• Kolam Aerob. Penguraian selanjutnya terjadi secara aerobik yaitu

membutuhkan oksigen. Waktu penahanan hidrolis selama 15 hari. BOD dapat ditekan dengan aerator dan suplai oksigen yang cukup dari 1.750 mg/l menjadi di bawah 100 mg/l. Efisiensi penguraian dengan cara oksidasi dapat mencapai 95%.

• Kolam Sedimentasi. Kolam ini berfungsi memisahkan cairan dari

lumpur yang mengalir secara kontinyu dari kolam aerob. Penahanan hidrolis selama 4 hari.

• Kolam Fakultatif dan Bak Pengontrol. Kolam fakultatif dapat

berfungsi sebai tempat untuk proses stabilisasi akhir dan bak pengontrol berfungsi untuk pencegahan-pencegahan darurat.

Land Application. Pemanfaatan limbah cair untuk digunakan sebahai

bahan penyubur atau pemupukan tanaman. Limbah cair yang dialirkan kelahan memiliki kandungan BOD maksimal 5000 mg/l.

(Rahardjo, 2006).

Limbah yang sudah mengalami pengolahan dengan sistem pengolaman akan dibuang ke badan air, tetapi saat ini pembuangan limbah ke badan air sudah dilarang sehingga limbah di aplikasikan ke lahan perkebunan. Teknik aplikasi limbah cair ke lahan dilakukan dengan cara penyemprotan/sprinkle untuk lahan datar atau sedikit bergelombang untuk mengurangi aliran permukaan dari limbah cair yang digunakan. Teknik flatbed atau teknik parit digunakan di lahan berombak atau bergelombang dengan konstruksi diantara baris pohon yang dihubungkan dengan saluran parit. Ukuran parit adalah 2,5m x 1,5m x 0,2m yang dibuat setiap 2 baris tanaman (Dirjen PHPP, 2006). Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 28 pasal 3 tahun 2003 yaitu pengaplikasian limbah cair ke areal perkebunan dilakukan dengan metode irigasi yaitu dengan metode flatbed, furrow sistem, dan long bed sistem. pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit ditetapkan bahwa persyaratan minimal pengkajian pemanfaatan air limbah yaitu pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, pengaruh terhadap kualitas tanah dan air, pengaruh terhadap kesehatan masyarakat, BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/L, nilai pH berkisar 6-9, dilakukan pada lahan selain lahan gambut, dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas antara 1,5 - 15 cm/jam, tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter.

Endapan berupa lumpur berwarna hitam yang berada di rorak atau parit yang berada pada lahan perkebunan atan Land Applicatoin disebut dengan konsentrat limbah cair pabrik kelapa sawit. Pemanfaatan limbah dari rorak/parit

sebagai penyubur tanah bagi tanaman kelapa sawit karena mengandung unsur N, P, K. Limbah cair dalam Land Application diproses menjadi limbah dengan kandungan BOD 3500 mg/L – 5000 mg/L (Yan, 2014).

Dari hasil penelitian Febrika (2006) menunjukan bahwa aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit dapat meningkatkan pH tanah hingga 7.30 pada jarak 60 cm dari parit aplikasi dan jarak yang semakin jauh maka pH tanah akan semakin menurun. Aplikasi limbah cair juga dapat menaikan kadar nitrogen total (N-Total) tanah, meningkatkan kadar P-tersedia dan kadar K-tukar. Penelitian Nuraima (2008) juga menyatakan bahwa aplikasi konsentrat (endapan) LCPKS sampai dosis 25 ton/ha (69,25 g/pot) dapat meningkatkan N-total, K-dapat tukar, P-tersedia tanah dan memberikan respon pertumbuhan yang baik terhadap tanaman jagung. Pada pnelitian Olan Harahap (2010) menyatakan bahwa aplikasi tandan kosong kelapa sawit dan Konsentrat Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit sangat berpengaruh nyata dalam memperbaiki nilai pH, C-organik, N-total, P-tersedia dan KTK media tanam sub soil Ultisol setelah 2 minggu inkubasi.

Limbah Padat

1.1. Tandan Kosong

Janjangan kosong atau yang biasa disebut EFB (empty fresh bunch) merupakan bekas TBS (tandan buah segar) yang berondolannya sudah lepas pada saat pengolahan di pabrik kelapa sawit. Dari setiap TBS yang diolah akan dihasilkan 20% janjangan kosong dari setiap berat TBS yang diolah.Janjangan kosong mempunyai rasio C/N sangat tinggi sehingga proses dekomposisi dan mineralisasi janjangan kosong dilapangan oleh mikroorganisme relatif lambat. Lamanya proses dekomposisi dan mineralisasi janjangan kosong seperti yang

terlihat pada Tabel. Walaupun demikian janjangan kosong sangat kuat menyerap dan menyimpan air. Janjangan kosong dapat dijadikan sebagai mulsa untuk menahan air agar ketersediaan air bagi tanaman lebih terjamin terutama untuk kelapa sawit TBM (tanaman belum menghasilkan). Janjangan kosong juga mengandung nutrisi utama yang dibutuhkan kelapa sawit walaupun dalam jumlah yang sedikit (Yan, 2014).

Tandan kosong mengandung unsur hara N,P,K, dan Mg setara dengan 3 kg pupuk urea, 12 kg pupuk MOP, dan 2 kg pupuk kieserit. Satu unit PKS

dengan kapasitas 30 ton TBS/jam atau 600 ton TBS?hari akan menghasilkan pupuk NPK dan Mg setara dengan 360 kg urea, 72 kg CIRP, 1.440 kg MOP, dan 240 kg Kieserit (Ditjen PHPP, 2006)

2.2.Cangkang Dan Serat

Pemrosesan buah kelapa sawit menjadi ekstrak minyak sawit menghasilkan limbah padat yang sangat banyak dalam bentuk serat, cangkang dan tandan buah kosong. Setiap 100 ton tandan buah segar yang diproses akan menghasilkan lebih kurang 20 ton cangkang, 7 ton serat. Cangkang selanjutnya digunakan lagi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap pada penggilingan minyak sawit. Pembakaran dalam ketel uap dengan menggunakan cangkang kelapa sawit ini akan menghasilkan 5% (1 ton) abu cangkang. sawit (oil palm ashes) dengan ukuran butiran yang sangat halus. Abu hasil pembakaran ini biasanya dibuang dekat pabrik sebagai limbah padat yang tidak termanfaatkan, bahkan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lingkungan dan kesehatan (Fauziah dan Henri, 2013).

Abu boiler adalah abu hasil pembakaran sabut dan cangkang kelapa sawit. Abu hasil pembakaran serabut/serat dan cangkang kelapa sawit menghasilkan kerak keras berwarna putih-keabuan akibat pembakaran pada suhu tinggi. Data dari pabrik kelapa sawit perkebunan menunjukan bahwa lebih dari 100 ton/minggu dihasilkan cangkang dan serabut/serat buah sawit yang menghasilkan 3-5 ton/minggu kerak boiler (abu). Limbah dari pembakaran ini juga mengandung silika yang cukup tinggi yakni 71,14%. Kandungan silika yang tinggi pada abu boiler ini dimanfaatkan untuk kegiatan pembuatan aspal dan beton (Yelvi dan Mukhlis, 2013).

Hasil uji komposisi kandungan unsur kimia dari abu boiler yang dilakukan Hutahean (2007) adalah SiO2 58,02%, Al2O3 8,7%, Fe2O3 2,6%, CaO 12,65%, MgO 4,23%, Na2O 0,41%, K2O 0,72%, H2O 1,97%. Kandungan silika yang tinggi

dapat menyebabkan abu mengeras karena abu memilki sifat reaktif. Sifat silika yang reaktif dan aktivitas pozzolanik yang bagus. Hasil penelitian Fauziah dan Henri (2013) menyatakan bahwa aspal dengan bahan campuran abu boiler ini memiliki nilai stabilitas yang tinggi karena adanya sifat pozzolan yang ditambahkan pada aspal beton akan membuat reaksi senyawa yang membuat campuran menjadi keras dan kaku.

Abu boiler selain mengandung silika yang tinggi juga banyak mengandung unsur hara yang sangat bermanfaat dan dapat diaplikasikan pada tanaman sawit sebagai pupuk tambahan atau pengganti pupuk anorganik. Unsur hara yang terkandung dalam abu boiler adalah N 0,74%, P2O5 0,84%, K2O 2,07%, Mg

0,62%. Melihat kandungan Abu boiler dan jumlah yang dihasilkan setiap 100 ton pengolahan TBS, Abu boiler dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Selain

memberikan keuntungan secara ekonomis dan ramah lingkungan, diharapkan pemberian Abu boiler kelapa sawit sebagai pupuk pada media pembibitan dapat menambah ketersediaan unsur hara pada tanah sehingga perkembangan dan pertumbuhan bibit kelapa sawit juga semakin baik (Astianto, 2012).

Abu boiler dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalium karena kandungan kalium pada abu boiler dapat mencapai 30%. Selain itu, abu boiler yang merupakan limbah padat dapat menjadi bahan amelioran karena mempunyai sifat-sifat kejenuhan basa tinggi, dapat meningkatkan pH tanah. Menurut penelitian Rini (2005) abu boiler dapat memperbaiki sifat kimia tanah gambut yang bersifat masam.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Dan analisis dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada September 2014 sampai Februari 2015.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tanah Ultisol Kebun Bandar Betsi, Kecamatan Bandar Huluan, Kabupaten Simalungun (Adiwiganda dkk, 1995), kosentrat limbah pabrik kelapa sawit, abu boiler, serta bahan-bahan kimia yang

Dokumen terkait